Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Angklung adalah sebuah alat atau waditra kesenian yang terbuat dari bambu khusus,
yang ditemukan oleh Bapak Daeng Sutigna sekitar tahun 1938. Ketika awal penggunaannya
angklung masih sebatas kepentingan kesenian lokal atau tradisional. Namun karena bunyi-
bunyian yang ditimbulkannya sangat merdu dan juga memiliki kandungan lokal dan
internasional seperti bunyi yang bertangga nada duremi fa so la si du dan daminatilada, maka
angklung pun cepat berkembang, tidak saja dipertunjukan lokal tapi juga dipertunjukan
regional, nasional dan internasional. Bahkan konon khabarnya pertunjukan angklung pernah
digelar dihadapan Para pemimpin Negara pada Konferensi Asia Afika di Gedung Merdeka
Bandung tahun 1955.
Jumlah pemain angklung bisa dimainkan oleh sampai 50 orang, bahkan sampai 100 orang
dan dapat dipadukan dengan alat musik lainnya seperti; piano, organ, gitar, drum, dan lain-
lain. Selain sebagai alat kesenian, angklung juga bisa digunakan sebagai suvenir atau buah
tangan setelah dihiasi berbagai asesoris lainnya.
Sepeninggal Daeng Sutigna kreasi kesenian angklung diteruskan oleh Mang Ujo dan Erwin
Anwar. Bahkan Mang Ujo telah membuat pusat pembuatan dan pengembangan kreasi
kesenian angklung yang disebut ‘Saung angklung Mang Ujo” yang berlokasi di Padasuka
Cicaheum Bandung. Salah satu program yang ia lakukan khususnya untuk mempertahankan
kesenian angklung adalah memperkenalkan angklung kepada para siswa sekolah, mulai TK,
sampai dengan tingkat SLTA dan bahkan telah menjadi salah satu kurikulum pada pada mata
pelajaran lokal.

1.2 TUJUAN            

Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan karya ini :

a.        Untuk menambah wawasan tentang kebudayaan nasional

b.        Untuk lebih mengenal alat musik  angklung sebagai warisan kebudayaan

c.        Untuk ikut melestarikan budaya bangsa

d. Lebih menghargai budaya nasional

e. Bangga terhadap budaya nasional yang mendunia


1.3 RUANG LINGKUP

Penulis membatasi tulisan ini seputar :

a.      Pengertian angklung

b.      Sejarah angklung

c.      Jenis kesenian angklung

d. Pementasan angklung di kancah dunia

1.4 METODE PENULISAN

Dalam pembuatan karya ini dilakukan dengan cara :

ૡ   Membaca beberapa buku di perpustakaan sekolah.

ૡ   Mengumpulkan data dari internet.

1.5 SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk memudahkan para pembaca penulis menyusun karya tulis ini dalam beberapa bab
yaitu :

BAB II
PENGENALAN ANGKLUNG

Angklung adalah salah satu alat musik tradisional warisan nusantara yang
dikembangkan oleh para leluhur kita di masa lalu. Sebagai bangsa indonesia, kita sudah
sepatutnya kaya bahwa negara kita penuh dengan warisan budaya yang begitu kaya dan kini
warga negara asing pun banyak yang tertarik untuk mempelajari musik angklung.

Alat musik angklung adalah alat musik tradisional yang terbuat dari bambu dan
didesain sedemikian rupa oleh penciptanya untuk menghasilkan suara yang indah dan enak
untuk didengar. Nada yang dapat dimainkan oleh angklung sangat beragam, selain itu alat
musik angklung dapat dikolaborasikan pula dengan aransemen musik yang lain. Kini, alat
musik angklung telah diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia. Pengakuan ini
sangatlah dirasa penting bagi Indonesia karena berguna untuk menghindari pengakuan bangsa
lain atas khasanah budaya bangsa yang kita miliki.

Dalam wikipedia, dijelaskan bahwa angklung adalah alat musik tradisional yang
pertama kali berkembang pada masyarakat berbahasa sunda di Jawa Barat. Alat musik ini
dibuat dari bambu, dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan
badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3,
sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Angklung terdaftar sebagai
Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Non Bendawi Manusia dari Unesco sejak
November 2010.

Catatan mengenai angklung baru muncul merujuk pada masa Kerajaan Sunda (abad


ke-12 sampai abad ke-16). Asal usul terciptanya musik bambu, seperti angklung berdasarkan
pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare)
sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri
Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip). Masyarakat Baduy,
yang dianggap sebagai sisa-sisa masyarakat Sunda asli, menerapkan angklung sebagai bagian
dari ritual mengawali penanaman padi. Permainan angklung gubrag di Jasinga, Bogor, adalah
salah satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau. Kemunculannya berawal dari
ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke bumi agar
tanaman padi rakyat tumbuh subur.
Jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah bambu hitam
(awi wulung) dan bambu putih (awi temen). Tiap nada (laras) dihasilkan dari bunyi tabung
bambunya yang berbentuk bilah (wilahan) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.

Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan sunda, di antaranya sebagai
penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat
rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia
Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu sempat
membuat popularitas angklung menurun dan hanya di mainkan oleh anak- anak pada waktu
itu.

Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan


pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana yang
kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama angklung.
Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun dipersembahkan permainan angklung.
Terutama pada penyajian Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini
menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian
tempat menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan
sebagainya.

Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu


ke Kalimantan dan Sumatera. Pada 1996 tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke
Thailand, antara lain ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun
sempat menyebar di sana.

Angklung adalah alat musik yang terbuat dari ruas-ruas bambu, cara memainkannya
digoyangkan serta digetarkan oleh tangan, alat musik ini telah lama dikenal di beberapa
daerah di Indonesia, terutama di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Sejarah
Angklung sangat erat kaitannya dengan seni karawitan sebagai media upacara penghubung
antara manusia dan Tuhannya, Yang Maha Kuasa.

A. ASAL USUL

Tidak ada petunjuk sejak kapan angklung digunakan, tetapi diduga bentuk primitifnya
telah digunakan dalam kultur Neolitikum yang berkembang di Nusantara sampai awal
penanggalan modern, sehingga angklung merupakan bagian dari relik pra-Hinduisme dalam
kebudayaan Nusantara.

Catatan mengenai angklung baru muncul merujuk pada masa Kerajaan Sunda (abad


ke-12 sampai abad ke-16). Asal usul terciptanya musik bambu, seperti angklung berdasarkan
pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare)
sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri
Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip). Masyarakat Baduy,
yang dianggap sebagai sisa-sisa masyarakat Sunda asli, menerapkan angklung sebagai bagian
dari ritual mengawali penanaman padi. Permainan angklung gubrag di Jasinga, Bogor, adalah
salah satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau. Kemunculannya berawal dari
ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke bumi agar
tanaman padi rakyat tumbuh subur.

Bukti tertulis penggunaan Angklung tertua yang ditemukan terdapat pada prasasti
Cibadak bertahun 952 Saka atau 1031 SM, di daerah Sukabumi, Jawa Barat. Pada prasasti
tersebut, diterangkan bahwa Raja Sunda, Sri Jayabuphati, menggunakan seni Angklung
dalam upacara keagamaannya. Kita juga dapat menemukan bukti lain dalam buku Nagara
Kartagama tahun 1359, yang menerangkan penggunaan Angklung sebagai media hiburan
dalam pesta penyambutan kerajaan. Kata Angklung diambil dari cara alat musik tersebut
dimainkan. Kata Angklung berasal dari Bahasa Sunda “angkleung-angkleungan” yaitu
gerakan pemain Angklung dan suara “klung” yang dihasilkannya. Secara etimologis ,
Angklung berasal dari kata “angka” yang berarti nada dan “lung” yang berarti pecah. Jadi
Angklung merujuk nada yang pecah atau nada yang tidak lengkap.

Jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah bambu hitam
(awi wulung) dan bambu putih (awi temen). Tiap nada (laras) dihasilkan dari bunyi tabung
bambunya yang berbentuk bilah (wilahan) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.

Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan sunda, di antaranya sebagai
penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat
rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia
Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu sempat
membuat popularitas angklung menurun dan hanya di mainkan oleh anak- anak pada waktu
itu.
Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan
pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana yang
kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama angklung.
Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun dipersembahkan permainan angklung.
Terutama pada penyajian Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini
menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian
tempat menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan
sebagainya.

Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu


ke Kalimantan dan Sumatera. Pada 1996 tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke
Thailand, antara lain ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun
sempat menyebar di sana.

Kini, Angklung telah menjadi alat musik internasional. Banyak Negara-negara lain
mengembangkan angklung, dikarenakan beragam manfaat yang didapat. Filosofi angklung
5M (mudah, meriah, menarik, mendidik, massal) membuat angklung makin digemari di
seluruh penjuru dunia. Pada jaman dahulu kala, instrumen angklung merupakan instrumen
yang memiliki fungsi ritual keagamaan. Fungsi utama angklung adalah sebagai media
pengundang Dewi Sri (dewi padi/kesuburan) untuk turun ke bumi dan memberikan
kesuburan pada musim tanam. Angklung yang dipergunakan berlaraskan tritonik (tiga nada),
tetra tonik (empat nada) dan penta tonik (5 nada). Angklung jenis ini seringkali disebut
dengan istilah angklung buhun yang berarti “Angklung tua” yang belum terpengaruhi unsur-
unsur dari luar. Hingga saat ini di beberapa desa masih dijumpai beragam kegiatan upacara
yang mempergunakan angklung buhun, diantaranya: pesta panen, ngaseuk pare, nginebkeun
pare, ngampihkeun pare, seren taun, nadran, helaran, turun bumi, sedekah bumi dll.

