UNTUK PACARKU
KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA
PROPOSAL PENELITIAN
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan pada
Jurusan/Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
OLEH
SULSIFA
A1M1 18 105
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING
PROPOSAL PENELITIAN
Oleh
SULSIFA
A1M1 18 105
Telah diperiksa dan disetujui pembimbing serta untuk diajukan ke hadapan Panitia
Seminar Proposal Penelitian pada Jurusan/Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Halu Oleo.
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Mengetahui:
DAFTAR ISI
ii
SAMPUL.............................................................................................................i
HALAMAN PERSETUJUAN..........................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.........................................................................................3
1.3 Tujuan Penelitian...........................................................................................4
1.4 Manfaat Penelitian.........................................................................................4
1.5 Batasan Operasional......................................................................................4
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
Stile (gaya bahasa) adalah cara penggunaan bahasa dalam konteks tertentu oleh
pengarang, untuk tujuan tertentu. Tujuan tersebut itu misalnya untuk keperluan ekspresif
atau mendatangkan efek tertentu bagi pembacanya (Leech dan Short dalam Nurgiyantoro,
2005: 277). Jadi gaya bahasa dapat dikatakan sebagai teknik pemilihan ungkapan
kebahasaan dengan tujuan mendatangkan efek tertentu bagi pembaca. Gaya bahasa suatu
karya sastra dipelajari dalam stilistika. Stilistika adalah ilmu yang mempelajari tentang
gaya bahasa.
Salah satu pengarang Indonesia yang memiliki gaya khas pengkreasian bahasa
adalah Seno Gumira Ajidarma. Sampai saat ini Seno menghasilkan puluhan cerpen yang
dimuat diberbagai media massa antara lain berjudul Atas Nama Malam, Sepotong Senja
untuk Pacarku, Biola Tak Berdawai, Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi, dan Negeri
Senja. Karya-karya Seno Gumira Ajidarma kental dengan aspek pembawaan imajinasi
dan bahasa metaforis, terutama tampak salah satunya pada cerita pendek berjudul
Sopotong Senja untuk Pacaraku. Cerita pendek tersebut didasarkan pada imajinasi
pengarang dan penulisan bahasa metaforis yang menimbulkan efek estetis bagi pembaca.
Struktur naratif pengkisahan terjalin melalui sekuel adegan naratif cerita utama dan cerita
pendukung dengan menceritakan kejadian masa kini dengan masa lalu. Cerita utama
menceritakan kejadian tentang seorang laki-laki yang mengirimkan sepotong senja dalam
amplop untuk kekasihnya namun diterima kekasihnya 10 tahun kemudian. Cerita
pendukung menceritakan kejadian masa lalu tentang bagaimana laki-laki itu
menceritakan kejadian-kejadian selama melihat senja.
Unsur stile terdiri atas diksi, sintaksis, citraan, irama, bentuk bahasa figuratif, dan
lain lain. Penelitian ini dibatasi hanya tentang beberapa unsur stile yaitu majas, citraan
dan diksi. Kajian stilistika yang dimaksudkan untuk menjelaskan fungsi keindahan
penggunaan bentuk-bentuk kebahasaan selalu menarik perhatian. Melalui penelitian
stilistika ini dapat diketahui unsur-insur stilistika (majas, citraan, dan diksi) dan efek
estetis yang ditimbulkan melalui penggunaan stilistika dalam kumpulan cerpen yang
berjudul Sepotong Senja Untuk Pacarku karya Seno Gumira Ajidarma.
Kumpulan cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku menarik untuk dikaji sebab
pengarang menuliskan kalimat dalam cerita dengan melibatkan berbagai kata puitis yang
menimbulkan efek estetis. Selain itu, pengarang juga menuliskan rangkaian kejadian
3
nyata seolah-olah pembaca ikut merasakan melalui panca inderanya sendiri. Salah satu
keunikan bahasanya dapat dilihat dalam kutipan cerpen berikut.
