Anda di halaman 1dari 9

Kebudayaan Jawa Tengah

Jawa Tengah adalah sebuah provinsi Indonesia yang terletak di bagian tengah Pulau Jawa.
Provinsi ini berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat di sebelah barat, Samudra Hindia dan Daerah
Istimewa Yogyakarta  di sebelah selatan, Jawa Timur di sebelah timur, dan Laut Jawa di sebelah
utara. Luas wilayah nya 32.548 km², atau sekitar 25,04% dari luas pulau Jawa. Provinsi Jawa
Tengah juga meliputi Pulau Nusakambangan di sebelah selatan (dekat dengan perbatasan Jawa
Barat), serta Kepulauan Karimun Jawa di Laut Jawa.

Jawa Tengah secara geografis dan budaya kadang juga mencakup wilayah Daerah Istimewa
Yogyakarta. Jawa Tengah dikenal sebagai "jantung" budaya Jawa. Meskipun demikian di
provinsi ini ada pula suku bangsa lain yang memiliki budaya yang berbeda dengan suku Jawa
seperti suku Sunda di daerah perbatasan dengan Jawa Barat. Selain ada pula warga Tionghoa-
Indonesia, Arab-Indonesia dan India-Indonesia yang tersebar di seluruh provinsi ini.

1. Rumah Adat

Rumah joglo merupakan rumah adat Jawa Tengah yang dibangun berlandaskan keyakinan atau
filosofi jawa. Penyebutan rumah joglo terjadi akibat bentuk atap rumah joglo yang menyerupai
dua gunung atau taJUG LOro (JUGLO) dan berkembang penyebutannya menjadi Joglo.
Penggunaan gunung diyakini oleh masyarakat Jawa saat itu sebagai tempat suci atau rumah para
dewa. 

Tidak hanya di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta pun memiliki rumah joglo dengan
cirri khas daerahnya masing-masing. Ciri khas rumah joglo secara umum yaitu memiliki
pekarangan yang luas dan lapang tanpa dibatasi oleh sekat, bangunannya berbentuk persegi
panjang, memiliki tiga pintu depan dan terdapat tiang yang disebut Soko Guru atau Saka Guru.
Denah utama rumah Joglo terdiri dari tiga bagian utama yaitu, Pendhapa atau Pendopo,
Pringgitan dan Omah Dalem atau Omah Njero dan bagian tambahan lainnya. Berikut ini skema
sederhana rumah Joglo.

Selain rumah Joglo terdapat pula rumah adat lainnya yang terdapat di Jawa Tengah yang
bentuknya tidak kalah menarik dan bersejarah. Sejarah jawa menyatakan bahwa rumah adat dari
Jawa Tengah diklasifikan menjadi lima kategori, yaitu Joglo (Tikelan), Tajug (Tarub), Limasan,
Kampung dan Panggang Pe. Perbedaan dari kelima rumah adat ini dapat dilihat pada tabel
berikut. 

2. Pakaian Adat
Ada banyak ragam jenis busana adat Jawa Tengah, Pakaian resmi adat Jawa Tengah bernama
Jawi Jangkep dan Kebaya. Jawi jangkep adalah pakaian pria yang terdiri atas beberapa
kelengkapan dan umumnya digunakan untuk keperluan adat. Jawi jangkep terdiri dari atasan
berupa baju beskap dengan motif bunga, bawahan berupa kain jarik yang dililitkan di pinggang,
destar berupa blangkon, serta aksesoris lainnya berupa keris dan cemila (alas kaki). Berikut ini
adalah gambar seorang pria yang mengenakan pakaian Jawi Jangkep tersebut. Sementara kebaya
adalah pakaian adat wanita Jawa yang terdiri dari atasan berupa kebaya, kemben, stagen, kain
tapih pinjung, konde, serta beragam aksesoris seperti cincin, subang, kalung, gelang, serta kipas.
Dalam praktiknya, penggunaan pakaian ini diatur sedemikian rupa sesuai dengan strata sosial si
pemakainya. 

Kebaya 
Kebaya umumnya dibuat dari bahan kain katun, beludru, sutera brokat,dan nilon yang berwarna
cerah seperti putih, merah, kuning, hijau, biru, dan sebagainya. Untuk modelnya sendiri ada
kebaya panjang dan kebaya pendek. Kebaya panjang bagian bawahnya mencapai lutut,
sementara kebaya pendek bagian bawahnya hanya mencapai pinggang. Di bagian depan sekitar
dada, terdapat kain persegi panjang yang berfungsi sebagai penyambung kedua sisinya.