Pada Tahun 1938, Daeng Soetigna, seorang guru Hollandsch Inlandsche School (HIS)
di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, melakukan modernisasi alat musik angklung dari alat
yang berskala tangga nada pentatonis (tangga nada tradisional) menjadi angklung kompleks
yang berskala tangga nada diatonis (tangga nada modern). Angklung ini dapat memainkan
lagu-lagu populer, musik nasional, dan lagu Barat maupun musik klasik. Disebut Angklung
modern (diatonis) karena nadanadanya disesuaikan dengan skala nada diatonis, yaitu do – re
– mi – fa – sol – la – si, dan angklung diatonis ini biasa disebut juga “Angklung Padaeng”,
karena jasanya terhadap perkembangan Angklung dan pendidik musik. Angklung Modern
(Padaeng) mulai diperkenalkan pada masyarakat internasional di tahun 1946 pada malam
hiburan perundingan Linggar Jati. Tahun 1950 dan 1955, Angklung modern pun ditampilkan
pada Konferensi Asia Afrika. Kini Angklung Modern (Padaeng) memiliki fungsi tambahan
sebagai sarana pendidikan musik, karena Angklung dapat memupuk sifat kerjasama, disiplin,
kercermatan, keterampilan dan rasa tanggungjawab. Demikian pula mengenai hal-hal yang
merupakan dasar pokok dalam pendidikan musik, seperti membangkitkan perhatian terhadap
musik, menghidupkan musik dan mengembangkan musikalitas, melodi, ritme dan harmoni.
Atas pemikiran tersebut, maka pemerintah Indonesia melalui Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia No. 182/1967 tertanggal 23 Agustus 1968 yang menyatakan Angklung sebagai alat
pendidikan musik nasional.

Sejak tahun 1971, pemerintah Indonesia menjadikan Angklung sebagai sarana dalam
program diplomasi budaya. Angklung sejak saat itu menyebar luas ke berbagai negara. Di
Korea Selatan, hingga kini tercatat lebih dari 8.000 sekolah memainkan Angklung. Di
Argentina, Angklung telah menjadi mata pelajaran intrakurikuler yang menarik bagi siswa,
demikian pula di Skotlandia. Sejak tahun 2002, Departemen Luar Negeri Republik Indonesia
telah memberikan kesempatan bagi siswa-siswi dari mancanegara untuk belajar dan
mengenali Angklung di Indonesia. Kini Angklung tidak hanya menjadi alat musik kebanggan
Indonesia, tetapi menjadi media untuk meningkatkan rasa persabatan antar bangsa di dunia.

Bahkan, sejak 1966, Udjo Ngalagena —tokoh angklung yang mengembangkan teknik
permainan berdasarkan laras-laras pelog, salendro, dan madenda— mulai mengajarkan
bagaimana bermain angklung kepada banyak orang dari berbagai komunitas.

B. Jenis Kesenian Angklung


1. Angklung Kanekes
Angklung di daerah Kanekes (kita sering menyebut mereka orang Baduy) digunakan
terutama karena hubungannya dengan ritus padi, bukan semata-mata untuk hiburan orang-
orang. Angklung digunakan atau dibunyikan ketika mereka menanam padi di huma (ladang).
Menabuh angklung ketika menanam padi ada yang hanya dibunyikan bebas
(dikurulungkeun), terutama di Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero), dan ada yang dengan ritmis
tertentu, yaitu di Kaluaran (Baduy Luar). Meski demikian, masih bisa ditampilkan di luar
ritus padi tetapi tetap mempunyai aturan, misalnya hanya boleh ditabuh hingga masa
ngubaran pare (mengobati padi), sekitar tiga bulan dari sejak ditanamnya padi. Setelah itu,
selama enam bulan berikutnya semua kesenian tidak boleh dimainkan, dan boleh dimainkan
lagi pada musim menanam padi berikutnya. Menutup angklung dilaksanakan dengan acara
yang disebut musungkeun angklung, yaitu nitipkeun (menitipkan, menyimpan) angklung
setelah dipakai.
Dalam sajian hiburan, Angklung biasanya diadakan saat terang bulan dan tidak hujan.
Mereka memainkan angklung di buruan (halaman luas di pedesaan) sambil menyanyikan
bermacam-macam lagu, antara lain: Lutung Kasarung, Yandu Bibi, Yandu Sala, Ceuk Arileu,
Oray-orayan, Dengdang, Yari Gandang, Oyong-oyong Bangkong, Badan Kula, Kokoloyoran,
Ayun-ayunan, Pileuleuyan, Gandrung Manggu, Rujak Gadung, Mulung Muncang, Giler,
Ngaranggeong, Aceukna, Marengo, Salak Sadapur, Rangda Ngendong, Celementre, Keupat
Reundang, Papacangan, dan Culadi Dengdang. Para penabuh angklung sebanyak delapan
orang dan tiga penabuh bedug ukuran kecil membuat posisi berdiri sambil berjalan dalam
formasi lingkaran. Sementara itu yang lainnya ada yang ngalage (menari) dengan gerakan
tertentu yang telah baku tetapi sederhana. Semuanya dilakukan hanya oleh laki-laki. Hal ini
berbeda dengan masyarakat Daduy Dalam, mereka dibatasi oleh adat dengan berbagai aturan
pamali (pantangan; tabu), tidak boleh melakukan hal-hal kesenangan duniawi yang
berlebihan. Kesenian semata-mata dilakukan untuk keperluan ritual.
Nama-nama angklung di Kanekes dari yang terbesar adalah: indung, ringkung,
dongdong, gunjing, engklok, indung leutik, torolok, dan roel. Roel yang terdiri dari 2 buah
angklung dipegang oleh seorang. Nama-nama bedug dari yang terpanjang adalah: bedug,
talingtit, dan ketuk. Penggunaan instrumen bedug terdapat perbedaan, yaitu di kampung-
kampung Kaluaran mereka memakai bedug sebanyak 3 buah. Di Kajeroan; kampung
Cikeusik, hanya menggunakan bedug dan talingtit, tanpa ketuk. Di Kajeroan, kampung
Cibeo, hanya menggunakan bedug, tanpa talingtit dan ketuk.
Di Kanekes yang berhak membuat angklung adalah orang Kajeroan (Tangtu; Baduy
Jero). Kajeroan terdiri dari 3 kampung, yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Di ketiga
kampung ini tidak semua orang bisa membuatnya, hanya yang punya keturunan dan berhak
saja yang mengerjakannya di samping adanya syarat-syarat ritual. Pembuat angklung di
Cikeusik yang terkenal adalah Ayah Amir (59), dan di Cikartawana Ayah Tarnah. Orang
Kaluaran membeli dari orang Kajeroan di tiga kampung tersebut.