Kukirimkan padamu sepotong senja yang lembut dengan langit kemerah-
merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama seperti ketika
aku mengambilnya saat matahari hampir tenggelam ke balik cakrawala.
(Ajidarma, 2019: 5).
2) Bagaimanakah efek estetis dalam kumpulan cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku
karya Seno Gumira Ajidarma?
3) Sumbangan pemikiran tentang kajian gaya bahasa dalam novel bagi para peneliti yang
relevan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
7
Secara umum gaya bahasa disebut pula majas atau bahasa kias. Majas dan gaya
bahasa bagi sebagian orang sering disama artikan. Penyama artian tersebut tidak salah.
Dari segi pengertian, keduanya memiliki maksud yang relative sama, yaitu sebagai alat
untuk memperjelas gagasan. Peningkatan pemakaian majas, jelas memperkaya kosakata
pemakainya (Gustina, 2018: 12).
Dari berbagai pernyataan di atas dapat disimpulakan bahwa gaya bahasa adalah
pilihan kata tertentu sesuai dengan maksud penulis atau pembicara dalam rangka
memperoleh aspek keindahan.
Akan tetapi, lain halnya dengan Tarigan (2013: 5) yang membagi jenis-jenis gaya
bahasa menjadi empat kelompok yaitu;
1. Gaya bahasa perbandingan;
2. Gaya bahasa pertentangan;
3. Gaya bahasa pertautan;
4. Gaya bahasa perulangan.
Dari ke empat kelompok gaya bahasa yang disimpulkan di atas maka hanya gaya
bahasa perbandingan yang akan menjadi titik fokus dalam penelitian ini.
Contoh;
Seperti air dengan minyak
Seperti air di daun keladi
Ibarat mengejar bayangan
Bak cacing kepanasan
2. Metafora
Menurut Poerwadarminta (dalam Tarigan, 2013: 15) metafora adalah pemakayan
kata-kata bukan arti sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan
atau perbandingan.
Contoh:
Nani jinak-jinak merpati
Ali mata keranjang
Aku terus memburu untung
Perpustakaan gudang ilmu
Kata adalah pedang tajam
3. Personifikasi
Penginsanan atau personifikasi, ialah jenis majas yang melekatkan sifat-sifat insani
kepada yang tidak bernyawa dan ide yang abstrak.
Contoh:
Hujan memandikan tanaman
Pepohonan tersenyum riang
Tugas menantikan kita
Kucingmu merindukan elusanmu
4. Depersonifikasi
Gaya bahasa depersonifikasi atau pembedaan, adalah kebalikan dari gaya bahasa
personifikasi. Gaya bahasa depersonifikasi dijelaskan oleh kata kalau, jika, jikalau, bila
(mana), sekiranya, misalkan, umpama, andaikata.
Contoh:
a. Kalau dikau menjadi samudera, maka daku menjadi bahtera
Kalau dikau samudera, daku bahtera.
b. Andai kamu menjadi langit, maka dia menjadi tanah
10
8. Perifrasis
Parifrasis adalah sejenis gaya bahasa yang mirip dengan pleonasme. Keduanya
menggunakan kata-kata lebih banyak daripada yang dibutuhkan. Walaupun begitu
terdapat perbedaan yang penting antara keduanya. Pada gaya bahasa perifrasis, kata-kata
yang berlebihan itu pada prinsipnya dapat diganti dengan sebuah kata saja.
Contoh:
Anak saya telah menyelesaikan kuliahnya di jurusan Bahasa Indonesia FPBS IKIP
(sekarang menjadi UPI [Universitas Pendidikan Indonesia]) Bandung. (lulus atau
berhasil)
Ayahanda telah tidur dengan tenang dan beristirahat dengan damai buat selama-
lamanya (meninggal atau berpulang).
