Sansekerta yaitu “budhayah” yang merupakan bentuk dari “budhi” yang berarti
‘budi’ atau ‘akal’. Koentjaraningrat (1990) dalam Dokhi (2016) mendefinisikan
budaya sebagai daya dari budi berupa cipta, karsa dan rasa. Sedangkan budi
diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan akal manusia yang merupakan
pancaran dari budi dan daya terhadap seluruh apa yang dipikir, dirasa, dan
direnungkan yang kemudian diamalkan dalam bentuk suatu kekuatan yang
menghasilkan kehidupan. Dalam kamus, budaya adalah pikiran, akal budi, hasil,
sedangkan kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi)
manusia (seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat).
Kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa, yang berarti mengolah
atau yang mengerjakan sehingga mempengaruhi tingkat pengetahuan, sistem ide
atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, dalam kehidupan sehari-hari,
sifatnya abstrak (Dokhi dkk., 2016).
Terdapat 7 unsur kebudayaan universal (Tasmuji dkk., 2018), yaitu:
1. Bahasa
2. Sistem Pengetahuan
3. Organisasi Sosial
4. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
5. Sistem Mata Pencaharian Hidup
6. Sistem Religi
7. Kesenian
Bentuk seni yang bersumber dan berakar serta telah dirasakan sebagai milik
sendiri oleh masyarakat di lingkungannya dikenal dengan nama Kesenian
tradisional (Slamet, 1999) dalam (Sinaga, 2001). Ada beragam masyarakat
pendukung dan pelestari kesenian tradisional yang ada di Indonesia dan merupakan
hasil pengaruh budaya luar Islam, budaya Timur, budaya Barat maupun tradisi lokal
sehingga menimbulkan akulturasi (Sinaga, 2001).
Menurut Setiawan dkk (2017), istilah akulturasi berasal bahasa latin
acculturate yang berarti “tumbuh dan berkembang bersama”. Secara umum
pengertian akulturasi adalah perpaduan antarbudaya yang kemudian menghasilkan
budaya baru tanpa menghilangkan unsur-unsur asli dalam budaya tersebut. Pada
umumnya akulturasi kebudayaan terjadi karena unsur budaya yang baru dinilai
memberikan manfaat bagi kehidupan suatu masyarakat
Akulturasi bisa terjadi melalui kontak budaya yang bentuknya bermacam-
macam, antara lain sebagai berikut:
1. Kontak sosial pada seluruh lapisan masyarakat, sebagian masyarakat, atau
bahkan antarindividu dalam dua masyarakat.
2. Kontak budaya dalam situasi bersahabat atau situasi bermusuhan.
3. Kontak budaya antara kelompok yang menguasai dan dikuasai dalam seluruh
unsur budaya, baik dalam ekonomi, Bahasa, teknologi, kemasyarakatan, agama,
kesenian, maupun ilmu pengetahuan.
4. Kontak budaya antara masyarakat yang jumlah warganya banyak atau sedikit.
5. Kontak budaya baik antara sistem budaya, sistem sosial, maupun unsur budaya
fisik
Menurut Kodiran (1998), akulturasi akan terjadi apabila terdapat dua
kebudayaan atau lebih yang berbeda sama sekali (asing dan asli) berpadu sehingga
proses-proses ataupun penebaran unsur-unsur kebudayaan asing secara lambat laun
diolah sedemikian rupa ke dalam kebudayaan asli dengan tidak menghilangkan
identitas maupun keasliannya. Misalnya, di dalam kehidupan masyarakat sehari-
hari dijumpai bermacam-macam bentuk serta sistem politik (demokrasi), ekonomi
(koperasi), edukasi (perguruan tinggi), agama dan kepercayaan lokal, dan lain-lain.
Jika dilihat sepintas lalu, kesemuanya itu seolah-olah merupakan unsur asli
kebudayaan Indonesia, tetapi sesungguhnya aktivitas-aktivitas tersebut merupakan
hasil pengintegrasian dan pengabsorbsian dari bentuk-bentuk dan sistem-sistem
yang telah lama berkembang di negara-negara Barat serta Timur lainnya.
Untuk melihat bagaimana eksistensi dan peranan kesenian alat musik
tradisional di tengah masyarakat Sumatera Selatan digunakan kajian budaya
melalui teori akulturasi budaya. Eksistensi kesenian alat musik tradisional di
Sumatera Selatan tentu tidak mungkin lepas dari kedudukan dan fungsi musik itu
bagi masyarakat yang merupakan pengaruh dari kebudayaan luar. Alat musik
tradisional Sumatera Selatan merupakan alat musik hasil akulturasi antara musik
lokal dan musik yang masuk ke Nusantara tepatnya di daerah Sumatera Selatan,
bercampur, diadaptasi dan menjadi sebuah bentuk musik baru asli Sumatera
Selatan.