2. Angklung Reyog
Angklung Reyog merupakan alat musik untuk mengiringi tarian reyog ponorogo di
jawa timur. angklung Reyog memiliki khas dari segi suara yang sangat keras, memiliki dua
nada serta bentuk yang lengkungan rotan yang menarik (tidak seperti angklung umumnya ang
berbentuk kubus) dengan hiasan benang berumbai-rumbai warna yang indah. di kisahkan
angklung merupakan sebuah senjata dari kerajaan bantarangin ketika melawan kerajaan
lodaya pada abad ke 9, ketika kemenangan oleh kerajaan bantarangin para prajurit gembira
tak terkecuali pemegang angklung, karena kekuatan yang luar biasa penguat dari tali tersebut
lenggang hingga menghasilkan suara yang khas yaitu klong- klok dan klung-kluk bila
didengar akan merasakan getaran spiritual.
Dalam sejarahnya angklung Reyog ini digunakan pada film: Warok Singo Kobra (1982),
Tendangan Dari Langit (2011) Dan penggunaan angklung Reyog pada musik seperti: tahu
opo tempe, sumpah palapa, kuto reog, Resik Endah Omber Girang, dan campursari berbau
ponorogoan.

3. Angklung Banyuwangi
Angklung banyuwangi ini memiliki bentuk seperi calung dengan nada budaya
banyuwangi

4. Angklung Bali
Angklung bali memiliki bentuk dan nada yang khas bali

5. Angklung Dogdog Lojor


Kesenian dogdog lojor terdapat di masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan atau
kesatuan adat Banten Kidul yang tersebar di sekitar Gunung Halimun (berbatasan
denganjakarta, Bogor, dan Lebak). Meski kesenian ini dinamakan dogdog lojor, yaitu nama
salah satu instrumen di dalamnya, tetapi di sana juga digunakan angklung karena kaitannya
dengan acara ritual padi. Setahun sekali, setelah panen seluruh masyarakat mengadakan acara
Serah Taun atau Seren Taun di pusat kampung adat. Pusat kampung adat sebagai tempat
kediaman kokolot (sesepuh) tempatnya selalu berpindah-pindah sesuai petunjuk gaib.

Tradisi penghormatan padi pada masyarakat ini masih dilaksanakan karena mereka
termasuk masyarakat yang masih memegang teguh adat lama. Secara tradisi mereka mengaku
sebagai keturunan para pejabat dan prajurit keraton Pajajaran dalam baresan Pangawinan
(prajurit bertombak). Masyarakat Kasepuhan ini telah menganut agama Islam dan agak
terbuka akan pengaruh modernisasi, serta hal-hal hiburan kesenangan duniawi bisa
dinikmatinya. Sikap ini berpengaruh pula dalam dalam hal fungsi kesenian yang sejak sekitar
tahun 1970-an, dogdog lojor telah mengalami perkembangan, yaitu digunakan untuk
memeriahkan khitanan anak, perkawinan, dan acara kemeriahan lainnya. Instrumen yang
digunakan dalam kesenian dogdog lojor adalah 2 buah dogdog lojor dan 4 buah angklung
besar. Keempat buah angklung ini mempunyai nama, yang terbesar dinamakan gonggong,
kemudian panembal, kingking, dan inclok. Tiap instrumen dimainkan oleh seorang, sehingga
semuanya berjumlah enam orang.

Lagu-lagu dogdog lojor di antaranya Bale Agung, Samping Hideung, Oleng-oleng


Papanganten, Si Tunggul Kawung, Adulilang, dan Adu-aduan. Lagu-lagu ini berupa vokal
dengan ritmis dogdog dan angklung cenderung tetap.

6. Angklung Gubrag
Angklung gubrag terdapat di kampung Cipining, kecamatan Cigudeg, Bogor.
Angklung ini telah berusia tua dan digunakan untuk menghormati dewi padi dalam kegiatan
melak pare (menanam padi), ngunjal pare (mengangkut padi), dan ngadiukeun
(menempatkan) ke leuit (lumbung).

Dalam mitosnya angklung gubrag mulai ada ketika suatu masa kampung Cipining
mengalami musim paceklik.

