Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tidak pernah ada yang menjumpai kata (legong) dalam catatan-catatan


kuno. Diduga kata legong berasal dari kata leg yang artinya gerak tari yang luwes
atau lentur yang merupakan ciri pokok tari Legong. Adapun gong yang berarti
instrument pengiringnya artinya gamelan. Legong dengan demikian mengandung
arti gerak tari yang terikat (terutama aksentuasinya) oleh gamelan yang
mengiringinya. Gamelan yang dipakai mengiringi tari legong dinamakan Gamelan
Semar Pagulingan. Salah satu bentuk tarian asli yang sangat tua umurnya adalah
tari Sang Hyang yang merupakan media keagamaan yang sangat penting dan
dipertunjukan dalam upacara keagamaan. Perbendaharaan geraknya berupa gerak-
gerak peniruan alam yang dibuat amat abstrak dan distilisasikan, yang kemudian
dipakai dalam tari Legong. Dalam perkembangannya gerak-gerak tersebut
diperindah dan disempurnakan wujudnya.
Legong yang kita ketahui sekarang merupakan percampuran dari elemen-
elemen tari yang berbeda sekali jenisnya. Elemen tersebut berasal dari
kebudayaan Hindu Jawa yang dituangkan dalam bentuk tari klasik yang disebut
Gambuh. Gambuh merupakan tipe drama tari yang berasal dari pra-Islam Jawa
dan mungkin sudah dikenal di Bali sejak permulaan abad ke-15. Untuk Legong,
cerita yang paling umum dipakai sebagai lakon ialah cerita Lasem yang
bersumber dari cerita Panji. Elemen cerita bukan suatu hal yang paling menarik
dalam tari Legong karena cara pendramaannya sangat sederhana dan abstrak.
Kenyataannya orang tidak dapat mengerti tari Legong tanpa mendengarkan dialog
dari juru tandak, penyanyi pria yang duduk di tengah-tengah gamelan.
Menurut Babad Dalem Sukawati, sebuah riwayat tua desa Sukawati,
Gianyar, tari Legong diciptakan berdasarkan mimpi I Dewa Agung Made
Karna, raja Sukawati yang bertakhta pada 1775-1825 M. I Dewa Agung Made
Karna sedang melakukan tapa di pura Jogan Agung Ketewel dekat desa Sukawati.
Dalam semadinya beliau bermimpi melihat bidadari sedang menari di Surga.
Mereka menari dengan busana indah dan memakai hiasan kepala dari emas.

Ketika sadar dari mimpinya, I Dewa Agung Made Karna memerintahkan


kepeda Bendesa Ketewel (kepala desa) untuk membuat beberapa topeng dan
menciptakan suatu tarian yang mirip dengan impiannya. Tidak lama setelah itu,
Bendesa Ketewel berhasil membuat sembilan buah topengnya diragakan oleh dua
orang penari Sang Hyang dan yang kini sudah memakai koreografi yang pasti
diduga telah diciptakan waktu itu.
Beberapa lama setelah terciptanya Sang Hyang Legong, sebuah kelompok
kesenian yang dipimpin I Gusti Jelantik dan Blahbatuh mempertunjukan tari
Nandir yang gayanya hampir sama dengan tari Sang Hyang Legong, kecuali
penari dua anak laki-laki yang tidak memakai topeng. I Dewa Agung Manggis
segera memerintahkan dua orang seniman dari Sukawati untuk menata tari Nadir
agar dapat diperagakan oleh anak-anak perempuan. Sejaka saat itulah tari Legong
Klasik diciptakan sampai sekarang.
Pada mulanya tari Legong merupakan kesenian feudal dari kaum
triwangsa di Bali. Legong dalam inspirasi dan kreasinya sama dengan Gmabuh,
yaitu suatu kesenian dari istana. Kesenian ini berkembang sesuai dengan pola
kebangsawanan dan mendapat dorongan dari para raja zaman dahulu. Para
petugas kerajaan memeriksa ke desa-desa untuk mendapatkan anak-anak
perempuan yang berbakat untuk dilatih dan dijadikan penari Legong. Proses
terjadinya tari Legong sudah merupakan konsep dalam seni pertunjukan yang
mampu berkreasi terutama seniman-seniman, mengambil elemen dari kerakyatan
yang dikembangkannya menjadi kesenian yang tinggi mutunya.
Sampai sejauh ini, belum dapat dipastikan kapan sesungguhnya tari
Legong diciptakan. I Gusti Gede Raka, seorang guru Legong dari desa Saba,
mengatakan bahwa Legong telah dikenal di desanya sejak 1811 M.
Lakon yang biasa dipakai dalam Legong kebayakan bersumber
pada:
1. Cerita Malat khususnya kisah Prabu Lasem.
2. Cerita Kuntir dan Jobog (kisah Subali Sugriwa).
3. Legod Bawa (kisah Brahma Wisnu tatkala mencari ujung dan pangkal
Lingganya Siwa).
4. Kuntul (kisah burung).
5. Sudarsana (semacam Calonarang)
6. Palayon
7. Chandrakanta dan lain sebagainya.
8.

