Anda di halaman 1dari 5

DESKRIPSI DAN FUNGSI MENGENAI ALAT MUSIK

PADA PERTUNJUKAN MUSIK TRADISIONAL


DARI NTT DAN LUAR NTT

Oleh Kelompok :

1 Anggun Omidra
2 Asri Febiona Malo
3 Charlie Mbau
4 Helena Y. Dacruz
5 Muhamad Sahrul
6 Jublina Bien
7 Susan M. Maima
A. Musik Tradisional Dari NTT ( Suling Bambu Malaka )

Musik merupakan aspek yang paling penting dalam kehidupan manusia dan
memiliki peranan penting sehingga dianggap sebagai harta yang sangat bernilai.
Setiap suku bangsa menggunakanya umtuk memenuhi kebutuhan baik secara
individual maupun secara sosial. Untuk pemenuhan kebutuhan pribadi music
berfungsi sebagai sarana hiburan dan kenikmatan batin. Sedangkan secara
sosial, musik berfungsi sebagai pengikat hubungan antara anggota masyarakat
dan tanda (simbol) untuk suatu maksud tertentu. Salah satu alat musik yang
hidup dan berkembang di desa As Manulea kecamatan Sasitamean, kabupaten
Malaka adalahalat musik suling bambu.

Di As Manulea dikenal empat jenis suling bambu, antara lain: Suling Sopran
(suling lagu), Suling Besar (suling alto), Suling Trompet dan Suling Bas dengan
aneka bentuknya.Seiring dengan perkembangan zaman dan perubahan kondisi
yang terjadi, diciptakan dengan alasan praktis siapa yang akan memainkannya.
Dibandingkan dengan suling sopran/kecil,suling besar/alto lebih sulit untuk
dimainkan. Suling alto/besar; jarak antar lubangnya yang berjauhan sehingga
menjadi kurang praktis untuk dimainkan oleh anak-anak tingkat Sekolah Dasar
(SD). Perlu diketahui bahwa alat musik suling bambu yang ada di As Manulea
lebih dimainkan oleh anak-anak SD dan SMP, sehingga dengan jangkauan fisik
jari yang demikian terbatas, sangat sulit bagi anak-anak seusia

Setiap suku bangsa kebutuhan baik secara individual maupun secara sosial.
Untuk pemenuhan kebutuhan pribadi music berfungsi sebagai sarana hiburan
dan kenikmatan batin. Sedangkan secara sosial, musik berfungsi sebagai
pengikat hubungan antara anggota masyarakat dan tanda (simbol) untuk suatu
maksud tertentu. Salah satu alat musik yang hidup dan berkembang di desa As
Manulea kecamatan Sasitamean, kabupaten Malaka adalah alat musik suling
bambu.
Musik Suling bambu di As Manulea yang diangkat sebagai bahan penelitian
ini merupakan satu dari beragam suling bambu yang ada di Indonesia.
Perkembangan musik suling bambu As Manulea tentunya berbeda dengan
music suling bambu dari daerah lain. Sebagaimana namanya, alat suling bambu
ini terbuat dari bahandasar bambu. Hanya ada dua jenis bambu yang dipakai
untuk membuat suling bambu ini, yaitu peut (petu) dan pneon(a). Peut adalah
jenis bambu yang dipakai untuk membuat Pneon adalah jenis bambu yang
dipakai untuk membuat suling trompet dan suling lagu.4 Dari dua jenis bambu
inilah suling bambu Asmanulea mulai dikenal sejak tahun 1953. Dalam
perkembangannya, bambu jenis peut (petu) diganti dengan bambu jenis tabu.
Alasan praktisnya, dibanding peut, bambu jenis tabu dianggap lebih ringan.

Keberadaan suling bambu As Manulea merupakan suatu wujud kreativitas


untuk menyatukan keanekaragaman kultur manusia dalam hal bahasa, suku dan
ras di Indonesia. Hal ini dapat dijadikan suatu motivasi dan pelajaran bahwa
“perbedaan itu bukan untuk ditandingkan, tapi untuk disandingkan”, sehingga
model/cara hidup bermasyarakat pada masyarakat As Manulea dalam bermusik
suling bambu bisa bersandingan dengan kemajuan teknologi dalam era modern.
Inilah tampilam identitas kultur masyarakat tradisional yang patut diberi respek.
B. Musik Tradisional Dari Luar NTT ( Angklung Sunda )