Kain Tapih Pinjung 


Sebagai bawahan kebaya, kain tapih pinjung atau kain sinjang jarik bermotif batik digunakan
dengan cara melilitkannya di pinggang dari kiri ke kanan. Untuk menguatkan lilitan, digunakan
stagen yang dililitkan di perut sampai beberapa kali sesuai panjang stagennya. Agar tidak terlihat
dari luar, stagen kemudian ditutupi dengan selendang pelangi berwarna cerah.

3. Tari-tarian Tradisional

Tari sering disebut juga ”beksa”, kata “beksa” berarti “ambeg” dan “esa”, kata tersebut
mempunyai maksud dan pengertian bahwa orang yang akan menari haruslah benar-benar menuju
satu tujuan, yaitu menyatu jiwanya dengan pengungkapan wujud gerak yang luluh. Seni tari
adalah ungkapan yang disalurkan / diekspresikan melalui gerak-gerak organ tubuh yang ritmis,
indah mengandung kesusilaan dan selaras dengan gending sebagai iringannya. Seni tari yang
merupakan bagian budaya bangsa sebenarnya sudah ada sejak jaman primitif, Hindu sampai
masuknya agama Islam dan kemudian berkembang. Bahkan tari tidak dapat dilepaskan dengan
kepentingan upacara adat sebagai sarana persembahan. Tari mengalami kejayaan yang berangkat
dari kerajaan Kediri, Singosari, Majapahit khususnya pada pemerintahan Raja Hayam Wuruk.
Berikut ini  beberapa tarian tradisional dari provinsi Jawa Tengah

1. Bedhaya Ketawang

Bedhaya Ketawang adalah tarian sakral yang rutin dibawakan dalam istana sultan Jawa (Keraton
Yogyakarta dan Keraton Solo). Disebut juga tarian langit, bedhaya ketawang merupakan suatu
upacara yang berupa tarian dengan tujuan pemujaan dan persembahan kepada Sang Pencipta.

Pada awal mulanya di Keraton Surakarta tarian ini hanya diperagakan oleh tujuh wanita saja.
Namun karena tarian ini dianggap tarian khusus yang amat sacral, jumlah penarik kemudian
ditambah menjadi sembilan orang. Sembilan penari terdiri dari delapan putra-putri yang masih
ada hubungan darah dan kekerabatan dari keraton serta seorang penari gaib yag dipercaya
sebagai sosok Nyai Roro Kidul.

Tarian ini diciptakan oleh Raja Mataram ketiga, Sultan Agung (1613-1646) dengan latar
belakang mitos percintaan raja Mataram pertama (Panembahan Senopati) dengan Kanjeng Ratu
Kidul (penguasa laut selatan). Sebagai tarian sakral, terdapat beberapa aturan dan upacara ritus
yang harus dijalankan oleh keraton juga para penari.

Bedhaya ketawang bisa dimainkan sekitar 5,5 jam dan berlangsung hingga pukul 01.00 pagi.
Hadirin yang terpilih untuk melihat atau menyaksikan tarian ini pun harus dalam keadaan
khusuk, semedi dan hening. Artinya hadirin tidak boleh berbicara atau makan, dan hanya boleh
diam dan menyaksikan gerakan demi gerakan sang penari. Tarian Bedhaya Ketawang besar
hanya di lakukan setiap 8 tahun sekali atau sewindu sekali. Sementara, Tarian Bedhaya
Ketawang kecil dilakukan pada saat penobatan raja atau sultan, pernikahan salah satu anggota
keraton yang ditambah simbol-simbol.

Dalam perkembangannya timbulah tari kreasi baru yang mendapat tempat dalam dunia tari gaya
Surakarta. Selain tari yang bertaraf kraton (Hofdans), yang termasuk seni tari bermutu tinggi, di
daerah Jawa Tengah terdapat pula bermacam-macam tari daerah setempat. Tari semacam itu
termasuk jenis kesenian tradisional, seperti: Dadung Ngawuk, Kuda Kepang, Incling, Dolalak,
Tayuban, Jelantur, Ebeg, Ketek Ogleng, Barongan, Sintren, Lengger, dll.

Pedoman tari tradisional itu sebagian besar mengutamakan gerak yang ritmis dan tempo yang
tetap sehingga ketentuan-ketentuan geraknya tidaklah begitu ditentukan sekali. Jadi lebih bebas,
lebih perseorangan. Dalam seni tari dapat dibedakan menjadi klasik, tradisional dan garapan
baru. Beberapa jenis tari yang ada antara lain:

Tari ini menggambarkan seorang prajurit yang sedang berlatih diri dengan perlengkapan senjata
berupa pedang untuk menyerang musuh dan juga tameng sebagai alat untuk melindungi diri.
4. Senjata Tradisional

Keris dikalangan masyarakat di jawa dilambangkan sebagai symbol “ Kejantanan “ dan


terkadang apabila karena suatu sebab pengantin prianya berhalangan hadir dalam upacara temu
pengantin, maka ia diwakili sebilah keris. Keris merupakan lambang pusaka. Di kalender
masyarakat jawa mengirabkan pusaka unggulan keraton merupakan kepercayaan terbesar pada
hari satu sura. 

