Anda di halaman 1dari 25

ALAT MUSIK TRADISIONAL ANGKLUNG

MAKALAH SENI BUDAYA

DISUSUN OLEH :

KELAS :

NAMA SEKOLAH
2017
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena
atas berkat dan rahmat darinya serta bimbingannya kami dapat
menyelesaikan dan menyusun makalah ini.
Makalah ini berupa rangkuman, serta penjelasan mengenai
angklung. Serta dirancang dengan sedemikian rupa senhingga
tersusunlah makalah yang indah nan nyaman serta praktis untuk dibaca.
Dengan terbuatnya makalah ini kami harapkan para siswa dan siswi
yang belum mengetahui mengenai angklung dapat sedikit memahami dan
mengetahui apa itu kesenian angklung. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat dan senantiasa dapat menjadi panduan yang gemilang.
Kami menyadari bahwa isi makalah ini masih banyak sekali
kekurangannya. Oleh karena itu, masukan berupa kritik, saran tambahan
dari teman-teman sangat kami tunggu untuk perbaikan dan
penyempurnaan Semoga makalah ini bermanfaat sebagaimana yang
diharapkan.
Billahi taufiq wal Hidayah, Wassalamualaikum Wr. Wb

Tangerang, Desember 2017

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.......................................................................1
1.2 Tujuan ....................................................................................2
1.3 Ruang Lingkup........................................................................2
1.4 Metode Penulisan...................................................................2
BAB II PENGENALAN ANGKLUNG
2.1 Pengertian...............................................................................3
2.2 Sejarah Perkembangan..........................................................5
2.3 Jenis-Jenis Angklung..............................................................7
2.3.1 Angklung Kanekes..........................................................7
2.3.2 Angklung Dogdog Lojor..................................................9
2.3.3 Angklung Gubrag..........................................................11
2.3.4 Angklung Badeng.........................................................12
2.3.5 Buncis...........................................................................13
BAB III FUNGSI DAN CARA MEMBUAT
3.1 Fungsi Dalam Tradisi............................................................16
3.2 Cara Membuat Angklung......................................................17
3.2.1 Pilih Bahan Bambu Angklung.......................................17
3.2.2 Waktu Bambu cincang..................................................18
3.2.3 Proses Industri/ Pengembangan..................................18
BAB IV PENUTUP.....................................................................................19
4.1 Kesimpulan ...........................................................................19
4.2 Saran......................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................21

ii
1BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Angklung adalah sebuah alat atau waditra kesenian yang
terbuat dari bambu khusus, yang ditemukan oleh Bapak Daeng
Sutigna sekitar tahun 1938. Ketika awal penggunaannya angklung
masih sebatas kepentingan kesenian lokal atau tradisional. Namun
karena bunyi-bunyian yang ditimbulkannya sangat merdu dan juga
memiliki kandungan lokal dan internasional seperti bunyi yang
bertangga nada duremi fa so la si du dan daminatilada, maka
angklung pun cepat berkembang, tidak saja dipertunjukan lokal tapi
juga dipertunjukan regional, nasional dan internasional.
Bahkan konon khabarnya pertunjukan angklung pernah digelar
dihadapan Para pemimpin Negara pada Konferensi Asia Afika di
Gedung Merdeka Bandung tahun 1955.
Jumlah pemain angklung bisa dimainkan oleh sampai 50 orang,
bahkan sampai 100 orang dan dapat dipadukan dengan alat musik
lainnya seperti; piano, organ, gitar, drum, dan lain-lain. Selain
sebagai alat kesenian, angklung juga bisa digunakan sebagai
suvenir atau buah tangan setelah dihiasi berbagai asesoris lainnya.
Sepeninggal Daeng Sutigna kreasi kesenian angklung
diteruskan oleh Mang Ujo dan Erwin Anwar. Bahkan Mang Ujo telah
membuat pusat pembuatan dan pengembangan kreasi kesenian
angklung yang disebut ‘Saung angklung Mang Ujo” yang berlokasi di
Padasuka Cicaheum Bandung.
Salah satu program yang ia lakukan khususnya untuk
mempertahankan kesenian angklung adalah memperkenalkan
angklung kepada para siswa sekolah, mulai TK, sampai dengan
tingkat SLTA dan bahkan telah menjadi salah satu kurikulum pada
pada mata pelajaran lokal.

