Anda di halaman 1dari 29

GAYA BAHASA DALAM KUMPULAN CERPEN SEPOTONG SENJA

UNTUK PACARKU
KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA

PROPOSAL PENELITIAN

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan pada
Jurusan/Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

OLEH

SULSIFA

A1M1 18 105

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2021

i
PERSETUJUAN PEMBIMBING

PROPOSAL PENELITIAN

GAYA BAHASA DALAM KUMPULAN CERPEN SEPOTONG SENJA UNTUK


PACARKU
KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA

Oleh
SULSIFA
A1M1 18 105

Telah diperiksa dan disetujui pembimbing serta untuk diajukan ke hadapan Panitia
Seminar Proposal Penelitian pada Jurusan/Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Halu Oleo.

Kendari, Juni 2021

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dra. Sri Suryana Dinar, M.Hum Sulfiah, S.Pd., M.Hum.


NIP 19671101 199303 2 001 NIP 19780112 200212 2 001

Mengetahui:

a.n. Dekan FKIP


Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,

Dr. La Ode Sahidin, S.Pd., M.Hum


NIP 19750510 200812 1 003

DAFTAR ISI
ii
SAMPUL.............................................................................................................i
HALAMAN PERSETUJUAN..........................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.........................................................................................3
1.3 Tujuan Penelitian...........................................................................................4
1.4 Manfaat Penelitian.........................................................................................4
1.5 Batasan Operasional......................................................................................4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Hakikat Gaya Bahasa....................................................................................6
2.1.1 Jenis-jenis Gaya Bahasa.......................................................................7
2.2 Gaya Bahasa Perbandingan...........................................................................8
2.3 Efek Estetis dalam Sastra............................................................................12
2.4 Pendekatan Stilistika...................................................................................13
2.5 Cerita Pendek...............................................................................................14
2.6 Unsur-Unsur Cerpen....................................................................................15
2.6.1 Unsur Intrinsik....................................................................................15
2.6.2 Unsur Ekstrinsik.................................................................................23

BAB III METODE DAN TEKNIK PENELITIAN


3.1 Jenis dan Metode Penelitian........................................................................24
3.2 Subjek Penelitian.........................................................................................24
3.3 Teknik Pengumpulan Data..........................................................................24
3.4 Teknik Analisis Data...................................................................................25

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang


Sastra merupakan bagian yang melekat dalam kehidupan manusia. Sastra adalah
suatu bentuk dan hasil sebuah pekerjaan kreatif dengan manusia dan kehidupannya
sebagai objek dan menggunakan bahasa sebagai medium. Sastra adalah karya seni yang
harus diciptakan dengan suatu daya kreativitas sastra dan keindahan. Sastra selalu berada
dalam peradaban manusia semenjak ribuan tahun yang lalu. Kehadiran sastra di tengah
peradaban manusia tidak dapat ditolak dan merupakan salah satu realitas sosial budaya.
Ide-ide sastra dituangkan ke dalam bentuk fisik sebagai karya sastra. Terdapat berbagai
jenis karya sastra, salah satunya adalah cerita pendek atau cerpen. Cerpen adalah jenis
karya sastra yang membatasi diri dalam membahas unsur fiksi dan aspeknya yang
terkecil, pengarang menceritakannya secara singkat, memiliki adegan yang penting
sehingga jelas, jernih, dan tajam, tidak boleh ada unsur yang percuma. 
Karya sastra merupakan wujud dari hasil pemikiran manusia melalui media bahasa.
Bahasa dalam karya sastra memiliki ciri tertentu yaitu mengandung unsur emotif dan
penyimpangan kebahasaan, misalnya penyimpangan makna leksikal, struktur, dialek,
grafologi, dan lain-lainnya. Bahasa hadir sebagai sarana untuk menyampaikan dan atau
mengomunikasikan informasi, gagasan, ide, perasaan, pesan yang ingin disampaikan oleh
pengarang kepada pembaca. Dalam menciptakan karya sastra, pengarang mempunyai
kebebasan berbahasa dan menuangkan ide. Pengarang menuangkan gagasan dan pesan-
pesan ke dalam teks sastra, dan pembaca di pihak lain membaca dan memahami gagasan
dan pesan pengarang yang tertuang dalam teks sastra. Cara pengarang mengungkapkan
pikiran melalui bahasa bersifat khas sehingga memperlihatkan jiwa dan kepribadian
pengarang (pemakai bahasa) biasa disebut dengan gaya bahasa.

1
2

Stile (gaya bahasa) adalah cara penggunaan bahasa dalam konteks tertentu oleh
pengarang, untuk tujuan tertentu. Tujuan tersebut itu misalnya untuk keperluan ekspresif
atau mendatangkan efek tertentu bagi pembacanya (Leech dan Short dalam Nurgiyantoro,
2005: 277). Jadi gaya bahasa dapat dikatakan sebagai teknik pemilihan ungkapan
kebahasaan dengan tujuan mendatangkan efek tertentu bagi pembaca. Gaya bahasa suatu
karya sastra dipelajari dalam stilistika. Stilistika adalah ilmu yang mempelajari tentang
gaya bahasa. 
Salah satu pengarang Indonesia yang memiliki gaya khas pengkreasian bahasa
adalah Seno Gumira Ajidarma. Sampai saat ini Seno menghasilkan puluhan cerpen yang
dimuat diberbagai media massa antara lain berjudul Atas Nama Malam, Sepotong Senja
untuk Pacarku, Biola Tak Berdawai, Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi, dan Negeri
Senja. Karya-karya Seno Gumira Ajidarma kental dengan aspek pembawaan imajinasi
dan bahasa metaforis, terutama tampak salah satunya pada cerita pendek berjudul
Sopotong Senja untuk Pacaraku. Cerita pendek tersebut didasarkan pada imajinasi
pengarang dan penulisan bahasa metaforis yang menimbulkan efek estetis bagi pembaca.
Struktur naratif pengkisahan terjalin melalui sekuel adegan naratif cerita utama dan cerita
pendukung dengan menceritakan kejadian masa kini dengan masa lalu. Cerita utama
menceritakan kejadian tentang seorang laki-laki yang mengirimkan sepotong senja dalam
amplop untuk kekasihnya namun diterima kekasihnya 10 tahun kemudian. Cerita
pendukung menceritakan kejadian masa lalu tentang bagaimana laki-laki itu
menceritakan kejadian-kejadian selama melihat senja.
Unsur stile terdiri atas diksi, sintaksis, citraan, irama, bentuk bahasa figuratif, dan
lain lain. Penelitian ini dibatasi hanya tentang beberapa unsur stile yaitu majas, citraan
dan diksi. Kajian stilistika yang dimaksudkan untuk menjelaskan fungsi keindahan
penggunaan bentuk-bentuk kebahasaan selalu menarik perhatian. Melalui penelitian
stilistika ini dapat diketahui unsur-insur stilistika (majas, citraan, dan diksi) dan efek
estetis yang ditimbulkan melalui penggunaan stilistika dalam kumpulan cerpen yang
berjudul Sepotong Senja Untuk Pacarku karya Seno Gumira Ajidarma.
Kumpulan cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku menarik untuk dikaji sebab
pengarang menuliskan kalimat dalam cerita dengan melibatkan berbagai kata puitis yang
menimbulkan efek estetis. Selain itu, pengarang juga menuliskan rangkaian kejadian
3

nyata seolah-olah pembaca ikut merasakan melalui panca inderanya sendiri. Salah satu
keunikan bahasanya dapat dilihat dalam kutipan cerpen berikut. 
Kukirimkan padamu sepotong senja yang lembut dengan langit kemerah-
merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama seperti ketika
aku mengambilnya saat matahari hampir tenggelam ke balik cakrawala.
(Ajidarma, 2019: 5).

