Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

Pengertian Angklung

Diajukan untuk memenuhi tugas mata pelajaran Seni Budaya

Disusun Oleh :
RIVCY.P
Kelas : VIII 7

SMP NEGERI 5 KOTA CIREBON

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur Saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya Saya dapat menyelesaikan makalah
tentang Periode Madinah.
Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita. Saya juga menyadari sepenuhnya bahwa di
dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab
itu, Saya berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang
telah Saya buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi Saya
sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya Saya mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan. Terimakasih.

Cirebon, 22 Juni 2016

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.........................................................................1
1.2 Tujuan......................................................................................1
1.3 Ruang Lingkup........................................................................1
1.4 Metode Penulisan.....................................................................1
BAB II PENGENALAN ANGKLUNG
2.1 Pengertian................................................................................2
2.2 Sejarah Perkembangan.............................................................3
2.3 Jenis Jenis Angklung.............................................................4
BAB III FUNGSI DAN CARA MEMBUAT
3.1 Fungsi Dalam Tradisi...............................................................8
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan..............................................................................9
4.2 Saran........................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................10

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Angklung adalah sebuah alat atau waditra kesenian yang terbuat dari
bambu khusus, yang ditemukan oleh Bapak Daeng Sutigna sekitar tahun 1938.
Ketika awal penggunaannya angklung masih sebatas kepentingan kesenian
lokal atau tradisional. Namun karena bunyi-bunyian yang ditimbulkannya
sangat merdu dan juga memiliki kandungan lokal dan internasional seperti
bunyi yang bertangga nada duremi fa so la si du dan daminatilada, maka
angklung pun cepat berkembang, tidak saja dipertunjukan lokal tapi juga
dipertunjukan regional, nasional dan internasional. Bahkan konon khabarnya
pertunjukan angklung pernah digelar dihadapan Para pemimpin Negara pada
Konferensi Asia Afika di Gedung Merdeka Bandung tahun 1955.
Jumlah pemain angklung bisa dimainkan oleh sampai 50 orang, bahkan
sampai 100 orang dan dapat dipadukan dengan alat musik lainnya seperti;
piano, organ, gitar, drum, dan lain-lain. Selain sebagai alat kesenian, angklung
juga bisa digunakan sebagai suvenir atau buah tangan setelah dihiasi berbagai
asesoris lainnya.
Sepeninggal Daeng Sutigna kreasi kesenian angklung diteruskan oleh
Mang Ujo dan Erwin Anwar. Bahkan Mang Ujo telah membuat pusat
pembuatan dan pengembangan kreasi kesenian angklung yang disebut Saung
angklung Mang Ujo yang berlokasi di Padasuka Cicaheum Bandung. Salah
satu program yang ia lakukan khususnya untuk mempertahankan kesenian
angklung adalah memperkenalkan angklung kepada para siswa sekolah, mulai
TK, sampai dengan tingkat SLTA dan bahkan telah menjadi salah satu
kurikulum pada pada mata pelajaran lokal.

1.2 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan karya ini :
1. Untuk menambah wawasan tentang kebudayaan nasional
2. Untuk lebih mengenal alat musik angklung sebagai warisan kebudayaan
3. Untuk ikut melestarikan budaya bangsa

1.3 Ruang Lingkup


Penulis membatasi tulisan ini seputar :
1. Pengertian angklung
2. Sejarah angklung
3. Cara membuat angklung

1.4 Metode Penulisan


Dalam pembuatan karya ini dilakukan dengan cara :
Metode observasi.
Membaca beberapa buku di perpustakaan sekolah.
Mengumpulkan data dari internet.

