Anda di halaman 1dari 16

Jurnal Kelasa: Kelebat

Hasnawati Bahasa dan


Nasution, Dian Sastra
Anggraini

http://kelasa.kemdikbud.go.id/jurnal/index.php/kelasa

p-ISSN : 1907-7165
e-ISSN: 2721-4672

RESEPSI AKTIF PENYAIR INDONESIA TERHADAP


DONGENG MALIN KUNDANG
Active Reception of Indonesian Poet To Dongeng Malin Kundang

Hasnawati Nasutiona, Dian Anggrainib


Kantor Bahasa Provinsi Lampung
Jalan Beringin II Nomor 40 Kompleks Gubernuran, Telukbetung, Bandarlampung
Pos-El: ananasution2016@gmail.com, diansastralampung@gmail.com

Naskah Diterima Tanggal 25 April 2021—Direvisi Akhir Tanggal 10 November 2021—Disetujui Tanggal 10 November 2021
doi: 10.26499/kelasa.v16i2.180

Abstrak
Dongeng Malin Kundang telah dikenal di seluruh nusantara. Dongeng dari Padang ini
menjadi inspirasi para sastrawan untuk menciptakan karya baru. Melalui resepsi
membaca aktif Isbedy Stiawan, ZS, Sapardi Djoko Damono, dan Joko Pinurbo
mengubah dongeng Malin Kundang yang berbentuk prosa bermetamorfosis menjadi
puisi. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan kreativitas sastrawan tersebut dalam
menampilkan Malin Kundang pada puisi mereka. Kreativitas pertama yang mereka lakukan
adalah mengubah prosa dongeng Malin Kundang menjadi puisi. Kreativitas penyair tersebut
juga berlaku pada perbedaan alur, penokohan, dan latar antara dongeng dan puisi Malin
Kundang. Perbedaan yang terdapat pada dongeng dan puisi Malin Kundang menjadi data utama
untuk melihat kreativitas penyair. Peneliti mendeskripsikan hubungan intertekstual dan
perbedaan serta persamaan antara teks puisi dan prosa Malin Kundang. Berdasarkan data
tersebut diperoleh kesimpulan bahwa puisi karya Isbedy “Malin, dari Cerita Lain” mengambil
sudut pandang Malin yang menyesali kutukan Ibunya sehingga cerita Malin anak durhaka
menjadi kenangan sepanjang zaman. Seandainya waktu bisa diulang Malin ingin kembali ke
rahim ibu dan kutukan itu tidak akan pernah terjadi. Sapardi juga mengemukakan hal yang
hampir sama dengan Isbedy yakni memandang kutukan tersebut dari sisi Malin. Malin telah
mengetahui perihal kutukan yang akan dihadapinya dan dia datang ke pantai untuk menyaksikan
hal itu. Namun, peristiwa itu tidak terjadi. Sementara Joko Pinurbo menambahkan unsur cerita
Sangkuriang pada puisi “Malin Kundang”.
Kata-kata Kunci: puisi Malin Kundang, intertekstual, resepsi aktif

Abstract
The fable of Malin Kundang has been known throughout the archipelago. The fairy tale from
Padang has inspired writers to create new works. Through an active reading reception, Isbedy
Stiawan, ZS, Sapardi Djoko Damono, and Joko Pinurbo transformed Malin Kundang's tale in
the form of prose into poetry. This study aims to describe the creativity of these writers in
presenting Malin Kundang in their poetry. The first creativity they did was to turn the prose of

©2021, Kelasa, 16 (2), 243 – 258 | 243


Resepsi Aktif Penyair Indonesia Terhadap Dongeng Malin Kundang

Malin Kundang's fairy tale into poetry. The poet's creativity also applies to the differences in
plot, characterization, and setting between Malin Kundang's fairy tales and poetry. The
differences found in Malin Kundang's fairy tales and poetry are the main data to see the poet's
creativity. The researcher describe the intertextual relationship and the differences and
similarities between Malin Kundang's poetry and prose texts. Based on this data, it can be
concluded that Isbedy's poem "Malin, from Another Story" takes the point of view of Malin who
regrets his mother's curse so that the story of Malin's son of disobedience becomes a memory of
all time. If only time could be repeated Malin wanted to return to the mother's womb and the
curse would never happen. Sapardi also said almost the same thing as Isbedy, namely looking at
the curse from Malin's side. Malin had known about the curse he was about to face and he came
to the beach to witness it. However, the incident did not occur. Meanwhile, Joko Pinurbo added
an element of Sangkuriang's story to the poem "Malin Kundang".
Keywords: Malin Kundang poetry, Intertextual, active reception

PENDAHULUAN
Malin Kundang merupakan salah satu dongeng yang berkembang dan berakar
pada masyarakat Minangkabau. Cerita dongeng ini memberi pesan kepada anak agar
tidak durhaka pada ibunya. Lisan ibu sangat sakti dan doa ibu sangat cepat dikabulkan
oleh Yang Mahakuasa, seperti pada cerita Malin Kundang yang dikutuk ibunya menjadi
batu. Pada awalnya Malin Kundang adalah anak yang baik. Dia tinggal bersama ibunya
di sebuah desa di daerah Padang, Sumatra Barat. Kehidupan mereka yang sangat miskin
mendorong Malin Kundang untuk merantau, pergi mencari rezeki ke negeri orang.
Kebiasaan merantau ke negeri orang untuk memperbaiki ekonomi telah mendarah
daging pada masyarakat Minangkabau. Hingga saat ini pun kebiasaan merantau masih
dilakukan oleh pemuda Minang.
Pada kisah Malin Kundang diceritakan bahwa Malin meminta izin pada ibunya
untuk pergi merantau. Awalnya Ibu Malin tidak mengizinkan Malin pergi merantau,
tetapi keinginan Malin yang kuat untuk mencari untung dengan merantau akhirnya
meluluhkan hati sang ibu. Dengan berat hati Ibu Malin melepasnya pergi merantau.
Dalam perantauan Malin menjadi orang yang sukses. Dia kaya raya dan memiliki
seorang istri yang cantik. Suatu saat Malin singgah ke Kota Padang. Berita ini pun
sampai kepada ibu Malin. Dia sangat senang dan ingin segera bertemu dengan anak
yang telah lama dirindukannya. Namun, kenyataan tidak sesuai dengan harapan. Bukan
kebahagiaan yang didapatinya saat bertemu sang anak. Malin tidak mengakui ibunya
karena dia orang kaya dengan segala kemewahan sedangkan sang ibu seorang tua renta
yang berpakaian lusuh. Di depan orang banyak Malin, menyatakan bahwa dia tidak
mengenal perempuan tua dihadapnnya. Ibunya bukan orang miskin yang berpenampilan

