Saat itu, diujung kejayaan Majapahit pada masa Prabu Minak Sembuyu dan mayoritas
penduduk Jawa belum memeluk Islam. Dewi Sekardadu, putri Minak Sembuyu yang cantik
jelita, diserang penyakit sangat berat. Segala macam upaya telah dicoba, tabib-tabib terkenal
sudah dipanggil untuk berusaha menyembuhkannya, tapi sia-sia. Kira-kira pada tahun 1362
kebetulan Syech Maulana Iskhak yang berasal dari Yaman tengah menyebarkan Islam di
Pulau Jawa. Dan saat itu Maulana berada di Blambangan. Raja yang putus asa akhirnya
membuat sayembara. Siapa yang dapat menyebuhkan Dewi Sekardadu akan dijadikan
menantu jika masih muda. Dan jika sudah tua, akan dijadikan kerabat kerajaan. Maulana sang
ustadz, mengikuti sayembara tersebut, dan akhirnya sukses menyembuhkan Dewi Sekardadu.
Syech dari Timur Tengah itu pun menikah dengan Dewi Sekardadu. Tapi Raja tidak
menyukai Maulana karena Raja tidak mau menjadi seorang muallaf. Diserang terus oleh
Minak Sembuyu membuat Maulana pamit mundur kepada istrinya. Saat itu Dewi sudah
hamil tujuh bulan. Jika yang lahir laki-laki, Maulana berpesan agar diberikan nama Raden
Paku. Syech Maulana pun kemudian meninggalkan Blambangan, pergi berdakwah ke tempat
lain. Tahun 1365 Sunan Giri alias Raden Paku pun lahir. Raja Blambangan murka. Ia
khawatir Raden Paku akan merusak wibawanya. Karena itu, ia memutuskan untuk
membuang cucunya tersebut ke laut. Para prajurit memasukkan Raden Paku ke dalam peti
dan mengapungkannya. Mengetahui anak tercintanya dibuang ke laut, Dewi Sekardadu ikut
menceburkan diri ke laut mengejar anaknya. Namun sia-sia. Gelombang terlalu besar, dan
apalah kemampuan berenang manusia. Akhirnya jasad Dewi Sekardadu dan peti yang
membawa Raden Paku harus terpisah. Dewi Sekardadu dibawa ke arah Sidoarjo, sementara
peti berisi bayi Raden Paku mengarah ke Gresik. Kebetulan pada 1365 itu, ada nelayan
Balongdowo, Sidoarjo tengah mencari kerang di perairan Selat Madura. Betapa kagetnya
mereka melihat jasad perempuan cantik yang digotong ramai-ramai oleh ikan keting. Jasad
itu terdampar di pantai, dan dikebumikan secara terhormat oleh warga. Tempat itu akhirnya
dinamakan Ketingan alias Kepetingan. Karena itu, ritual nyekar atau ziarah di makam Dewi
Sekardadu menjadi tradisi turun-temurun para nelayan di Sidoarjo. Upacara Nyadran
senantiasa menjadi momen untuk mengucap syukur kepada Tuhan atas hasil laut yang telah
mereka nikmati. Mereka juga berdoa, menggelar pengajian di kompleks makam Dewi
Sekardadu, agar rezeki dari laut selalu dilimpahkan kepada para nelayan. Sebuah kombinasi
yang sangat harmonis. Para nelayan, khususnya ibu-ibu, menyiapkan tumpeng untuk dilarung
di beberapa tempat penting di sepanjang sungai. Sebagian tumpeng dibawa ke kompleks
makam Dewi Sekardadu. Setelah pengajian, dan mendengar khutbah yang cukup panjang,
makanan rakyat itu pun dinikmati bersama. Warga Ketingan, sebagai tuan rumah dan penjaga
makam Dewi Sekardadu menerima para tamunya dari Balongdowo atau Bluru Kidul dengan
ramah. Dari kompleks makam, proses perahu dilanjutkan ke tengah laut, dekat Selat Madura.
Diyakini, zaman dahulu jasad Dewi Sekardadu ditemukan oleh para nelayan Sidoarjo, yang
tak lain nenek-moyang para nelayan di Sidoarjo sekarang. Mereka melakukan napak tilas itu
dengan mempersembahkan tumpeng utama di sana. Lalu, rombongan perahu Nyadran pun
kembali untuk melanjutkan acara di kampungnya. Begitulah. Nyadran alias Tasyakuran Laut
alias Petik Laut yang selalu menjadi hajatan meriah bagi keluarga besar nelayan Sidoarjo.
Sebuah tradisi orang kampung untuk bersyukur kepada Allah yang Mahabesar.