ii
BAB II
PENGENALAN ANGKLUNG

2.1 Pengertian
Angklung merupakan sebuah alat musik tradisional terkenal yang dibuat
dari bambu dan merupakan alat musik asli Jawa Barat, Indonesia. Dulunya,
angklung memegang bagian penting dari aktivitas upacara tertentu,
khususnya pada musim panen. Suara angklung dipercaya akan mengundang
perhatian Dewi Sri (Nyi Sri Pohaci) yang akan membawa kesuburan terhadap
tanaman padi para petani dan akan memberikan kebahagian serta
kesejahteraan bagi umat manusia.
Angklung juga diartikan sebagai alat musik multitonal (bernada ganda)
yang secara tradisional berkembang dalam masyarakat berbahasa Sunda di
Pulau Jawa bagian barat. Alat musik ini dibuat daribambu, dibunyikan dengan
cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu)
sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai
4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Laras (nada) alat musik
angklung sebagai musik tradisi Sunda kebanyakan adalah salendro dan pelog.
Angklung terdaftar sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan
Nonbendawi Manusia dariUNESCO sejak November 2010. Tidak ada
petunjuk sejak kapan angklung digunakan, tetapi diduga bentuk primitifnya
telah digunakan dalam kultur Neolitikum yang berkembang di Nusantara
sampai awal penanggalan modern, sehingga angklung merupakan bagian dari
relik pra-Hinduisme dalam kebudayaan Nusantara.
Catatan mengenai angklung baru muncul merujuk pada masa Kerajaan
Sunda (abad ke-12 sampai abad ke-16). Asal usul terciptanya musik bambu,
seperti angklung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang
agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan
pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri
Pohacisebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip).
Masyarakat Baduy, yang dianggap sebagai sisa-sisa masyarakat Sunda asli,
menerapkan angklung sebagai bagian dari ritual mengawali penanaman padi.
Permainan angklung gubrag di Jasinga, Bogor, adalah salah satu yang masih
hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau. Kemunculannya berawal dari ritus
padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke
bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.
Jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah
bambu hitam (awi wulung) dan bambu putih (awi temen). Tiap nada (laras)
dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk bilah (wilahan) setiap
ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.
Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya
sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai
pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan,
itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat
menggunakan angklung, pelarangan itu sempat membuat popularitas
angklung menurun dan hanya di mainkan oleh anak- anak pada waktu itu.

ii
Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai
dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang
dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang
kita kenal sekarang bernama angklung. Demikian pula pada saat pesta panen
dan seren taun dipersembahkan permainan angklung. Terutama pada
penyajian Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini
menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan
di sebagian tempat menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta
Jampana (usungan pangan) dan sebagainya.
Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke
seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera. Pada 1908 tercatat sebuah
misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai penyerahan
angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana.
Bahkan, sejak 1966, Udjo Ngalagena tokoh angklung yang
mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog, salendro,
dan madenda mulai mengajarkan bagaimana bermain angklung kepada
banyak orang dari berbagai komunitas.

2.2 Sejarah Perkembangan


Angklung adalah mitologi dari Bahasa Bali, yaitu Ang yang berarti angka
(berupa not) dan klung yang berarti rusak. Jadi, jika digabungkan angklung
berarti angka yang rusak. Dalam sejarah perkembangan musik Angklung,
bentuknya yang sekarang merupakan adaptasi bentuk alat musik dari Filipina.
Perkembangan musik angklung pada mulanya yaitu berasal dari bambu
wulung (wulung awi) yang dimainkan dengan cara dipukul-pukul. Permainan
bambu tersebut bermula untuk menghormati binatang totem dan untuk
menghormati dan menghargai pemberian hasil panen padi yang banyak dan
baik dari Dewi Sri yang dipercaya sebagai dewi yang memberikan
kesejahteraan.
Sejak kapan angklung muncul dan berkembang, merupakan pertanyaan
yang saya tidak dapat menjawabnya dengan pasti. Menurut perkiraan Dr.
Groneman, sebelum berkembangnya pengaruh Hindu di Indonesia Angklung
sudah merupakan alat musik yang digemari penduduk (Dr. J. Groneman. De
Gamelan to Jogjakarta, Letterkundige Vehadelingen der Koninkl, Akademi,
jilid XIX, hal. 4).
Sebagai alat musik pra Hindu, Angklung tidak digambarkan pada candi
Borobudur dan Prambanan, sebagaimana halnya alat musik bambu lainnya
yang sudah berkembang sebelum zaman zaman Hindu di Indonesia, misalnya
alat musik bambu berdawai.
Dalam literature kuno pun saya tidak atau belum menemukannya,
Kekawin Arjunawiwaha yang diperkirakan ditulis sekitar tahun 1040 hanya
menyebut-nyebut Sundari (semacam erofon yang di Jawa Barat dikenal
dengan sebutan Sondari, di Bali Sundaren). Calung yang dewasa ini terdapat
di Jawa Barat dan Jawa Tengah, disebut-sebut dalam Inskripsi Buwahan yang
diperkirakan dibuat sekitar tahun 1181.