1
1.2 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan karya ini :
1. Untuk menambah wawasan tentang kebudayaan nasional
2. Untuk lebih mengenal alat musik angklung sebagai warisan
kebudayaan
3. Untuk ikut melestarikan budaya bangsa

1.3 Ruang Lingkup


Penulis membatasi tulisan ini seputar :
1. Pengertian angklung
2. Sejarah angklung
3. Cara membuat angklung

1.4 Metode Penulisan


Dalam pembuatan karya ini dilakukan dengan cara :
1. Metode observasi.
2. Membaca beberapa buku di perpustakaan sekolah.
3. Mengumpulkan data dari internet.

2
2BAB II
PENGENALAN ANGKLUNG

2.1 Pengertian
Angklung merupakan sebuah alat musik tradisional terkenal
yang dibuat dari bambu dan merupakan alat musik asli Jawa Barat,
Indonesia. Dulunya, angklung memegang bagian penting dari
aktivitas upacara tertentu, khususnya pada musim panen. Suara
angklung dipercaya akan mengundang perhatian Dewi Sri (Nyi Sri
Pohaci) yang akan membawa kesuburan terhadap tanaman padi
para petani dan akan memberikan kebahagian serta kesejahteraan
bagi umat manusia.
Angklung juga diartikan sebagai alat musik multitonal (bernada
ganda) yang secara tradisional berkembang dalam masyarakat
berbahasa Sunda di Pulau Jawa bagian barat. Alat musik ini dibuat
daribambu, dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan
oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi
yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam
setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Laras (nada) alat musik
angklung sebagai musik tradisi Sunda kebanyakan
adalah salendro dan pelog.
Angklung terdaftar sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan
dan Nonbendawi Manusia dariUNESCO sejak November 2010.
Tidak ada petunjuk sejak kapan angklung digunakan, tetapi
diduga bentuk primitifnya telah digunakan dalam kultur Neolitikum
yang berkembang di Nusantara sampai awal penanggalan modern,
sehingga angklung merupakan bagian dari relik pra-Hinduisme
dalam kebudayaan Nusantara.
Catatan mengenai angklung baru muncul merujuk pada
masa Kerajaan Sunda (abad ke-12 sampai abad ke-16). Asal usul
terciptanya musik bambu, seperti angklung berdasarkan pandangan
hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan

3
dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos
kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohacisebagai lambang Dewi Padi
pemberi kehidupan (hirup-hurip).
Masyarakat Baduy, yang dianggap sebagai sisa-sisa
masyarakat Sunda asli, menerapkan angklung sebagai bagian dari
ritual mengawali penanaman padi. Permainan angklung gubrag
di Jasinga, Bogor, adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih
dari 400 tahun lampau. Kemunculannya berawal dari ritus padi.
Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke
bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.
Jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut
adalah bambu hitam (awi wulung) dan bambu putih (awi temen). Tiap
nada (laras) dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk
bilah (wilahan) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.
Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di
antaranya sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi
angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa
sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia
Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung,
pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan
hanya di mainkan oleh anak- anak pada waktu itu.
Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut
disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-
batang bambu yang dikemas sederhana yang kemudian lahirlah
struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama
angklung.
Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun
dipersembahkan permainan angklung. Terutama pada penyajian
Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi
sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan
di sebagian tempat menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdang

4
serta Jampana (usungan pangan) dan sebagainya.
Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan
menyebar ke seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera.
Pada 1908 tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia
ke Thailand, antara lain ditandai penyerahan angklung, lalu
permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana.
Bahkan, sejak 1966, Udjo Ngalagena —tokoh angklung yang
mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog,
salendro, dan madenda— mulai mengajarkan bagaimana bermain
angklung kepada banyak orang dari berbagai komunitas.