7. Angklung Badeng
Badeng merupakan jenis kesenian yang menekankan segi musikal dengan angklung
sebagai alat musiknya yang utama. Badeng terdapat di Desa Sanding, Kecamatan
Malangbong, Garut. Dulu berfungsi sebagai hiburan untuk kepentingan dakwah Islam. Tetapi
diduga badeng telah digunakan masyarakat sejak lama dari masa sebelum Islam untuk acara-
acara yang berhubungan dengan ritual penanaman padi. Sebagai seni untuk dakwah badeng
dipercaya berkembang sejak Islam menyebar di daerah ini sekitar abad ke-16 atau 17. Pada
masa itu penduduk Sanding, Arpaen dan Nursaen, belajar agama Islam ke kerajaan Demak.
Setelah pulang dari Demak mereka berdakwah menyebarkan agama Islam. Salah satu sarana
penyebaran Islam yang digunakannya adalah dengan kesenian badeng.

Angklung yang digunakan sebanyak sembilan buah, yaitu 2 angklung roel, 1 angklung
kecer, 4 angklung indung dan angklung bapa, 2 angklung anak; 2 buah dogdog, 2 buah
terbang atau gembyung, serta 1 kecrek. Teksnya menggunakan bahasa Sunda yang
bercampur dengan bahasa Arab. Dalam perkembangannya sekarang digunakan pulabahasa
Indonesia. Isi teks memuat nilai-nilai Islami dan nasihat-nasihat baik, serta menurut
keperluan acara. Dalam pertunjukannya selain menyajikan lagu-lagu, disajikan pula atraksi
kesaktian, seperti mengiris tubuh dengan senjata tajam.

Lagu-lagu badeng: Lailahaileloh, Ya’ti, Kasreng, Yautike, Lilimbungan, Solaloh.

8. Buncis
Buncis merupakan seni pertunjukan yang bersifat hiburan, di antaranya terdapat di
Baros (Arjasari, Bandung). Pada mulanya buncis digunakan pada acara-acara pertanian yang
berhubungan dengan padi. Tetapi pada masa sekarang buncis digunakan sebagai seni hiburan.
Hal ini berhubungan dengan semakin berubahnya pandangan masyarakat yang mulai kurang
mengindahkan hal-hal berbau kepercayaan lama. Tahun 1940-an dapat dianggap sebagai
berakhirnya fungsi ritual buncis dalam penghormatan padi, karena sejak itu buncis berubah
menjadi pertunjukan hiburan. Sejalan dengan itu tempat-tempat penyimpanan padi pun (leuit;
lumbung) mulai menghilang dari rumah-rumah penduduk, diganti dengan tempat-tempat
karung yang lebih praktis, dan mudah dibawa ke mana-mana. Padi pun sekarang banyak yang
langsung dijual, tidak disimpan di lumbung. Dengan demikian kesenian buncis yang tadinya
digunakan untuk acara-acara ngunjal (membawa padi) tidak diperlukan lagi.

Nama kesenian buncis berkaitan dengan sebuah teks lagu yang terkenal di kalangan
rakyat, yaitu cis kacang buncis nyengcle..., dst. Teks tersebut terdapat dalam kesenian buncis,
sehingga kesenian ini dinamakan buncis.

Instrumen yang digunakan dalam kesenian buncis adalah 2 angklung indung, 2


angklung ambrug, angklung panempas, 2 angklung pancer, 1 angklung enclok. Kemudian 3
buah dogdog, terdiri dari 1 talingtit, panembal, dan badublag. Dalam perkembangannya
kemudian ditambah dengan tarompet, kecrek, dan goong. Angklung buncis berlaras salendro
dengan lagu vokal bisa berlaras madenda atau degung. Lagu-lagu buncis di antaranya: Badud,
Buncis, Renggong, Senggot, Jalantir, Jangjalik, Ela-ela, Mega Beureum. Sekarang lagu-lagu
buncis telah menggunakan pula lagu-lagu dari gamelan, dengan penyanyi yang tadinya laki-
laki pemain angklung, kini oleh wanita khusus untuk menyanyi.

Dari beberapa jenis musik bambu di Jawa Barat (Angklung) di atas, adalah beberapa
contoh saja tentang seni pertunjukan angklung, yang terdiri atas: Angklung Buncis
(Priangan/Bandung), Angklung Badud (Priangan Timur/Ciamis), Angklung Bungko
(Indramayu), Angklung Gubrag (Bogor), Angklung Ciusul (Banten), Angklung Dog dog
Lojor (Sukabumi), Angklung Badeng (Malangbong, Garut), dan Angklung Padaeng yang
identik dengan Angklung Nasional dengan tangga nada diatonis, yang dikembangkan sejak
tahun 1938. Angklung khas Indonesia ini berasal dari pengembangan angklung Sunda.
Angklung Sunda yang bernada lima (salendro atau pelog) oleh Daeng Sutigna alias Si Etjle
(1908—1984) diubah nadanya menjadi tangga nada Barat (solmisasi) sehingga dapat
memainkan berbagai lagu lainnya. Hasil pengembangannya kemudian diajarkan ke siswa-
siswa sekolah dan dimainkan secara orkestra besar.