9. Antisipasi atau Prolepsis
Kata antisipasi berasal dari bahasa Latin anticipatio yang berarti ‘mendahului’ atau
penetapan yang mendahului tetntang sesuatu yang masih akan dikerjakan atau akan
terjadi’
Contoh:
Kami sangat gembira, minggu depan kami memperoleh hadiah dari Bapak Bupati
Mobil yang malang itu ditabrak oleh truk pasir dan jatuh ke jurang
Almarhum ayahku pada saat itu mengakui bahwa dia mempunyai piutang pada
Rumah Makan Tambore.
10. Koreksi atau Epanortosis
Dalam berbicara atau menulis, ada kalanya kita ingin menegaskan sesuatu, tetapi
kemudian kita memperbaikinya atau mengoreksinya kembali. Gaya bahasa seperti ini
biasa disebut koreksio atau epanortosis.
Contoh:
Dia benar-benar mencintai Neng Tetty, eh bukan, Neng Terry
Saya telah membayar iuran sebanyak tujuh juta, tidak, tidak, tujuh ribu rupiah
Kepala sekolah baru pulang dari Sulawesi Utara, maaf bukan, dari Sumatera Utara
Pak Tarigan memang orang Bali, ah bukan, orang Batak.
12
Kesan tersebut kemudian di olah lebih lanjut dan dikirim ke dalam jiwa yang
menyebabkan perasaan kita, hati kita menjadi tersentuh dan merasakan kenikmatan,
keharuan, dan kepuasan. Itulah keindahan, keindahan yang kita rasakan di hati
(Nurgiyantoro, 2019: 103).
Kajian estetika tak hanya berhubungan denga seni bahasa saja, tetapi juga
menyeluruh ke unsur-unsur pembangun karya sastra. Menurut Teeuw (dalam,
Endraswara 2013: 68-69) ada tiga aspek konsep keindahan. Pertama, dari aspek
ontologisnya, ada keindahan puisi sebagai pembayangan kekayaan Tuhan. Kedua, dari
aspek imanen, dari yang indah, yang terungkapkan dalam kata-kata seperti ajaib,
tamasya, dan lain-lain, dan selalu terwujud dalam keanekaragaman, kebahagiaan yang
harmonis, baik dalam alam maupun dalam ciptaan manusia. Ketiga, dari aspek
psikologis, yaitu efek kepada pembaca yang menjadi heran, birahi, suka, lupa dan
sebagainya. Dalam kaitan ini karya sastra dapat dijadikan sebagai pelipur lara (penglipur
wuyung), seperti pada novl-novel Jawa tahun 1960-an.
Sebuah karya seni yang memiliki keindahan harus didukung oleh kekuatan struktur
yang baik. Struktur dapat dimaknai sebagai pengorganisasian, penataan antar bagian dan
tiap bagian saling berhubungan untuk secara bersama membentuk sebuah kesatuan yang
padu. Djelantik (dalam, Nurgiyantoro 2019: 105) menguraikan bahwa struktur yang
mampu membangkitkan keindahan itu memiliki tiga unsure utama yaitu keutuhann dan
kebersatuan (unity), penonjolan atau penekanan (dominance) dan keseimbangan
(balance).
Menurut (Nurgiyantoro, 2014: 107) kriteria keindahan dalam teks kesastraan antara
lain.
a. Penggunaan ungkapan bermakna konotatif, memberikan efek keindahan, dan
pencerapan indera.
b. Semua komponen kebahasaan didayakan dan difungsikan untuk mencapai tujuan
dan efek tertentu.
munculnya karya-karya sastra. Penggunaan bahasa yang khas sastra yang mampu
memberikan efek khusus selalu menarik perhatian orang untuk memberikan penjelasan.
Namun, dalam perkembangannya stilisika juga diterapkan pada berbagai wacana bahasa
selain sastra. Hal itu di sebabkan bahasa sebagai alat komunikasi yang dikreasikan
sedemikian rupa juga dapat memberikan dampak yang signifikan.