ii
Guntang alat musik bambu berdawai yang penyebarannya meliputi Asia
Tenggara sampai Madagaskar, dan sampai sekarang di Bali tetap disebut
Guntang, terdapat dalam Kekawin Kidung Sunda yang diperkirakan ditulis
tidak lama setelah tahun 1357. Alat yang di Priangan disebut Pancurendang,
di Jawa Tengah disebut Bluntak, dan di Bali disebut Taluktak, disebut-sebut
dalam kekawin Bharata Yuda.Tongtong atau kentongan bambu disebut-sebut
dalam Sudhamala dengan Kulkul, dalam Samarandana disebut Titiran, dan
dalam Bharata Yudha disebut Kukulan. Baru dalam tulisa-tulisan kemudian
seperti dalam serat Cebolang, Angklung disebut-sebut, yaitu waktu
melukiskan saat Mas Cebolang mempertunjuknan keahliannya menyanyi dan
bermain musik didepan Bepati Dhaha Kediri
Dalam perkembangannya musik angklung perlahan mulai berubah dan
beradaptasi dengan perkembangan jamannya. Mulai dari jaman dimana
manusia memanfaatkan bambu sebagai alat utama mereka untuk bertahan
hidup, masuknya budaya China, penyiaran agama Islam, masuknya budaya
barat ke Indonesia, sampai pada jaman modern ini
Pada masa modern ini, perkembangan musik angklung mulai berubah. Itu
berawal dari Daeng Sutisna yang berhasil mengubah tangga nada petatonis
menjadi diatonis (do,re,mi,fa,sol,la,si,do) pada tahun 1983. Dan
perkembangan itu pun terjadi, misalnya pada KTT Asia Afrika di Bandung,
Jawa Barat. Musik Angklung modern dimainkan untuk acara resmi dalam
Indonesia Ultimate Diversity tersebut, yaitu dalam lagu Indonesia Raya dan
beberapa lagu daerah yang terkenal seperti Rasa Sayange, Ayo Mama, Burung
Kakak Tua dan Potong Bebek Angsa .

2.3 Jenis-Jenis Angklung


1. Angklung Kanekes
Angklung di daerah Kanekes (kita sering menyebut mereka Badui)
digunakan terutama karena hubungannya dengan upacara padi, bukan
semata-mata untuk hiburan orang-orang. Angklung digunakan atau
dibunyikan ketika mereka menanam padi di huma (ladang). Angklung
ditabuh ketika orang Kanekes menanam padi; ada yang hanya dibunyikan
bebas (dikurulungkeun), terutama di Kajeroan (Tangtu, Badui Jero), dan
ada yang dengan ritmis tertentu, yaitu di Kaluaran (Baduy Luar). Meski
demikian, angklung masih bisa ditampilkan di luar ritus padi dan tetap
memunyai aturan, misalnya hanya boleh ditabuh hingga masa ngubaran
pare (mengobati padi), sekitar tiga bulan dari sejak ditanamnya padi.
Setelah itu, selama enam bulan berikutnya semua kesenian tidak boleh
dimainkan, dan boleh dimainkan lagi pada musim menanam padi
berikutnya. Menutup angklung dilaksanakan dengan acara yang disebut
musungkeun angklung, yaitu nitipkeun (menitipkan, menyimpan)
angklung setelah dipakai.
Dalam sajian hiburan, angklung biasanya diadakan saat terang
bulan dan tidak hujan. Mereka memainkan angklung di buruan (halaman
luas di pedesaan) sambil menyanyikan bermacam-macam lagu, antara
lain: Lutung Kasarung, Yandu Bibi, Yandu Sala, Ceuk Arileu,