Keris pusaka atau tombak pusaka merupakan unggulan itu keampuhannya bukan saja karena
dibuat dari unsure besi baja, besi, nikel, bahkan dicampur dengan unsure batu meteorid yang
jatuh dari angkasa sehingga kokoh kuat, tetapi cara pembuatannya disertai dengan iringan doa
kepada sang maha pencipta alam ( Allah SWT ) dengan duatu apaya spiritual oleh sang empu.
Sehingga kekuatan spiritual sang maha pencipta alam itu pun dipercayai orang sebagai kekuatan
magis atau mengandung tuah sehingga dapat mempengaruhi pihak lawan menjadi ketakutan
kepada pemakai senjata pusaka itu.

5. Suku
Mayoritas penduduk Jawa Tengah adalah Suku Jawa. Jawa Tengah dikenal sebagai pusat budaya
Jawa, di mana di kota Surakarta dan Yogyakarta terdapat pusat istana kerajaan Jawa yang masih
berdiri hingga kini. Suku minoritas yang cukup signifikan adalah Tionghoa, terutama di kawasan
perkotaan meskipun di daerah pedesaan juga ditemukan. Pada umumnya mereka bergerak di
bidang perdagangan dan jasa. Komunitas Tionghoa sudah berbaur dengan Suku Jawa, dan
banyak di antara mereka yang menggunakan Bahasa Jawa dengan logat yang kental sehari-
harinya. Selain itu di beberapa kota-kota besar di Jawa Tengah ditemukan pula komunitas Arab-
Indonesia. Mirip dengan komunitas Tionghoa, mereka biasanya bergerak di bidang perdagangan
dan jasa. Di daerah perbatasan dengan Jawa Barat terdapat pula orang Sunda yang sarat akan
budaya Sunda, terutama di wilayah Cilacap, Brebes, dan Banyumas. Di pedalaman Blora
(perbatasan dengan provinsi Jawa Timur) terdapat komunitas Samin yang terisolir, yang
kasusnya hampir sama dengan orang Kanekes di Banten.

6. Bahasa Daerah
Meskipun Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi, umumnya sebagian besar menggunakan
Bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari. Bahasa Jawa Dialek Solo-Jogja dianggap sebagai
Bahasa Jawa Standar. Di samping itu terdapat sejumlah dialek Bahasa Jawa; namun secara
umum terdiri dari dua, yakni kulonan dan timuran. Kulonan dituturkan di bagian barat Jawa
Tengah, terdiri atas Dialek Banyumasan dan Dialek Tegal; dialek ini memiliki pengucapan yang
cukup berbeda dengan Bahasa Jawa Standar. Sedang Timuran dituturkan di bagian timur Jawa
Tengah, di antaranya terdiri atas Dialek Solo, Dialek Semarang. Di antara perbatasan kedua
dialek tersebut, dituturkan Bahasa Jawa dengan campuran kedua dialek; daerah tersebut di
antaranya adalah Pekalongan dan Kedu. Di wilayah-wilayah berpopulasi Sunda, yaitu di
Kabupaten Brebes bagian selatan, dan kabupaten Cilacap utara sekitar kecamatan Dayeuhluhur,
orang Sunda masih menggunakan bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-harinya.
Berbagai macam dialek yang terdapat di Jawa Tengah:
1. dialek Pekalongan
2. dialek Kedu
3. dialek Bagelen
4. dialek Semarang
5. dialek Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati)
6. dialek Blora
7. dialek Surakarta
8. dialek Yogyakarta
9. dialek Madiun
10. dialek Banyumasan (Ngapak)
11. dialek Tegal-Brebes
7. Lagu Daerah
 : Suwe ora Jamu, Gek Kepriye, Lir-ilir, Gundul Pacul, Gambang Suling, dan lain lain.

8.Agama
Sebagian besar penduduk Jawa Tengah beragama Islam dan mayoritas tetap mempertahankan
tradisi Kejawen yang dikenal dengan istilah abangan. Agama lain yang dianut adalah Protestan,
Katolik, Hindu , Budha, Kong Hu Cu, dan puluhan aliran kepercayaan. Penduduk Jawa Tengah
dikenal dengan sikap tolerannya. Sebagai contoh di daerah Muntilan, kabupaten Magelang
banyak dijumpai penganut agama Katolik, dan dulunya daerah ini merupakan salah satu pusat
pengembangan agama Katolik di Jawa. Provinsi Jawa Tengah merupakan provinsi dengan
populasi Kristen terbesar di Indonesia.