2.2 Sejarah Perkembangan


Angklung adalah mitologi dari Bahasa Bali, yaitu Ang yang
berarti angka (berupa not) dan klung yang berarti rusak. Jadi, jika
digabungkan angklung berarti angka yang rusak. Dalam sejarah
perkembangan musik Angklung, bentuknya yang sekarang
merupakan adaptasi bentuk alat musik dari Filipina.
Perkembangan musik angklung pada mulanya yaitu berasal
dari bambu wulung (wulung awi) yang dimainkan dengan cara
dipukul-pukul. Permainan bambu tersebut bermula untuk
menghormati binatang totem dan untuk menghormati dan
menghargai pemberian hasil panen padi yang banyak dan baik
dari Dewi Sri yang dipercaya sebagai dewi yang memberikan
kesejahteraan.
Sejak kapan angklung muncul dan berkembang, merupakan
pertanyaan yang saya tidak dapat menjawabnya dengan pasti.
Menurut perkiraan Dr. Groneman, sebelum berkembangnya
pengaruh Hindu di Indonesia Angklung sudah merupakan alat musik
yang digemari penduduk (Dr. J. Groneman. “De Gamelan to
Jogjakarta, Letterkundige Vehadelingen der Koninkl, Akademi, jilid
XIX, hal. 4).

5
Sebagai alat musik pra Hindu, Angklung tidak digambarkan
pada candi Borobudur dan Prambanan, sebagaimana halnya alat
musik bambu lainnya yang sudah berkembang sebelum zaman
zaman Hindu di Indonesia, misalnya alat musik bambu berdawai.
Dalam literature kuno pun saya tidak atau belum
menemukannya, Kekawin Arjunawiwaha yang diperkirakan ditulis
sekitar tahun 1040 hanya menyebut-nyebut Sundari (semacam
erofon yang di Jawa Barat dikenal dengan sebutan Sondari, di Bali
Sundaren). Calung yang dewasa ini terdapat di Jawa Barat dan Jawa
Tengah, disebut-sebut dalam Inskripsi Buwahan yang diperkirakan
dibuat sekitar tahun 1181.
Guntang alat musik bambu berdawai yang penyebarannya
meliputi Asia Tenggara sampai Madagaskar, dan sampai sekarang di
Bali tetap disebut Guntang, terdapat dalam Kekawin Kidung Sunda
yang diperkirakan ditulis tidak lama setelah tahun 1357.
Alat yang di Priangan disebut Pancurendang, di Jawa Tengah
disebut Bluntak, dan di Bali disebut Taluktak, disebut-sebut dalam
kekawin Bharata Yuda.Tongtong atau kentongan bambu disebut-
sebut dalam Sudhamala dengan Kulkul, dalam Samarandana
disebut Titiran, dan dalam Bharata Yudha disebut Kukulan. Baru
dalam tulisa-tulisan kemudian seperti dalam serat Cebolang,
Angklung disebut-sebut, yaitu waktu melukiskan saat Mas Cebolang
mempertunjuknan keahliannya menyanyi dan bermain musik
didepan Bepati Dhaha Kediri
Dalam perkembangannya musik angklung perlahan mulai
berubah dan beradaptasi dengan perkembangan jamannya. Mulai
dari jaman dimana manusia memanfaatkan bambu sebagai alat
utama mereka untuk bertahan hidup, masuknya budaya China,
penyiaran agama Islam, masuknya budaya barat ke Indonesia,
sampai pada jaman modern ini.
Pada masa modern ini, perkembangan musik angklung mulai

6
berubah. Itu berawal dari Daeng Sutisna yang berhasil mengubah
tangga nada petatonis menjadi diatonis (do,re,mi,fa,sol,la,si,do) pada
tahun 1983.
Dan perkembangan itu pun terjadi, misalnya pada KTT Asia
Afrika di Bandung, Jawa Barat. Musik Angklung modern dimainkan
untuk acara resmi dalam Indonesia Ultimate Diversity tersebut, yaitu
dalam lagu Indonesia Raya dan beberapa lagu daerah yang terkenal
seperti Rasa Sayange, Ayo Mama, Burung Kakak Tua dan Potong
Bebek Angsa .