ii
Oray-orayan, Dengdang, Yari Gandang, Oyong-oyong
Bangkong, Badan Kula, Kokoloyoran, Ayun-ayunan,
Pileuleuyan, Gandrung Manggu, Rujak Gadung, Mulung
Muncang, Giler, Ngaranggeong, Aceukna, Marengo, Salak
Sadapur, Rangda Ngendong, Celementre, Keupat Reundang,
Papacangan, dan Culadi Dengdang.
Para penabuh angklung sebanyak delapan orang dan tiga penabuh
bedug ukuran kecil membuat posisi berdiri sambil berjalan dalam formasi
lingkaran. Sementara itu yang lainnya ada yang ngalage (menari) dengan
gerakan tertentu yang telah baku tetapi sederhana. Semuanya dilakukan
hanya oleh laki-laki. Hal ini berbeda dengan masyarakat Badui Dalam,
mereka dibatasi oleh adat dengan berbagai aturan pamali (pantangan,
tabu), tidak boleh melakukan hal-hal kesenangan duniawi yang
berlebihan. Kesenian semata-mata dilakukan untuk keperluan ritual.
Nama-nama angklung di Kanekes dari yang terbesar adalah:
indung, ringkung, dongdong,gunjing, engklok, indung leutik, torolok,
dan roel. Roel yang terdiri dari dua buah angklung dipegang oleh
seorang. Nama-nama bedug dari yang terpanjang adalah: bedug, talingtit,
dan ketuk. Penggunaan instrumen bedug terdapat perbedaan, yaitu di
kampung-kampung Kaluaran mereka memakai bedug sebanyak tiga
buah. Di Kajeroan, kampung Cikeusik, hanya menggunakan bedug dan
talingtit, tanpa ketuk. Di Kajeroan, Kampung Cibeo, hanya menggunakan
bedug, tanpa talingtit dan ketuk.
Di Kanekes yang berhak membuat angklung adalah orang
Kajeroan (Tangtu, Badui Jero). Kajeroan terdiri dari tiga kampung, yaitu
Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Di ketiga kampung ini tidak semua
orang bisa membuatnya, hanya yang punya keturunan dan berhak saja
yang mengerjakannya di samping adanya syarat-syarat ritual. Pembuat
angklung di Cikeusik yang terkenal adalah Ayah Amir (59), dan di
Cikartawana Ayah Tarnah. Orang Kaluaran membeli dari orang Kajeroan
di tiga kampung tersebut.
2. Angklung Dogdog Lojor
Kesenian dogdog lojor terdapat di masyarakat Kasepuhan Pancer
Pangawinan atau kesatuan adat Banten Kidul yang tersebar di sekitar
Gunung Halimun (berbatasan dengan Sukabumi, Bogor, dan Lebak).
Meski kesenian ini dinamakan dogdog lojor, yaitu nama salah satu
instrumen di dalamnya, tetapi di sana juga digunakan angklung karena
kaitannya dengan acara ritual padi. Setahun sekali, setelah panen seluruh
masyarakat mengadakan acara Serah Taun atau Seren Taundi pusat
kampung adat. Pusat kampung adat sebagai tempat kediaman kokolot
(sesepuh) tempatnya selalu berpindah-pindah sesuai petunjuk gaib.
Tradisi penghormatan padi pada masyarakat ini masih
dilaksanakan karena mereka termasuk masyarakat yang masih memegang
teguh adat lama. Secara tradisi mereka mengaku sebagai keturunan para
pejabat dan prajurit keraton Pajajaran dalam baresan pangawinan (prajurit
bertombak). Masyarakat Kasepuhan ini telah menganut agama Islam dan