Menurut Andriansyah dkk (2017), alat musik tradisional Indonesia
memiliki keunikan tersendiri dan menjadi ciri khas kebudayaan yang ada di
Indonesia. Melihat berbagai macamnya alat musik tradisional Indonesia maka bisa
dikatakan bahwa Indonesia sangat kaya dengan harta kebudayaannya. Dengan
kekayaan budaya yang kita miliki seharusnya kita bangga menjadi bangsa
Indonesia, dan sebagai orang Indonesia harus mengetahui seperti apa kebudayaan
yang ada di Indonesia, salah satu contoh dengan mengetahui dan mempelajari alat
musik tradisional Indonesia yang ada saat ini.
Di sumatera Selatan, musik tradisional juga dipengaruhi oleh unsur-unsur
kebudayaan Arab dan Barat. Sebagai contoh, setelah datangnya pengaruh Arab,
muncul kesenian yang menggunakan rebana dengan menyenandungkan syair-syair
keagamaan. Kemudian berkembang musik gambus untuk menggiringi lagu-lagu
maupun instrumental. Musik gambus ini, alat musiknya merupakan paduan alat
musik pengaruh kebudayaan Islam dan juga barat, seperti seruling, marawis, biola,
terompet dan accordion (Samsudin, 2006)
a) Alat Musik Pukul
Alat musik pukul, yaitu jenis alat musik yang penggunaannya dengan
cara melakukan pukulan pada badan alat musik (dapat berupa kenong, rebana,
terbangan, dll (Sukanti dkk., 1999).
1) Gong
Gambar 1. Gong
Terbuat dari kuningan, berbentuk bundar dengan tonjolan pada bagian
tengah. Gong digunakan sebagai bas dalam mengiringi lagu dan tari
tradisional (Samsudin, 2006).
2) Musik Tenun
Gambar 3. Kenong
Bahan kuningan, berbentuk bundar dengan tonjolan pada bagian
tengahnya (bagian yang dipukul). Kenong merupakan alat musik pengiring
kesenian wayang Palembang, lagu dan tradisional (Samsudin, 2006).
4) Terbangan
Gambar 4. Terbangan
Terbuat dari kayu, kulit kambing, lempengan logam dan paku.
Digunakan sebagai pengiring lagu yang bernuansa Islam, bunyinya keluar
sebelah dipukul pakai tangan (Samsudin, 2006).
Musik Terbangan merupakan salah satu musik pukul yang sudah lama
dikenal oleh masyarakat Kabupaten Ogan Ilir dengan nama Seni Terbangan
Sarofal Anam. Musik Terbangan di Kabupaten Ogan Ilir ini sudah ada sejak
tahun 1946, seni Terbangan ini selain dari hiburan digunakan juga untuk
mengarak pengantin yang akan melaksanakan pernikahan. Alat musik yang
digunakan dalam kesenian musik Terbangan ini sangatlah sederhana, adalah
jenis alat musik membranophone yaitu alat musik yang cara memainkannya
dengan cara dipukul dengan menggunakan tangan, alat musik ini berasal dari
Arab yang dibawa oleh ulama yang bernama Husin Al Hadi sekitar tahun
1717, yang sampai saat ini dikenal dengan nama terbangan. Alat musik
Terbangan ini terbuat dari kayu Leban yang banyak terdapat di daerah
Kabupaten Ogan Ilir, namun sekarang sudah sulit untuk ditemukan.
Terbangan ini berbentuk bulat dengan diameter 30 cm dan tinggi 10 cm. Jenis
alat musik Terbangan di Desa Seri Tanjung ini adalah jenis alat musik
Terbangan Jumbo yang memiliki kuping. Ukuran kuping itu sendiri kurang
lebih 3cm sampai dengan 5cm yang terbuat dari kuningan pipih. Sedangkan
membran pada alat musik ini menggunakan plastik ronsen (Rifki dan Yelli,
2019)
.Terbangan dapat dikatakan sebagaj Basil dari masuknya budaya
Islam yang dibawa oleh masyarakat Melayu Aceh. Masyarakat Sumatera
Selatan mengenal alat musik yang secara umum lebih dikenal dengan nama
rebana ini dengan sebutan terbangan. Terbangan terdiri dari 4 buah rebana
yang dimainkan bersama dengan serunai saat acara khitanan, syukuran, atau
upacara pernikahan adat Palembang. Umumnya terbangan ini berwarna
merah, emas atau hitam (Patricia, 2018).
