Anda di halaman 1dari 8

PERIODISASI SEJARAH, KEBUDAYAAN SANGIHE, KEBUDAYAAN

PHILLHIPHINESS TUA
OLEH ALFFIAN WALUKOW

Perjalanan sejarah peradaban Sangihe berjalan bersamaan dengan peradaban kebudayaan


Indonesia secara umum.
Istilah sangihe berdasarkan banyak pemahaman berasal dari Kata Sangi yang berarti tangisan. Kata
Sangiang juga berarti Putri raja. Kata sangi dapat juga ditemukan sebagai nama sebuah daerah di
pulau lapu-lapu kepulauan Philliphinss,Afrika dan India.
Sangihe adalah sebuah kebudayaan.
Sejak lama Sangihe sudah menggunakan bintang sebagai penentu arah dalam pelayaran laut. Nenek
moyang sangihe pernah mengarungi laut dengan perahu layar sampai ke Australia. Memiliki
pengetahuan tentang arah angin dan mata angin yang melebihi jumlah mata angin yang ada saat ini.
Memiliki pengetahuan tentang penanggalan 13 bulan dilangit.
Memiliki nada musik sendiri yang disebut musik Lide, terdiri dari 4 dan 5 nada. Memiliki system
pemerintahan kerajaan tua sebelum dipengaruhi oleh kebudayaan Islam dan Eropa.
Sangihe adalah bagian terpenting dari keberadaan Indonesia digerbang utara Indonesia.
Tetapi karena alasan berada dikepulauan, maka miskin, terpencil, terisolir adalah nama dekat
Sangihe diantara daerah lain di Indonesia. Sangihe adalah anak kandung Indonesia ditinjau dari
kepentingan Integrasi bangsa tetapi menjadi anak tiri dari sisi kemajuan.
Jangan melihat Sangihe dari indahnya Ulu Siau dan tuanya Tahuna. Masih banyak
komunitas masyarakat sangihe yang sengaja hidup terisolir, jauh dari keramaian,memisahkan diri
dari kelompok masyarakat perkampungan.Ini bukan budaya tapi keterpurukan sosial yang
terabaikan. Masih ada komunitas hidup masyarakat sangihe yang tidak tersentuh keberadaban
selayaknya kehidupan saat ini.
Ada kampung yang tidak memiliki jalan untuk dilewati ataupun dimasuki kendaraan roda empat.
Pala dan kopra hanyalah nama, tetapi bukan kekayaan.
Dengan gampang dapat dihitung, berapa banyak penduduk asli Sangihe yang membuka
usaha pertokoan di pusat kota Tahuna. Kebanyakan penduduk asli hanya sebagai pengusaha Sagu.
Para Taguang sakaeng (pemilik kapal) kebanyakan adalah warga keturunan tionghoa, yang
seharusnya adalah penduduk asli karena mata pencaharian penduduk asli adalah nelayan.
Nelayan tradisional Sangihe tidak mampu mebuat perahu pajeko yang besar karena
anggaran untuk membuat perahu pajeko sangat tinggi.
Nelayan-nelayan kecil hanya mengambil sisa ikan yang di tangkap kapal pajeko, karena mereka
hanya mengandalkan panggayung dan layar.
Penyelundupan barang - barang dari Philliphina seperti tidak terlihat aparat. Pertokoan yang
menjual barang dari Phillhipin semakin menjamur di Kepulauan Sangihe.
Dibalik semua itu, sepantasnyalah orang sangihe harus berterima kasih karena tanpa mereka
Sangihe tidak akan seperti saat ini.
Sebagai daerah terdepan yang berbatasan langsung dengan Philliphina,mungkinkah Sangihe
menjadi seperti Batam ?
Berbicara soal nilai kejuangan sangihe di Indonesia dan peran sangihe terhadap Sulawesi
Utara. Sangihe memiliki tokoh pejuang Santiago, perjuangannya sejajar dengan perjuangan Sultan
Hasanuddin,Sultan-sultan di Ternate dan diTidore. sangihe memiliki Pejuang Wanita bernama
Sapelah yang berperang melawan VOC seperti Christina Martha Tiahahu. Ada juga sastrawan J.E.
Tatengkeng yang ikut merintis berdirinya Universitas Hassanudin juga sebagai Sastrawan Indonesia
angkatan pujangga baru. A.A. Baramuli sebagai Gubernur Sulutteng ad intern pertama,Jhon
Rahasia yang merelakan ratusan armada kapalnya tenggelam dalam perjuangan membebaskan Irian
Barat.
