Anda di halaman 1dari 10

Kebudayaan Provinsi Maluku Utara

Maluku Utara adalah satu provinsi bagian Timur Indonesia yang menyimpan potensi
sumberdaya wisata dilihat dari keanekaragaman budaya, pesona alam dan peradaban sejarah.
Perjalanan sejarah masaa lalu Maluku Utara memiliki empat kerajaan terpenting di
Nusantara, yaitu kerajaan Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo.
Maluku Utara terkenal sebagai pusat penghasil rempah-rempah sejak sekitar abad ke-15
memunculkan interaksi perdagangan yang menghadapkan Maluku Utara dengan bangsa-
bangsa lainnya. Cengkeh pada saat itu merupakan komoditas perdagangan yang banyak dicari
oleh para pedagang dari luar. Untuk menghindari persaingan perdagangan dibangunlah
prinsip-prinsip kerukunan kekeluargaan di antara para raja.
Prinsip kerukunan kekeluargaan ini digambarkan dalam suatu mitos sebagaimana yang
tercantum dalam Hikayat Ternate yang ditulis oleh Naidah pada abad ke-19. Menurut mitos
itu, menjadi keempat kerajaan tersebut merupakan keturunan seorang ulama dari Timur
Tengah bernama Jafar Sadek yang menikah dengan seorang bidadari, setempat Nur Sifa.
Kerukunan keempat kerajaan tersebut mulai pecah dan berubah menjadi persaingan ketika
Portugis dan Spanyol datang di Maluku Utara. Pada tahun 1512, Ternate bekerjasama dengan
Portugis sementara Tidore bekerjasama dengan Spanyol.

1. Rumah Adat Maluku Utara


Maluku Utara memiliki dua macam rumah adat yang menjadi ciri khas kota Maluku Utara
yaitu rumah adat Sasadu yang berasal dari Halmahera Barat. Sedangkan pada tahun 2007
dibangun rumah adat Hibualamo yang berada di Halmahera Utara.
A. Rumah Adat Sasadu

Rumah adat Sasadu merupakan rumah adat yang diwariskan oleh leluhur suku Sahu di Pulau
Halmahera Barat, Maluku Utara. Sasadu berasal dari kata Sasa – Sela – Lamo atau besar dan
Tatadus – Tadus atau berlindung, sehingga Sasadu memiliki arti berlindung di rumah besar.
Rumah adat Sasadu memiliki bentuk yang simpel atau sederhana yaitu berupa rumah
panggung yang dibangun menggunakan bahan kayu sebagai pilar atau tiang penyangga yang
berasal dari batang pohon sagu, anyaman daun sagu sebagai penutup atap rumah adat dan
memiliki dua pijakan tangga terletak di sisi kiri dan kanan.

Pada rumah adat Sasadu terdapat dua ujung atap kayu yang diukir dan memiliki bentuk
haluan dan buritan perahu yang terdapat pada kedua ujung atap. Bubungan tersebut
melambangkan perahu yang sedang berlayar karena suku Sahu merupakan suku yang suka
berlayar mengarungi samudera. Selain itu pada bubungan atapnya digantungkan dua buah
bulatan yang dibungkus ijuk. Bulatan itu menggambarkan simbol dua kekuatan supranatural
yaitu kekuatan untuk membinasakan dan kekuatan untuk melindungi.

B. Rumah Adat Hibualamo

Rumah adat Hibualamo merupakan rumah adat yang berasal dari Halmahera Utara, Maluku
Utara. Menurut bahasa asli setempat Hibua berarti Rumah sedangkan Lamo berarti Besar
sehingga Hibualamo memiliki pengertian rumah yang besar. Rumah adat Hibualamo baru
diresmikan pada bulan April 2007, namun sebenarnya rumah adat Hibualamo ini sudah
didirikan semenjak 600 tahun yang lalu. Hilangnya keberadaan rumah adat ini akibat adanya
penjajahan, kemudian didirikannya Balai Desa sebagai tempat penyelesaian masalah dan
pemerintahan.