ii
agak terbuka akan pengaruh modernisasi, serta hal-hal hiburan kesenangan
duniawi bisa dinikmatinya. Sikap ini berpengaruh pula dalam dalam hal
fungsi kesenian yang sejak sekitar tahun 1970-an, dogdog lojor telah
mengalami perkembangan, yaitu digunakan untuk memeriahkan khitanan
anak, perkawinan, dan acara kemeriahan lainnya.
Instrumen yang digunakan dalam kesenian dogdog lojor adalah dua
buah dogdog lojor dan empat buah angklung besar. Keempat buah
angklung ini memunyai nama, yang terbesar dinamakan gonggong,
kemudian panembal, kingking, dan inclok. Tiap instrumen dimainkan oleh
seorang, sehingga semuanya berjumlah enam orang. Lagu-lagu dogdog
lojor di antaranya: Bale Agung, Samping Hideung, Oleng-oleng
Papanganten, Si Tunggul Kawung, Adulilang, dan Adu-aduan.
Lagu-lagu ini berupa vokal dengan ritmis dogdog dan angklung cenderung
tetap.
3. Angklung Gubrag
Angklung gubrag terdapat di Kampung Cipining, Kecamatan
Cigudeg, Bogor. Angklung ini telah berusia tua dan digunakan untuk
menghormati dewi padi dalam kegiatan melak pare (menanam padi),
ngunjal pare (mengangkut padi), dan ngadiukeun (menempatkan) ke leuit
(lumbung). Dalam mitosnya angklung gubrag mulai ada ketika suatu masa
Kampung Cipining mengalami musim paceklik.
4. AngklungBadeng
Badeng merupakan jenis kesenian yang menekankan segi musikal
dengan angklung sebagai alat musiknya yang utama. Badeng terdapat di
Desa Sanding, Kecamatan Malangbong, Garut. Dulu berfungsi sebagai
hiburan untuk kepentingan dakwah Islam. Diduga badeng telah digunakan
masyarakat sejak lama dari masa sebelum Islam untuk acara-acara yang
berhubungan dengan ritual penanaman padi. Sebagai seni untuk dakwah
badeng dipercaya berkembang sejak Islam menyebar di daerah ini sekitar
abad ke-16 atau ke-17. Pada masa itu penduduk Sanding, Arpaen, dan
Nursaen belajar agama Islam ke Kerajaan Demak. Setelah pulang dari
Demak mereka berdakwah menyebarkan agama Islam. Salah satu sarana
penyebaran Islam yang digunakannya adalah dengan kesenian badeng.
Angklung yang digunakan sebanyak sembilan buah, yaitu dua
angklung roel, satu angklung kecer, empat angklung indung dan angklung
bapa, dua angklung anak, dua buah dogdog, dua buah terbang atau
gembyung, serta satu kecrek. Teksnya menggunakan bahasa Sunda yang
bercampur dengan bahasa Arab. Dalam perkembangannya sekarang
digunakan pula bahasa Indonesia. Isi teks memuat nilai-nilai Islami dan
nasihat-nasihat baik, serta menurut keperluan acara. Dalam
pertunjukannya selain disajikan lagu-lagu, disajikan pula atraksi kesaktian,
seperti mengiris tubuh dengan senjata tajam. Lagu-lagu badeng:
Lailahaileloh, Yati, Kasreng, Yautike, Lilimbungan, dan
Solaloh.