Kita juga mengenal seniman dan sastrawan seperti Johanis Saul, Enoch Saul,Jhon Semuel,Leonard
Axel Galatang, Iverdikson Tinungki, Sovyan Lawendatu, Karel Takumangsang, dll.
Yang menjadi permasalahan akankah Jiwa jiwa mereka terpanggil untuk melihat betapa dekatnya
jarak antara Sangihe dan Manado atau mungkin lebih dekat ke General Santos.
Pada masa kejayaan kerajaan Majapahit, kepulauan Sangihe dan Talaud adalah garis
terdepan ekspansi Majapahit kedaerah Indo China. 600 700 tahun silam Wilayah Kepulauan
Sangihe adalah bagian terpenting dari tercapainya cita-cita Patih Gajah Madah untuk
mempersatukan Nusantara. Ketika prajurit Majapahit kembali dari Kepulauan Sangihe dan Talaud,
mereka membawa seorang anak laki-laki sebagai oleh-oleh kepada raja yang mungkin akan
dijadikan budak dikerajaan Majapahit. Yang terjadi adalah, seorang peramal kerajaan meramalkan
bahwa suatu hari klak anak tersebut akan menjadi orang besar di kerajaan Majapahit.
Berdasarkan Artikel yang pernah ditulis di harian Manado Post tahun 90-an mengatakan
bahwa di utara Indonesia pernah ada kerajaan yang bernama Kerajaan Udah Makat Raya (bahasa
sansekerta) yang berarti Payung dari Utara. Kerajaan ini adalah perpanjangan tangan dari
kerajaan Majapahit.
Hal ini membuktikan betapa pentingnya Kepulauan Sangihe di masa itu.
Berdasarkan Legenda, asal mula penduduk Sangihe dari daerah Philliphina bagian Selatan.
Sangiang Mengkila dan Sangiang Medellu adalah manusia pertama dalam Legenda Sangihe. Sejak
berada di Kepulauan Sangihe mereka mewariskan kerajaan pertama,tertua dan terbesar dalam
sejarah kerajaan Sangihe yaitu kerajaan Tampungang Lawo kepada Gumansalangi.
Secara umum, ditinjau dari persebaran dan warna kulit,karakter wajah dan bentuk tubuh,
penduduk asli Sangihe termasuk Dalam Ras Malayan Mongoloid ras umum Indonesia. Secara
spesifik termasuk dalam ras negroid atau negritoide sama dengan penduduk asli Philliphine,
sebagian dari penduduk asli sangihe kemungkinan masih termasuk ras Wedoid atau Veddoide,
seperti penduduk asli Toraja.
Ada juga yang mengatakan bahwa penduduk asli Sangihe berasal dari Molibagu.
Masyarakat sangihe dimasa lalu bukanlah masyarakat Animisme yang menyembah roh, batu
dan pohon besar.
Masyarakat Sangihe dimasa lalu memiliki agama sendiri dengan kekuatan yang disembah yaitu
Genggonalangi sebagai penguasa langit, penguasa Aditinggi dan Mawendo sebagai penguasa
tertinggi Tagaroa (Lautan luas) Didaerah lain di Kawasan Pasifik mulai dari Madagaskar sampai
pulau Paskah, Tagaroa atau Tanghaloa adalah Dewa Penguasa Laut.
Periodisasi perkembangan kerajaan Sangihe dimulai sejak Masa Kedatuan Tua, kedatuan
berasal dari kata datu yang berarti Raja.
Setiap kedatuan memiliki Kraton atau Lingkungan Istana (kraton dalam bahasa Sangihe
Kararatuang atau Karatung )
Kedatuan Tua ini sudah ada sebelum masuknya bangsa Eropa di Kepulauan Sangihe. Kedatuan tua
adalah bentuk kerajaan yang dipengaruhi oleh bentuk kerajaan-kerajaan Hindu. Hal ini dibuktikan
dengan penggunaan kata Paghulu sebagai nama kampung dipusat kerajaan Manganitu baru. Kata
Paghulu diadaptasi dari kata Penghulu Bendahari adalah pejabat tinggi kerajaan yang membantu
tugas-tugas raja, kedudukannya setara dengan bendahara(mangkubumi),temenggung dan para
menteri. Kata paghulu juga dapat berarti penghulu (pengaruh islam)
Sebelum ada Kedatuan/kerajaan, kelompok masyarakat Sangihe dipimpin oleh seorang Kulano
(jabatan setingkat kepala desa / atau tonaas dalam bahasa Tountembouan). Dikesultanan Ternate
mengenal Kulano sebagai Raja.