Stilistika berkaitan erat dengan stile. Bidang garapan stilistika adalah stile, bahasa
yang dipakai dalam konteks tertentu, dalam ragam bahasa tertentu. Jika style
diindonesiakan dengan diadaptasikan meenjadi ‘stile’ atau ‘gaya bahasa’, istilah stylistic
juga dapat diperlakukan sama, yaitu diadaptasi menjadi ‘stilistika’. Istilah stilistika juga
lebih singkat dan efisien daripada terjemahannya yang ‘kajiian gaya bahasa’ atau ‘kajian
stile’ (Nurgiyantoro, 2019: 74-75).
Stilistika sangat penting, baik bagi studi linguistik maupun studi kesusastraan
dalam lapangan kebahasaan. Lebih-lebih, dalam lapangan sastra, kritik sastra khususnya,
stilistika ini bias membantu banyak dalam konkretisasi atau pemaknaan sastra. Makna
karya sastra tidak dapat dilepaskan dari gaya bahasa yang dipergunakan dalam karya
sastra yang dikritik (Pradopo, 2020: 1). Menurut Kridalaksana (dalam, Padopo, 2020: 2)
Pendekaatan stilistika adalah (1) ilmu yang menyeidiki bahasa yang dipergunakan dalam
karya sastra; ilmu interdisipliner antara linguistik dan kesususastraan; (2) penerangan
linguistik pada gaya bahasa.
Menurut Wellek & Werren (Nurgiyantoro, 2019: 97) bahwa analisis stilistika
dapat di lakkukan dengan menganalisis secara sistematis terhadap sistem dan tanda-tanda
linguistik dan kemudian menginterpretasikannya sebagai satu keseluruhan makna, dan itu
dalam hubungannya dengan tujuan estetis sebuh teks sastra.
Tujuan kajian stilistika adalah menemukan dan menjelaskan ketepatan
penggunaan bentuk-bentuk bahasa baik secara estetis maupun efektifiasnya seagai sarana
komunikasi. Intinya tujuan kajian stilistika adalah menemukan fungsi estetis penggunaan
bentuk-bentuk bahasa yang mendukung teks (Nurgiyantoro, 2019: 100).
para ahli. Edgar Allan Poe (dalam Nurgiyantoro, 2019: 12) mengemukakan bahwa cerpen
adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira bisa berkisar
antara setengah sampai dua jam, suatu hal yang kiranya tidak mungkin dilakukan oleh
novel. Walaupun sama-sama pendek, panjang cerpen itu sendiri bervariasi. Ada cerpen
pendek (Short Short Story), bahkan mungkin pendek sekali: berkisar 500-an kata; ada
cerpen yang panjangnya cukupan (Middle Short Story), serta ada cerpen yang panjang
(Long Short Story), yang terdiri dari puluhan (atau bahkan beberapa puluh) ribu kata
(Nurgiyantoro, 2019: 12).
Menurut Gasong (2019: 47) bahwa cerpen adalah cerita berbentuk prosa yang
relative pendek, hanya meemiliki satu alur, tema hanya 1 (tema sentral) saja, karakter
tokoh sederhana. Cerita dikatakan pendek, Karena dapat dibaca dalam waktu yang relatif
pendek (kurang dari satu jam).