9. Alat Musik Tradisional

Gamelan Jawa merupakan Budaya Hindu yang digubah oleh Sunan Bonang, guna mendorong
kecintaan pada kehidupan Transedental (Alam Malakut)”Tombo Ati” adalah salah satu karya
Sunan Bonang. Sampai saat ini tembang tersebut masih dinyanyikan dengan nilai ajaran Islam,
juga pada pentas-pentas seperti: Pewayangan, hajat Pernikahan dan acara ritual budaya Keraton.
10. Kesenian Tradisional
A. Wayamg Kulit

Kesenian wayang dalam bentuknya yang asli timbul sebelum kebudayaan Hindu masuk di
Indonesia dan mulai berkembang pada jaman Hindu Jawa. Pertunjukan Kesenian wayang adalah
merupakan sisa-sisa upacara keagamaan orang Jawa yaitu sisa-sisa dari kepercayaan animisme
dan dynamisme. Menurut Kitab Centini, tentang asal-usul wayang Purwa disebutkan bahwa
kesenian wayang, mula-mula sekali diciptakan oleh Raja Jayabaya dari Kerajaan Mamenang /
Kediri. Sekitar abad ke-10 Raja Jayabaya berusaha menciptakan gambaran dari roh leluhurnya
dan digoreskan di atas daun lontar. Bentuk gambaran wayang tersebut ditiru dari gambaran relief
cerita Ramayana pada Candi Penataran di Blitar. Cerita Ramayana sangat menarik perhatiannya
karena Jayabaya termasuk penyembah Dewa Wisnu yang setia, bahkan oleh masyarakat
dianggap sebagai penjelmaan atau titisan Batara Wisnu. Figur tokoh yang digambarkan untuk
pertama kali adalah Batara Guru atau Sang Hyang Jagadnata yaitu perwujudan dari Dewa Wisnu.

11. Makanan Tradisional


Mendhoan

Mendoan Adalah makanan sejenis gorengan yang berasal dari wilayah Karesidenan


Banyumas, Jawa Tengah. Kata "mendoan" dianggap berasal dari Bahasa Banyumasan yaitu
mendo yang berarti setengah matang atau lembek.
12. Ritual/Upacara Adat
A. Kirab Seribu Apem

Kirab apem sewu adalah acara ritual syukuran masyarakat Kampung Sewu, Solo, Jawa Tengah
yang digelar setiap bulan haji (bulan Zulhijah-kalender penanggalan Islam).
Ritual syukuran itu diadakan untuk mengenalkan Kampung Sewu sebagai sentra produksi apem
kepada seluruh masyarakat sekaligus menghargai para pembuat apem yang ada di sana. Selain
itu, upacara ritual syukuran ini pun dibuat sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan karena
desa dan tempat tinggal mereka terhindar dari bencana. 

Mengapa begitu? Menurut Ketua Pelaksana Kirab Apem Sewu, Pak Hadi Sutrisno, letak
Kampung Sewu Solo ini adanya di pinggir Sungai Bengawan Solo, termasuk daerah rawan
banjir. Makanya, masyarakat mensyukurinya. Tradisi apam sewu berawal dari amanah yang
disampaikan Ki Ageng Gribig kepada seluruh warga untuk membuat 1.000 kue apam dan
membagikannya kepada masyarakat sebagai wujud rasa syukur. Sejalan dengan berkembangnya
zaman, maka ritual kirab apem sewu ini diawali dengan kirab budaya warga Solo yang memakai
pakaian adat Solo, seperti kebaya, tokoh punakawan, dan kostum pasukan keraton. Anak-anak
sekolah juga menjadi peserta kirab dengan menampilkan marching band SD, atraksi Liong
(naga), serta aneka pertunjukan tarian tradisional dan teater. 1.000 kue apem yang sudah disusun
menjadi gunungan itu diarak dari lapangan Kampung Sewu menuju area sekitar kampung
sepanjang dua kilometer. Acara kirab berlangsung selama satu hari, yang dimulai dengan prosesi
penyerahan bahan makanan (uba rampe) pembuat kue apam dari tokoh masyarakat Solo kepada
sesepuh Kampung Sewu di Lapangan Kampung Sewu, Solo.
TUGAS KLIPING
KEANEKARAGAMAN BUDAYA

Nama : Naufal Arkan Imansyah


Kelas : III
Absen : 24

SD N 1 BANJARSARI WETAN
TAHUN AJARAN 2020/2021

Anda mungkin juga menyukai