2.3 Jenis-Jenis Angklung

2.3.1 Angklung Kanekes


Angklung di daerah Kanekes (kita sering menyebut mereka
Badui) digunakan terutama karena hubungannya dengan upacara
padi, bukan semata-mata untuk hiburan orang-orang.
Angklung digunakan atau dibunyikan ketika mereka menanam
padi di huma (ladang). Angklung ditabuh ketika orang Kanekes
menanam padi; ada yang hanya dibunyikan bebas (dikurulungkeun),
terutama di Kajeroan (Tangtu, Badui Jero), dan ada yang dengan
ritmis tertentu,
yaitu di Kaluaran (Baduy Luar). Meski demikian, angklung
masih bisa ditampilkan di luar ritus padi dan tetap memunyai aturan,
misalnya hanya boleh ditabuh hingga masa ngubaran
pare (mengobati padi), sekitar tiga bulan dari sejak ditanamnya padi.
Setelah itu, selama enam bulan berikutnya semua kesenian
tidak boleh dimainkan, dan boleh dimainkan lagi pada musim
menanam padi berikutnya. Menutup angklung dilaksanakan dengan
acara yang disebut musungkeun angklung, yaitu nitipkeun
(menitipkan, menyimpan) angklung setelah dipakai.

7
Dalam sajian hiburan, angklung biasanya diadakan saat terang
bulan dan tidak hujan. Mereka memainkan angklung
di buruan (halaman luas di pedesaan) sambil menyanyikan
bermacam-macam lagu, antara lain: “Lutung Kasarung”, “Yandu
Bibi”, “Yandu Sala”, “Ceuk Arileu”, “Oray-orayan”, “Dengdang”, “Yari
Gandang”, “Oyong-oyong Bangkong”, “Badan Kula”, “Kokoloyoran”,
“Ayun-ayunan”, “Pileuleuyan”, “Gandrung Manggu”, “Rujak Gadung”,
“Mulung Muncang”, “Giler”, “Ngaranggeong”, “Aceukna”, “Marengo”,
“Salak Sadapur”, “Rangda Ngendong”, “Celementre”, “Keupat
Reundang”, “Papacangan”, dan “Culadi Dengdang”.
Para penabuh angklung sebanyak delapan orang dan tiga
penabuh bedug ukuran kecil membuat posisi berdiri sambil berjalan
dalam formasi lingkaran.
Sementara itu yang lainnya ada yang ngalage (menari) dengan
gerakan tertentu yang telah baku tetapi sederhana. Semuanya
dilakukan hanya oleh laki-laki. Hal ini berbeda dengan masyarakat
Badui Dalam, mereka dibatasi oleh adat dengan berbagai
aturan pamali (pantangan, tabu), tidak boleh melakukan hal-hal
kesenangan duniawi yang berlebihan. Kesenian semata-mata
dilakukan untuk keperluan ritual.
Nama-nama angklung di Kanekes dari yang terbesar adalah:
indung, ringkung, dongdong,gunjing, engklok, indung,leutik, torolok,
dan roel. Roel yang terdiri dari dua buah angklung dipegang oleh
seorang.
Nama-nama bedug dari yang terpanjang
adalah: bedug, talingtit, dan ketuk. Penggunaan instrumen bedug
terdapat perbedaan, yaitu di kampung-kampung Kaluaran mereka
memakai bedug sebanyak tiga buah. Di Kajeroan, kampung
Cikeusik, hanya menggunakan bedug dan talingtit, tanpa ketuk. Di
Kajeroan, Kampung Cibeo, hanya menggunakan bedug, tanpa
talingtit dan ketuk.