Kutipan tersebut menunjukkan penggunaan gaya bahasa personifikasi yaitu


melekatkan sifat insani pada sebuah benda yang ditandai dengan penggunaan kata
lembut. Senja diibaratkan sebagai manusia dengan sifat yang lembut. Pengarang ingin
menyatakan bahwa sebuah senja yang dikirimkan bersifat indah dengan hamparan lautan
luas, warna langit kemerah-merahan, gumpalan awan memenuhi langit dan suara kicauan
burung serta gemercik air laut. Data yang menunjukkan majas personifikasi juga terdapat
pada kata sepotong yang bermakna bahwa senja seperti sebuah benda yang dapat
dipotong dan diambilnya lalu diberikan kepada orang lain. 
Penelitian ini selain membahas tentang gaya bahasa, juga membahas tentang pilihan
kata khas yang digunakan oleh pengarang dalam menulis cerita pendek. Pilihan kata yang
digunakan oleh pengarang dalam menulis cerita pendek dalam antologi cerpen Sepotong
Senja untuk Pacarku berwujud diksi dengan unsur alam. Hal ini didukung oleh sering
munculnya kata-kata yang berkaitan dengan unsur alam seperti senja, langit, cakrawala
dan lain sebagiannya. Hal tersebut juga berkaitan dengan hasil analisis efek estetis.
Berdasarkan pengkajian gaya bahaa tersebut maka penelitian ini sangat menarik
dilakukan karena selain dapat mengetahui bagaimana gaya bahasa dan efek estetis pada
kumpulan cerpen Sepotong Senja untuk Pacarku untuk kepentingan penghayatan karya
sastra sebagai pembaca juga dapat menjadi bahan kajian untuk studi stilistika secara
khusus dan studi sastra secara umum.

1.2  Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut. 
1) Bagaimanakah gaya bahasa dalam kumpulan cerpen Sepotong Senja Untuk Pacaraku
karya Seno Gumira Ajidarma? 
4

2) Bagaimanakah efek estetis dalam kumpulan cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku
karya Seno Gumira Ajidarma?

1.3  Tujuan Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penelitian ini sebagai
berikut. 
1) Mendeskripsikan gaya bahasa dalam kumpulan cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku
karya Seno Gumira Ajidarma. 
2) Mendeskripsikan efek estetis dalam kumpulan cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku
karya Seno gumira Ajidarma. 

1.4 Batasan Operasional


1) Cerpen adalah cerita yang pendek
2) gaya bahasa adalah pilihan kata tertentu sesuai dengan maksud penulis atau pembicara
dalam rangka memperoleh aspek keindahan.
3) Efek estetik adalah kalimat ungkapan dalam cerita pendek yang jika dibaca mampu
menimbulkan rasa menyentuh dan mengharukan hati pembaca. 
4) Keindahan adalah ciptaan pengarang dengan seperangkat bahasa, melalui ekplorasi
bahasa yang khas, pengarang akan menanmpilkan aspek keindahan yang optimal.
5) Pendekaatan stilistika adalah (1) ilmu yang menyeidiki bahasa yang dipergunakan
dalam karya sastra; ilmu interdisipliner antara linguistik dan kesususastraan; (2)
penerangan linguistik pada gaya bahasa.

1.5  Manfaat Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah dirumuskan, maka
penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat diantaranya. 
1) Bagi mahasiswa Progam Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, dapat
menambah sumber bacaan dan khasanah penelitian sastra khususnya pengetahuan
tentang stilistika. 
2) Bagi calon peneliti selanjutnya dalam bidang yang sama, dapat menjadi sumber bacaan
yang berguna bagi penelitian stilistika ataupun penelitian sastra selanjutnya.
5

3) Sumbangan pemikiran tentang kajian gaya bahasa dalam novel bagi para peneliti yang
relevan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hakkikat Gaya Bahasa


Gaya bahasa merupakan bentuk retorik, yaitu penggunaan kata-kata dalam
berbicara dan menulis untuk meyakinkan atau memengaruhi penyimak dan pembaca.
Kata retorik berasal dari bahasa yunani rhetor yang berarti orator atau ahli pidato. Pada
masa yunani kuno retorik memang merupakan bagian penting dari suatu pendidikan dan
oleh karena itu, berbagai macam gaya bahasa sangat penting dan harus dikuasai benar-
benar oleh orang-orang Yunanu dan Romawi yang telah memberi nama terhadap
berbagai macam seni (Tarigan, 2013: 4).
Menurut Haryanta (2012: 78) gaya bahasa merupakan cara khas dalam
menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulis atau lisan. Senada dengan pemikiran
Keraf (dalam Tarigan 2013: 5) bahwa gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran
melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai
bahasa). Sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur berikut: kejujuran,
sopan-santun, dan menarik.
Gaya bahasa adalah bagaimana seorang penulis berkata mengenai apapun yang
dikatakannya menurut Abrams (dalam Pradopo 2017: 272). Penggunaan gaya bahasa
terutama dalam puisi memang mempengaruhi gaya dan keindahan bahasa yang ada.
Menurut Rahmanto (dalam, Pradopo 2017: 271) gaya bahasa adalah cara yang khas
dipakai seseorang untuk mengungkapkan diri (gaya pribadi). Gaya bahasa adalah
ekspresi linguistik baik didalam puisi maupun dalam prosa. Dominasi gaya bahasa
terkandung dalam puisi dengan pertimbangan keterbatasan medium penampilannnya,
sehingga unsur yang di tonjolkan adalah bahasa itu sendiri.

6
7

Secara umum gaya bahasa disebut pula majas atau bahasa kias. Majas dan gaya
bahasa bagi sebagian orang sering disama artikan. Penyama artian tersebut tidak salah.
Dari segi pengertian, keduanya memiliki maksud yang relative sama, yaitu sebagai alat
untuk memperjelas gagasan. Peningkatan pemakaian majas, jelas memperkaya kosakata
pemakainya (Gustina, 2018: 12).
Dari berbagai pernyataan di atas dapat disimpulakan bahwa gaya bahasa adalah
pilihan kata tertentu sesuai dengan maksud penulis atau pembicara dalam rangka
memperoleh aspek keindahan.