a. Tema
Stanton dan Kenni (dalam Nurgiyantoro, 2019: 114), mengemukakan bahwa tema
(theme) adalah makna yang dikandung dslam sebuah cerita. Namun, ada banyak makna
yang di kandung dan di tawarkan oleh cerita fiksi itu, maka masalahnya adalah : makna
khusus yang mana yang dapat dinyatakan sebagai tema itu. Atau, jika berbagai makna
itu di anggap sebagai bagian-bagian tema, sub-subtema atau tema –tema tambahan,
makna yang manakah dan baimanakah yang dapat di anggap sebagai makna pokok
sekaligus tema pokok yang bersangkutan?. Hartoko dan Rahmanto (dalam Nurgiyantoro,
2019: 115) mengemukakan bahwa tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang
sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktut semantik dan
yang menyangkut persamaan –persamaan atau perbedaan-perbedaan. Sementara itu di
pihak lain, Baldic (dalam Nurgiyantoro, 2019: 115) mengemukakakn bahwa tema adalah
gagsan abstrak utama yang terdap dalam sebuah karya sastra atau yang secara berulang
ulang di munculkan baik secara eksplisit maupun (yang banyak ditemukan) implisit
lewat pengulangn motif.
Berdasarkan beberapa teori tersebut, Nurgiyantoro (2019: 115) menyimpulkan
bahwa tema adalah gagasan ( makna ) dasar umum yang menopang sebuah karya sastra
sebagai struktur semantic dan bersifat abstrak yang secara berulang ulang di munculkan
lewat motif-motif dan biasanya di lakukan secara inplisit
b. Alur Atau Plot
Stanton ( dalam Nurgiyantoro, 2019: 167) mengemukakan bahwa plot adalah cerita
yang berisi sebuah kejadian, namun tiap kejadian itu, hanya di hubungkan secara sebab
akibat, peristiwa yang satu di sebapkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.
Kenny (dalam, Nurgiyantoro 2019 : 167) mengemukakan plot sebagai sebagai peistiwa-
peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana karena pengarang
menyusun peristuwa-perisiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat. Jauh sebelum itu,
Forster (1970: 93) adalah peristiwa – peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada.
Berikut akan di kemukakan mengenai struktur alur menurut Sudjiman (1992: 30-36).
1. Awal
Paparan
17
2. Tengah
Tikaian
Tikaian adalah perseliihan yang timbul sebagai akibat adanya dua kekuatan yang
bertentangan, satu diantaranya diwakili oleh manusia pribadi yang biasanya menjadi
protagonis dalam cerita (Sudjiman, 1992: 34-35). Tikaian merupakan pertentangan
antara dirinya sebagai kekuatan alam, dengan masyarakat, orang atau tokoh lain,atau
pertentangan antara dua unsur dalam diri satu tokoh itu (Sudjiman, 1992: 35)
Rumitan
Perkembangan dai gejalah mula tikaian menujunke klimaks cerita di sebut
rumitan (Sudjiman, 1992: 35). Rumitan biasanya timbul setelah perselisihan dan
adanya pertentangan diantara tokoh. Dalam rumitan juga sudah muncul permasalhan
yang menimbulkan klimaks permasalahan yang terjadi.
Klimaks
Klimaks tercapai apabila rumitan mencapai puncak kehebatannya. Di dalam cerita
rekaan, rumitan sangat penting. Tanpa rumitan yang memadai tikaian akan lamban.
18
fisik (physical setting). Namun latar dalam cerita fiksi tidak terbatas pada penunjukan
lokasi-lokasi tertentu, atau sesuatu yang bersifat fisik saja, melainkan juga yang berwujud
tatacara tokoh, adat istiadat, kepercayaaan, dan nilai-nilai yang berlaku di tempat yang
bersangkutan. Hal-hal yang disebut terakhir inilah yang di sebut sebagai latar spiritual
(spiritual setting). Dengan demikian, latar dapat di bedakan menjadi unsur latar tempat,
latar waktu, dan latar sosial.
1. Latar tempat
Latar tempat menunjuk pad lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam
sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang mungkin berupa tempat-tempat dengan nama
tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas (Nurgiyantoro,
2019: 314).