8
Di Kanekes yang berhak membuat angklung adalah orang
Kajeroan (Tangtu, Badui Jero). Kajeroan terdiri dari tiga kampung,
yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik.
Di ketiga kampung ini tidak semua orang bisa membuatnya,
hanya yang punya keturunan dan berhak saja yang mengerjakannya
di samping adanya syarat-syarat ritual. Pembuat angklung di
Cikeusik yang terkenal adalah Ayah Amir (59), dan di Cikartawana
Ayah Tarnah. Orang Kaluaran membeli dari orang Kajeroan di tiga
kampung tersebut.

2.3.2 Angklung Dogdog Lojor


Kesenian dogdog lojor terdapat di masyarakat Kasepuhan
Pancer Pangawinan atau kesatuan adat Banten Kidul yang tersebar
di sekitar Gunung Halimun (berbatasan dengan Sukabumi, Bogor,
dan Lebak). Meski kesenian ini dinamakan dogdog lojor, yaitu nama
salah satu instrumen di dalamnya, tetapi di sana juga digunakan
angklung karena kaitannya dengan acara ritual padi.
Setahun sekali, setelah panen seluruh masyarakat
mengadakan acara Serah Taun atau Seren Taundi pusat kampung
adat. Pusat kampung adat sebagai tempat
kediaman kokolot (sesepuh) tempatnya selalu berpindah-pindah

9
sesuai petunjuk gaib.
Tradisi penghormatan padi pada masyarakat ini masih
dilaksanakan karena mereka termasuk masyarakat yang masih
memegang teguh adat lama. Secara tradisi mereka mengaku
sebagai keturunan para pejabat dan prajurit keraton Pajajaran
dalam baresan pangawinan (prajurit bertombak).
Masyarakat Kasepuhan ini telah menganut agama Islam dan
agak terbuka akan pengaruh modernisasi, serta hal-hal hiburan
kesenangan duniawi bisa dinikmatinya. Sikap ini berpengaruh pula
dalam dalam hal fungsi kesenian yang sejak sekitar tahun 1970-an,
dogdog lojor telah mengalami perkembangan, yaitu digunakan untuk
memeriahkan khitanan anak, perkawinan, dan acara kemeriahan
lainnya.
Instrumen yang digunakan dalam kesenian dogdog lojor adalah
dua buah dogdog lojor dan empat buah angklung besar. Keempat
buah angklung ini memunyai nama, yang terbesar
dinamakan gonggong, kemudian panembal, kingking, dan inclok.
Tiap instrumen dimainkan oleh seorang, sehingga semuanya
berjumlah enam orang.
Lagu-lagu dogdog lojor di antaranya: “Bale Agung”, “Samping
Hideung”, “Oleng-oleng Papanganten”, “Si Tunggul Kawung”,
“Adulilang”, dan “Adu-aduan”. Lagu-lagu ini berupa vokal dengan
ritmis dogdog dan angklung cenderung tetap.

10
2.3.3 Angklung Gubrag
Angklung gubrag terdapat di Kampung Cipining, Kecamatan
Cigudeg, Bogor. Angklung ini telah berusia tua dan digunakan untuk
menghormati dewi padi dalam kegiatan melak pare (menanam
padi), ngunjal pare (mengangkut padi),
dan ngadiukeun (menempatkan) ke leuit (lumbung). Dalam mitosnya
angklung gubrag mulai ada ketika suatu masa Kampung Cipining
mengalami musim paceklik.

11
2.3.4 Angklung Badeng
Badeng merupakan jenis kesenian yang menekankan segi
musikal dengan angklung sebagai alat musiknya yang utama.
Badeng terdapat di Desa Sanding, Kecamatan Malangbong, Garut.
Dulu berfungsi sebagai hiburan untuk kepentingan dakwah Islam.
Diduga badeng telah digunakan masyarakat sejak lama dari
masa sebelum Islam untuk acara-acara yang berhubungan dengan
ritual penanaman padi.
Sebagai seni untuk dakwah badeng dipercaya berkembang
sejak Islam menyebar di daerah ini sekitar abad ke-16 atau ke-17.
Pada masa itu penduduk Sanding, Arpaen, dan Nursaen belajar
agama Islam ke Kerajaan Demak. Setelah pulang dari Demak
mereka berdakwah menyebarkan agama Islam. Salah satu sarana
penyebaran Islam yang digunakannya adalah dengan kesenian
badeng.
Angklung yang digunakan sebanyak sembilan buah, yaitu dua