Sebagai negeri yang kaya akan budaya, mengisyaratkan bahwa Indonesia


merupakan negara yang dihuni oleh manusia yang dipenuhi rasa keindahan.
Diantara lebih dari 300 etnik yang ada, tersebutlah Suku Sunda yang kreatif
sehingga menjadi salah satu yang menonjol dalam hal kebudayaan. Dari
merekalah beragam rupa seni terlahir, termasuk Angklung yang sejak 2010
telah dinyatakan UNESCO sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan
Nonbendawi Manusia. Secara umum, alat musik tradisional ini dikenal sebagai
alat musik multitonal (bernada ganda) yang berkembang dalam masyarakat
Sunda di Jawa Barat. Terbuat dari tabung-tabung bambu yang mana suara atau
nadanya dihasilkan dari efek benturan tabung-tabung tersebut dengan cara
digoyangkan. Nada yang dihasilkan adalah bunyi yang bergetar dalam susunan
2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Disamping
sebagai alat musik, Angklung juga mewakili sebuah seni pertunjukan. Dalam
hal ini, Angklung merupakan bentuk seni pertunjukan yang menggunakan alat
musik Angklung untuk menyajikan tembang-tembang tradisional. Dalam
pertunjukan ini, biasanya juga dilibatkan beberapa instrumen lain, termasuk
metalofon, gambang, gendang dan gong.

Sejalan dengan tradisi umum Sunda, laras (nada) dalam alat tembang
Angklung adalah Slendro dan Pelog. Perihal penamaannya, istilah Angklung
berasal dari istilah angkleung-angkleung yakni sebuah istilah Sunda untuk
mendefinisikan suara “klung” dari alat musik ini oleh para pemain yang
memainkan sambil bergerak seperti mengalun. Sementara itu, dikatakan juga
bahwa secara etimologis Angklung berasal dari penggabungan istilah “angka”
yang berarti nada dan “lung” yang berarti pecah. Jadi, alat musik ini merujuk
pada nada yang pecah atau tidak lengkap.

Mengenai asal-usulnya, tidak ada petunjuk sejak kapan Angklung ini


digunakan. Adapun ketika melihat bentuk primitifnya, ada dugaan bahwa alat
musik tradisional ini telah digunakan dalam kultur Neolitikum. Berkembang di
Nusantara hingga awal penanggalan modern. Hal ini juga berarti bahwa
Angklung merupakan bagian dari relik pra-Hinduisme dalam kebudayaan
Nusantara. Dalam sejarahnya, sumber berupa catatan baru ditemukan ketika
merujuk pada masa Kerajaan Sunda (abad ke-12 hingga abad ke-16). Dikatakan
bahwa instrumen musik bambu hadir dalam lingkup budaya agraris. Menurut I
Ketut Yasa, masyarakat agraris untuk upaya mencapai keberhasilannya
menggunakan dua jalur, yaitu yang bersifat rasional dan irrasional. Orang-orang
Baduy, yang dianggap sebagai sisa-sisa Suku Sunda asli, menerapkan alat
musik bambu sebagai bagian dari ritual mengawali penanaman padi.
Selanjutnya, permainan alat musik bambu dengan membawakan lagu-lagu
sebagai persembahan terhadap Dewi Sri disertai dengan pengiring tabuh.
Pengiring tersebut terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana
yang kemudian lahirlah struktur musik bambu yang kemudian dikenal sebagai
Angklung.

Dalam ritual padi, pertunjukan musik ini biasanya berupa arak-arakan atau
helaran, bahkan di beberapa tempat menjadi iring-iringan Rengkong,
Dongdang, serta Jampana (usungan pangan). Di Jasinga (Bogor) ada permainan
Angklung Gubrag yang tetap lestari hingga saat ini. Kemunculan permainan
tersebut bermula dari ritus padi yang ada sejak lebih dari 400 tahun lampau.
Dalam hal ini, Angklung difungsikan sebagai media untuk mengundang Dewi
Sri untuk turun ke bumi dan memberikan kesuburan pada tanaman. Jenis yang
tertua dikenal sebagai Angklung Buhun yang hingga saat ini masih digunakan
dalam berbagai perayaan, termasuk dalam Seren Taun. Di zaman Kerajaan
Sunda (Pasundan), alat musik tersebut difungsikan salah satunya untuk
penggugah semangat dalam pertempuran. Bahkan fungsi ini masih terus terasa
hingga pada masa penjajahan Belanda. Pada masa itu, kolonial Belanda sempat
melarang masyarakat menggunakannya, sehingga membuat popularitasnya
menurun dan hanya dimainkan oleh anak-anak saja. Namun, selanjutnya
kesenian ini tetap hidup, berkembang dan menyebar ke seantero Jawa,
Kalimantan dan Sumatera.

Anda mungkin juga menyukai