Rumah adat Hibualamo didirikan kembali sebagai symbol perdamaian pasca konflik SARA
pada tahun 1999 - 2001. Oleh karena itu pembangunannya pun mengalami perkembangan
dibandingkan bentuk aslinya yang berupa rumah panggung. Bentuk asli rumah adat ini
berada di Pulau Kakara, Halmahera Utara dan biasa disebut Rumah adat Hibualamo Tobelo
Bangunan rumah adat Hibualamo dibangun dengan banyak symbol yang memiliki arti
tersendiri yang berhubungan dengan persatuan. Konstruksi rumah adat menyerupai perahu
yang mencerminkan kehidupan kemaritiman suku Tobelo dan Galela yang ada di pesisir.
Bangunannya memiliki bentuk segi 8 dan memiliki 4 pintu masuk yang menunjukkan simbol
empat arah mata angin dan semua orang yang berada didalam rumah adat saling duduk
berhadapan yang menunjukkan kesetaraan dan kesatuan.

Pada rumah adat Hibualamo terdapat 4 warna utama yang masing – masing memiliki arti.
Warna merah mencerminkan kegigihan perjuangan komunitas Canga, warna kuning
mencerminkan kecerdasan, kemegahan dan kekayaan. Warna hitam mencerminkan
solidaritas dan warna putih mencerminkan kesucian.

2. Pakaian Adat
Berbicara tentang budaya Maluku Utara, pada kesempatan kali ini kami akan mengulas salah
satu peninggalan kebudayaan yang berupa pakaian adat. Pakaian adat Maluku Utara selain
berguna sebagai pemenuhan kebutuhan fisik sandang, juga dapat berfungsi sebagai status
sosial pemakainya, mengingat terdapat perbedaan-perbedaan yang spesifik dalam aturan
pengenaan pakaian adat tersebut berdasarkan kedudukan pemakainya dalam strata sosial.
Sedikitnya kami telah merangkum 4 jenis pakaian adat Maluku utara berdasarkan kelas sosial
pemakainya. Keempat jenis pakaian tersebut antara lain pakaian adat sultan dan permaisuri,
pakaian adat bangsawan, pakaian adat remaja putra putri, dan pakaian adat rakyat biasa.

A. Pakaian Adat Sultan dan Permaisuri


Sejarah kerajaan Ternate dan Tidore di masa silam masih meninggalkan sebuah aturan bagi
sultan dan permaisuri kerajaan untuk mengenakan pakaian kebesarannya. Pakaian untuk
sultan bernama Manteren Lamo. Pakaian adat Maluku Utara ini terdiri dari jas tertutup
berwarna merah dengan 9 kancing besar yang terbuat dari perak, dan ujung tangan, leher,
serta saku jas bagian luar dihiasi dengan bordir dan pernik keemasan.Warna merah pada jas
melambangkan keperkasaan dan kekuasaan sang sultan. Pakaian ini dikenakan dengan
bawahan celana panjang berwarna hitam dan tutup kepala atau destar khusus seperti yang
dapat dilihat pada gambar di atas.

Pakaian istri sultan atau sang permaisur bernama Kimun Gia. Pakaian ini adalah kebaya yang
dibuat dari kain satin putih yang dipadukan dengan bawahan berupa kain songket yang diikat
dengan ikat pinggang emas. Selain itu, permaisuri juga akan mengenakan aksesoris lainnya
sebagai pernik hiasan. Akeseoris tersebut antara lain selendang, konde pada sanggul, kalung,
serta bros dan peniti yang dibuat dari berlian, intan, atau emas.

B. Pakaian Adat Bangsawan


Pakaian adat untuk para bangsawan atau pembesar berupa jubah panjang yang menjuntai
sampai betis, celana panjang, serta ikat kepala berbentuk khusus dan beragam kelengkapan
lainnya seperti yang dapat dilihat pada gambar. Sementara untuk para wanita bangsawan,
pakaian yang dikenakan berupa kebaya dan kain panjang sebagai bawahan.

C. Pakaian Adat Remaja Putra dan Putri


Selain dua pakaian adat di atas, ada pula pakaian adat Maluku Utara lainnya yang dikenakan
khusus oleh remaja putra putri dari golongan bangsawan. Pakaian remaja putra disebut baju
koja. Baju ini adalah perpaduan jubah panjang berwarna biru atau kuning muda yang
melambangkan jiwa muda, serta bawahan celana panjang hitam atau putih dan tutup kepala
bernama toala polulu. Sementara pakaian adat untuk remaja putri adalah perpaduan kebaya
dan kain songket yang dilengkapi dengan beragam aksesoris seperti kalung rantai emas
(taksuma), anting susun dua, serta alas kaki bernama tarupa.

D. Pakaian Adat Rakyat Biasa


Untuk rakyat biasa atau masyarakat adat Ternate Tidore pada umumnya, pakaian adat yang
dikenakan jelas akan sarat dengan nilai kesederhanaan baik untuk para pria maupun para
wanitanya. Sayangnya jenis pakaian ini sudah sangat sulit ditemukan saat ini.

3. Tari daerah
A.Tari Gumatere
Tari Gumatre adalah sejenis tarian tradisional masyarakat Maluku Utara yang dimaksudkan
untuk meminta petunjuk atas suatu persoalan ataupun fenomena alam yang sedang terjadi.
Tarian ini dibawakan oleh 30 orang penari pria dan wanita.

Penari pria menggunakan tombak dan pedang sedangkan penari wanita menggunakan lenso.
Yang unik dari tarian ini adalah salah seorang penari akan menggunakan kain hitam, nyiru
dan lilin untuk ritual meminta petunjuk atas suatu kejadian. Gumatere merupakan tarian
tradisional rakyat Morotai.

B. Tarian Cakalele
Tarian Cakalele ini merupakan tarian perang yang saat ini dipertunjukan pada saat
menyambut tamu agung yang datang ke daerah tersebut . Tarian Cakalele ini tersebut
dimainkan oleh beberapa pria yang biasanya menggunakan Parang dan Salawaku sedangkan
wanita biasa menggunakan Lenso (sapu tangan). tarian tersebut merupakan tarian tradisional
khas Maluku.

C. Tarian Bambu Gila


Tarian ini merupakan tarian yang sangat mistis di daerah maluku utara . tepatnya di daerah
hutan bambu di kaki gunung Gamalama . Awal tarian ini yaitu untuk memindahkan kapal
kayu yang telah jadi dibuat dari gunung ke pantai . Tarian tersebut juga digunakan untuk
memindahkan kapal yang sudah kandas di laut.

Bahkan untuk para raja-raja tarian bambu gila ini juga digunakan untuk melawan para musuh
yang datang untuk menyerang . Dan sekarang tarian tersebut dijadikan sebagai hiburan pada
saat ada acara adat dan pesta . Tarian tersebut menggunakan bambu yang berukuran kira -
kira 10 - 15 meter . Sebelum tarian ini dimulai pertama-tama pawang akan membakar
kemenyan atau dupa terlebih dahulu dengan diirngi pembacaan doa agar diberikan
keselamatan hingga selesai memainkan. Setelah itu bambu tersebut berguncangan dengan
perlahan semakin lama bambu tersebut akan semakin kencang.

D. Tarian Lenso

Tarian Lenso adalah tarian muda-mudi dari daerah Minahasa (sulut) dan daeah
Maluku,Tarian ini biasanya di bawakan secara ramai-ramai bila ada Pesta. Baik Pesta
Pernikahan, Panen Cengkeh, Tahun Baru dan kegiatan lainnya. Tarian ini juga sekaligus
ajang Pencarian jodoh bagi mereka yang masih bujang. Lenso artinya Saputangan. Istilah
Lenso, hanya dipakai oleh orang-orang (masyarakat di daerah Sulut, sebagian Sulteng dan
daerah lain di Indonesia Timur)

E. Tari Soya - soya


Tari soya-soya adalah tarian khas Maluku Utara yang diciptakan untuk menyambut
prajurit atau pasukan setelah bertempur di medan perang. Kata ‘soya-soya’ sendiri bermakna
‘semangat pantang’. Tarian ini sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu, lo! Tarian ini
menggambarkan perjuangan masyarakat Kayoa, di Kabupaten Halmahera Selatan di zaman
dahulu. Di tahun 1570-1583 terjadi penyerbuan ke Benteng Nostra Senora del Rosario
(Benteng Kastela), diujung Selatan Ternate oleh Sultan Babullah (Sultan Ternate ke-24) dan
pasukannya. Penyerbuan ini bertujuan untuk mengambil jenazah ayah handa Sultan Babullah,
yaitu Sultan Khairun yang dibunuh oleh tentara Portugis. Pertempuran itu menandai
kebangkitan perjuangan rakyat Kayoa terhadap penjajah dengan mengepung benteng tersebut
selama 5 tahun pada akhir abad ke-16.
Tarian Soya-soya waktu itu untuk mengobarkan semangat pasukan setelah meninggalnya
Sultan Khairun pada 25 Februari 1570. Saat itu, Tarian Soya-soya dimaknai sebagai perang
pembebasan dari Portugis hingga jatuhnya tahun 1575. Pada masa berikutnya Kesultanan
Ternate menjadi penguasa 72 pulau berpenghuni di wilayah timur Nusantara hingga
Mindanao Selatan di Filipina dan Kepulauan Marshall. Pakaian yang dikenakan dalam tarian
ini adalah pakaian berwarna putih dan kain sambungan mirip rok berwara-warni, yaitu merah,
hitam, kuning, dan hijau. Setiap penari mengenakan ikan kepala waena kuning (taqoa) yang
merupakan symbol seorang prajurit perang. Perlengkapan yang digunakan adalah berupa
pedang (ngana-ngana) dari bambu berhiaskan daun palem (woka) berwarna merah, kuning
dan hijau, serta dipasangkan kerincing atau biji jagung di dalamnya. Selain itu, para penari
juga membawa perisai (salawaku).

Musik pengiring tarian ini adalah gendang (tifa), gong (saragai), dan gong yang berukuran
kecil (tawa-tawa). Gerakan di tarian ini menggambarkan terlihat seperti menyerang,
mengelak dan menangkis. Jumlah penari soya-soya sendiri tidak ditentukan. Bisa hanya
empat orang dan bahkan hingga ribuan penari. Masyarakat Maluku Utara sangat menjaga
kelestarian tarian ini. Oleh karena itu, anak-anak di wilayah Maluku Utara sudah diajari Tari
Soya-soya sejak kecil.

4. Senjata Tradisional
Senjata Parang dan Sawalaku, digunakan pada saat berperang, berburu hewan serta dipakai
penari pria pada tarian caklele.

5. Suku
Beraneka ragam suku yang terdapat di Maluku Utara, yakni Suku Loloda, Tobaru, Sawai,
Ternate, Makian Barat, Makian Timur, Pagu, Siboyo, Gane, Ange, Suku Arab dan Eropa dan
yang lainnya.

 Suku Ternate
o Suku Ternate merupakan suku bangsa yang berdiam di Pulau Ternate,
Provinsi Maluku Utara, dan sekitarnya, dengan populasi sekitar 50.000 jiwa.
Bahasa ibu orang Ternate adalah Bahasa Ternate, yang banyak memengaruhi
bahasa Melayu Maluku Utara, yakni bahasa persatuan di Maluku Utara. Mata
pencaharian orang Ternate, terutama adalah bertani dan melaut (mencari ikan).
Komoditas pertanian yang terkenal dari kawasan ini adalah cengkeh, kelapam
dan pala. Orang Ternate juga dikenal sebagai pelaut yang ulung. Menurut
sensus 2010, 97% suku ternate memeluk Islam, sisanya Kristen Protestan dan
sejumlah agama lainnya.

 Suku Moro
o Suku Moro, adalah suatu suku yang konon menurut mitos pernah hidup di
pulau Morotai, salah satu pulau di kepulauan Halmahera Utara provinsi
Maluku Utara Indonesia.Masyarakat kepulauan Halmahera meyakini bahwa
suku Moro pernah berdiam di pulau Morotai, salah satu pulau di kepulauan
Halmahera Utara. Pada masa lalu terdapat sebuah kerajaan bernama Kerajaan
Jailolo yang diperintah oleh seorang raja yang adil dan bijaksana. Namun
ketika masuknya Portugis pada 15, Kerajaan Jailolo yang rakyatnya adalah
suku Moro, terdesak ke dalam hutan Morotai. Setelah itu suku Moro ini seperti
raib di dalam hutan. Ada sebuah anggapan bahwa suku Moro pindah ke pulau
lain, yang diperkirakan ke Filipina. Tapi kisah masyarakat Halmahera tentang
suku Moro tetap menjadi cerita hangat di kalangan masyarakat Halmahera
hingga saat ini. Beberapa tua-tua adat (pemuka adat atau orang yang dituakan
di Morotai), mengatakan bahwa suku Moro adalah penduduk asli pulau
morotai. Tidak diketahui apakah suku Moro di Morotai ada hubungan dengan
suku Moro di Filipina. Belum pernah ada penelitian tentang hal ini

6. Bahasa Daerah
Bahasa Melayu Utara atau Melayu Ternate.

7. Lagu Daerah:
Lagu Borero dan Moloku Kie Raha.

Anda baru saja membaca artikel dengan judul Kebudayaan Provinsi


Maluku Utara, Semoga bermanfaat, Terima kasih.
MAKANAN KHAS MALUKU UTARA
1.PAPEDA

Talam Sagu Bakar

Anda mungkin juga menyukai