| 244 ©2021, Kelasa, 16 (2), 243 – 258


Hasnawati Nasution, Dian Anggraini

lusuh. Malin mengusir ibunya. Hati sang ibu sangat sedih, rindunya menjadi
kekecewaan. Akhirnya terucap sumpah dari mulut sang ibu, meminta pada Yang
Mahakuasa untuk menghukum anaknya. Yang Mahakuasa mengabulkan sumpah sang
ibu dan mengubah Malin beserta kapal dan hartanya menjadi batu.
Pandangan tentang kutukan yang diucapkan oleh sang ibu pada dongeng Malin
Kundang menjadi inspirasi bagi sastrawan dalam menuliskannya dalam puisi. Mereka
meresepsi secara aktif kisah Malin Kundang dengan mencipatakan puisi tanpa
menghilangkan sekuens dongeng tesebut. Isbedy Stiawan seorang satrawan Lampung
menciptakan puisi “Malin, dari Cerita Lain”, Sapardi Djoko Damono dan Joko Pinurbo
juga menciptakan puisi berjudul “Malin Kundang”. Ketiga sastrawan ini meresepsi
dongeng Malin Kundang sesuai dengan persepsinya masing-masing. Mereka
menampilkan sosok Malin Kundang dalam puisinya, tetapi dari sudut pandang yang
berbeda-beda. Fenomena bergesernya pandangan sastrawan terhadap Malin Kundang di
dalam dongeng dengan Malin Kundang di dalam puisi karya sastrawan tersebut menjadi
hal yang menarik untuk diteliti berdasarkan kajian resepsi dan intertekstual.
Kajian resepsi aktif dan intertekstual telah dilakukan oleh Intan, (2020) yang
membahas dongeng Barbe Bleue yang diubah menjadi prosa dengan latar yang sesuai
dengan perkembangan zaman oleh Amélie Nothomb dan Tahar ben Jelloun. Hasil
kajian Intan, menunjukkan bahwa telah terjadi transformasi pada karya tersebut.
Pengarang tetap mempertahankan karakter tokoh pada cerita tersebut, tetapi mengubah
latar waktu terjadinya cerita yang disesuaikan dengan perubahan zaman.
Kajian resepsi aktif para sastrawan yang menjadikan dongeng sebagai hipogram
karya baru baik itu berupa puisi, lagu, ataupun drama bukanlah hal yang baru. Dongeng
menjadi latar karya mereka untuk menciptakan karya. Dongeng “Prabu Angling Darma”
menjadi latar puisi “Dongeng Sebelum Tidur” karya Gunawan Muhammad (Inarti,
2016). Dongeng “Kisah Diang Ingsun dan Raden Pengantin” menjadi hipogram puisi
“Tangisan Batu” (Yulianto, 2015), dan “Air Mata Legenda” Puisi “U.M.A” karya Putu
Fajar Arcana terinspirasi dari cerita rakyat “Sudamala” (Fitriarti, 2020)
Dongeng “Malin Kundang” merupakan sebuah dongeng yang sangat dikenal
oleh masyarakat Sumatra Barat bahkan batu Malin Kundang di Pantai Air Manis, Kota
Padang menjadi destinasi wisata yang ramai dikunjungi. Batu tersebut mengingatkan
pengunjung akan kedurhakaan yang dilakukan Malin Kundang hingga ibunya mengutuk

©2021, Kelasa, 16 (2), 243 – 258 | 245


Resepsi Aktif Penyair Indonesia Terhadap Dongeng Malin Kundang

Malin menjadi batu. Dongeng itu juga menjadi inspirasi sastrawan untuk menciptakan
karya baru. Kajian yang relevan dengan dongeng “Malin Kundang” ditulis oleh (Suisino
et al., 2021), (Susilawati & Maryani, 2019), dan (Zulfadhli, 2012). Dongeng “Malin
Kundang” menjadi inspirasi sebuah opera tentang seorang Malin yang sangat terkenal
sehingga menjadi Malin Nan Kondang. Karya ini merupakan sebuah alih wahana dari
dongeng menjadi seni pertunjukan, opera. Sementara itu, A. A. Nafis mengambil sudut
pandang yang berbeda pada cerita “Malin Kundang”. Dia menciptakan sebuah cerpen
yang menyatakan bahwa yang durhaka itu adalah ibu Malin bukan Malin. Seorang ibu
tidak akan mencelakakan anaknya apalagi mengutuknya menjadi batu.
Penelitian ini juga terinspirasi oleh karya-karya yang dilatarbelakangi dongeng
“Malin Kundang”. Tiga penyair nasional, Isbedy Stiawan, Sapardi Djoko Damono, dan
Joko Pinurbo menjadikan Malin Kundang sebagai tokoh utama dalam puisi mereka.
Ketiga penyair ini tidak berasal dari Padang. Mereka berasal dari Lampung dan Jawa.
Hal yang menarik untuk diteliti pada puisi karya mereka adalah penggambaran yang
mereka deskripsikan pada puisi mereka tentang Malin Kundang. Ada tiga hal yang
menjadi poin analisis pada kajian ini adalah 1) menemukan kreativitas penyair
berdasarkan pandangan mereka terhadap dongeng Malin Kundang di dalam puisinya, 2)
melihat transformasi kisah Malin Kundang dari bentuk dongeng ke dalam bentuk puisi,
3) menemukan hubungan–persambungan dan pemisahan antara puisi tersebut dan
hipogramnya. Selanjutnya penelitian ini menjadi sangat menarik karena perbedaan
daerah asal dongeng dengan latar belakang budaya pengarang puisi. Perbedaan ini
memungkinkan masuknya unsur budaya pengarang ke dalam puisinya. Hal itu akan
menjadi temuan menarik pada penelitian ini.