Kedatuan tua Sangihe yang pernah ada yaitu :
1. Kedatuan Bowontehu Manarow ( Manado Tua )
Didirikan oleh Datu Mokodolugu pada abad
ke X.Diperkirakan nama kota Manado adalah adaptasi dari kata bahasa Sangihe Manarow
yang berarti sangat jauh, kemungkinan nama Manado lahir sesudah penggunaan nama
Wenang. Secara Geografis kedatuan Tua Sangihe yang paling Jauh dari pusat peradaban
sangihe yaitu kedatuan Manarow. Pusat kedatuan Tua Manarow terletak di Pulau Manado
Tua.
2. Kedatuan Tampungang Lawo yang berpusat di
Salurang. Didirikan oleh Gumansalangi abad XIII.
3. Kedatuan Mongsohowang (dikaki Gunung Awu)
berpusat di Kolongan.
4. Kedatuan Karangetang didirikan oleh Pangeran Kedatuan Bowontehu Manarow bernama
Lokongbanua pada tahun 1510 1540.
Pusat pemerintahan di Katutungan Paseng
Siau Barat. Putra Lokombanua bernama Posuma memimpin kerajaan Siau Baru dengan
pusat pemerintahan di Ondong sedangkan adik dari Posumah memimpin kerajaan Siau Baru
dengan pusat pemerintahan di Ulu.
Paseng berasal dari kata Pesa atau Paskah nama ini diberikan oleh missionaris Portugis yang
pertama kali tiba di Siau.
Setelah VOC menguasai kerajaan Siau sampai berakhirnya kolonialisme, kerajaan Siau
pernah dipimpin oleh seorang raja yang diangkat dari Keresidenan Manado bernam Raja
Parengkuan. Raja ini berjasa membangun jalan antara Ulu sampai ke Talawid Siau barat selatan.
Menjelang berakhirnya kedatuan Tua Sangihe, ada beberapa raja yang beragama Islam
diantaranya Raja Syam Syah Alam dari kerajaan Wulaeng kerajaan tua Kendahe, dan beberapa raja
dari kerajaan Tabukan seperti Raja Gama.
Berdasarkan Legenda, pada masa pemerintahan raja Syam Syah Alam raja Kendahe (ada raja
Syam Syah Alam dikesultanan Mindanao dan di kesultanan Ternate Tidore), Kerajaan Kendahe
mencapai puncak kejayaan. Istana kerajaan di Tanjung Maselihe dibangun dengan sangat
megahnya. Semua perlengkapan Istanah terbuat dari emas termasuk Singgasana Raja. Suatu saat
Raja Syam Syah Alam melakukan perbuatan yang melanggar adat istiadat. Seminggu sebelum
istana ditenggelamkan, Imam Masade seorang pemimpin Agama Islam Tua Sangihe, pernah
memberikan nasehat dengan mengatakan bahwa, Jika Syam Syah Alam tidak menyadari
perbuatannya yang melanggar adat maka akan datang bencana.
Raja tidak menghiraukan nasehat tersebut, dan terjadilah bencana itu. Angin puting
beliung,gemuruh dari langit dan letusan Gunung Awu menghancurkan kerajaan Wulaeng sehingga
Tanjung yang panjangnya kira-kira 5 km, putus dan tenggelam kedasar laut. Sampai sat ini masih
diyakini oleh sebagian masyarakat terutama masyarakat nelayan bahwa tempat itu dijaga oleh
ratusan Ikan Hiu.
Pengaruh Islam terhadap Kerajaan kerajaan Sangihe dilakukan oleh orang-orang China
pada tahun 1279 mulai dari kesultanan Bayan,kesultanan Sulu dan Kesultanan Mindanao di
Philliphina bagian selatan.
Tahun 1521-1523 kapal kapal Spanyol dibawah pimpinan Magellhaes dan Marthin Inques
Carquizano pernah berlabuh di Kepulauan Sangihe dan Talaud. Salah satu kapal Spanyol bernama
Santa Maria de Paral pernah karam di Pantai Lesa dekat teluk Tahuna. Armada Spanyol dibawah
pimpinan Ruy Lopez de Villadebes tiba di perairan kepulauan Sangihe dan Talaud,kemudian
disusul oleh bangsa Portugis.