12
angklung roel, satu angklung kecer, empat angklung indung dan
angklung bapa, dua angklung anak, dua buah dogdog, dua buah
terbang atau gembyung, serta satu kecrek. Teksnya menggunakan
bahasa Sunda yang bercampur dengan bahasa Arab.
Dalam perkembangannya sekarang digunakan pula bahasa
Indonesia. Isi teks memuat nilai-nilai Islami dan nasihat-nasihat baik,
serta menurut keperluan acara. Dalam pertunjukannya selain
disajikan lagu-lagu, disajikan pula atraksi kesaktian, seperti mengiris
tubuh dengan senjata tajam. Lagu-lagu badeng: “Lailahaileloh”,
“Ya’ti”, “Kasreng”, “Yautike”, “Lilimbungan”, dan “Solaloh”.

2.3.5 Buncis
Buncis merupakan seni pertunjukan yang bersifat hiburan, di
antaranya terdapat di Baros (Arjasari, Bandung). Pada mulanya
buncis digunakan pada acara-acara pertanian yang berhubungan
dengan padi. Tetapi pada masa sekarang buncis digunakan sebagai
seni hiburan.
Hal ini berhubungan dengan semakin berubahnya pandangan
masyarakat yang mulai kurang mengindahkan hal-hal berbau
kepercayaan lama. Tahun 1940-an dapat dianggap sebagai
berakhirnya fungsi ritual buncis dalam penghormatan padi, karena
sejak itu buncis berubah menjadi pertunjukan hiburan.

13
Sejalan dengan itu tempat-tempat penyimpanan padi pun (leuit,
lumbung) mulai menghilang dari rumah-rumah penduduk, diganti
dengan tempat-tempat karung yang lebih praktis, dan mudah dibawa
ke mana-mana.
Padi pun sekarang banyak yang langsung dijual, tidak disimpan
di lumbung. Dengan demikian kesenian buncis yang tadinya
digunakan untuk acara-acarangunjal (membawa padi) tidak
diperlukan lagi.
Nama kesenian buncis berkaitan dengan sebuah teks lagu
yang terkenal di kalangan rakyat, yaitu “cis kacang buncis
nyengcle …”. Teks tersebut terdapat dalam kesenian buncis,
sehingga kesenian ini dinamakan buncis.
Instrumen yang digunakan dalam kesenian buncis: dua
angklung indung, dua angklung ambrug, satu angklung panempas,
dua angklung pancer, satu angklung enclok, tiga buah dogdog (satu
talingtit, satu panembal, dan satu badublag).
Dalam perkembangannya kemudian ditambah dengan
tarompet, kecrek, dan goong. Angklung buncis berlaras salendro
dengan lagu vokal bisa berlaras madenda atau degung. Lagu-lagu
buncis di antaranya: “Badud”, “Buncis”, “Renggong”, “Senggot”,
“Jalantir”, “Jangjalik”, “Ela-ela”, “Mega Beureum”. Sekarang lagu-lagu
buncis telah menggunakan pula lagu-lagu dari gamelan, dengan
penyanyi yang tadinya laki-laki pemain angklung, kini oleh wanita
khusus untuk menyanyi.
Dari beberapa jenis musik bambu di Jawa Barat (angklung) di
atas, adalah beberapa contoh saja tentang seni pertunjukan
angklung, yakni: angklung buncis (Priangan/Bandung), angklung
badud (Priangan Timur/Ciamis), angklung bungko (Indramayu),
angklung gubrag (Bogor), angklung ciusul (Banten), angklung dog
dog lojor (Sukabumi), angklung badeng (Malangbong, Garut), dan
angklung padaeng yang identik dengan angklung nasional dengan

14
tangga nada diatonis, yang dikembangkan sejak tahun 1938.
Angklung khas Indonesia ini berasal dari pengembangan angklung
Sunda.
Angklung Sunda yang bernada lima (salendro atau pelog) oleh
Daeng Sutigna alias Si Etjle (1908—1984) diubah nadanya menjadi
tangga nada Barat (solmisasi) sehingga dapat memainkan berbagai
lagu lainnya. Hasil pengembangannya kemudian diajarkan ke siswa-
siswa sekolah dan dimainkan secara orkestra besar.