Musik Terbangan merupakan perkembangan dari musik Syarofal
Anam yang berasal dari Arab yang pertama kali masuk ke kota
Palembang bersamaan dengan datangnya agama islam yang dibawah
oleh pedagan dan alim ulama. Alat musik Terbangan merupakan jenis alat
musik tabuh dengan membran dari kulit binatang seperti kulit ikan Pari,
Biawak, dan kulit Domba atau Kambing sebagai penghasil suaranya. Alat
musik Terbangan umumnya terbuat dari bahan kayu yang dibentuk melingkar
yang berfungsi sebagai bingkai untuk memasang membran yang terbuat dari
kulit.
Kayu yang digunakan umumnya mengunakan kayu dari pohon
nangka karena mudah untuk membentuknya dan lebih ringan apabilah sudah
kering. Pada bagian sisi alat musik Terbangan ada yang mengunakan telinga
dan ada yang tidak mempunyai telinga. Telinga ini biasanya terbuat dari
lempengan atau kepingan yang terbuat dari bahan kuningan atau seng.
Ukuran alat musik terbangan yang digunakan pada musik terbangan
berukuran lebar diameter 30 cm dan tinggi sisi sekitar 10 cm.
Pada alat musik Terbangan cara memegangnya adalah dengan
tangan kiri memegang pada bagian sisi bawah terbangan dan tangan
sebelah kanan memukul atau menepuk bagian permukaan kulit terbangan.
Sedangkan teknik memainkan alat musik terbangan ada 2 (dua). Pertama
teknik memainkan alat musik terbangan untuk menghasilkan bunyi
“Pang” atau bunyi nyaring dan teknik memainkan untuk menghasikan
bunyi “Bing”. Pada teknik ini bentuk telapak tangan atau jari harus
dikembangkan pada saat memukul atau menepuk permukaan terbangan
posisi telapak tangan berada dipinggir terbangan kemudian permukaan
tangan ditebuk bukan ditempelkan setelah ditepuk. Apabila ditempelkan
maka bunyi terbangan tidak akan nyaring atau tidak menghasilkan bunyi
“pang” dan terdengar meredap. Sedangkan teknik memaikan terbangan
untuk menghasilkan binyi “Bing” yaitu dengan merapatkan jari pada
saat memukul atau menepuk alat musik terbangan. Sebagai contoh dapat
dilihat gambar berikut ini :
Gambar 7. Rebana
Gambar rebana menyerupai terbangan tetapi tidak ada
kerincingannya. Fungsi rebana umumnya untuk mengiringi lagu-lagu
khasidah atau irama padang pasir. Namun, pada masa sekarang ini kelompok-
kelompok “rebana” yang menggunakan alat musik rebana untuk
membawakan lagu-lagu khasidah juga menggunakan alat musik terbangan
sebagai penunjang atau pelengkap di samping juga menggunakan alat musik
lain, seperti akordion, dll (Sukanti dkk., 1999).
6) Burda
Gambar 8. Burda
Terbuat dari kayu, kulit sapi dan rotan. Bunyi keluar melalui pukulan
tangan dan digunakan sebagai pengiring lagu-lagu bernuansa Islam
(Samsudin, 2006). Burdah merupakan sejenis gendang yang berukuran besar.
Burdah atau gendang Oku ini terbuat dari kulit hewan dan kayu nangka.
Burdah memiliki nama lain Gendang Oku dikarenakan alat musik ini pertama
kali ditemukan dan dimainkan oleh masyarakat Ogan Komering Ulu (OKU).
Burdah sering dimainkan dalam acara-acara adat seperti upacara pernikahan,
latihan pencak silat, atau saat ada upacara adat Palembang sebagai alat musik
ritmis. Cara memainkan burdah sama saja seperti memainkan gendang pada
umumnya yaitu dengan menepuk bagian kulit gendang menggunakan telapak
tangan (Patricia, 2018). Burdah adalah alat musik sejenis gendang berukuran
besar yang dibuat dari kulit hewan dan kayu nangka, dibandingkan dengan
rebana, ukuran burdah lebih besar. Karena alat musik ini pertama kali
ditemukan dalam budaya masyarakat Ogan Komering Ulu atau OKU, maka
banyak pula orang yang menyebut alat musik ini dengan nama Gendang Oku
(Fathurrohman, 2016).
Gambar 9. Gambus
Bahan dari kayu, kulit hewan dan tali senar. Bentuk menyerupai gitar.
Fungsi sebagai lagu-lagu bernuansa Islam dan juga lagu-lagu tradisional
(Samsudin, 2006). Alat musik Gambus memiliki kemiripan seperti mandolin
yang berasal dari Timur Tengah. Beberapa daerah di Indonesia pada dasarnya
memiliki alat musik ini sebagai salah satu alat musik tradisionalnya. Namun
tentu saja, setiap daerah memiliki perbedaan dan keunikannya tersendiri.
Gambus khas Sumatra Selatan terbuat dari kayu dengan enam dawai. Alat
musik ini dimainkan dengan cara dipetik (Patricia, 2018).
2) Biola