2. Latar waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah ”kapan” terjadinya peristiwa-
peristiwa yang di ceritakan dalam sebuah karya fiksi. Menurut Genette (dalam
Nurgiyantoro, 2018: 318), dapat bermakna ganda : di satu pihak menunjukan pada
waktu penceritaan, waktu penulisan cerita, dan pihak lain menunjuk pada waktu dn
urutan waktu yang terjadi dan dikisahkan dalam cerita
3. Latar sosial-budaya
Latar sosial-budaya menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku
kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang di ceritakan dalam karya fiksi. Tata
cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang
cukup kompleks (Nurgiyantoro, 2019: 322).
d. Tokoh
Jones (dalam Nurgiyantoro, 2019: 247) dalah pelukisan gambaran yang jelas
tentang seseorang yang ditaampilkan dalam sebuah cerita. Tokoh cerita (character)
adalah orang-orang yang di tampilkan dalam sesuaatu karya naratif, atau drama, yang
oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti
yang diekspresikan dalam tindakan Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2019: 247). Tokoh
adalah orang yang menjadi pelaku dalam cerita fiksi atau drama Baldic (dalam
Nurgiyantoro, 2019: 247).
20
Tokoh utama (central character) merupakan tokoh yang paling banyak diceritakn
dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, ia sangat menentukan perkembangan
plot cerita secara keseluruhan. Ia selalu hadir sebagai pelaku, atau yang dikenai kejadian
dan konflik, penting yang memengaruhi perkembangan plot. Tokoh tambahan (peripheral
character) adalah tokoh- tokoh yang biasanya diabaikan, atau paling tidak, kurang
mendapat perhatian. Toko tambahan biasanya diabaikan karena sinopis hanya berisi inti
sari cerita (Nurgiyantoro, 2019: 259).
Berdasarkan fungsi penampiln tokoh, tokoh dalam cerita terbagi atas dua macam,
sebagai berikut.
1. Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi yang salah satu jenisnya secara
popular di sebut hero-tokoh yang merupakan pengejawantahan norma norma-norma
nilai-nilai yang ideal bagi kita Altenbernd dan Lewis (dalam Nurgiyantoro, 2019:
261).
2. Toko antagonis adalah tokoh yang berposisi dengan tokoh protagonis, secara langsung
maupun tidak langsung bersifat fisik maupun batin (Nurgiyantoro, 2019: 261).
e. Penokohan
Secara etimologis karakteristik berasal dari bahasa Inggris character atau karakter
yang berarti watak atau peran. Karakter juga bisa berarti orang, masyarakat, ras, sikap,
mental,dan moral, kualitas nalar, orang terkenal, toko dalaam karya sastra (Minderop,
2011: 2). Penokohan adalah cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku (Jauhari,
2013: 161). Penokohan dan karakterisasi-karakterisasi sering juga disamakan artinya
dengan karakter dan perwatakan menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentudengan
watak – watak tertentu dalam sebuah cerita.
Sumaryanto (2019: 9) berpendapat bahwa penokohan atau perwatakan adalah
teknik atau cara pengarang menampilkan tokoh-tokohnya, baik keadaan lahirnya maupun
batinnya yang berupa pandangan hidupnya, sikapnya, keyakinnya, pemikirannya, adat-
istiadatnya dan sebagainya. Melalui penokohan dalam sebuah cerita maka cerita menjadi
lebih nyata dalam imajinasi pembaca. Dan melalui penokohan juga pembaca dapat
melihat dengan jelas seperti apa wujud karakter manusia yang sedang di gambarkan oleh
si pengarang. Menurut Wellek dan Warren (2016: 264) bahwa bentuk penokohan yang
21
paling sederhana adalah pemberian nama. Setiap “sebutan” adalah sejenis cara memberi
kepribadian, menghidupkan. Nama-nama yang alegoris atau setengah alegoris banyak
dijumpai pada komedi-komedi abad ke-18.