1.2 Tujuan

1. Mengenal sejarah Tari Legong.

2. Mengenal macam-macam Tari Legong.


BAB II

PENDAHULUAN

2.1 Tujuan Pertunjukan Tari Legong


Di samping itu, nilai sakral pertunjukan Legong tersimpan di dalam gerak
tarinya sendiri. Sebelum tarian dimulai, kedua penari Legong duduk pada kursi di
muka gamelan, berayun ke kiri dan ke kanan, sebagai peniruan tari kerawuhan.
Tari Legong masih erat hubungannya dengan agama, baik dari segi sejarah
maupun pertunjukannya. Dalam hal ini, sama dengan tari Sang Hyang. Nilai
keagamaan dan kepercayaan yang diasosiasikan dengan tari Legong ialah
kebudayaan keraton Hindu Jawa. Kebudayaan tersebut amat berbeda sifatnya
kalau dibandingkan dengan kebudayaan pra-Hindu di Bali yang ekspresinya
terungkap dalam tari Sang Hyang. Pada saat ini hubungan tari Legong dengan
agama Hindu sangat beda sifatnya. Tari Legong tidak lagi merupakan manifestasi
dari leluhur, seperti halnya Sang Hyang, namun dipertunjukan untuk hiburan para
leluhur. Dengan kata lain, tari Legong dipentaskan untuk menghibur para
leluhuryang turun dari kahyangan, termasuk para raja yang hadir pada upacara
odalan yang datangnya setiap 210 hari.
Seperti kesenian istana lainnya, tari Legong dijadikan suatu tradisi sebagai
pameran yang mencerminkan kekayaan dan kemampuan para raja pada zaman
lampau. Para petugas istana berusaha memperoleh wanita-wanita yang paling
cantik dan berbakat kemudian dilatih untuk dijadikan penari Legong, dan banyak
di antaranya menjadi abdi keraton.

2.2 Tempat Pertunjukan


Di dalam proses perubahan Sang Hyang menjadi Legong melalui Gambuh,
terjadilah satu proses sekularisasi walaupun Legong masih bersifat ritual. Legong
tidak lagi dipentaskan di jeroan pura, tetapi pada sebuah kalangan, baik di dalam
maupun di luar halaman pura. Kalangan berbentuk segi empat panjang di atas
tanah, dengan ukuran panjang delapan meter dan lebar enam meter. Kalangan
dikelilingi oleh bambu yang dihiasi dengan janur. Dindingnya dibuat rendah
sehingga penonton dapat melihat sambil duduk di atas tanah. Penonton dapat
melihat dari tiga jurusan. Adapun gamelan diletakkan pada satu sisi yang
berlawanan dengan tampilnya Legong itu. Meskipun kalangan tidak lagi dibuat di
jeroan pura, tempat pertunjukannya perlu dibersihkan dengan suatu upacara oleh
seorang pemangku (penghulu agama) yang menghaturkan sesajen dan doa-doa
untuk keselamatan pementasan tari Legong.
Kalangan diatur sesuai arah spiritual dalam agama Hindu, yaitu Legong
tampil dari arah utara yang menggambarkan lini sakral dari Gunung Agung.
Gamelan pengiring belakang penari berfungsi sebagai latar belakang pertunjukan
tersebut.