LANDASAN TEORI
Intertekstualitas menurut Kristeva dalam Junus (1985) intertekstualitas adalah
kehadiran sebuah teks di dalam teks lain. Namun, jika di dalam sebuah teks terdapat
beberapa teks lain, teks tersebut dapat bersifat karnaval. Kristeva merumuskan
intertekstual sebagai berikut:
1. kehadiran secara fisikal sebuah teks dalam teks lainnya;
2. kehadiran sebuah teks dalam teks lainnya tidak dapat bersifat adanya hubungan,
baik itu pemisahan atau persambungan antara teks terdahulu sebagai hipogram
dengan teks yang baru; dan

| 246 ©2021, Kelasa, 16 (2), 243 – 258


Hasnawati Nasution, Dian Anggraini

3. interpretasi terhadap teks yang baru tidak dapat dilepaskan dari teks lainnya yang
bisa jadi menjadi hipogramnya.
Selanjutnya Nurgiyantoro (2018) menyatakan bahwa kajian intertekstual
merupakan kajian terhadap sebuah teks sastra yang diduga memiliki hubungan dengan
teks yang telah ada sebelumnya. Hubungan itu dapat berupa unsur intrinsik, plot, atau
penokohan. Kajian intertekstual menurut Wellek (1990) juga mencakup sastra
bandingan yaitu studi hubungan antara dua atau lebih teks sastra. Contohnya
perbandingan beberapa dongeng yang bertema yang sama di beberapa daerah. Dongeng-
dongeng itu memiliki alur dan plot yang hampir sama, tetapi berbeda nama tokoh dan
latar tempat kejadiannya.
Ratna (2011) mengatakan bahwa secara luas intertekstual dapat diartikan
sebagai jaringan atau hubungan antara satu teks dengan teks yang lain. Secara etimologi,
kata teks berasal dar bahasa Latin textus yang berarti tenunan, jalinan, anyaman,
susunan, atau penggabungan. Pada kajian interteks, sebuah karya baru dihasilkan
melalui proses oposisi, permutasi, atau transformasi. Melalui kajian interteks,
kemungkinan untuk menemukan hubungan antar teks terbuka seluas-luasnya karena
yang dihubungkan itu dapat berupa dongeng, puisi, novel, film, atau drama.
Kristeva dalam Jabrohim (2003) menyatakan bahwa prinsip intertekstual adalah
setiap teks sastra yang dibaca tentu memiliki latar belakang teks-teks lainnya. Tidak ada
sebuah teks yang sungguh-sungguh mandiri. Terciptanya sebuah karya sastra tidak dapat
dilakukan tanpa adanya teks-teks lain yang menjadi hipogramnya. Riffaterre dalam
(Pradopo, 1987) menyatakan bahwa hipogram merupakan teks yang menjadi latar
penciptaan karya sastra sesudahnya.
Hal ini selaras dengan yang disampaikan oleh Teeuw (1984), yakni berdasarkan
realitasnya ada tiga sifat karya baru dengan hipogramnya yakni, 1) negasi, karya baru
yang berlawanan dengan hipogramnya, 2) afirmasi, karya baru meneruskan atau
mengukuhkan karya sebelumnya, dan 3) inovasi, karya baru yang memunculkan hal
baru dari hipogramnya. Pengembangan tersebut dapat berupa ekspansi, konversi, atau
modifikasi. Endraswara (2008)
Terjadinya perubahan pada karya yang baru tentunya tidak dapat dipisahkan
dengan proses resepsi aktif pembaca. (Darmansyah, 1994) Resepsi merupakan
tanggapan atau reaksi pembaca terhadap sebuah karya sastra.

©2021, Kelasa, 16 (2), 243 – 258 | 247


Resepsi Aktif Penyair Indonesia Terhadap Dongeng Malin Kundang

Menurut Iser (1978) tanggapan tersebut dapat bersifat aktif atau pasif. Pada
resepsi pembaca pasif, pembaca hanya menjadi penikmat sastra dan hanya memberikan
pendapat tentang karya yang dibacanya. Namun pada resepsi pembaca aktif, dihasilkan
sebuah teks atau karya baru sebagai hasil resepsi pembaca terhadap teks yang telah
dibacanya.
Jauss dalam Junus (1985) mengatakan bahwa hanya dengan partisipasi aktif
pembaca sebuah karya sastra dapat hidup. Sebuah konteks sejarah pada penciptaan
sebuah karya sastra bukan berasal dari sesuatu yang faktual, tetapi merupakan rangkaian
peristiwa yang telah ada sebelumnya. Karya baru bukanlah sebuah karya yang berdiri
sendiri. Karya sastra akan menjadi peristiwa sastra bila karya itu telah dilihat dalam satu
hubungan dengan karya lain. Sebuah karya sastra akan menyebabkan pembacanya
memberikan reaksi tertentu berdasarkan textual strategy tertentu. Dengan begitu proses
penerimaan dapat dilihat sebagai perluasan dari proses semiotik yang timbul dalam
pengembangan dan perbaikan suatu sistem. Reaksi aktif atau resepsi aktif pembaca akan
menghasilkan sebuah karya baru bertolak dari hipogramnya.
Sebuah karya akan menjadi konkret melalui sebuah penerimaan pembacanya,
tentang hal-hal yang berkesan bagi mereka. Ingarden dalam Tompkins (1980)
menyatakan bahwa pembaca harus mengongkretkan dan merekonstruksi sebuah karya
untuk menciptakan karya baru. Penciptaan ini tak mungkin dilakukan tanpa imajinasi
karena tanpa imajinasi pembaca tidak akan mampu melihat karya dalam satu hubungan
yang lebih luas.
Pada akhirnya kajian intertekstual tidak dapat dipisahkan dengan resepsi sastra.
Kedua hal ini berhubungan erat. Membandingkan dua atau lebih karya sastra sampai
pada akhirnya menciptakan karya baru akan bertolak dari karya yang pernah ada
sebelumnya. Penciptaan karya baru tersebut merupakan hasil resepsi aktif dari karya
yang sebelumnya pernah ada. Junus (1985) menyatakan bahwa resepsi sastra lebih
berhubungan dengan sesuatu yang aktif dan dinamik yakni cara seseorang menerima
sesuatu atau cara seseorang mendapat suatu kesan dan memberi maknaterhadap teks
sastra.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan mendeskripsikan elemen-
elemen yang menjadi fokus penelitian. Penelitian ini merujuk pada teori intertekstual

| 248 ©2021, Kelasa, 16 (2), 243 – 258


Hasnawati Nasution, Dian Anggraini

dan resepsi. Kajian intertekstual digunakan untuk melihat hubungan karya baru dengan
hipogramnya dan resepsi digunakan untuk mengkaji pandangan pengarang terhadap
hipogram melalui karya yang dihasilkannya. Metode pengumpulan data dilakukan
dengan cara kajian pustaka. Data dikumpulkan dengan teknik baca, catat, dan simak.
Data penelitian ini adalah tiga puisi karya sasatrawan terkenal dengan topik puisi
yang sama, yakni Malin Kundang. Puisi karya Isbedy Stiawan Z.S. berjudul “Malin dari
Cerita Lain” (Stiawan 2010), Puisi Joko Pinurbo dan Sapardi Djoko Damono berjudul
“Malin Kundang”. Ketiga puisi ini dianalisis dan ditafsirkan untuk melihat hubungan
antarkarya dan mengkaji cara penafsiran pengarang terhadap tokoh Malin Kundang.
Penafsiran tidak dapat dipisahkan dari analisis dan persepsi karena hal itu berkaitan
dengan pengembangan dan penemuan yang dilakukan oleh pembaca aktif berkaitan
dengan karya lama sebagai hipogramnya. Nazir (1999)

PEMBAHASAN
Isbedy Stiawan, seorang sastrawan yang berasal dari Lampung. Dia menuliskan
puisi “Malin dari Cerita Lain” pada buku kumpulan puisinya Anjing Dini Hari Stiawan
(2010) Membaca judul puisi tersebut telah memberikan kesan kepada pembaca bahwa
Malin yang akan disampaikan dalam puisi ini merupakan Malin dari cerita yang lain,
bukan cerita seperti cerita yang biasa didengar oleh masyarakat. Selanjutnya, Joko
Pinurbo serang sastrawan kelahiran Jawa Barat juga menulis puisi berjudul “Malin
Kundang” dalam kumpulan puisi Di Bawah Kibaran Sarung Pinurbo (2001). Sapardi
Djoko Damono, seorang sastrawan nasional juga menulis puisi berjudul “Malin
Kundang” dalam kumpulan puisinya Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro Damono
(2017).
1. Malin Kundang dalam Karya Isbedy Stiawan

Puisi karya Isbedy berjudul “Malin dari Cerita Lain” terinspirasi oleh cerita
Malin Kundang dari Sumatra Barat. Hal itu terlihat dari cara Isbedy menjelaskan batu
berbentuk perahu yang berada di pantai, tepatnya Pantai Air Manis, Kota Padang. Batu
ini sangat mirip bentuknya dengan sebuah kapal yang pecah karena dihempas badai.
Perahu yang membatu itu pecah menjadi dua bagian dan tali-tali kapal serta guci-guci
harta juga ikut membatu. Pada batu itu juga ada sebongkah batu yang mirip dengan
bentuk orang yang sedang bersujud. Konon batu itu merupakan tubuh Malin yang

©2021, Kelasa, 16 (2), 243 – 258 | 249


Resepsi Aktif Penyair Indonesia Terhadap Dongeng Malin Kundang

dikutuk ibunya menjadi batu. Batu itu mejadi daya tarik bagi pelancong seperti yang
diungkapkan Isbedy pada puisinya //cerita jadi rasa rancak lalu membius pelancong agar
menetap lama:// Setiap pelancong yang melihat batu itu akan berpikir, benarkah batu ini
jelmaan Malin Kundang? Atau bisa jadi mereka berpikir hebat benar orang yang
mengukir batu ini hingga guci dan talinya sangat mirip dengan yang sebenarnya?
Namun, pada puisi Malin dari Cerita Lain bagian (1) Isbedy membuat pandangan
yang berbeda dengan dongeng yang berkembang di dalam masyarakat. Pada puisi ini
Malin seakan dapat melihat dirinya yang telah dikutuk menjadi batu. Malin ingin
kembali ke masa lalu, mencari dan menemui ibunya agar tidak mengucapkan kutukan
itu. Malin tidak ingin dirinya dikenang di masa depan sebagai anak yang durhaka dan
wujud dirinya yang menjadi batu menjadi saksi sepanjang masa akan ingkarnya terhadap
ibu. Malin bahkan menyakatan bahwa cerita itu hanya dongeng belaka yang ditulis oleh
seorang ibu agar anak-anak tidak durhaka pada ibunya. Untuk menegaskan dongeng itu,
ibu tersebut memahat batu seperti perahu lengkap dengan guci harta dan Malin yang
bersujud menjadi batu
Hal ini terlihat pada potongan puisi berikut.
wahai dimana bunda yang telah menulis murka ini/hingga jadi sejarah
yang dibaca anak-anakmu?
perempuan itu mahir cara menakuti anak-anak/Ia pahat batu serupa
dirimu dan ia buat semirip perahu

Isbedy tetap mempertahankan latar kejadian Malin Kundang dalam puisinya


sesuai dengan dongeng yang berkembang. Pantai merupakan latar tempat dalam dongen
dan puisi ini. Batu Malin Kundang abadi di pantai menjadi daya tarik wisata,
mengingatkan orang-orang agar tak durhaka kepada ibu, agar tak dikutuk menjadi batu.
Malin tidak ingin mejadi tontonan pelancong dan menjadi saksi akibat durhaka kepada
ibu. Malin ingin tuhan mengirim banjir atau gempa yang melenyapkan batu itu agar
oarang tidak mengingat lagi Malin yang dikutuk menjadi batu karena durhaka kepad ibu.
Rintihan hati Malin ditulis Isbedy dalam puisinya
//Malin, sudah berapa abad ku lelap?/Tak henti Kau menunggu hujan/ agar mengirim
banjir,atau badai Maupun gempa/Yang menjadikan laut hanyutkan segala.//
Pada “Malin dari Cerita Lain bagian 2” Isbedy menceritakan tentang istri Malin
yang cantik jelita. Malin mencegah istrinya bertemu dengan ibunya karena malu
mempunyai ibu yang miskin. Bagian ini memiliki alur yang sama dengan dongeng yang

| 250 ©2021, Kelasa, 16 (2), 243 – 258


Hasnawati Nasution, Dian Anggraini

berkembang di dalam masyarakat. Namun, pada bagian akhir puisi ini, Isbedy
memunculakn hal yang berbeda.
ibu, kasih kesempatan aku mendatangkan badai
Menenggelamkan dirimu Ke dalam karang
mengutukmu sebagai batu
Ibu Malin yang menanggung Sesal karena terlanjur mengutuk Anak sulung yang
Sebenarnya tak pernah durhaka
“tapi karena iri Malin telah beristri dan belum Balas budi

Pada bagian ini dikisahkan seakan-akan Malin yang akan mengutuk ibunya
menjadi batu. Ibu Malin sangat menyesal karena telanjur mengucapkan kutukan. Ibu
tahu sebenarnya Malin tidak pernah durhaka, tetapi ibulah yang iri. Malin lebih peduli
kepada istrinya dari pada ibunya. Hal ini lah yang membuat ibu mengucapkan
kutukannya.
Bagian ini sangat kontras dengan dongeng Malin Kundang. Dalam persepsi
Isbedy, seorang ibu tidak akan tega melakukan kutukan itu terhadap anaknya. Semarah-
marahnya ibu kepada anak tidak akan melakukan hal yang akan membuatnya tidak bisa
bertemu lagi dengan anaknya.
Setelah membaca puisi Malin Kundang versi Isbedy Stiawan dapat disimpulkan
bahwa hampir setengah puisi “Malin dari Cerita Lain” memiliki benang merah yang
cukup jelas dengan dongeng Malin Kundang. Isbedy tetap mempertahankan latar tempat
kejadian yakni sebuah pantai dan batu Malin Kundang. Penokohan antara puisi dan
dongeng Maling juga sama yakni ada Malin Kundang, ibunya, dan istri Malin.
Persepsi aktif Isbedy terlihat pada alur cerita Malin Kundang. Isbedy
menambahkan bagian yang tidak ada di dalam dongeng yakni penyesalan seorang ibu
yang telanjur mengucapkan kutukan yang mencelakai anaknya dan pandangan dari sisi
Malin yang tidak terima atas kutukan tersebut. Isbedy menceritakan bahwa Malin
Kundang belum menjadi batu, ibunya menyesal mengutuk anaknya, ibu Malin tidak
suka jika Malin menomorduakan ibunya karena keberadaan istrinya.

2. Malin Kundang dalam Karya Joko Pinurbo

Joko Pinurbo, seorang sastrawan nasional kelahiran Jawa Barat jiga tertarik
dengan kisah Malin Kundang yang melegenda. Dia menciptakan puisi berjudul Malin
Kundan dalan sebuah buku kumpulan puisinya, Bawah Kibaran Sarung (Pinurbo, 2001).

©2021, Kelasa, 16 (2), 243 – 258 | 251


Resepsi Aktif Penyair Indonesia Terhadap Dongeng Malin Kundang

Joko Pinurbo membuat puisinya berjudul sama dengan dongeng yang


berkembang di dalam masyarakat. Yakni “Malin Kundang” Ada hal yang berbeda antara
puisi “Malin Kundang” karya Joko Pinurbo. Dalam puisi ini tidak ditemukan latar
pantai yang menjadi tempat ditemukannya batu Malin Kundang. Joko Pinurbo membuat
kisah baru dalam puisi ini. Malin Kundang datang menemui ibunya yang sedang sakit.
Sang ibu tidak percaya pemuda yang menemuinya itu adalah Malin, putranya. Malin
kemudian menunjukkan bekas luka di keningnya sebuah tanda yang akan selalu mereka
ingat. Dikisahkan juga bahwa Malin pergi mengembara mencari ayahnya. Malin
kemudian mengaku pada ibunya bahwa dia telah membunuh ayahnya.
Membaca puisi “Malin Kundang” karya Joko Pinurbo membawa pembaca pada
dua dongeng yang sangat melegenda di negeri ini yakni dongeng Malin Kundang dari
Padang dan dongeng Sangkuriang dari Bandung. Dongeng Malin Kundang dengan
tokohnya Malin Kundang, ibunya, dan istrinya. Pada puisi tersebut diceritakan bahwa
Malin datang menemui ibunya yang sedang sakit. Hal ini tetntu sangat berbeda dengan
dongeng Malin Kundang yang mengisahkan bahwa ibunya lah yang datang ke pantai
untuk menemui Malin karena tersiar kabar bahwa anaknya Malin telah menjadi orang
sukses dan saat itu kapalnya sedang berlabuh di kampung mereka. Namun, puisi Joko
Pinurbo menegasikan kisah ini. Pada puisi ini, Malin lah yang datang mengunjungi
ibunya. Malin datang menemui ibunya yang sedang sakit. Ibunya tidak percaya bahwa
pemuda itu adalah Malin, kemudian menanyakan keberadaan istri Malin. Pada dongeng
Malin Kundang disebutkan bahwa dia memiliki seorang istri yang cantik. Kisah dalam
puisi ini tiba-tiba berubah karena Malin menyatkan bahwa dia tidak punya istri. Ibunya
tidak percaya dan menanyakan lagi benarkah pemuda itu adalah Malin anaknya. Malin
menunjukkan tanda bekas luka di keningnya. Pernyataan ini mengingatkan pembaca
akan dongeng lainnya yakni tokoh Sangkuriang dalam dongeng Tangkuban Perahu.
Sangkuriang dilempar ibunya karena telah membunuh anjing yang tidak lain adalah
ayahnya. Lemparan itu meninggalkan bekas luka di kepalanya yang tidak hilang hingga
Sankuriang dewasa.
Penggabungan dua dongeng ini merupakan persepsi aktif yang dilakukan oleh
Joko Pinurbo. Dia menggunakan dua dongeng nusantara sebagai hipogram pada
karyanya. Benang merah yang menghubungkan puisi ini dengan dongeng Malin

| 252 ©2021, Kelasa, 16 (2), 243 – 258


Hasnawati Nasution, Dian Anggraini

Kundang adalah dari segi penokohan yakni Malin, ibunya dan istrinya. Pada alur
puisinya, Joko Pinurbo menggunakan kisah Sangkuriang sebagai hipogramnya.

3. Malin Kundang dalam Puisi Sapardi Djoko damono


Sastrawan kondang Sapardi Djoko Damono juga tertarik dengan dongeng Malin
Kundang dan menjadikan kisahnya sebagai salah sati hipogran pada puisinya. Sapardi
menulis puisi berjudul “Malin Kundang”
Kisah Malin Kundang dalam puisi Sapardi bertolak belakang dengan dongeng
Malin Kundang. Puisi ini dapat dikategorikan sebagai negasi dari dongeng yang menjadi
hipogramnya. Pada puisi ini disebutkan bahwa Malin Kundang yang mencari ibunya
berbeda dengan dongeng yang menyebutkan bahwa ibunya yang mencari Malin. Kapal
Malin berlabuh. Dia sengaja mendatangi pantai itu untuk menemui ibunya. Dia sengaja
datang mencari ibunya untuk memenuhi kutuk yang telah tertulis dalam legenda. Malin
menunggu kedatangan ibunya sambil membayangkan kedatangan perempuan tua itu
bertelekan tongkatnya. Malin membayangkan ibunya sangat rindu padanya dan muncul
diatara orang-orang yang ramai berkumpul di pelabuhan itu. Namun, ibu yang
ditunggunya tak kunjung datang. Pantai itu sepi, tidak ada orang-orang yang ramai di
tempat itu. Yang ada hanya sampah yang berserakan, bekas pengunjung yang datang ke
pantai sore itu. Malin turun ke pantai berusaha mencari jejak tongkat ibunya di pasir
pantai, tetapi ia tidak menemukannya. Akhirnya awak kapalnya memanggil Malin untuk
kembali ke kapal dan segera berlayar. Mereka harus segera sampai di lautan agar
diterjang badai dan menjadi bagian dari legenda Malin Kundang.
Hal yang sangat kontras antara puisi karya Sapardi dengan dongeng Malin
Kundang adalah keinginan Malin untuk bertemu ibunya, kedatangan Malin mencari
ibunya untuk menunggu kata-kata kutukan ibunya sehingga dia dapat memenuhi bagian
yang tertulis di dalam legenda Malin Kundang.

4. Hubungan Intertekstual Puisi dan Prosa Malin Kundang


Puisi karya tiga sastrawan nasional, Isbedy Stiawan, Joko Pinurbo, dan Sapardi
Djoko Damono menjadikan dongeng Malin Kundang yang berasal dari Sumatera Barat
sebagai hipogram karya mereka. Hal itu dapat dilihat dari benang merah yang
menghubungkan tokoh, latar, dan alur kisah dalam puisi mereka. Ketiga sastrawan
tersebut telah melakukan resepsi aktif dengan sudut pandang mereka masing-masing.

©2021, Kelasa, 16 (2), 243 – 258 | 253


Resepsi Aktif Penyair Indonesia Terhadap Dongeng Malin Kundang

Isbedy melakukan inovasi terhadap dogeng tersebut dengan membuat sudut pandang
dari sisi Malin Kundang dan ibunya. Sementara, Sapardi melakukan inovasi dengan
menegasikan dongeng Malin Kundang. Isbedy dan Sapardi tetap mempertahankan latar
tempat kejadian yakni pantai serta mempetahankan alur yakni cerita itu terjadi akibat
kutukan seorang ibu. Namun, Joko Pinurbo telah melakukan inovasi yang lebih besar
yakni dengan melakukan negasi terhadap dongeng Malin Kundang dan menggabungkan
dongeng Sangkuriang ke dalam puisinya.
Tabel 1
Hubungan Intertekstual Dongeng dan Puisi

No Perbedaan Dongeng Malin Malin, dari Cerita Malin Kundang karya Malin Kundang karya
dan Kundang Lain karya Isbedy Joko Pinurbo Sapardi Djoko
Persamaan Damono
1 Genre Prosa Puisi Puisi Puisi
2 Latar Pantai Air Manis, Pantai Malin datang menemui Kapal dan pantai
Kota Padang ibunya yang terbaring di
ranjang
3 Tokoh Malin, istrinya, Malin, istrinya, Malin, istrinya, ibunya, Malin, awak kapal, ibu
dan ibunya ibunya tua yang bertongkat
4 Alur Malin dikutuk • Malin mencari • Malin menemui ibunya • Kapal Malin merapat
ibunya menjadi ibunya agar yang sedang sakit. kepantai dan dia
batu karena tidak mencegah kutukan • Malin bukan orang mencari sosok ibunya
mengakui ibunya itu karena di tidak yang berhasil dalam di patai, tetapi tidak
mau menjadi batu perantauannnya dan ditemukannya.
yang menjaga tidak memiliki istri • Orang-orang
pantai sepanjang yang cantik. memanggilnya ke
masa. • Malin membunuh kapal dan
• Ibu Malin menyesal ayahnya. mengajaknya segera
karena mengutuk • Ibu Malin tidak berlayar untuk
anaknya mengutuk Malin memenuhi kutukan
menjadi batu, tetapi ibu agar mereka dapat
mengutuk dirinya terlibat dalam legenda
sendiri beserta itu.
ranjangnya menjadi
batu.

Tabel 1 menggambarkan hubungan intertekstual antara dongeng Malin


Kundang dan puisi karya Isbedy, Joko Pinurbo, dan Saprdi Djoko Damono. Jika
dipandang dari jenis genre tentu berbeda, dongeng “Malin Kundang” bergenre prosa
sedangkan Malin Kundang karya penyair nasional ini bergenre puisi. Sekilas membaca
judul puisi “Malin Kundang”, pembaca akan ingat cerita dongeng seorang anak yang
dikutuk menjadi batu di Pantai Airmanis di Kota Padang. Namun, jika pusi tersebut
dibaca secara saksama akan terlihat bahwa puisi tersebut berbeda dengan dongeng
“Malin Kundang”. Pertama ditinjau dari tokoh yang disebutkan pada puisi. Semua puisi

| 254 ©2021, Kelasa, 16 (2), 243 – 258


Hasnawati Nasution, Dian Anggraini

tersebut menempatkan Malin Kundang, istrinya dan ibunya sebagai tokoh utama, kecuali
Sapardi tidak menyebutkan tokoh istri Malin dalam puisinya. Pada puisi karya Isbedy
dan Sapardi masih menggunakan latar pantai sebagai tempat terjadinya peristiwa
tersebut. Berbeda dengan Joko Pinurbo yang menggambarkan latar peristiwa puisinya
adalah rumah Malin Kundang. Malin datang menemui ibunya yang sedang sakit.
Malin Kundang pada puisi karya Joko Pinurbo sangat berbeda dengan dongeng
Malin Kundang. Joko menggabungkan Malin Kundang dan ibu Sangkuriang pada
dongeng Tangkuban Perahu. Pada dongeng yang berasal dari Jawa barat tersebut, ibu
Sangkuriang melemparnya dengan sendok kayu yang menyebabkan luka pada kepala
Sangkuriang. Pada saat Malin datang ibu Malin bertanya “apakah engkau anakku
Malin?” Kemudian Malin meyakinkan ibunya dengan menunjukkan bekas luka di
keningnya. Bagian inilah yang menjadi ciri khas dongeng Sangkuriang. Ibunya
menyadari bahwa pemuda itu adalah anaknya karena adanya bekas luka tersebut. Selain
itu, ada hal kontras pada puisi Malin Kundang karya Joko Pinurbo dan dongeng Malin
Kundang antara lain sebagai berikut.
1. Pada puisi Malin Kundang datang menemui ibunya sedangkan pada dongeng,
ibunya yang datang mencari Malin.
2. Malin di dalam dongeng adalah orang kaya sedangkan pada puisi Joko Pinurbo
Malin adalah orang miskin.
3. Di dalam dongeng Malin memiliki istri yang cantik sedangkan pada puisi Malin
tidak memiliki istri yang cantik.
4. Di dalam dongeng Malin dikutuk ibunya menjadi batu sedangkan di dalam puisi
Joko, Ibu Malin mengutuk dirinya sendiri menjadi batu.
Empat hal tersebut merupakan hal yang sangat kontras antar dongeng Malin
Kundang dengan puisi Malin Kundang karya Joko Pinurbo. Namun, perbedaan tersebut
bukanlah hal yang salah. Itulah yang disebut sebagai resepsi aktif, kreativitas seorang
Joko Pinurbo terhadap dongeng Malin Kundang uang dituangkannya ke dalam bentuk
puisi.
Selanjutnya kreativitas Isbedy tergmbar dari puisinya yang menolak kutukan
terhadap Malin. Pada dasarnya banyak hal yang diadopsi Isbedy pada puisinya “Malin ,
dari Cerita Lain” antara lain, latar tempat adalah pantai, adanya patung Malin di pantai
itu sebagai bukti dari kutukan ibu yang telah terucap, serta tokoh yang disebutkan pada

©2021, Kelasa, 16 (2), 243 – 258 | 255


Resepsi Aktif Penyair Indonesia Terhadap Dongeng Malin Kundang

puisi tersebut sama dengan tokoh yang ada di dalam cerita Malin kundang, yakni Malin,
ibunya, dan istrinya.
Kreativitas Isbedy terlihat dari sudut pandang puisinya. Isbedy mengambil sudut
pandang puisi tersebut dari sisi Malin Kundang.
Apakah aku tak boleh mencerca ibu yang telah mengutukku
Jadi batu? Bersama perahu yang juga telah jadi sebongkah
Karang, diterpa
Gelombang yang singgah dan pulang kelautan?

Penggalan puisi ini memperlihatkan resepsi aktif Isbedy. Tidak ditemukan di


dalam dongeng Malin Kundang peristiwa seperti pada potongan puisi tesebut. Malin
marah kepada ibunya karena telah mengutuknya menjadi batu sehingga batu itu menjadi
buah bibir orang sepanjang zaman tentang sebuah peristiwa anak yang durhaka kepada
ibunya. Pada puisi Isbedy digambarkan seolah-olah jiwa Malin masih ada dan Malin
ingin mencari ibunya agar kutuk itu dibatalkan. Malin ingin kembali ke rahim ibu dan
berharap kisah Malin Kundang yang dikutuk ibu tidak akan pernah terjadi.
Puisi Malin Kundang karya Sapardi juga merupakan hasil resepsi aktif dia
terhadap dongeng Malin Kundang. Sapardi tetap menggunakan pantai sebagai latar
tempat terjadinya peristiwa. Malin Kundang menjadi orang pertama pada puisi itu.
Sapardi menggunakan kata aku sebagai kata ganti untuk Malin Kundang. Puisi ini juga
kontras dengan dongeng yang sudah dikenal masyarakat. Pada puisi ini Malin Kundang
diceritakan telah mengetahui bahwa dia akan mendapatkan kutukan dari seorang
perempuan tua yang dikenalnya sebagai ibunya. Malin datang ke pantai untuk
menjemput kutuk yang telag tertulis di dalam legenda. Namun, dia tidak melihat
peristiwa seperti dalam legenda itu. Tidak ada orang di pantai yang konon diceritakan
sebagai tempat yang ramai. Di pantai itu hanya ada sampah dan tempatnya sangat sepi.
Pengutipan kata Malin Kundang pada puisi penyair nasional ini bukanlah hanya
sekadar menempelkan nama Malin. Dongeng dari ranah Minang yang telah dikenal di
seluruh nusantara telah menjadi inspirasi bagi penyair tersebut untuk menciptakan puisi.
Namun, dengan kreativitas mereka, puisi tersebut bukanlah sekadar saduran dari prosa
ke puisi. Syair tersebut mengungkapkan penolakan mereka terhadap cerita tersebut.
Perkembangan zaman telah mengubah cara pandang masyarakat. Tidak seharusnya
seorang ibu marah kepada anaknya hingga mengakibatkan hal yang buruk bagi masa
depan anaknya.

| 256 ©2021, Kelasa, 16 (2), 243 – 258


Hasnawati Nasution, Dian Anggraini

PENUTUP
Masyarakat memiliki kebebasan dalam mengungkapkan pendapatnya. Setidaknya itulah
yang berlaku pada resepsi aktif yang melibatkan kreativitas penyair pada karya-karya penyair
nasional. Dongeng, puisi, maupun drama dapat menjadi hipogram sebuah karya sastra karena
tidak ada satu hal pun yang merupakan hal pertama dalam karya sastra. Hipogram menjadi
sumber insprirasi untuk menghasilkan karya baru. Tentu ada keterkaitan atau benang merah
antara karya baru dan karya yang muncul berikutnya. Saling keterkaitan itulah yang disebut
dengan intertekstual. Hal itulah yang berlaku pada puisi “Malin Kundang”. Penyair nasional
Isbedy Stiawan, Joko Pinurbo, dan Sapardi Djoko Damono. Dongeng “Malin Kundang” telah
menjadi sumber inspirasi mereka dalam menulis puisi. Namun, mereka bebas untuk menentukan
arah puisinya, bisa kontras atau pun sama dengan alur prosa yang melegenda itu.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, peneliti dapat dilihat kreativitas yang
dilakukan penyair terhadap puisi mereka. Meskipun mereka melakukan resepsi aktif dengan
kreativitas mereka masing-masing, pembaca tetap dapat menemukan benang merah antara puisi
mereka dan dongeng Malin Kundang. Benang merah terebut antara lain tokoh yang disebutkan
di dalam puisi dan latar tempat kejadian peristiwa tersebut. Namun, banyak inovasi yang
dilakukan oleh penyair terhadap puisi mereka antara lain kekontrasan peristiwa di dalam puisi
dan sudut pandang cerita yang mereka sampaikan.

DAFTAR PUSTAKA
Damono, S. D. (2017). Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro? Gramedia Pustaka Utama.
https://books.google.co.id/books?id=CtRCDwAAQBAJ
Darmansyah, & dan Pengembangan Bahasa, P. P. (1994). Fonologi bahasa Maanyan.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. https://books.google.co.id/books?id=mstkAAAAMAAJ
Endraswara, S. (2008). Metodologi Penelitian Sastra. Media Pressindo.
Fitriarti, K. dan I. M. M. (2020). Analisis Intertekstual karakter Dewi Uma dalam Puisi
“U.M.A.” Karya Putu Fajar Arcana. Jurnal Salaka, Vol 2 no 1.
https://journal.unpak.ac.id/index.php/salaka/article/view/1834
Inarti, S. (2016). Analisis Intertektual Puisi “Dongeng Sebelum Tidur” Karya Goenawan
Mohamad. METASASTRA: Jurnal Penelitian Sastra, 6, 81.
https://doi.org/10.26610/metasastra.2013.v6i1.81-89
Intan, T. (2020). Dongeng Barbe Bleue “Si Janggut Biru” karya Charles Perrault Dalam
Kajian Resespsi Pembaca Aktif. Aksara, vol 32 no.
https://doi.org/https://doi.org/10.29255/aksara.v32i1.312.31-46
Iser, W. (1978). The Act of Reading: A Theory of Aesthetic Response. (Fourt Prin). The
John Hopkins University Press.
Jabrohim. (2003). Metodologi Penelitian Sastra. Hanindita Graha.
Junus, U. (1985). Resepsi sastra: sebuah pengantar. Gramedia.

©2021, Kelasa, 16 (2), 243 – 258 | 257


Resepsi Aktif Penyair Indonesia Terhadap Dongeng Malin Kundang

https://books.google.co.id/books?id=FC8uAAAAMAAJ
Nazir, M. (1999). Metode Penelitian (Cetakan IV). Ghalia Indonesia.
Nurgiyantoro, B. (2018). Teori Pengkajian Fiksi. Gadjah Mada University Press.
Pinurbo, J. (2001). Di bawah kibaran sarung. Yayasan Indonesiatera.
https://books.google.co.id/books?id=KTDEGuUT-lIC
Pradopo, R. D. (1987). Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Gajah
Mada Press University.
Ratna, N. K. (2012). Penelitian Sastra: Teori, Metode, dan Teknik. Pustaka Pelajar.
Stiawan, I. (2010). Anjing Dini Hari. Rumah Aspirasi.
SUISNO, E., ISWANDI, I., PRAMUTOMO, R. ., SUPARLI, L., & JAMARUN, N.
(2021). Perancangan Pertunjukan Opera Minangkabau Malin Nan Kondang
Sebagai Alih Wahana Kaba Malin Kundang. Dance and Theatre Review, 4(1), 44–
56. https://doi.org/10.24821/dtr.v4i1.4373
Susilawati, Y., & Maryani, D. (2019). References of Folklore Malin Kundang.
PROJECT (Professional Journal of English Education), 2(4), 533.
https://doi.org/10.22460/project.v2i4.p533-538
Teeuw, A. (1984). Sastra dan Ilmu Sastra ; Pengantar Teori Sastra. Pustaka Jaya.
https://books.google.co.id/books?id=fVQwywAACAAJ
Tompkins, J. P. (1980). Reader-Response Criticism: From Formalism to Post-
Structuralism. Johns Hopkins University Press.
https://books.google.co.id/books?id=t472Hekz8JoC
Wellek, R. dan A. W. (1990). Teori Kesusastraan. Gramedia Pustaka Umum.
Yulianto, A. (2015). Analisis Intertekstual Puisi “Tangisan Batu” dan “Air Mata
Legenda” Karya Abdurrahman El Husainy. Sirok Bastra, Vol 3, No.
https://doi.org/https://doi.org/10.37671/sb.v3i1.56
Zulfadhli, Z. (2012). Dekonstruksi dalam Cerpen Malin Kundang, Ibunya Durhaka
Karya A.A. Navis. Komposisi: Jurnal Pendidikan Bahasa, Sastra, Dan Seni, 10(2).
https://doi.org/10.24036/komposisi.v10i2.62

| 258 ©2021, Kelasa, 16 (2), 243 – 258

Anda mungkin juga menyukai