Metode penokohan/karakteristik dalam karya sastra adalah metode melukiskan
watak para tokoh yang terdapat dalam suatu karya fiksi (Minderop, 2011: 2). Beberapa
cara yang dapat dipergunakan oleh pengarang untuk melukiskan rupa,watak, tau pribadi
para tokoh (Jauhari , 2013: 161) adalah sebagai berikut.
1. Melukiskan bentuk lahir pelakon.
2. Melukiskan jalan pikiran pelakon atau apa yang terlintas dalam pikiranya.
3. Melukiskan bagaimana reaksi pelakon itu terhadap kejadian-kejadian.
4. Pengarang langsung meng analisis watak pelakon.
5. Pengarang melukiskan keadaan sekitar pelakon.
6. Pengarang melukiskan bagimana pandangan pelakon lain dalam sutu cerita terhadap
pelaku utama.
7. Pelakon-pelakon laindalam suatu cerita memperbincangkan keadaan tokoh utama.
f. Sudut Pandang.
Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2019: 338) sudut pandang merupakan cara atau
pandangan yang di pergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan cerita dalam
sebuah karya fiksi kepada pembaca . Baldic (dalam Nurgiyantoro, 2019: 338) sudut
pandang adalah posisin atau sudut mana yang menguntungkan untuk menyampaikan
kepada pembaca terhadap peristiwa dan cerita yang diamati dan dikisahkan. Stevick
(dalam Nurgiyantoro, 2019: 339) sudut pandang merupakan sesuatu yang menunjuk pada
masalah teknis, sarana yang menyampaikan maksud yang lebih besar daripada sudut
pandang itu sendiri. Sedangkan (Nurgiyantoro 2010: 249) sudut pandang dibedakan
menjadi tiga, yaitu sudut pandang persona ketiga “aku”, sudut pandang persona pertama
“ aku “, dan sudut pandang campuran. Dalam sudut pandang persona ketiga, pengarang
menyebutkan sang tokoh dengan menyebut nama, atau kata ganti ia, dia, mereka, nama-
namatokoh cerita khususnya yang utama, kerap akan terus menerus disebut, dan sebagai
variasi digunakan kata ganti. Hal ini akan mempermudah pembaca untuk mengenali
siapa tokoh yang dibicarakan dan nama tokoh yang bertindak. Sudut pandang pesona
22
ketiga “dia” dapat dibedakan menjadi dua golongan berdasarkan tingkat kebebasan dan
keterkaitan pengarang terhadap bahan cerita. Dua gologan tersebut adalah “dia”,
mahatahu dan “dia”, terbatas. Bersifat mahatahu jika pengarang, ator dapat bebas
menceritakan segala sesuatu yang berhbungan dengan tokoh “dia”, ia bebas bergerak
dari “dia”, ke yang lain, sedangkan bersifat terbatas jika pengarang memiliki
keterbatasan “pengertian”, terhadap tokoh “dia”, yang di ceritakan.
Dalam sudut pesona pertama , pengarang atau narator adalah seseorang yang ikut
terlibat dalam cerita. Ia adalah “aku”, tokoh yang berkisah, mengisahkan dirinya sendiri ,
mengisahkan peristiwa dan tindakan yang diketahuai, didengar, dilihat , dam dirasakan,
serta sikapnya terhadap orang (tokoh) lain kepada pembaca. Sudut pandang persona
pertama dapat dibedakan dapat di bedakan dalam dua golongan berdasarkan peran dan
kedudukan si “aku”, mungkin menduduki tokoh utama, jadi tokoh utama protagonis, atau
berlaku sebagai saksi, sedangkan sudut pandang campuran yaitu sudut pandang yaitu
dimana pengarang didalam mengisahan toko dengan menggunakan sudut pandang ketiga
“dia”, dan sudut pandang pesona pertama “aku”secara bergantian.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sudut pndang adalah cara
pandang pengarang dalam menceritakan tokoh, agar pembaca dapat memahami dan
mengenali setiap tokoh.
g. Amanat
Amanat merupkan pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca melalui
karyanya dan mengandung nilai moral, moral dalam karya sastra, atau hikmah yang
diperoleh pembaca lewat sastra, selalu dalam pengertian yang baik. Dengan demikian
jika dalam sebuah karya ditampilkan sikap dan tingkah laku toko-toko yang kurang
terpuji, baik mereka berlaku sebagai tokoh antagonis maupun protagonis, tidak berarti
bahwa pengarang menyarankan kepada pembaca untuk bersikap dan bertindak secara
demikian (Nurgiyantoro, 2019: 432). Amanat sering disebut moral. Kenny (dalam
Nurgiyantoro, 2019: 430) mengemukakan bahwa moral dalam karya sastra biasanya
dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubunan dengan ajaran moral tertentu yang
bersifat praktis, yang dapat diambil (dan ditafsirkan).
23
h. Gaya Bahasa
Gaya bahsa (stile) adalah cara pengungkapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana
seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan Abrams (dalam
Nurgiyantoro, 2019: 369). Stile merupakan sesuatu hal yang pada umunya tidak lagi
mengandung sifat controversial, yaitu menunjuk pada pengertian cara penggunaan bahsa
dalam konteks tertentu, oleh pengarang tertentu, untuk tujuan tertentu dan sebagainya
Leech dan Short (dalam Nurgiyantoro, 2019: 369). Stile adalah penggunaan bahasa
secara khusus yang ditandai oleh penulis, aliran, perioede, dan genre.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa adalah
ungkapan seseorang dalam bentuk pemilihan berbahasa yang dipergunakan dalam karya
sastra.
2.6.2 Unsur ekstrinsik
Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar teks sastra itu, tetapi
secara tidak langsung memengaruhi bangun atau sistem organisme teks sastra. Atau,
secara lebih khusus Ia dapat di katakan sebagai unsure-unsur yang memengaruhi bangun
cerita karya sastra, namun sendiri tidak ikut menjadi bagian didalamnya. Walau demikian
unsur ekstrinsik cukup berpengaruh (untuk tidak dikatakan: cukup menentukan) terhadap
totalitas bangun cerita secara keseluruhan (Nurgiyantoro, 2019: 30).
BAB III
METODE PENELITIAN
24
25
Pacarku karya Seno Gumira Ajidarma yang menjadi objek penelitian ini. Teknik catat
yaitu mencatat data-data atau informasi yang diperoleh dari hasil bacaan sesuai dengan
masalah penelitian ini unuk kemudian diidentifikasi sebagai bentuk unsur-unsur stilistika.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, Sri Wintala. 2015. Buku Induk Mahir dan Sastra Indonesia Pedoman Praktis
Menulis dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Araska.
Ajidama, Seno, Gumira. 2017. Sepotong Senja Untuk Pacarku. :PT. Gramedia.
Endraswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Sastra. CAPS: Yogyakarta.
Gasong, Dina. 2019. Apresiasi Sastra Indonesia. DEEPUBLISH: Yogyakarta.
Gustina, Maya. 2018. Ensiklopedia Bahasa dan Sastra Indonesia: Gaya Bahasa. PT.
Intan Pariwara: Klaten.
Haryanta, Agung, Tri. 2012. Kamus Kebahasaan dan Kesusastraan. Surakarta: Aksara
Sinergi Media.
Nurgiyantoro, Burhan. 2014. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa.
Nurgiyantoro, Burhan. 2019. Stilistika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Nurgiyantoro, Burhan. 2019. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Pradopo. Rachmat, Djoko. 2017. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Pradopo, Djoko, Rachmat. 2020. Stilistika. Yogyakarta: Gadjah Mada University.
Sudjiman, Panuti. 1992. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sumaryanto. 2019. Karya Sastra Bentuk Prosa. Semarang: Mutiara Aksara.
Tarigan, Henry Guntur. 2013. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: CV Angkasa.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 2016. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.