2.3 Motif Gerak Pada Tari Legong


Pada motif gerak tari (karana) Legong memang bermuara kepada dasar
gerak tari Gambuh, yang memang telah memiliki tata krama menari yang ketat,
termuat dalam lontar Panititaling Pagambuhan, yakni mengenai dasar-dasar tari
yakni agem, posisi gerak dasar yang tergantung dari perannya, ada banyak jenis
agem. Kemudian Abah Tangkis, gerakan peralihan dari agem satu ke agem yang
lainnya, ada tiga jenis Abah tangkis. Dasar selanjutnya adalah Tandang, yakni cara
berjalan dan bergeraknya si penari, dari sini akan dikenal motif gerak seperti
ngelikas, nyeleog, nyelendo, nyeregseg, kemudian tandang nayog, tandang niltil,
nayung dan agem nyamir. Untuk melengkapi dikenal pula dasar tari yakni
Tangkep, yang memuat seluruh dasar-dasar ekspresi, mulai dari gerakan mata, ada
yang namanya dedeling, manis carengu, kemudian gerakan leher ada yang disebut
Gulu Wangsul, Ngilen, Ngurat daun, ngeliyet, ngotak bahu bahkan termasuk
gerakan jemari, yaitu nyelering, girah, nredeh dan termasuk pula aturan
menggunakan kipas; nyekel, nyingkel dan ngaliput. Ciri yang sangat kuat dalam
tari Legong adalah gerakan mata penarinya yang membuat tarian tersebut menjadi
hidup dengan ekspresi yang sangat memukau oleh penarinya.
Struktur tari Legong secara khusus adalah pepeson, bapang, ngengkog,
ngaras, pepeson muanin oleg, dan ngipuk. Sedangkan secara umumnya terdiri dari
papeson, pangawak, pengecet, dan pakaad. Keterampilan dalam membawakan tari
Legong, kesesuaiannya dengan penguasaan jalinan wiraga, wirama dan wirasa
yang baik, sesuai dengan patokan agem, tandang, dan tangkep.

2.4 Busana Tari Legong


Busana khas legong yang berwarna cerah (merah, hijau, ungu) dengan
lukisan daun-daun dan hiasan bunga-bunga emas di kepala yang bergoyang
mengikuti setiap gerakan dan getaran bahu penari disederhanakan dengan
dominasi warna hitam-putih.

2.5 Perkembangan Tari Legong


Sejak abad ke-19 tampak ada pergeseran: Legong berpindah dari istana ke
desa. Wanita-wanita yang pernah mengalami latihan di istana kembali ke desa dan
mengajarkan tari Legong kepada generasi berikutnya. Banyak sakeha (kelompok)
Legong terbentuk, khususnya di daerah Gianyar dang Badung. Guru-guru tari
Legong juga banyak bermunculan, khususnya dari desa Saba, Bedulu, Peliatan,
Klandis, dan Sukawati. Murid-murid didatangkan dari seluruh Bali untuk
mempelajari tari Legong, kemudian mengembangkannya kembali ke desa-desa.
Legong menjadi bagian utama setiap upacara odalan di desa-desa.
Dalam perkembangan selanjutnya, tari Legong bukan lagi merupakan
kesenian istana, melainkan menjadi milik masyarakat umum. Pengaruh istana
makin lama makin melemah sejak jatuhnya Bali ke tangan Belanda pada 1906-
1908 M. Di desa, kini Legong dipergelarkan jika diperlukan untuk kepentingan
upacara keagamaan. Leluhurnya, Sang Hyang, dipentaskan berhubungan dengan
kepercayaan animisme. Adapun nenek moyangnya yang lain, yaitu Gambuh
mengungkapkan artikulasi idea dari Majapahit. Pada mulanya Legong juga
berhubungan dengan agama Hindu istana yang tinggi nilainya, namun kini
berhubungan dengan agama Hindu Dharma yang lebih bersifat sekuler. Tari
Legong masih ditarikan oleh anak gadis dari desa tertentu pada sebuah kalangan
yang sudah diupacarai sehubungan dengan upacara keagamaan. Kalangan sering-
sering dibuat di luar halaman tempat persembahyangan walaupun masih
diorientasikan dengan dua arah kaja dan kelod sebagai arah yang angker dalam
kepercayaan orang-orang Bali. Intinya adalah Legong dipersembahkan sebagai
hiburan bagi masyarakat yang berpartisipasi dalam upacara keagamaan.