9. Angklung Padaeng
Angklung padaeng adalah angklung yang dikenalkan oleh Daeng Soetigna sejak
sekitar tahun 1938. Terobosan pada angklung padaeng adalah digunakannya laras
nadaDiatonik yang sesuai dengan sistem musik barat. Dengan demikian, angklung kini dapat
memainkan lagu-lagu internasional, dan juga dapat bermain dalam Ensembel dengan alat
musik internasional lainnya.

10. Angklung Sarinande


Angklung sarinande adalah istilah untuk angklung padaeng yang hanya memakai nada
bulat saja (tanpa nada kromatis) dengan nada dasar C. Unit kecil angklung sarinade berisi 8
angklung (nada Do Rendah sampai Do Tinggi), sementara sarinade plus berisi 13 angklung
(nada Sol Rendah hingga Mi Tinggi).

11. Angklung Toel
Angklung toel diciptakan oleh Kang Yayan Udjo sekitar tahun 2008. Pada alat ini, ada
rangka setinggi pinggang dengan beberapa angklung dijejer dengan posisi terbalik dan diberi
karet. Untuk memainkannya, seorang pemain cukup men-toel angklung tersebut, dan
angklung akan bergetar beberapa saat karena adanya karet.

12. Angklung Sri-Murni
Angklung ini merupakan gagasan Eko Mursito Budi yang khusus diciptakan untuk
keperluan robot angklung. Sesuai namanya, satu angklung ini memakai dua atau lebih tabung
suara yang nadanya sama, sehingga akan menghasilkan nada murni (mono-tonal). Ini berbeda
dengan angklung padaeng yang multi-tonal. Dengan ide sederhana ini, robot dengan mudah
memainkan kombinasi beberapa angklung secara simultan untuk menirukan efek angklung
melodi maupun angklung akompanimen.
C.Teknik Permainan Angklung
Memainkan sebuah angklung sangat mudah. Seseorang tinggal memegang rangkanya
pada salah satu tangan (biasanya tangan kiri) sehingga angklung tergantung bebas, sementara
tangan lainnya (biasanya tangan kanan) menggoyangnya hingga berbunyi. Dalam hal ini, ada
tiga teknik dasar menggoyang angklung :

 Kurulung (getar), merupakan teknik paling umum dipakai, dimana tangan kanan


memegang tabung dasar dan menggetarkan ke kiri-kanan berkali-kali selama nada
ingin dimainkan.
 Centok (sentak), adalah teknik dimana tabung dasar ditarik dengan cepat oleh jari ke
telapak tangan kanan, sehingga angklung akan berbunyi sekali saja (stacato).
 Tengkep, mirip seperti kurulung namun salah satu tabung ditahan tidak ikut bergetar.
Pada angklung melodi, teknik ini menyebabkan angklung mengeluarka nada murni
(satu nada melodi saja, tidak dua seperti biasanya). Sementara itu pada angklung
akompanimen mayor, teknik ini digunakan untuk memainkan akord mayor (3 nada),
sebab bila tidak ditengkep yang termainkan adalah akord dominan septim (4 nada).

Sementara itu untuk memainkan satu unit angklung guna membawakan suatu lagu,
akan diperlukan banyak pemusik yang dipimpin oleh seorang konduktor. Pada setiap pemusik
akan dibagikan satu hingga empat angklung dengan nada berbeda-beda. Kemudian sang
konduktor akan menyiapkan partitur lagu, dengan tulisan untaian nada-nada yang harus
dimainkan. Konduktor akan memberi aba-aba, dan masing-masing pemusik harus
memainkan angklungnya dengan tepat sesuai nada dan lama ketukan yang diminta
konduktor. Dalam memainkan lagu ini para pemain juga harus memperhatikan
teknik sinambung, yaitu nada yang sedang berbunyi hanya boleh dihentikan segera setelah
nada berikutnya mulai berbunyi
BAB III

KEGIATAN SENI ANGKLUNG YANG MENDUNIA

Jika kamu mau memikirkan dan merenung, betapa mahalnya warisan budaya
angklung ini. Bagaimana tidak, seperti apa proses awal terciptanya alat musik angklung ini
sehingga sampai seperti sekarang yang kita ketahui? Apakah terbayangkan olehmu?

Dahulu saat belum ada google, buku-buku musik, guru-guru musik dan lain-lain,
nenek moyang bangsa Indonesia (pada saat itu masih berbentuk kerajaan) sudah mampu
membuat alat musik yang terbuat dari pipa-pipa bambu, yang dipotong ujung-ujungnya,
menyerupai pipa-pipa dalam suatu organ, dan diikat bersama dalam suatu bingkai, digetarkan
untuk menghasilkan bunyi. Jika dimainkan dengan baik, alat musik ini mampu menghasilkan
suara yang sangat indah dan menghanyutkan siapapun yang mendengarnya.

Tahu kah kamu? Angklung terdaftar sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan
Nonbendawi Manusia dari UNESCO sejak November 2010 loh. Keren kan?

Tidak berlebihan dong jika masyarakat luar negeri akhirnya begitu tertarik dan
terkesima dengan alat musik angklung ini. Sebagai buktinya, penampilan pentas seni
angklung di luar negeri selalu dipenuhi penonton yang bertepuk tangan membahana setiap
pemain angklung menuntaskan lagu yang dimainkan dengan alat musik angklung ini.