15
3BAB III
FUNGSI DAN CARA MEMBUAT

3.1 Fungsi Dalam Tradisi


Angklung yang dibunyikan dengan cara digoyang-goyangkan
adalah termasuk golongan lonceng. Seperti lonceng, angklung
bersifat khidmat serta biasa digunakan dalam hubungan kegiatan
ritual.
Di beberapa tempat di Bali angklung biasa digunakan khusus
dalam upacara Pengaben (pembakaran mayat). Namun dewasa ini
hal itu terbatas pada kelomopok penduduk yang tidak memiliki
angklung metalopon, seperti penduduk Banjar Tegalingah,
Karangasem.
Orang Baduy di Kanekes , Bnaten Selatan, mempergunakan
angklung sebagai alat musik upacara pada waktu menjelang
menanam padi di ladang, sebutannya Angklung Buhun.
Angklung Gubrag di kampong Jati, Serang, dianggap alat musik
sacral, untuk mengiringi mantera pengobatan orang sakit atau
menolak wabah.
Seperti halnya di Kanekes, di sekitar Kulon Progo terdapat
angklung yang digunakan dalam upacaraBersih Desa, permulaan
musim menggarap sawah, disebut Angklung Krumpyung. Demikina
pula di desa Ringin Anca dan Karangpatian, Ponorogo, upaca Bersih
Desa biasa diiringi Orkes Angklung.
Pada umumnya dewasa ini di berbagai tempat, angklung
merupakan alat kesenian yang profan, seperti halnya di Madura. Di
pulau itu, sepanjang pengetahuan saya angklung hanya terdapat di
Desa Keles, Kecamatan Ambuten, dan di desa Biuto, Kecamatan
Srunggi, keduanya termasuk wilayah kabupaten Sumenep, biasa
digunakan untuk memeriahkan arak-arakan.
Menurut keterangan, dahulu di beberapa tempat di Kalimantan
Barat terdapat angklung, yang contohnya tersimpan dalam Museum

16
Insdisch Institut di Negeri Belanda, tercatat dalam katalogus No.
1297/1-2 dan 1767/1-3.
Akan tetapi dewasa ini menurut beberapa tokoh kebudayaan
dan pejabat-pejabat Kanwil Depdikbud Kalimantan Barat, di wilayah
itu tidak terdapat lagi angklung tradisional.
Di Kalimanatan Selatan sekarang masih terdapat angklung
tradisional yang dikenal dengan sebutan Kurung-kurung, biasanya
digunakan untuk mengiringi pertunjukan Kuda Gepang (Sie) yang
bentuk dan cara pertunjukannya hampir sama dengan Kuda
Kepang di Jawa Tengah.
Menurut keterangan, Kata Gepang disini berarti gepeng atau
pipih. Jadi berlainan dengan arti anyaman, walaupun bentuk dan
kuda-kudanya sama, yaitu terbuat dari anyaman bambu.
Di Lampung pada masa-masa yang lalu terdapat pula angklung
tradisional, yang contohnya dipamerkadi Museum Leidan, Negeri
Belanda dengan katalogus No. 40/58. Namun sekrang sulit untuk
mendapatkan keterangan mengenai angklung tradisional di wilayah
tersebut, kecuali yang dikembangkan oleh beberapa kelompok
transmigran dari Jawa.