5. Buncis

ii
Buncis merupakan seni pertunjukan yang bersifat hiburan, di
antaranya terdapat di Baros (Arjasari, Bandung). Pada mulanya buncis
digunakan pada acara-acara pertanian yang berhubungan dengan padi.
Tetapi pada masa sekarang buncis digunakan sebagai seni hiburan. Hal ini
berhubungan dengan semakin berubahnya pandangan masyarakat yang
mulai kurang mengindahkan hal-hal berbau kepercayaan lama. Tahun
1940-an dapat dianggap sebagai berakhirnya fungsi ritual buncis dalam
penghormatan padi, karena sejak itu buncis berubah menjadi pertunjukan
hiburan. Sejalan dengan itu tempat-tempat penyimpanan padi pun (leuit,
lumbung) mulai menghilang dari rumah-rumah penduduk, diganti dengan
tempat-tempat karung yang lebih praktis, dan mudah dibawa ke mana-
mana. Padi pun sekarang banyak yang langsung dijual, tidak disimpan di
lumbung. Dengan demikian kesenian buncis yang tadinya digunakan
untuk acara-acarangunjal (membawa padi) tidak diperlukan lagi.
Nama kesenian buncis berkaitan dengan sebuah teks lagu yang
terkenal di kalangan rakyat, yaitu cis kacang buncis nyengcle . Teks
tersebut terdapat dalam kesenian buncis, sehingga kesenian ini dinamakan
buncis.
Instrumen yang digunakan dalam kesenian buncis: dua angklung
indung, dua angklung ambrug, satu angklung panempas, dua angklung
pancer, satu angklung enclok, tiga buah dogdog (satu talingtit, satu
panembal, dan satu badublag). Dalam perkembangannya kemudian
ditambah dengan tarompet, kecrek, dan goong. Angklung buncis berlaras
salendro dengan lagu vokal bisa berlaras madenda atau degung. Lagu-lagu
buncis di antaranya: Badud, Buncis, Renggong, Senggot,
Jalantir, Jangjalik, Ela-ela, Mega Beureum. Sekarang lagu-lagu
buncis telah menggunakan pula lagu-lagu dari gamelan, dengan penyanyi
yang tadinya laki-laki pemain angklung, kini oleh wanita khusus untuk
menyanyi.
Dari beberapa jenis musik bambu di Jawa Barat (angklung) di atas,
adalah beberapa contoh saja tentang seni pertunjukan angklung, yakni:
angklung buncis (Priangan/Bandung), angklung badud (Priangan
Timur/Ciamis), angklung bungko (Indramayu), angklung gubrag (Bogor),
angklung ciusul (Banten), angklung dog dog lojor (Sukabumi), angklung
badeng (Malangbong, Garut), dan angklung padaeng yang identik dengan
angklung nasional dengan tangga nada diatonis, yang dikembangkan sejak
tahun 1938. Angklung khas Indonesia ini berasal dari pengembangan
angklung Sunda. Angklung Sunda yang bernada lima (salendro atau pelog)
oleh Daeng Sutigna alias Si Etjle (19081984) diubah nadanya menjadi
tangga nada Barat (solmisasi) sehingga dapat memainkan berbagai lagu
lainnya. Hasil pengembangannya kemudian diajarkan ke siswa-siswa
sekolah dan dimainkan secara orkestra besar.