Berikut diantaranya beberapa pentas seni angklung yang mendunia :


1. Pemecahan rekor Guinness Book of World Record bermain angklung oleh
lebih dari 5.000 orang di Washington DC

Acara ini berlangsung pada tahun 2011, diselenggarakan oleh Kedutaan Besar
Republik Indonesia di Washington, D.C. dan Saung Angklung Udjo di Bandung itu. 5.182
orang serentak memainkan lagu “We are the World” dengan menggunakan angklung, dimana
kemudian peristiwa tersebut dicatat dalam the Guinness World Records.

Daeng Udjo, anak dari Mang Udjo tampil menjadi konduktor permainan angklung
untuk pemecahan rekor tersebut. Workshopnya Saung Mang Udjo juga membuat sebanyak
5.500 angklung yang dibagikan secara cuma-cuma kepada partisipan yang bermain angklung
di lapangan Monumen Nasional, Washington DC.  Dan, Alhamdulilah sukses tercatat
dalamGuinness Book of World Records.

2. Ketika Angklung, menjadi “Pemersatu” Dunia di Bali


Angklung pernah dimainkan oleh menteri Luar Negeri dari berbagai Negara di
dunia. Di Bali, pada bulan Juli 2011 di Nusa Indah Hall, BICC diselenggarakan acara gala
dinner. Hadir lebih dari 50 menteri luar negeri, di antaranya  Menlu AS waktu itu, beserta
rekan-rekannya dari negara-negara ASEAN, China, Rusia, Uni Eropa, para mitra wicara,
peninjau dan tamu dari berbagai negara.

Waktu itu, semua hadirin dibagikan angklung berbagai tangga-nada. Tidak kecuali
kepada Menlu Marty dan isteri yang duduk di barisan utama, beserta Ibu Hillary Clinton
dan berbagai perwakilan berbagai Negara.

Meski pembahasan masalah antar Negara cukup pelik, namun alunan musik
angklung yang dimainkan bersama menjadi penghibur keceriaan para Menteri. Sehingga
keberadaan alat musik ini dapat mempersatukan perbedaan yang ada di dunia.

Bahkan hal luar biasa lainnya adalah ketika pemimpin Korea Utara dan Korea
Selatan berdampingan bermain angklung. Mereka berdua tertawa dan berkonsentrasi
memainkan angklung mengikuti komando perwakilan SAU (Saung Angklung Udjo).

3. Angklung for The World pada Konferensi Asia Afrika di Bandung


Momen alat musik bambu mengharumkan Indonesia ke manca negara berulang
kembali pada perayaan puncak Konferensi Asia Afrika ke-60 di Bandung (23/4/2015).
Angklung for The World, ya rekor permainan angklung oleh  lebih dari 20.000 orang. Stadion
Siliwangi menjadi saksi ribuan pelajar SD sampai SMU, pegawai negeri, kalangan
profesional, pengusaha dan segenap warga Bandung bermain angklung.  Permainan ribuan
angklung ini menjadi simbol solidaritas Kota Bandung kepada  nilai-nilai yang terkandung
pada KAA, bahwasanya, semangat Dasasila Bandung masih menyala pada jiwa dan raga
masyarakat Bandung. Woww!

4. Indonesia Cultural Day di Beijing

Sekitar 1.500 siswa siswi berpartisipasi dalam Indonesia Cultural Day yang
diselenggarakan di Western Academy of Beijing (WAB) pada tahun 2013. Ini adalah acara
kerjasama dengan KBRI Beijing dengan sekelompok masyarakat Indonesia yang ada di sana.
Ada 4 lagu yang dinyanyikan di antaranya Burung Kakak Tua, sebuah lagu
Mandarin, Yue Liang Dai Biao Wo De Xin, dan dua lagu anak-anak Barat.

Bahkan, para siswa-siswi kelas musik internasional tingkat Sekolah Menengah pun
bisa langsung memainkan cuplikan aransemen Mozart dengan menggunakan angklung.
Uniknya alat musik dari Indonesia menarik perhatian banyak orang termasuk guru musik
WAB yang rencananya akan mempelajari lebih dalam tentang angklung.

Indonesia Cultural Day sangat membantu perkembangan banyak hal bagi Indonesia,
termasuk dalam aspek pariwisata. Dengan adanya acara ini, para masyarakat asal Indonesia
bisa memperkenalkan aneka ragam kekayaan milik Tanah Air. Semakin menarik acaranya,
semoga semakin banyak wisatawan yang akan melancong ke Indonesia.

5. ‘Pulau’, Konser Angklung yang Menghipnotis Penonton di Amerika

Konser bertajuk ‘Pulau: The Angklung Concert’ ini adalah yang pertama kali
diadakan di Amerika Serikat. Diadakan untuk memperingati 5 tahun Angklung
dinobatkan sebagai warisan budaya UNESCO, konser ini berhasil menghipnotis sekitar
500 penonton yang memadati kursi teater Montgemory College Cultural Arts Center. 