2.6 Macam-Macam Tari Legong


a. Legong Lasem (Kraton)
Tarian yang baku ditarikan oleh dua orang Legong dan seorang
condong. Condong tampil pertama kali, lalu menyusul dua Legong yang
menarikan Legong lasem. Repertoar dengan tiga penari dikenal sebagai
Legong Kraton. Tari ini mengambil dasar dari cabang cerita Panji (abad
ke-12 dan ke-13, masa Kerajaan Kadiri), yaitu tentang keinginan raja
(adipati) Lasem (sekarang masuk Kabupaten Rembang) untuk meminang
Rangkesari, putri Kerajaan Daha (Kadiri), namun ia berbuat tidak terpuji
dengan menculiknya. Sang putri menolak pinangan sang adipati karena ia
telah terikat oleh Raden Panji dari Kahuripan. Mengetahui adiknya
diculik, raja Kadiri, yang merupakan abang dari sang putri Rangkesari,
menyatakan perang dan berangkat ke Lasem. Sebelum berperang, adipati
Lasem harus menghadapi serangan burung garuda pembawa maut. Ia
berhasil melarikan diri tetapi kemudian tewas dalam pertempuran
melawan raja Daha.Awal tari Legong mulai muncul pada pertengahan
abad ke-17. Pada waktu itu Bali dipelintah oleh beberapa Raja. Puri adalah
salah satu tempat untuk menciptakan tabuh dan tari baru dan
mementaskannya pada Zaman itu. Menurut lontar Dewa Agung Karna,
putra raja pertama kerajaan Sukawati pada pertengahan abad ke-17, ia
melihata bayangan bidadari menari. Dari sinilah diciptakan tari Legong.
Gaya tari Legong sekarang yang seperti ditarikan oleh 2 atau 3 penari
prempuan di pertunjukan dimana-mana setelah abad ke-20. Cerita tari
Legong diambil dari gambuh (drama tari yang mengambil tema dari
Malat, sastra klasik yang menceritakan tentang perjanjian Panji, pahlawan
Jawa).

b. Legong Jobog
Tarian ini, seperti biasa, dimainkan sepasang legong. Kisah yang
diambil adalah dari cuplikan Ramayana, tentang persaingan dua
bersaudara Sugriwa dan Subali (Kuntir dan Jobog) yang memperebutkan
ajimat dari ayahnya. Karena ajimat itu dibuang ke danau ajaib, keduanya
bertarung hingga masuk ke dalam danau. Tanpa disadari, keduanya beralih
menjadi kera dan pertempuran tidak ada hasilnya.

c. Legong Legod Bawa


Tari ini mengambil kisah persaingan Dewa Brahma dan Dewa
Wisnu tatkala mencari rahasia lingga Dewa Syiwa.

d. Legong Kuntul
Legong ini menceritakan sepasang kuntul yang asyik
bercengkerama.

e. Legong Andir (Nadir)


Mengambil cerita semacam Calonarang yang merupakan ciri khas
tari Legong di desa Tista (Tabanan).

f. Sang Hyang Legong atau Topeng Legong


Mengambil cerita semacam Calonarang yang merupakan ciri khas
di pura Pajegan Agung (Ketewel). Tari Legong asal Ketewel itu biasa
disebut tari Legong topeng, karena penarinya wajib menggunakan topeng
yang disangga dengan gigi. Berbeda dengan tari Legong keraton yang kini
dikenal gemulai, energik, tapi mengentak, gerakan tari legong topeng jauh
dari kesan mengentak.

2.7 Gerakan Tari Legong


Gerakan para penari Legong topeng terkesan sangat gemulai, kalem, tanpa
satupun gerakan cepat. Semua berirama teratur. Karena lakonnya bidadari, yang
menggambarkan gerakan bidadari di kahyangan, terang Mangku Widia. Mangku
Widia menambahkan, kemunculan Legong topeng bermula dari seorang Ksatria di
Puri Sukawati bernama I Dewa Agung Anom Karna. Ia mendapat wangsit ketika
bersemadi di Pura Payogan Agung Ketewel. Sang ksatria kabarnya mendapat
perintah dari Hyang Pasupati, untuk menciptakan sebuah tarian dengan karakter
topeng yang telah ada.
Beberapa daerah mempunyai legong yang khas. Di Desa Tista (Tabanan)
terdapat jenis Legong yang dinamakan Andir (Nandir). Di pura Pajegan Agung
(Ketewel) terdapat juga tari legong yang memakai topeng dinamakan Sanghyang
Legong atau Topeng Legong.