2.1.1 Jenis-Jenis Gaya Bahasa


Tujuan utama gaya bahasa adalah menghadirkan aspek keindahan. Pada
umumnya gaya bahasa dibedakan menjadi empat macam, yaitu:
a. Gaya Bahasa Penegasan
Gaya bahasa penegasan merupakan kata-kata kiasan yang menyatakan penegasan
untuk meningkatkan kesan dan pengaruhnya terhadap pendengar ataupun pembaca.
Jenis-jenis gaya bahasa penegasan yaitu repetisi, klimaks, antiklimaks, retoris,
tautologi, paralelisme, pleonasme.
b. Gaya Bahasa Perbandingan
Gaya bahasa perbandingan merupakan gaya bahasa yang menyamakan sesuatu
hal dengan yang lain dengan mempergunakan kata pembanding seperti: bagai, bak,
seperti, laksana, umpama, ibarat, dan lain-lain.
c. Gaya Bahasa Pertentangan
Gaya bahasa pertentangan merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata-kata
kiasan yang menunjukan suatu pertentangan atau keadaan yang berlawanan dengan
kondisi sebenaranya. Jenis-jenis gaya bahasa pertentangan terdiri atas antitesis,
paradoks, hiperbola dan litotes.
d. Gaya Bahasa Sindiran
Gaya bahasa sindiran merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata kiasan
untuk menyatakan sesuatu yang sebaliknya atau sebuah sindiran. Jenis-jenis gaya bahasa
sindiran terdiri atas ironi, sinisme, sarkasme.
8

Akan tetapi, lain halnya dengan Tarigan (2013: 5) yang membagi jenis-jenis gaya
bahasa menjadi empat kelompok yaitu;
1. Gaya bahasa perbandingan;
2. Gaya bahasa pertentangan;
3. Gaya bahasa pertautan;
4. Gaya bahasa perulangan.
Dari ke empat kelompok gaya bahasa yang disimpulkan di atas maka hanya gaya
bahasa perbandingan yang akan menjadi titik fokus dalam penelitian ini.

2.2 Gaya Bahasa Perbandingan


Tampaknya majas perbandingan merupakan jenis pemajasan yang paling banyak
ditemukan dalam teks-teks kesastraan dan bahkan teks non-sastra. Bentuk pengungkapan
yang mempergunakan pemajasan jumlahnya relatif banyak, namun barangkali hanya
beberapa saja yang kemunculannya dalam sebuah karya sastra relatif tinggi. Pemilihan
dan penggunaan bentuk pemajasan bisa saja berhubungan dengan selera, kebiasaan,
kebutuhan dan kreativitas pengarang (Nurgiyantoro, 2019: 218).
Gaya bahasa perbandingan adalah gaya bahasa yang menyamakan sesuatu hal
dengan yang lain dengan mempergunakan kata pembanding seperti: bagai, bak, seperti,
laksana, umpama, ibarat, dan lain-lain. Gaya bahasa ini sudah dimanfaatkan sejak lama,
karena relatif sederhana. Menurut Achmad (2015: 271) gaya bahasa perbandingan
merupakan kata-kata berkias yang menyatakan perbandingan untuk meningkatkan kesan
dan pengaruhnya terhadap pendengar atau pembaca. Perbandingan dapat dikatakan
bahasa kiasan yang paling banyak dipergunakan dalam sajak. Perbandingan tersebut
dapat memberi kesan dan pengaruh yang berbeda terhadap pendengar dan pembaca.
Tarigan (2013: 8) yang termasuk ke dalam kelompok gaya bahasa perbandingan
paling sedikit sepuluh jenis gaya bahasa yaitu:
1. Perumpamaan
Perumpamaan adalah perbandingan dua hal yang pada hakekatnya berlainan dan
yang sengaja kita anggap sama. Itulah sebabnya maka sering pula kata perumpamaan
disamakan saja dengan “persamaan”. Gaya bahasa perumpamaan secara eksplisit
dijelaskan oleh kata: seperti, ibarat, bak, sebagai, umpama, laksana, penaka, dan serupa.
9

Contoh;
Seperti air dengan minyak
Seperti air di daun keladi
Ibarat mengejar bayangan
Bak cacing kepanasan
2. Metafora
Menurut Poerwadarminta (dalam Tarigan, 2013: 15) metafora adalah pemakayan
kata-kata bukan arti sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan
atau perbandingan.
Contoh:
Nani jinak-jinak merpati
Ali mata keranjang
Aku terus memburu untung
Perpustakaan gudang ilmu
Kata adalah pedang tajam
3. Personifikasi
Penginsanan atau personifikasi, ialah jenis majas yang melekatkan sifat-sifat insani
kepada yang tidak bernyawa dan ide yang abstrak.
Contoh:
Hujan memandikan tanaman
Pepohonan tersenyum riang
Tugas menantikan kita
Kucingmu merindukan elusanmu
4. Depersonifikasi
Gaya bahasa depersonifikasi atau pembedaan, adalah kebalikan dari gaya bahasa
personifikasi. Gaya bahasa depersonifikasi dijelaskan oleh kata kalau, jika, jikalau, bila
(mana), sekiranya, misalkan, umpama, andaikata.
Contoh:
a. Kalau dikau menjadi samudera, maka daku menjadi bahtera
Kalau dikau samudera, daku bahtera.
b. Andai kamu menjadi langit, maka dia menjadi tanah
10

Andai kamu langit, dia tanah


5. Alegori
Alegori adalah cerita yang dikisahkan dalam lambang-lambang; merupakan metafora
yang diperluas dan berkisenambungan, tempat atau wadah objek-objek atau gagasan-
gagasan yang diperlambangkan. Alegori biasanya mengandung sifat-sifat moral atau
spiritual manusia.
Contoh:
Kancil dengan buaya
Kancil dengan kura-kura
Kancil dengan harimau
Cerita Adam dan Hawa
Cerita Nabi Musa
Cerita Nabi Yusuf
Cerita Esau dan Yakub
Cerita Abraham
6. Antitesis
Menurut Ducrot dan Todorov (dalam, Tarigan 2013: 26) bahwa antitesis adalah
sejenis gaya bahasa yang mengadakan komparasi atau perbandingan antara dua anonim
yaitu kata-kata yang mengandung ciri-ciri semantik yang bertentangan.
Contoh:
Dia bergembira ria atas kegagalanku dalam ujian itu
Gadis yang secantik si Ida diperistri si Dedi yang jelek itu.
Kecantikannyalah justru yang mencelakakannya.
7. Pleonasme dan Tautologi
Menurut Poerwadarminta (dalam Tarigan, 2013: 28) bahwa Pleonasme adalah
pemakaian kata yang mubazir (berlebihan), yang sebenarnya tidak perlu (seperti menurut
sepanjang adat; saling tolong menolong).
Contoh:
Saya telah mencatat kejadian itu dengan tangan saya sendiri
Dia telah menebus sawah itu dengan uang tabungannya sendiri
Ayah telah menyaksikan kecelakaan tersebut dengan mata kepalanya sendiri.
11

8. Perifrasis
Parifrasis adalah sejenis gaya bahasa yang mirip dengan pleonasme. Keduanya
menggunakan kata-kata lebih banyak daripada yang dibutuhkan. Walaupun begitu
terdapat perbedaan yang penting antara keduanya. Pada gaya bahasa perifrasis, kata-kata
yang berlebihan itu pada prinsipnya dapat diganti dengan sebuah kata saja.
Contoh:
Anak saya telah menyelesaikan kuliahnya di jurusan Bahasa Indonesia FPBS IKIP
(sekarang menjadi UPI [Universitas Pendidikan Indonesia]) Bandung. (lulus atau
berhasil)
Ayahanda telah tidur dengan tenang dan beristirahat dengan damai buat selama-
lamanya (meninggal atau berpulang).
9. Antisipasi atau Prolepsis
Kata antisipasi berasal dari bahasa Latin anticipatio yang berarti ‘mendahului’ atau
penetapan yang mendahului tetntang sesuatu yang masih akan dikerjakan atau akan
terjadi’
Contoh:
Kami sangat gembira, minggu depan kami memperoleh hadiah dari Bapak Bupati
Mobil yang malang itu ditabrak oleh truk pasir dan jatuh ke jurang
Almarhum ayahku pada saat itu mengakui bahwa dia mempunyai piutang pada
Rumah Makan Tambore.
10. Koreksi atau Epanortosis
Dalam berbicara atau menulis, ada kalanya kita ingin menegaskan sesuatu, tetapi
kemudian kita memperbaikinya atau mengoreksinya kembali. Gaya bahasa seperti ini
biasa disebut koreksio atau epanortosis.
Contoh:
Dia benar-benar mencintai Neng Tetty, eh bukan, Neng Terry
Saya telah membayar iuran sebanyak tujuh juta, tidak, tidak, tujuh ribu rupiah
Kepala sekolah baru pulang dari Sulawesi Utara, maaf bukan, dari Sumatera Utara
Pak Tarigan memang orang Bali, ah bukan, orang Batak.
12

2.3 Efek Estetika dalam Sastra


Istilah estetika diturunkan secara linguistic dari istilah Yunani yang berarti:
sensitive atau hidup. Ini pertama kali digunakan untuk menunjuk area tertentu
penyelidikan filosofis pada pertengahan abad ke-17 di Jerman, meskipun asal muasal
intelektual dari jejak disiplin untuk penulis Prancis dan Inggris sebelumnya, dengan yang
terakhir menyediakan banyak teks pendiri daerah studi yang muncul (Sumarto, 2020: 1).
Kajian estetika akan mengungkap keindahan karya sastra. Karya sastra adalah
fenomena yang penuh bunga-bunga dan aroma. Keindahan adalah ciptaan pengarang
dengan seperangkat bahasa, melalui ekplorasi bahasa yang khas, pengarang akan
menanmpilkan aspek keindahan yang optimal. Keindahan adalah sebuah aplikasi dari
intresa dan inscape. Intresa dalah pengaruh yang nyata dari tangan tuhan terhadap cipta
kreatif seorang sastrawan; sedangkan inscape adalah pemahaman atau kekuatan melihat
kesatuan denagn pikiran dan hati sebagai suatu pundak realitas dalam karya sastra
berdasarkan kebenaran tuhan. Keindahan dapat dibedakan menjadi tiga: (a) keindahan
dalam arti luas yaitu keindahan yang identik dengan kebenaran, (b) keindahan dalam
estetik murni, yaitu keundahan dalam pemngalaman sastrawan, yang memengaruhi
seseorang merasa indah atau tak indah, (c) keindahan sederhana, yaitu keindahan yang
hanya terbatas pada tangkapaan panca indera dalam (Endaswara, 2013: 68).
Kajian estetika tak hanya berhubungan dengan seni bahasa saja, tetapi juga
menyeluruh ke unsur-unsur pembangun karya sastra Braginsky (dalam Endaswara, 2013:
68). Estetika karya sastra umunya ditentukan oleh estetika bahasa, tetapi juga muatan
makna. Tujuan stilistika antara lain adalah untuk menjelaskan kaitan keserasian antara
bentuk–bentuk linguistik dan muatan makna.
Kerja menemukan dan menjelaskan fungsi keindahan dalam rangkaian kajian
stilistika sebuah teks (seeking aesthetic function) pasti memerlukan kriteria keindahan.
Intinya, suatu bentuk kebahasaan itu dikatakan indah, atau tidak indah, mesti
menggunakan criteria tertentu. Dengan demikian, deskripsi fungsi dalam upaya
pencapaian efek keindahan yang dilakukan memiliki dasar (Nurgiyantoro, 2019: 103).
Rasa keindahan sebenarnya terjadi di dalam jiwa, di hati dan pikiran. Sesuatu yang
memiliki sifat indah menjadi perangsang akan diterima oleh indera dan selanjutnya
dikirim ke jiwa. Objek yang menjadi perangsang itu kemudian diolah menjadi kesan.
13

Kesan tersebut kemudian di olah lebih lanjut dan dikirim ke dalam jiwa yang
menyebabkan perasaan kita, hati kita menjadi tersentuh dan merasakan kenikmatan,
keharuan, dan kepuasan. Itulah keindahan, keindahan yang kita rasakan di hati
(Nurgiyantoro, 2019: 103).
Kajian estetika tak hanya berhubungan denga seni bahasa saja, tetapi juga
menyeluruh ke unsur-unsur pembangun karya sastra. Menurut Teeuw (dalam,
Endraswara 2013: 68-69) ada tiga aspek konsep keindahan. Pertama, dari aspek
ontologisnya, ada keindahan puisi sebagai pembayangan kekayaan Tuhan. Kedua, dari
aspek imanen, dari yang indah, yang terungkapkan dalam kata-kata seperti ajaib,
tamasya, dan lain-lain, dan selalu terwujud dalam keanekaragaman, kebahagiaan yang
harmonis, baik dalam alam maupun dalam ciptaan manusia. Ketiga, dari aspek
psikologis, yaitu efek kepada pembaca yang menjadi heran, birahi, suka, lupa dan
sebagainya. Dalam kaitan ini karya sastra dapat dijadikan sebagai pelipur lara (penglipur
wuyung), seperti pada novl-novel Jawa tahun 1960-an.
Sebuah karya seni yang memiliki keindahan harus didukung oleh kekuatan struktur
yang baik. Struktur dapat dimaknai sebagai pengorganisasian, penataan antar bagian dan
tiap bagian saling berhubungan untuk secara bersama membentuk sebuah kesatuan yang
padu. Djelantik (dalam, Nurgiyantoro 2019: 105) menguraikan bahwa struktur yang
mampu membangkitkan keindahan itu memiliki tiga unsure utama yaitu keutuhann dan
kebersatuan (unity), penonjolan atau penekanan (dominance) dan keseimbangan
(balance).
Menurut (Nurgiyantoro, 2014: 107) kriteria keindahan dalam teks kesastraan antara
lain.
a. Penggunaan ungkapan bermakna konotatif, memberikan efek keindahan, dan
pencerapan indera.
b. Semua komponen kebahasaan didayakan dan difungsikan untuk mencapai tujuan
dan efek tertentu.

2.4 Pendekatan Stilistika


Menurut Simpson (dalam, Nurgiyantoro 2019: 74) bahwa stilistika bukan
merupakan ilmu baru karena dalam sejarah sastra (Barat) sudah eksis bersamaan dengan
14

munculnya karya-karya sastra. Penggunaan bahasa yang khas sastra yang mampu
memberikan efek khusus selalu menarik perhatian orang untuk memberikan penjelasan.
Namun, dalam perkembangannya stilisika juga diterapkan pada berbagai wacana bahasa
selain sastra. Hal itu di sebabkan bahasa sebagai alat komunikasi yang dikreasikan
sedemikian rupa juga dapat memberikan dampak yang signifikan.
Stilistika berkaitan erat dengan stile. Bidang garapan stilistika adalah stile, bahasa
yang dipakai dalam konteks tertentu, dalam ragam bahasa tertentu. Jika style
diindonesiakan dengan diadaptasikan meenjadi ‘stile’ atau ‘gaya bahasa’, istilah stylistic
juga dapat diperlakukan sama, yaitu diadaptasi menjadi ‘stilistika’. Istilah stilistika juga
lebih singkat dan efisien daripada terjemahannya yang ‘kajiian gaya bahasa’ atau ‘kajian
stile’ (Nurgiyantoro, 2019: 74-75).
Stilistika sangat penting, baik bagi studi linguistik maupun studi kesusastraan
dalam lapangan kebahasaan. Lebih-lebih, dalam lapangan sastra, kritik sastra khususnya,
stilistika ini bias membantu banyak dalam konkretisasi atau pemaknaan sastra. Makna
karya sastra tidak dapat dilepaskan dari gaya bahasa yang dipergunakan dalam karya
sastra yang dikritik (Pradopo, 2020: 1). Menurut Kridalaksana (dalam, Padopo, 2020: 2)
Pendekaatan stilistika adalah (1) ilmu yang menyeidiki bahasa yang dipergunakan dalam
karya sastra; ilmu interdisipliner antara linguistik dan kesususastraan; (2) penerangan
linguistik pada gaya bahasa.
Menurut Wellek & Werren (Nurgiyantoro, 2019: 97) bahwa analisis stilistika
dapat di lakkukan dengan menganalisis secara sistematis terhadap sistem dan tanda-tanda
linguistik dan kemudian menginterpretasikannya sebagai satu keseluruhan makna, dan itu
dalam hubungannya dengan tujuan estetis sebuh teks sastra.
Tujuan kajian stilistika adalah menemukan dan menjelaskan ketepatan
penggunaan bentuk-bentuk bahasa baik secara estetis maupun efektifiasnya seagai sarana
komunikasi. Intinya tujuan kajian stilistika adalah menemukan fungsi estetis penggunaan
bentuk-bentuk bahasa yang mendukung teks (Nurgiyantoro, 2019: 100).

2.5 Cerita Pendek


Cerpen adalah cerita yang pendek. Akan tetapi, berupa ukuran panjang pendek itu
memang tidak ada aturannya, tidak ada satu kesepakatan di antara para pengarang dan
15

para ahli. Edgar Allan Poe (dalam Nurgiyantoro, 2019: 12) mengemukakan bahwa cerpen
adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira bisa berkisar
antara setengah sampai dua jam, suatu hal yang kiranya tidak mungkin dilakukan oleh
novel. Walaupun sama-sama pendek, panjang cerpen itu sendiri bervariasi. Ada cerpen
pendek (Short Short Story), bahkan mungkin pendek sekali: berkisar 500-an kata; ada
cerpen yang panjangnya cukupan (Middle Short Story), serta ada cerpen yang panjang
(Long Short Story), yang terdiri dari puluhan (atau bahkan beberapa puluh) ribu kata
(Nurgiyantoro, 2019: 12).
Menurut Gasong (2019: 47) bahwa cerpen adalah cerita berbentuk prosa yang
relative pendek, hanya meemiliki satu alur, tema hanya 1 (tema sentral) saja, karakter
tokoh sederhana. Cerita dikatakan pendek, Karena dapat dibaca dalam waktu yang relatif
pendek (kurang dari satu jam).

2.6 Unsur-Unsur Cerpen


Prosa fiksi di bentuk oleh dua unsur. Wellek & Warren (dalam. Gasong 2019: 48)
mengemukakan ada dua unsur struktur yang membangun prosa fiksi yang perlu di
perhatikan yaitu unsur intrinsic dan ekstrinsik.

2.6.1 Unsur Intrinsik


Unsur intrinsik adalah unsur utama pembangun cerpen. Unsur inilah yang
menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra. Unsur intrinsic tersebut meliputi:
tokoh dan penokohan, alur, latar, tema, sudut pandang, amanat, serta gaya bahasa yang
digunakan pengarang. Dalam kegiatan menganalisis unsur intrinsik cerpen seseorang
pembaca untuk dapat memahami karya sastra secara lebih mendalam haruslah secara urut
dipahami terlebih dahalu tokoh dan penokohan (perwatakan), alur peristiwa, dan latar
sebelum ia menafsirkan suatu tema . hal ini dissebabkan tema pada umumnya tidak
dikemukakan seacara eksplisit, tema bersembunyi di balik cerita sehingga penafsiran
haruslah di lakukan berdasarka fakta-fakta yang ada secara keseluruhan membangun
cerita itu (Nurgiyantoro, 2007: 85). Berikut uraian satu persatu unsur intrinsik cerpen:
16

a. Tema
Stanton dan Kenni (dalam Nurgiyantoro, 2019: 114), mengemukakan bahwa tema
(theme) adalah makna yang dikandung dslam sebuah cerita. Namun, ada banyak makna
yang di kandung dan di tawarkan oleh cerita fiksi itu, maka masalahnya adalah : makna
khusus yang mana yang dapat dinyatakan sebagai tema itu. Atau, jika berbagai makna
itu di anggap sebagai bagian-bagian tema, sub-subtema atau tema –tema tambahan,
makna yang manakah dan baimanakah yang dapat di anggap sebagai makna pokok
sekaligus tema pokok yang bersangkutan?. Hartoko dan Rahmanto (dalam Nurgiyantoro,
2019: 115) mengemukakan bahwa tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang
sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktut semantik dan
yang menyangkut persamaan –persamaan atau perbedaan-perbedaan. Sementara itu di
pihak lain, Baldic (dalam Nurgiyantoro, 2019: 115) mengemukakakn bahwa tema adalah
gagsan abstrak utama yang terdap dalam sebuah karya sastra atau yang secara berulang
ulang di munculkan baik secara eksplisit maupun (yang banyak ditemukan) implisit
lewat pengulangn motif.
Berdasarkan beberapa teori tersebut, Nurgiyantoro (2019: 115) menyimpulkan
bahwa tema adalah gagasan ( makna ) dasar umum yang menopang sebuah karya sastra
sebagai struktur semantic dan bersifat abstrak yang secara berulang ulang di munculkan
lewat motif-motif dan biasanya di lakukan secara inplisit
b. Alur Atau Plot
Stanton ( dalam Nurgiyantoro, 2019: 167) mengemukakan bahwa plot adalah cerita
yang berisi sebuah kejadian, namun tiap kejadian itu, hanya di hubungkan secara sebab
akibat, peristiwa yang satu di sebapkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.
Kenny (dalam, Nurgiyantoro 2019 : 167) mengemukakan plot sebagai sebagai peistiwa-
peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana karena pengarang
menyusun peristuwa-perisiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat. Jauh sebelum itu,
Forster (1970: 93) adalah peristiwa – peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada.
Berikut akan di kemukakan mengenai struktur alur menurut Sudjiman (1992: 30-36).
1. Awal
 Paparan
17

Penyampaian informasi kepada pembaca di sebut paparan atau eksposisi. Paparan


biasanya merupakan fungsi utama awal suatu cerita. Tentu saja bukan informasi
selengkapnya yang di berikan, melainkan keterangan sekedarnya untuk memudahkan
pembaca mengikuti kisah selanjutnya (Sudjiman, 1992: 32).
 Rangsangan
Rangsangan sering di timbulkan oleh masuknnya seorang tokoh baru yang
berlaku sebagai katalisator. Rangsangan dapat pula di timbulkan oleh hal lain,
misalnya oleh datangnya berita yang merusak keadaan yang semula terasa laras. Tak
ada patokan tentang panjangngya kapan disusun oleh rangsangan dan berapa lama
sesudah itu sampai gawatan (Sudjiman, 1992: 33).
 Gawatan
Tidak ada patokan tentang panjang paparan, kapan disusul oleh rangsangan, dan
berapa lama sesudah itu sampai pada gawatan (Sudjiman, 1992: 23). Gawatan
biasanya adalah perkembangan cerita setelah rangsangan. Dalam gawatan akan
timbul permasalahanyang terjadi dalam sebuah cerita.

2. Tengah
 Tikaian
Tikaian adalah perseliihan yang timbul sebagai akibat adanya dua kekuatan yang
bertentangan, satu diantaranya diwakili oleh manusia pribadi yang biasanya menjadi
protagonis dalam cerita (Sudjiman, 1992: 34-35). Tikaian merupakan pertentangan
antara dirinya sebagai kekuatan alam, dengan masyarakat, orang atau tokoh lain,atau
pertentangan antara dua unsur dalam diri satu tokoh itu (Sudjiman, 1992: 35)
 Rumitan
Perkembangan dai gejalah mula tikaian menujunke klimaks cerita di sebut
rumitan (Sudjiman, 1992: 35). Rumitan biasanya timbul setelah perselisihan dan
adanya pertentangan diantara tokoh. Dalam rumitan juga sudah muncul permasalhan
yang menimbulkan klimaks permasalahan yang terjadi.
 Klimaks
Klimaks tercapai apabila rumitan mencapai puncak kehebatannya. Di dalam cerita
rekaan, rumitan sangat penting. Tanpa rumitan yang memadai tikaian akan lamban.
18

Rumitan mempersiapkan pembaca untuk menerima seluruh dampak dari klimaks


(Sudjiman, 1992: 35).
3. Akhir
 Leraian
Leraian adalah bagian struktur alur sesudah klimaks yang menunjukan
perkembangan peristiwa kea rah selesaian (Sudjiman, 1992: 35). Dalam leraian
sudah dapat terlihat adanya penyelesaian masalah menuju selesaian. Di sini, konflik
akan semakin menuju perubahan dengan adanya selesaian.
 Selesaiaan
Selesaian adalah akhir atau penitup cerita. Selesaian boleh jadi mengandung
penyelesaian masalah yang melegakan (happy ending). Boleh juga mengandung
penyelesian masalah yang menyedihkan ;misalnya si tokoh bunuh diri. Boleh jadi
juga pokok masalah yang mengantunh tanpa pemecahan, jadi, cerita sampai pada
selesaian tanpa menyelesaikan masalah, keadaan yang penuh ketidak pastian ,
ketidakjelasan, (Sudjiman, 1992: 36)
c. Latar
Abrams (dalam Nurgiyantoro 2019: 302-303), fiksi sebagai sebuah dunia,
disamping membutuhkan tokoh, cerita, dan plot juga butuh alur.Latar atau setting yang
di sebut juga landas tumpu, menunjuk pada pengertian tempat, hubungan waktu sejarah,
dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Stanton
(dalam Nurgiyantoro 2019: 302) mengelompokan latar, bersama dengan tokoh dan plot
ke dalam fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi dan dapat di imajinasi
oleh pembaca secara factual jika membaca sebuah cerita fiksi.
Nurgiyantoro (2019: 303-306) mengemukakan tahap awal karya fiksi pada
umunya berisi penyituasian, pengenalan terhadap berbagai hal yang akan di cara seperti
pengenalan tokoh ,pelukisan keadan alam, lingkungan, suasana, tempat, mungkin juga
hubungan waktu dan lain-lain yang dapat mengajak pembacaa secara emosional kepada
situasi cerita. Latar merupakn pijakan secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk
memberikan kesan kepada pembaca, menciptakan Susana tertentu yang seolah-olah
sungguh- sungguh ada dan terjadi. Latar tempat dan waktu secara jelas menunjuk pada
lokasi tertentu, yang dapat dilihat dan dapat dirasakan kehadirannya disebut sebagai latar
19

fisik (physical setting). Namun latar dalam cerita fiksi tidak terbatas pada penunjukan
lokasi-lokasi tertentu, atau sesuatu yang bersifat fisik saja, melainkan juga yang berwujud
tatacara tokoh, adat istiadat, kepercayaaan, dan nilai-nilai yang berlaku di tempat yang
bersangkutan. Hal-hal yang disebut terakhir inilah yang di sebut sebagai latar spiritual
(spiritual setting). Dengan demikian, latar dapat di bedakan menjadi unsur latar tempat,
latar waktu, dan latar sosial.
1. Latar tempat
Latar tempat menunjuk pad lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam
sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang mungkin berupa tempat-tempat dengan nama
tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas (Nurgiyantoro,
2019: 314).
2. Latar waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah ”kapan” terjadinya peristiwa-
peristiwa yang di ceritakan dalam sebuah karya fiksi. Menurut Genette (dalam
Nurgiyantoro, 2018: 318), dapat bermakna ganda : di satu pihak menunjukan pada
waktu penceritaan, waktu penulisan cerita, dan pihak lain menunjuk pada waktu dn
urutan waktu yang terjadi dan dikisahkan dalam cerita
3. Latar sosial-budaya
Latar sosial-budaya menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku
kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang di ceritakan dalam karya fiksi. Tata
cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang
cukup kompleks (Nurgiyantoro, 2019: 322).

d. Tokoh
Jones (dalam Nurgiyantoro, 2019: 247) dalah pelukisan gambaran yang jelas
tentang seseorang yang ditaampilkan dalam sebuah cerita. Tokoh cerita (character)
adalah orang-orang yang di tampilkan dalam sesuaatu karya naratif, atau drama, yang
oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti
yang diekspresikan dalam tindakan Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2019: 247). Tokoh
adalah orang yang menjadi pelaku dalam cerita fiksi atau drama Baldic (dalam
Nurgiyantoro, 2019: 247).
20

Tokoh utama (central character) merupakan tokoh yang paling banyak diceritakn
dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, ia sangat menentukan perkembangan
plot cerita secara keseluruhan. Ia selalu hadir sebagai pelaku, atau yang dikenai kejadian
dan konflik, penting yang memengaruhi perkembangan plot. Tokoh tambahan (peripheral
character) adalah tokoh- tokoh yang biasanya diabaikan, atau paling tidak, kurang
mendapat perhatian. Toko tambahan biasanya diabaikan karena sinopis hanya berisi inti
sari cerita (Nurgiyantoro, 2019: 259).
Berdasarkan fungsi penampiln tokoh, tokoh dalam cerita terbagi atas dua macam,
sebagai berikut.
1. Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi yang salah satu jenisnya secara
popular di sebut hero-tokoh yang merupakan pengejawantahan norma norma-norma
nilai-nilai yang ideal bagi kita Altenbernd dan Lewis (dalam Nurgiyantoro, 2019:
261).
2. Toko antagonis adalah tokoh yang berposisi dengan tokoh protagonis, secara langsung
maupun tidak langsung bersifat fisik maupun batin (Nurgiyantoro, 2019: 261).

e. Penokohan
Secara etimologis karakteristik berasal dari bahasa Inggris character atau karakter
yang berarti watak atau peran. Karakter juga bisa berarti orang, masyarakat, ras, sikap,
mental,dan moral, kualitas nalar, orang terkenal, toko dalaam karya sastra (Minderop,
2011: 2). Penokohan adalah cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku (Jauhari,
2013: 161). Penokohan dan karakterisasi-karakterisasi sering juga disamakan artinya
dengan karakter dan perwatakan menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentudengan
watak – watak tertentu dalam sebuah cerita.
Sumaryanto (2019: 9) berpendapat bahwa penokohan atau perwatakan adalah
teknik atau cara pengarang menampilkan tokoh-tokohnya, baik keadaan lahirnya maupun
batinnya yang berupa pandangan hidupnya, sikapnya, keyakinnya, pemikirannya, adat-
istiadatnya dan sebagainya. Melalui penokohan dalam sebuah cerita maka cerita menjadi
lebih nyata dalam imajinasi pembaca. Dan melalui penokohan juga pembaca dapat
melihat dengan jelas seperti apa wujud karakter manusia yang sedang di gambarkan oleh
si pengarang. Menurut Wellek dan Warren (2016: 264) bahwa bentuk penokohan yang
21

paling sederhana adalah pemberian nama. Setiap “sebutan” adalah sejenis cara memberi
kepribadian, menghidupkan. Nama-nama yang alegoris atau setengah alegoris banyak
dijumpai pada komedi-komedi abad ke-18.
Metode penokohan/karakteristik dalam karya sastra adalah metode melukiskan
watak para tokoh yang terdapat dalam suatu karya fiksi (Minderop, 2011: 2). Beberapa
cara yang dapat dipergunakan oleh pengarang untuk melukiskan rupa,watak, tau pribadi
para tokoh (Jauhari , 2013: 161) adalah sebagai berikut.
1. Melukiskan bentuk lahir pelakon.
2. Melukiskan jalan pikiran pelakon atau apa yang terlintas dalam pikiranya.
3. Melukiskan bagaimana reaksi pelakon itu terhadap kejadian-kejadian.
4. Pengarang langsung meng analisis watak pelakon.
5. Pengarang melukiskan keadaan sekitar pelakon.
6. Pengarang melukiskan bagimana pandangan pelakon lain dalam sutu cerita terhadap
pelaku utama.
7. Pelakon-pelakon laindalam suatu cerita memperbincangkan keadaan tokoh utama.

f. Sudut Pandang.
Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2019: 338) sudut pandang merupakan cara atau
pandangan yang di pergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan cerita dalam
sebuah karya fiksi kepada pembaca . Baldic (dalam Nurgiyantoro, 2019: 338) sudut
pandang adalah posisin atau sudut mana yang menguntungkan untuk menyampaikan
kepada pembaca terhadap peristiwa dan cerita yang diamati dan dikisahkan. Stevick
(dalam Nurgiyantoro, 2019: 339) sudut pandang merupakan sesuatu yang menunjuk pada
masalah teknis, sarana yang menyampaikan maksud yang lebih besar daripada sudut
pandang itu sendiri. Sedangkan (Nurgiyantoro 2010: 249) sudut pandang dibedakan
menjadi tiga, yaitu sudut pandang persona ketiga “aku”, sudut pandang persona pertama
“ aku “, dan sudut pandang campuran. Dalam sudut pandang persona ketiga, pengarang
menyebutkan sang tokoh dengan menyebut nama, atau kata ganti ia, dia, mereka, nama-
namatokoh cerita khususnya yang utama, kerap akan terus menerus disebut, dan sebagai
variasi digunakan kata ganti. Hal ini akan mempermudah pembaca untuk mengenali
siapa tokoh yang dibicarakan dan nama tokoh yang bertindak. Sudut pandang pesona
22

ketiga “dia” dapat dibedakan menjadi dua golongan berdasarkan tingkat kebebasan dan
keterkaitan pengarang terhadap bahan cerita. Dua gologan tersebut adalah “dia”,
mahatahu dan “dia”, terbatas. Bersifat mahatahu jika pengarang, ator dapat bebas
menceritakan segala sesuatu yang berhbungan dengan tokoh “dia”, ia bebas bergerak
dari “dia”, ke yang lain, sedangkan bersifat terbatas jika pengarang memiliki
keterbatasan “pengertian”, terhadap tokoh “dia”, yang di ceritakan.
Dalam sudut pesona pertama , pengarang atau narator adalah seseorang yang ikut
terlibat dalam cerita. Ia adalah “aku”, tokoh yang berkisah, mengisahkan dirinya sendiri ,
mengisahkan peristiwa dan tindakan yang diketahuai, didengar, dilihat , dam dirasakan,
serta sikapnya terhadap orang (tokoh) lain kepada pembaca. Sudut pandang persona
pertama dapat dibedakan dapat di bedakan dalam dua golongan berdasarkan peran dan
kedudukan si “aku”, mungkin menduduki tokoh utama, jadi tokoh utama protagonis, atau
berlaku sebagai saksi, sedangkan sudut pandang campuran yaitu sudut pandang yaitu
dimana pengarang didalam mengisahan toko dengan menggunakan sudut pandang ketiga
“dia”, dan sudut pandang pesona pertama “aku”secara bergantian.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sudut pndang adalah cara
pandang pengarang dalam menceritakan tokoh, agar pembaca dapat memahami dan
mengenali setiap tokoh.

g. Amanat
Amanat merupkan pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca melalui
karyanya dan mengandung nilai moral, moral dalam karya sastra, atau hikmah yang
diperoleh pembaca lewat sastra, selalu dalam pengertian yang baik. Dengan demikian
jika dalam sebuah karya ditampilkan sikap dan tingkah laku toko-toko yang kurang
terpuji, baik mereka berlaku sebagai tokoh antagonis maupun protagonis, tidak berarti
bahwa pengarang menyarankan kepada pembaca untuk bersikap dan bertindak secara
demikian (Nurgiyantoro, 2019: 432). Amanat sering disebut moral. Kenny (dalam
Nurgiyantoro, 2019: 430) mengemukakan bahwa moral dalam karya sastra biasanya
dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubunan dengan ajaran moral tertentu yang
bersifat praktis, yang dapat diambil (dan ditafsirkan).
23

h. Gaya Bahasa
Gaya bahsa (stile) adalah cara pengungkapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana
seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan Abrams (dalam
Nurgiyantoro, 2019: 369). Stile merupakan sesuatu hal yang pada umunya tidak lagi
mengandung sifat controversial, yaitu menunjuk pada pengertian cara penggunaan bahsa
dalam konteks tertentu, oleh pengarang tertentu, untuk tujuan tertentu dan sebagainya
Leech dan Short (dalam Nurgiyantoro, 2019: 369). Stile adalah penggunaan bahasa
secara khusus yang ditandai oleh penulis, aliran, perioede, dan genre.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa adalah
ungkapan seseorang dalam bentuk pemilihan berbahasa yang dipergunakan dalam karya
sastra.
2.6.2 Unsur ekstrinsik
Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar teks sastra itu, tetapi
secara tidak langsung memengaruhi bangun atau sistem organisme teks sastra. Atau,
secara lebih khusus Ia dapat di katakan sebagai unsure-unsur yang memengaruhi bangun
cerita karya sastra, namun sendiri tidak ikut menjadi bagian didalamnya. Walau demikian
unsur ekstrinsik cukup berpengaruh (untuk tidak dikatakan: cukup menentukan) terhadap
totalitas bangun cerita secara keseluruhan (Nurgiyantoro, 2019: 30).
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1  Jenis dan Metode Penelitian


Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan. Dikatakan sebagai penelitian
kepustakaan karena penelitian ini didukung oleh referensi baik buku kumpulan cerpen
Sepotong Senja Untuk Pacarku maupun sumber buku penunjang lainnya yang
berhubungan dengan penelitian ini.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif.
Deskriptif berarti menjabarkan atau menggambarkan data secara sistematis, akurat, dan
apa adanya sesuai dengan kenyataan yang objektif sesuai dengan data yang terdapat
dalam kumpulan cerita pendek berjudul Sepotong Senja untuk Pacarku karya Seno
Gumira Ajidarma. Kualitatif artinya menguraikan konsep-konsep pemahaman yang
berkaitan satu sama lain yang disampaikan secara verbal dan berpedoman pada teori-teori
yang relevan dengan cerpen sebagai objek kajian dalam penelitian ini.

3.2  Subjek Penelitian


Subjek penelitian ini adalah buku kumpulan cerita pendek berjudul Sepotong Senja
untuk Pacarku karya Seno Gumira Ajidarma yang diterbitkan oleh PT. Gramedia tahun
2017 dan berjumlah 208 halaman. Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data dari
buku tersebut yang mengindikasikan penggunaan stilistika yang berbentuk permajasan,
dan pemilihan kata yang khas.

3.3  Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik baca
dan catat. Teknik baca yaitu membaca teks kumpulan cerpen Sepotong Senja untuk

24
25

Pacarku karya Seno Gumira Ajidarma yang menjadi objek penelitian ini. Teknik catat
yaitu mencatat data-data atau informasi yang diperoleh dari hasil bacaan sesuai dengan
masalah penelitian ini unuk kemudian diidentifikasi sebagai bentuk unsur-unsur stilistika.

3.4  Teknik Analisis Data


Analisis data dalam penelitian ini menggunakan pendekatan stilistika. Pendekatan
stilistika yaitu pendekatan yang digunakan untuk mengkaji gaya bahasa perbandingan
yang digunakan pengarang dalam cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku karya Seno
Gumira Ajidarma.
Stilistika berada pada posisi antara linguistik dan seni. Leech & Short (dalam
Nurgiyantoro 2019: 100) menyatakan ada tiga tahap kajian stilistika.
1. Seeking Linguistic Evidence
Pertama adalah mencari ragam bahasa yang akan dikaji. Ragam bahasa yang
digunakan dalam penelitian ini adalah ragam bahasa sastra yang berarti kata atau
kalimat yang mengandung unsur-unsur stilistika.
2. Linguistic Description 
Hasil dari bukti-bukti data linguistik kemudian dideskripsikan dalam bentuk deskripsi
kebahasaan.
3. Seeking Aesthetic Function 
Beragai aspek linguistik yang dikaji sudah dideskripsikan. Langkah berikutnya adalah
mencoba menjelaskan fungsi tiap aspek kebahasaan kaitannya dengan tujuan
memperoleh efek estetika bahasa.
26

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Sri Wintala. 2015. Buku Induk Mahir dan Sastra Indonesia Pedoman Praktis
Menulis dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Araska.

Ajidama, Seno, Gumira. 2017. Sepotong Senja Untuk Pacarku. :PT. Gramedia.
Endraswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Sastra. CAPS: Yogyakarta.
Gasong, Dina. 2019. Apresiasi Sastra Indonesia. DEEPUBLISH: Yogyakarta.
Gustina, Maya. 2018. Ensiklopedia Bahasa dan Sastra Indonesia: Gaya Bahasa. PT.
Intan Pariwara: Klaten.
Haryanta, Agung, Tri. 2012. Kamus Kebahasaan dan Kesusastraan. Surakarta: Aksara
Sinergi Media.
Nurgiyantoro, Burhan. 2014. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa.
Nurgiyantoro, Burhan. 2019. Stilistika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Nurgiyantoro, Burhan. 2019. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Pradopo. Rachmat, Djoko. 2017. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Pradopo, Djoko, Rachmat. 2020. Stilistika. Yogyakarta: Gadjah Mada University.
Sudjiman, Panuti. 1992. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sumaryanto. 2019. Karya Sastra Bentuk Prosa. Semarang: Mutiara Aksara.
Tarigan, Henry Guntur. 2013. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: CV Angkasa.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 2016. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.

Anda mungkin juga menyukai