Para pemain angklung ini membawakan lagu-lagu internasional dan beberapa lagu
daerah seperti Bubuy Bulan, Bengawan Solo, Bungong Jeumpa, Sinanggar Tulo, dan lainnya.
Konser ini diakhiri dengan manis oleh penampilan Elfa’s Singer membawakan lagu We Are
The World.
6. Konser Angklung Saung Udjo di Paris

Masih sama untuk memperingati 5 tahun angklung sebagai warisan UNESCO,


diadakan konser angklung di Teater Odéon Paris. Penampilnya kali ini adalah Saung Udjo
dari Bandung.

Mereka berhasil membuat takjub penonton di dalam teater dengan menampilkan


lagu-lagu daerah seperti Si Jali-Jali, Sinanggar Tulo, Poco-Poco, dan masih banyak lagi. Tak
hanya itu, mereka juga menampilkan tarian tradisional Indonesia serta mengajak penonton
terlibat dalam permainan angklung.

7. Konser Angklung Mahasiswa Indonesia di Korsel


Setiap tahun, Universitas Sejong di Seoul, Korea Selatan mengadakan program
penggalangan dana. Event ini berhasil dimanfaatkan oleh para mahasiswa Indonesia yang
sedang menuntut ilmu di sana untuk mempromosikan kebudayaan Indonesia.

Pada Oktober 2015, mereka berhasil memukau para penonton dengan penampilan
mereka membawakan lagu Tanah Airku diiringi musik angklung yang syahdu. Bersamaan
dengan penampilann tersebut, mereka juga menampilkan slide tentang keindahan alam dan
budaya Indonesia. Salut!

8. Penampilan kelompok musik angklung pimpinan Daeng Oktafiandi Udjo,


Inggris

Lebih dari 200 undangan yang memenuhi Conway Hall, Red Lion Square, di pusat
Kota London, Rabu (27/10/2010) malam dibuat terkesima dan takjub dengan lagu
“Bohemian Rhapsody”, karya kelompok musik legendaris Queen, yang dibawakan dengan
apik oleh kelompok musik angklung pimpinan Daeng Oktafiandi Udjo pada acara “The
Heritage of Indonesia” yang diadakan KBRI London bekerja sama dengan Masyarakat
Pecinta Seni Budaya Cinta Nusantara (Citra) binaan Letjen TNI (Purn) Agum
Gumelar.
9. Pelajar Gelar Konser Angklumg di Bawah Menara Eiffel

Para pelajar Indonesia yang sedang menuntut ilmu di Eropa menggelar konser musik
angklung di lapangan Champ de Mars yang berada di dalam kompleks pertamanan di kaki
menara Eiffel Paris, Prancis.

Konser yang digelar sebagai penutup acara Eurolympique 2014 itu diikuti anggota
Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Prancis, Belanda, Jerman, Inggris dan Spanyol serta
beberapa pengunjung yang pada saat itu sedang berada di Champ de Mars, kata Atase
Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Paris, Syafsir Akhlus kepada Antara London.

Dubes RI untuk Prancis beserta istri Rezlan Ishar Jenie, Wakil Dubes beserta istri
Ashariyadi serta Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Paris beserta istri Syafsir Akhlus
juga hadir dan ikut memainkan angklung.

Konser dipimpin Gabriella Alodia, mahasiswa Indonesia yang sedang mengikuti


program master hidrografi di ENSTA Bretagne, Brest. Ia merupakan salah seorang penerima
beasiwa dari LPDP.

Angklung yang dimainkan berjumlah 200 buah, milik Rumah Budaya Indonesia
(RBI) yang diserahkan kepada KBRI Paris. Angklung-angklung tersebut merupakan
permintaan dari atase pendidikan dan kebudayaan KBRI Paris kepada Direktorat Internalisasi
Nilai dan Diplomasi Budaya Kemdikbud untuk dijadikan alat diplomasi budaya Indonesia di
Prancis.

Salah satu kelebihan angklung sebagai alat diplomasi budaya adalah keunikannya,
baik dari segi bentuk maupun bunyi, serta relatif mudah untuk dimainkan secara
berkelompok, meskipun bagi pemula yang baru saja mengenal dan memegang angklung.

Walaupun hanya memegang satu not dalam sebuah lagu, setiap pemegang angklung
akan ikut merasakan memainkan keseluruhan dari lagu tersebut.

Syafsir berharap dengan adanya tambahan keberadaan angklung, yang merupakan


salah satu warisan budaya dunia asal Indonesia, di KBRI Paris, peluang untuk mengenalkan
Indonesia lewat pertunjukan angklung ke masyarakat Prancis dapat meningkatkan perhatian
dan minat masyarakat Prancis terhadap Indonesia.
Konser angklung dengan latar belakang menara Eiffel pada akhir pekan merupakan
pertunjukan perdana permainan angklung di tempat umum yang terbuka di Paris.

Pada konser tersebut lagu-lagu yang dimainkan cukup bervariasi, mulai dari lagu-
lagu dengan melodi yang sederhana sampai lagu-lagu yang memainkan suara satu dan suara
dua.

Beberapa pengunjung di Champ de Mars yang ikut bermain angklung merasa


terkesan dengan pertunjukan instrumen musik khas Indonesia ini. Walau baru pertama kali
mencoba tetapi mereka sudah bisa mengikuti lagu-lagu yang dimainkan.

Anda mungkin juga menyukai