ii
BAB III
FUNGSI DAN CARA MEMBUAT

3.1 Fungsi Dalam Tradisi


Angklung yang dibunyikan dengan cara digoyang-goyangkan adalah
termasuk golongan lonceng. Seperti lonceng, angklung bersifat khidmat serta
biasa digunakan dalam hubungan kegiatan ritual. Di beberapa tempat di Bali
angklung biasa digunakan khusus dalam upacara Pengaben (pembakaran
mayat). Namun dewasa ini hal itu terbatas pada kelomopok penduduk yang
tidak memiliki angklung metalopon, seperti penduduk Banjar Tegalingah,
Karangasem.Orang Baduy di Kanekes , Bnaten Selatan, mempergunakan
angklung sebagai alat musik upacara pada waktu menjelang menanam padi di
ladang, sebutannya Angklung Buhun.
Angklung Gubrag di kampong Jati, Serang, dianggap alat musik sacral,
untuk mengiringi mantera pengobatan orang sakit atau menolak wabah.
Seperti halnya di Kanekes, di sekitar Kulon Progo terdapat angklung yang
digunakan dalam upacaraBersih Desa, permulaan musim menggarap sawah,
disebut Angklung Krumpyung. Demikina pula di desa Ringin Anca dan
Karangpatian, Ponorogo, upaca Bersih Desa biasa diiringi Orkes Angklung.
Pada umumnya dewasa ini di berbagai tempat, angklung merupakan alat
kesenian yang profan, seperti halnya di Madura. Di pulau itu, sepanjang
pengetahuan saya angklung hanya terdapat di Desa Keles, Kecamatan
Ambuten, dan di desa Biuto, Kecamatan Srunggi, keduanya termasuk wilayah
kabupaten Sumenep, biasa digunakan untuk memeriahkan arak-arakan.
Menurut keterangan, dahulu di beberapa tempat di Kalimantan Barat
terdapat angklung, yang contohnya tersimpan dalam Museum Insdisch Institut
di Negeri Belanda, tercatat dalam katalogus No. 1297/1-2 dan 1767/1-3.
Akan tetapi dewasa ini menurut beberapa tokoh kebudayaan dan pejabat-
pejabat Kanwil Depdikbud Kalimantan Barat, di wilayah itu tidak terdapat
lagi angklung tradisional. Di Kalimanatan Selatan sekarang masih terdapat
angklung tradisional yang dikenal dengan sebutan Kurung-kurung, biasanya
digunakan untuk mengiringi pertunjukan Kuda Gepang (Sie) yang bentuk dan
cara pertunjukannya hampir sama dengan Kuda Kepang di Jawa Tengah.
Menurut keterangan, Kata Gepang disini berarti gepeng atau pipih. Jadi
berlainan dengan arti anyaman, walaupun bentuk dan kuda-kudanya sama,
yaitu terbuat dari anyaman bambu. Di Lampung pada masa-masa yang lalu
terdapat pula angklung tradisional, yang contohnya dipamerkadi Museum
Leidan, Negeri Belanda dengan katalogus No. 40/58. Namun sekrang sulit
untuk mendapatkan keterangan mengenai angklung tradisional di wilayah
tersebut, kecuali yang dikembangkan oleh beberapa kelompok transmigran
dari Jawa.

ii
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Angklung merupakan sebuah alat musik tradisional terkenal yang dibuat
dari bambu dan merupakan alat musik asli Jawa Barat, Indonesia. Dulunya,
angklung memegang bagian penting dari aktivitas upacara tertentu,
khususnya pada musim panen. Suara angklung dipercaya akan mengundang
perhatian Dewi Sri (Nyi Sri Pohaci) yang akan membawa kesuburan terhadap
tanaman padi para petani dan akan memberikan kebahagian serta
kesejahteraan bagi umat manusia.
Jadi, berbanggalah kita sebagai orang Indonesia yang memiliki maha
karya yang dibuat bukan dari jiplakan melainkan, dari perjuangan nenek
moyang kita dalam berkesenian dan menciptakan suatu kesenian tersebut.
Apalagi, sekarang angklung merupakan alat musik yang universal dikalangan
negara-negara se- Asia Tenggara, Asia Timur bahkan Amerika Serikat. Jadi,
kita musti tahu diri, dan wajib berterima kasih pada pendahulu angklung
dengan cara melestarikan musik tersebut dalam kehidupan kita sekarang ini,
jangan sampai nenek moyang kita menangis melihat buah karyanya diambil
orang lain secara ilegal dan dilipakan secara mentah oleh anak cucunya
sendiri. Jangan sampai angklung kalah dengan alat-alat musik modern, alat
band dan lain-lain.

4.2 Saran
Karena keterbatasan informasi dan pengetahuan tentang Sejarah
Angklung, ditambah lagi dengan kurangnya pemahaman tentang pembuatan
karya tulis, mengakibatkan terdapat sedikit kesulitan dalam pembuatan karya
tulis ini. Tetapi karena keterbatasan itulah saya termotivasi untuk menjadi
lebih baik.
Maka dari itu saya berharap agar dapat lebih memahami tentang
pembuatan karya tulis, dan diharapkan juga agar sering diadakan pembuatan
karya tulis begitupun waktu yang dibutuhkan agar lebih di perpanjang lagi
sehingga dapat dihasilkan karya tulis yang lebih baik lagi.

ii
DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Angklung

http://www.angklung-udjo.co.id/id

http://www.anneahira.com/sejarah-alat-musik-angklung,.htm

http://angklungisindonesia.com/pengetahuan/membuat-angklung/

ii

Anda mungkin juga menyukai