1. Alat musik gamelan yang dipakai mengiringi tari Legong dinamakan Gamelan
Semar Pagulingan. Lakon atau cerita yang biasa dipakai dalam Legong ini
kebayakan bersumber pada:
2. cerita Malat khususnya kisah Prabu Lasem,
3. cerita Kuntir dan Jobog (kisah Subali Sugriwa),
4. Legod Bawa (kisah Brahma Wisnu tatkala mencari ujung dan pangkal
Lingganya Siwa),
5. Kuntul (kisah burung),
6. Sudarsana (semacam Calonarang),
7. Palayon,
8. Chandrakanta dan lain sebagainya.

2.8 Struktur Tar Legong


Struktur tarinya pada umumnya terdiri dari:
a. Papeson
b. Pangawak
c. Pengecet, dan
d. Pakaad

2.9 Daerah Tari Legong


Daerah-daerah yang memiliki tari Legong yang khas :
1. Didesa Tista (Tabanan) terdapat jenis Legong yang lain,
dinamakan Andir (Nandir).
2. Di pura Pajegan Agung (Ketewel) terdapat juga tari Legong yang memakai
topeng dinamakan Sanghyang Legong atau Topeng Legong.
3. Daerah - daerah yang dianggap sebagai daerah sumber Legong di Bali
adalah:
4. Saba, Pejeng, Peliatan (Gianyar),
5. Binoh dan Kuta (Badung),
6. Kelandis (Denpasar), dan
7. Tista (Tabanan).
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Fungsi Seni serta tujuannya bisa dibagi menjadi : Fungsi
Religi/Keagamaan, Fungsi Pendidikan, Fungsi Komunikasi, Fungsi
Rekreasi/Hiburan, Fungsi Artistik, Fungsi Guna (seni terapan), dan Fungsi
Kesehatan (terapi).
Jenis tari ditinjau dari bentuk penyajiannya terbagi tiga kelompok, yaitu:
Tari Tunggal, Tari Berpasangan, dan Tari Kelompok/Massal.
Peranan seni tari untuk dapat memenuhi kebutuhan manusia adalah
dengan melalui stimulan individu, social dan komunikasi. Dengan demikian tari
dalam memenuhi kebutuhan individu dan social merupakan alat yang digunakan
untuk penyampaian ekspresi jiwa dalam kaitannya dengan kepentingan
lingkungan. Oleh karena itu tari dapat berperan sebagai pemujaan, sarana
komunikasi, dan pernyataan batin manusia dalam kaitannya dengan ekspresi
kehendak. Secara garis besar fungsi tari ada 3 antara lain :tari sebagai upacara ,
tari sebagai sarana hiburan dan tari sebagai sarana pertunjukkan
Dalam sebuah tarian antara tubuh, gerak komposisi tari tidak dapat
dipisahkan.Dalam sebuah tarian terdapat unsur-unsur yang membangunnya yakni
unsur gerak, tenaga dan waktu.
Tari tradisional adalah tari yang telah melampaui perjalanan
perkembangannya cukup lama, dan senantiasa berfikir pada pola-pola yang telah
mentradisi. Para ahli antropologi percaya bahwa tarian di Indonesia berawal dari
gerakan ritual dan upacara keagamaan dan juga alam. Jenis Tari Tradisional ada
dua : Tari keraton adalah tari yang semula berkembang dikalangan kerajaan dan
bangsawan. Tari Rakyat merupakan tari yang hidup dan berkembang dikalangan
rakyat. Setiap daerah provinsi di Indonesia masing-masing memiliki tarian
tradisional.
3.2 Saran
a. Dengan mengenal lebih banyak Tarian adat di seluruh provinsi di
indonesia mudah-mudahan membuat kita lebih mencintai negeri kita ini.
b. Sekolah seni tertentu di Indonesia seperti Sekolah Tinggi Seni Indonesia
(STSI) di Bandung, Institut Kesenian Jakarta (IKJ) di Jakarta, Institut Seni
Indonesia (ISI) yang tersebar di Denpasar, Yogyakarta, dan Surakarta
kesemuanya mendukung dan menggalakkan siswanya untuk
mengeksplorasi dan mengembangkan seni tari tradisional di Indonesia.
Beberapa festival tertentu seperti Festival Kesenian Bali dikenal sebagai
ajang ternama bagi seniman tari Bali untuk menampilkan tari kreasi baru
karya mereka.
c. Semoga seluruh masyarakat Indonesia dapat terus menjaga dan
melestarikan seni tari serta menemukan cara-cara terbaru untuk
mengatasinya agar tarian suatu daerah di Indonesia dapat terjaga sampai
generasi selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai