1. Keadaan geografi
Gunung Tertinggi: Foho Lakaan.
dari luas wilayah Kabupaten Belu.Sedangkan yang terkecil adalah Kecamatan Atambua Barat
dengan luas wilayah 15,55 km atau 1,21% dari luas wilayah Kabupaten Belu seperti tertera pada
2
Kabupaten Belu adalah salah satu kabupaten dari enam kabupaten/kota di Propinsi NTT,
yang terletak di daratan Timor. Posisi geografis Kabupaten Belu dalam daratan Timor
Propinsi NTT adalah di bagian paling timur dan berbatasan langsung dengan Negara
Republik Demokratik Timor Leste (RDTL).
2. Ekologi
Dari aspek ekologis, kondisi tanah Belu sangat subur karena selain memiliki lapisan tanah
jenis berpasir dan hitam juga dikondisikan dengan curah hujan yang relatif merata sepanjang
tahun. Daerah Belu yang subur tersebut membuatnya potensial untuk dikembangkan
menjadi daerah peternakan dan pertanian. Sub sektor perikanan dengan kawasan pantai
yang membentang dari Belu bagian selatan sampai utara turut mempengaruhi pemerataan
pekerjaan dan pendapatan. Selain itu dari sub sektor kehutanan kontribusi yang diperoleh
juga signifikan dengan beberapa jenis pohon.
3. Demografi
Kependudukan
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Belu tahun 2018[38], jumlah penduduk
kabupaten Belu pada akhir tahun 2017 adalah 213.596 jiwa; dibagi menjadi 106.782 jiwa laki-laki
dan 106.814 jiwa perempuan. Laju pertumbuhan penduduk di kabupaten Belu antara rahun 2016
dan 2017 adalah 3,00%, dengan angka pernikahan sebanyak 826 rumah tangga baru dan angka
kelahiran sebanyak 8843 jiwa. Rasio jenis kelamin tahun 2017 adalah 1,00 yang berarti jumlah
penduduk laki-laki dan perempuan hampir sama.[38]
Pada tahun 2018, jumlah penduduk Kabupaten Belu adalah 216.780, dengan laju pertumbuhan
penduduk 2,40% per tahun, menjadikannya kabupaten dengan pertumbuhan penduduk tertinggi ke-5
di Nusa Tenggara Timur. 4,02% penduduk Nusa Tenggara Timur tinggal di Kabupaten Belu.[37]
Jumlah penduduk miskin di Kabupaten Belu pada tahun 2018 adalah sekitar 33.910 jiwa
(15,70%).[39] Angka ini turun dari sebelumnya 15,92% pada tahun 2017, dan 15,82% pada tahun
2016. Sementara itu, Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten Belu pada tahun 2018 adalah
61,86, turun dari sebelumnya 63,42 pada tahun 2017.
Ketenagakerjaan[sunting | sunting sumber]
Berdasarkan hasil Sakernas 2017, angkatan kerja tahun 2017 berjumlah 97.869 orang atau 70,55 persen
terhadap penduduk kabupaten Belu usia 15 tahun ke atas. Dari jumlah tersebut sebanyak 97,53 persen
berstatus pekerja. Tingkat pengangguran kabupaten Belu tahun 2017 tercatat 2414.[38]
Pada tahun 2018, Tingkat Pengangguran Terbuka di Kabupaten Belu adalah 5,26%.[37]
Agama
Mayoritas penduduk di Kabupaten Belu beragama Katolik 89,83% dengan diikuti Kristen
Protestan 7,11%, Islam 2,76%, Hindu 0,12%, dan Buddha 0,01%.[11]
Jumlah penduduk kabupaten Belu pada tahun 2015 (BPS, Belu dalam Angka 2016) adalah
204.541 jiwa terdiri dari 100.922 orang laki – laki dan 103.619 orang perempuan, dengan
tingkat pertumbuhan penduduk pertahun sebesar 2,42%, kepadatan penduduk sebesar
159/KM2 dan penduduk terbanyak berusia 5-9 tahun. Lebih jelas mengenai struktur
penduduk kabupaten Belu disajikan dalam data dibawah ini (BPS, Belu Dalam Angka 2016) :
4. Sejarah
Masa Prasejarah[sunting | sunting sumber]
Umumnya penduduk Kabupaten Belu berasal dari ras Melayu Tua (Proto Melayu), ras yang
diyakini lebih tua dan lebih awal mendiami Pulau Timor. Selain Ras Melayu Tua, terdapat juga
ras Melayu Muda (Deutero Melayu) dan Asia (Cina). Baik ras Proto Melayu, Deutero
Melayu dan Asia, telah berbaur dan telah terikat dalam sistem kawin-mawin, sejak beratus-ratus
bahkan beribu-ribu tahun silam. Di Kota Atambua, juga beberapa kota kecil
seperti Atapupu, Halilulik, Betun, terdapat juga sejumlah kecil penduduk yang berasal dari luar
Kabupaten Belu, entah dari Pulau Timor sendiri, ataupun dari luar Pulau Timor. Penutur adat
Kabupaten Belu, yang dijuluki gelar Mako’an, menuturkan bahwa konon Pulau Timor ini belum
muncul ke permukaan. Semua masih ditutupi air. Hal itu dibayangkan dengan Zaman
es (atau Zaman Glasial) yang terjadi sekitar 500 atau 600 ribu tahun silam.[16]
Menurut Kepercayaan Adat Belu[sunting | sunting sumber]
Konon, seluruh permukaan bumi tertutup air, termasuk di Timor. Namun pada suatu ketika, di Timor,
muncullah sebuah titik, yang ternyata itu adalah puncak tertinggi dari keseluruhan Pulau Timor kelak.
Titik kecil itu muncul dan bersinar sendiri. Orang di generasi sesudahnya menggambarkan kembali titik
bumi yang muncul itu dengan sapaan adat: Fo’in Nu’u Manu Matan (baru seperti biji mata ayam), Foin
Nu’u Bua Klau (baru seperti potongan sebelah pinang), Foin Nu’u Etu Kumun (baru seperti gumpalan nasi
di tangan), dan Foin Nu’u Murak Husar (baru sebesar pusar mata uang). Titik kecil itulah yang kelak
dikenal dengan Gunung Lakaan sekarang, sebagai puncak tertinggi di Kabupaten Belu. Oleh karenanya,
tidaklah heran kalau Orang Belu menjuluki puncak itu dengan nama Foho Laka An (gunung yang memiliki
cahara sendiri), Manu Aman Laka An (ayam jantan merah bercahaya sendiri), Sa Mane Mesak (seperti
lelaki tunggal), atau Baudinik Mesak (seperti bintang tunggal).
Dan di puncak Gunung Lakaan ini pula, diyakini oleh masyarakat Kabupaten Belu, lahirlah Manusia
Pertama Belu. Sebenarnya ada nama yang dikenakan kepada Leluhur Pertama Orang Belu yang pertama
kali hidup di Puncak Gunung Lakaan. Manusia pertama di Belu ternyata seorang Puteri Cantik.
Menurut cerita orang tua-tua di Belu, pada zaman dahulu kala, seluruh Pulau Timor masih digenangi air,
kecuali puncak Gunung Lakaan. Pada suatu hari turunlah seorang putri dewata di puncak gunung
Lakaan dan tinggallah ia di sana. Putri dewata itu bernama Laka Loro Kmesak yang dalam bahasa Belu
berarti Putri tunggal yang tidak berasal usul. Laka Loro Kmesak adalah seorang putri cantik jelita dan luar
biasa kesaktiaannya. Karena kesaktiannya yang luar biasa itu, maka Laka Loro Kmesak dapat melahirkan
anak dengan suami yang tidak pernah dikenal orang.
Para Mako’an Belu mengatakan bahwa “Suami” atau “Leluhur Lelaki” yang tidak dikenal itu, yang
“menghampiri” Leluhur Perempuan (Laka Loro Kmesak), kelak lebih dijuluki dengan Gelar Manu Aman
Lakaan Na’in, artinya Tuan dari Puncak Jago Lakaan. Karena kerahasiaan itu tetap terjaga sampai tidak
disebutkan Nama, maka Laka Loro Kmesak disebut pula dengan nama Na’in Bilak An yang
artinya berbuat sendiri dan menjelma sendiri.
Beberapa tahun kemudian Putri Laka Loro Kmesak berturut-turut melahirkan dua orang putra dan dua
orang putri. Kedua putranya diberi nama masing-masing, Atok Lakaan dan Taek Lakaan. Sedangkan kedua
putrinya masing-masing diberi nama Elok Loa Lorok dan Balok Loa Lorok.
Setelah keempat putra-putri ini dewasa mereka dikawinkan oleh ibunya karena di puncak gunung tidak ada
keluarga lain. Atok Lakaan kawin dengan Elok Loa Larak dan Taek Lakaan kawin dengan Balok Loa
Lorok. Kelak keturunan Manu Aman Lakaan inilah yang kelak memenuhi Tanah Belu, Timor
Leste, Dawan, Rote, Sabu, Larantuka atau Lamaholot di Pulau Flores bagian timur.
Tidaklah heran kalau masyarakat Belu kebanyakan menganut paham matrilineal karena kisah Tuan Putri
Laka Loro Kmesak ini. Walau akhirnya dalam sejarah yang panjang, anak-cucu Manu Aman
Lakaan mengembangkan pula sistem patrilineal dengan mem-faen-kotu seorang istri untuk dimasukkan ke
rumah suku lelaki. Itu merupakan pengembangan lebih lanjut atau penafsiran terhadap
sistem matrilineal yang sudah ada sejak leluhur, di mana, perempuan yang di-faen-kotu, memiliki arti
bahwa perempuan itu sangat tinggi harkatnya dan sangat disanjung sehingga suku suami, rela
mengorbankan harta bendanya demi mendapatkan perempuan baru sebagai anggota inti rumah suku sang
suami.
Pada masa penjajahan Belanda, wilayah Kabupaten Belu merupakan gabungan dari 20
wilayah Swapraja/Kerajaan yang meliputi Belu dan sebagian Timor Tengah Utara yaitu Wewiku,
Haitimuk, Alas, Wehali, Fatuaruin, Lakekun, Dirma, Mandeu, Insana, Biboki, Harneno, Naitimu, Lidak,
Jenilu, Fialaran, Silawan, Maukatar, Lamaknen, Makir, dan Lamaksanulu. Tahun 1862 pusat
pemerintahannya berada di Atapupu dengan kepala pemerintahannya disebut Gezakheber. Pada
tahun 1910 Swapraja Anas diserahkan kepada Swapraja Amanatun (Timor Tengah Selatan). Pada
tanggal 25 Maret 1913, Kerajaan Lidak digabung dengan Kerajaan Jenilu yang dipimpin oleh Raja Don
Josef Da Costa dengan nama Swapraja Jenilu.[19][20]
Kemudian setelah lahirnya Beslit Gubernemen 7 Oktober 1914 maka Kerajaan Jenilu dan Naitimu
digabung menjadi sebuah kerajaan baru bernama Kakuluk Mesak di bawah pimpinan Raja Don Josef Da
Costa. Jumlah kerajaan di Belu pun tinggal 17 dari sebelumnya 18 buah. Kemudian tanggal 1 April 1915,
Swapraja Insana, Swapraja Biboki, dan Swapraja Harneno, dimasukkan ke dalam wilayah Timor Tengah
Utara sehingga jumlah kerajaan di Belu tinggal 14 buah. Sebulan kemudian tanggal 29 Mei 1915, Civil
Militair Asisten Resident Gramberg menggelar rapat di Besikama dihadiri oleh Swapraja Wehali, Wewiku,
Haitimuk, Fatuaruin, Lakekun, Dirma, dan Mandeu. Dalam rapat ini disepakati pembentukan sebuah
Swapraja baru bernama Swapraja Malaka.[20][21] Sementara itu, Beredao yang terletak di tapal batas
dengan Timor Portugis telah menjadi Benteng Pertahanan Belanda dari 1911 hingga 1916. Pada
tahun 1916, Pusat Pemerintahan Belanda untuk Belu Utara dipindahkan dari Atapupu ke Atambua.[22]
Pada tanggal 19 Januari 1916, Gesachebber melaksanakan rapat dengan Swapraja Makir, Lamaknen,
Lamaksanulu, Kakuluk Mesak, Fialaran, dan Silawan yang mengasilkan terbentuknya “Swapraja Belu
Tasifeto”. Pada tanggal 20 September 1923, Controleur Belu Van Raesfild Meyer menerbitkan memori
tentang struktur pemerintahan di wilayah Belu, yang meliputi seluruh wilayah Belu ditambah Insana,
dan Biboki di TTU (sekarang)[22], sebagai berikut:[23]
1. Swapraja Tasimane dipimpin oleh Arnoldus Klau sebagai Raja I dan Edmundus Tei Seran (Na’i
Fatuaruin) sebagai Raja II.
2. Swapraja Tasifeto dipimpin oleh Nikolas Manek sebagai Raja I dan Hendrikus Besin Siri Da
Costa sebagai Raja II.
Pemerintahan Jepang di Belu dikendalikan dari laut oleh Onderafdelling yang dipimpin
pembesar Jepang dengan sebutan Atambua Bun Ken. Terdapat sistem kerja paksa diterapkan Jepang atas
rakyat Belu (Romusha). Rakyat wajib membuat lubang-lubang perlindungan dan pertahanan bagi tentara
Jepang (masih ada di Teluk Gurita sampai sekarang). Selain itu, rakyat juga diwajibkan menanam
tumbuhan jati untuk kepentingan perang Jepang (masih ada sebagai Hutan Jati Nenuk di Tasifeto Barat)[22]
5. Kebudayaan
Asal-usul[sunting | sunting sumber]
Berbagai bahasa dan budaya di Pulau Timor - antara lain Dawan (Uab Meto), Tetun, Kemak, dan Bunak merupakan
beberapa bahasa yang dapat ditemukan di Kabupaten Belu
6. Watak masyarakat
Kerharmonisan hidup berbudaya yang harmonis merupakan impian semua suku,
meskipun mereka berbeda tradisi suku dan agama tetapi mereka bisa hidup
berdampingan tampa suatu gesekan sosial apapun. Hal ini yang di contohkan dalam
kehidupan berbudaya yang dijalankan oleh masyarakat kabupaten Belu di profinsi nusa
tenggara timur, dari cerita turun temurun yang biasa didengar oleh masyarakat, mereka
pada waktu lampau sekitar tahun 1850 – 1860 pernah ada dua suku yang saling konflik
tetapi mereka berdamai kembali. 1
Meskipun pada tahun 1999 banyak pengungsi yang datang dari Negara seberang akibat
perang menuntut kemerdekaan, mereka tetap di terima oleh masyarakat pribumi
meskipun adat istiadat serta watak mereka berbeda. Ini menunjukan bahwa suku suku
atau warga yang ada di atammbua tidak memandang orang melalui sudut yang sempit
tetapi mereka melihat bahwa kehidupan bermasyarakat yang baik antara lain dengan
bergaul dengan smua kalangan tanpa melihat latar belakang mereka.
Pulau timor merupakan salah satu pulauh terluar dari bangsa Indonesia yang memiliki
suku serta adat yang beragam. Terletak di propinsi nusa tenggara timur, pulau timor
sendiri memiliki enam kabupaten yang ada didalamnya. Di pulau timor ini memiliki
penduduk atau orang orang yang wataknya keras dan agak sulit susah di atur atau
diarahkan serta sumber daya manusia yang kurang. Tetapi di daerah ini meskipun hidup
orang orang dari suku yang berbeda serta watak yang berbeda mereka budaya saling
menghargai dan saling membantu masih sangat dijaga dan junjung tinggi.
Meskipun kabupaten Belu memiliki empat suku yang berbeda dalam satu wilayah
kabupaten tetapi mereka saling menghargai dan saling membantu jiika ada
kesulitan.Memang kemampuan sumber daya manusia yang belum merata dengan baik
tetapi ini bukan menjadi satu halangan untuk saling menjaga dalam berhubungan baik
dalam hidup dengan keberagaman budaya yang ada.Meskipun denngan bahasa budaya
yang berbeda tetapi saat keempat suku ini saling menghargai dan tetap menjaga tradisi
yang dimiliki suku mereka masing masing Karena kebudayaan mereka saat ini
merupakan warisan yang harus dijaga dan diwariskan kepada generasi penerus.
Adat ,kebudayaan dan kebiasaan di belu jauh berbeda dengan adat/kebudayaan di daerah lain di
Nusa Tenggara Timur. Walaupun berada di suatu provinsi yang sama tetapi adat, kebudayaan,
kebiasaan antar kabupaten/daerah sangat jauh berbeda.
Perbedaan adat, kebudayaan dan kebiasaan antar daerah dapat dilihat pada
1. Logat bahasa, semua daerah memiliki logat bahasa yang jauh berbeda,walaupun sama-sama
berbicara bahasa Indonesia tetapi logat yang dimiliki sedikit jauh berbeda. Ada daerahnya
yang logatnya sedikit kasar dan ada pula daerah yang meiliki logak agakk lembut
2. Pakaian tradisional
Walaupun di NTT memiliki pakaian tradisional dari kain tenun, tetapi perbedaan kain tenun
daerah belu dan daerah lain dapat dilihat pada motif kain, cara penggunaan kain dan lain
sebagainya
3. Bahasa daerah,
Setiap daerah memiliki bahasa daerahnya masing-masing. Di Belu terdapat 4 bahasa daerah
yaitu Tetun, kemak, bunaq dan dawan. Sedangkan daerah lain seperti sumba, rote,
manggarai bisa memiliki bahasa daerahnya masing-masing. Sumba memiliiki beberapa
bahasa daerah seperti:bahasa kambera, bahasa weejewa, bahasa wanakuka, bahasa kodi
dan bahasa lamboya
4. Tradisi daerah
Setiap daerah memiliki tradisinya masing-masing tergantung dari kebiasaan nenek moyang
Tetapi tradisi belu dan daerah lain di Nusa Tenggara Timur tidak jauh berbeda
Seperti tradisi makan sirih pinang, tradisi belis.
Tetapi ada satu tradisi dari sumba yang ditolak oleh masyarakat belu yaitu tradisi kawin anak
om dan anak tante diperbolehkan, masyarakat belu sedikit menganggap tabu tentang hal
itu.ada juga tradisi dari sumba yang disebut tradisi "pahilir” tradisi ini merupakan larangan
keras yang tidak memperbolehkan” anak mantu perempuan dan ayah mertuanya atau anak
mantu laki-laki dan ibu mertuanya” atau “istri ipar dan anak mantu laki-laki” berkomunikasi
apalagi bersentuhan secara langsung, bahkan barang-barang milik masing-masing pun tidak
boleh disentuh. Sangat jauh berbeda dengan masyarakat belu, karena di belu ayah dan ibu
mertua harus dianggap orang tua kandung, apalagi jika mereka tidak berkomunikasi itu
sudah dianggap tidak sopan atau tidak hormat dengan orang tua
7. Mayoritas agama,
di Belu hampir 90 persen masyarakat belu menganut agama katolik.hal ini disebabkan dari
nenek moyang orang Belu yang pada umumnya adalah penganut katolik, sehingga anak dan
cucunya menganut agama katolik. Tetapi lain hal dengan daerah lain seperti sumba
mayoritasnya adalah agama Kristen dan juga Rote yang hampir 95 persen masyarakatnya
adalah penganut agama Kristen