3.2 Cara Membuat Angklung

3.2.1 Pilih Bahan Bambu Angklung


Bahan bambu Angklung yang digunakan adalah jenis:
1. Bambu Temen/AwiTemen(Sunda)
1. Bambu Temen Hitam,
2. Bambu Temen Putih (Hijau).
2. Bambu Wulung (Awi Wulung / Sunda) Bambu Hitam,
3. Bambu Lengka,
4. Bambu Tali. (Untuk Nada Tabung)
Untuk memesan bahan (rak) angklung digunakan:

17
1. Bambu Surat / Awi Surat (Sunda)
2. Bambu Gombong,
3. Bambu tali.

3.2.2 Waktu Bambu cincang.


Dari bambu untuk angklung biasa pada bulan
Juli – Okotober.Indonesia adalah di musim kemarau.
Bambu dan kemudian disimpan dalam ruang penyimpanan
gudang untuk mengeringkan, bambu + 1 tahun. Jadi bambu kering
tidak menjadi kering di bawah sinar matahari. Untuk
mendapatkan”suara merdu” angklung dari bambu memotong /
bambu yang dipilih adalah yang berusia 3 tahun.

3.2.3 Proses Industri/ Pengembangan


1. Bambu setelah kering dengan angin, dipilih menurut ukuran.
Angklung penjatahan. Kemudian potong, lalu dibentuk .
2. Disimpan beberapa hari / minggu di rak khusus.
3. Kemudian bambu yang telah terbentuk Angklung(tabung
intonasi) mula mengatur mendekat nada yang diinginkan.
4. Setelah diinstal pada nada tabung. Disimpan atau ayunan
selama beberapa hari/ minggu.
5. Baru diatur kemudian untuk diikat.

18
4BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Angklung merupakan sebuah alat musik tradisional terkenal
yang dibuat dari bambu dan merupakan alat musik asli Jawa Barat,
Indonesia. Dulunya, angklung memegang bagian penting dari
aktivitas upacara tertentu, khususnya pada musim panen. Suara
angklung dipercaya akan mengundang perhatian Dewi Sri (Nyi Sri
Pohaci) yang akan membawa kesuburan terhadap tanaman padi
para petani dan akan memberikan kebahagian serta kesejahteraan
bagi umat manusia.
Jadi, berbanggalah kita sebagai orang Indonesia yang memiliki
maha karya yang dibuat bukan dari jiplakan melainkan, dari
perjuangan nenek moyang kita dalam berkesenian dan menciptakan
suatu kesenian tersebut. Apalagi, sekarang angklung merupakan alat
musik yang universal dikalangan negara-negara se- Asia Tenggara,
Asia Timur bahkan Amerika Serikat.
Jadi, kita musti tahu diri, dan wajib berterima kasih pada
pendahulu angklung dengan cara melestarikan musik tersebut dalam
kehidupan kita sekarang ini, jangan sampai nenek moyang kita
menangis melihat buah karyanya diambil orang lain secara ilegal dan
dilipakan secara mentah oleh anak cucunya sendiri. Jangan sampai
angklung kalah dengan alat-alat musik modern, alat band dan lain-
lain.

4.2 Saran
Karena keterbatasan informasi dan pengetahuan tentang
Sejarah Angklung, ditambah lagi dengan kurangnya pemahaman
tentang pembuatan karya tulis, mengakibatkan terdapat sedikit
kesulitan dalam pembuatan karya tulis ini. Tetapi karena
keterbatasan itulah saya termotivasi untuk menjadi lebih baik.

19
Maka dari itu saya berharap agar dapat lebih memahami
tentang pembuatan karya tulis, dan diharapkan juga agar sering
diadakan pembuatan karya tulis begitupun waktu yang dibutuhkan
agar lebih di perpanjang lagi sehingga dapat dihasilkan karya tulis
yang lebih baik lagi.

20
DAFTAR PUSTAKA

• http://id.wikipedia.org/wiki/Angklung

• http://www.angklung-udjo.co.id/id

• http://www.anneahira.com/sejarah-alat-musik-angklung,.htm

• http://angklungisindonesia.com/pengetahuan/membuat-
angklung/

21

Anda mungkin juga menyukai