Pada saat itu Raja raja dan sebagian besar penduduk sangihe sudah menganut agam Kristen
Khatolik sampai datang VOC, Raja dan pedudukpun beralih agama menjadi agama Kristen
Protestan.
Kedatangan VOC juga menjadi awal berkembangnya injil protestan di Kepulauan Sangihe.
Pendeta Steller yang dikirim oleh Badan Penginjilan Belanda adalah orang yang paling berjasa
meletakkan dasar injil dan pendidikan modern di Sangihe. Meskipun pada era sebelum kedatangan
VOC, Raja Santiagho sempat kuliah di Universitas St. Thomas Philliphin, penginjilan dan
persekolahan sudah dirintis oleh Spanyol dan Portugis.
Hal ini dibuktikan dengan kedatangan Pdt Steller sudah disambut dengan nyanyian gereja oleh
anak-anak sekolah minggu di Kerajaan Manganitu atas inisiatif Raja Nonde. (Raja Nonde
dimakamkan dibawah mimbar gereja Petra Manganitu)
Keberadaan agama Islam dikepulauan Sangihe sudah ada jauh sebelum masuknya pengaruh
kekristenan Eropa.
Agama Islam mula-mula dipengaruhi oleh dua aliran Islami yaitu : Ajaran Syiah dari Phillhipin dan
Sunni dari daerah Ternate Tidore.
Agama Islam telah meletakan dasar bagi Agama baru di kepulauan sangihe terutama di pesisir
pantai Tabukan Utara dan di Daerah pelabuhan Tahuna.
Sebelum agama Islam meletakan dasar agama yang monotheisme sudah ada agama Islam Tua.
Agama ini adalah salah satu agama yang ada di Sangihe saat ini disamping agama Islam dan
Kristen.
Agama Islam Tua ini mula-mula diajarkan oleh Seorang Imam yang bernama Massade.
Yang unik dari Ajaran ini adalah Agama Islam Tua bukanlah Agama Islam.
Pengaruh Islam Suni dimulai sejak ada hubungan antara kerajaan Sangihe dan Ternate
Tidore. Berdasarkan buku Mr. M. Yamin, wilayah kepulauan sangihe berada dalam wilayah
kekuasaan Kesultanan Ternate sejak tahun 1677 1824.
Pada masa itu kerajaan-kerajan Sangihe adalah bagian dari kekuasaan Kesultanan Ternate tetapi
tidak takluk kepada kesultanan Ternate.
Pengaruh kekuasaan Kerajaan Ternate dan Tidore yang merupakan kerajaan Islam dapat dilihat dari
struktur pemerintahan kerajaan yang hampir sama dengan Kesultanan Ternate-Tidore. Pada masa
itu juga terjadi inkulturasi kebudayaan antar kedua kerajaan dari perkawinan keluarga raja dan
melalui proses perdagangan. Sebuah peninggalan Inkulturasi kebudayaan yaitu terdapat komunitas
perkampungan Tidore di kota Tahuna.
Kerajaan kerajaan yang pernah takluk kepada kesultanan Ternate diwakilkan dengan
dikirimnya Tombak kerajaan dari setiap Raja yang takluk ke Keraton Sultan Ternate. Ada 5 buah
tombak tanda takluk di kesultanan Ternate diantaranya adalah 1 tombak milik kesultanan Johor,
Malaisya. Diantara 5 Tombak tersebut tidak ada satupun tombak milik kerajaan Sangihe. Yang ada
hanyalah sebuah Batok kelapa kembar yang dihadiahkan kerajaan Sangihe kepada sultan Ternate
sebagai symbol persahabatan.
Disamping pemberian seperti itu, Ada satu Sultan Ternate yang memperistri puteri raja Tabukan
bernama Maimuna. Maimuna akhirnya kembali kekerajaan Siau dan menjadi isteri dari Raja Batahi
(sahabat dekat Santiago)
Disisi lain, Tamako yang tunduk pada kerajaan Siau pernah membantu pengiriman minyak
kelapa sebagai upeti kepada kesultanan Ternate.
Kerajaan Siau Juga pernah mengirimkan Bantuan 3000 pasukan untuk membantu Portugis malawan
VOC ketika terjadi perang Antara Kesultanan Ternate dan Tidore.
Kerajaan Siau juga pernah mengirim 1500 pasukan untuk membantu Portugis mempertahankan
Benteng Moraya di Tondano ketika terjadi perebutan wilayah kekuasaan antara Portugis dan VOC.
Untuk sampai di pesir pantai Tondano tepatnya di daerah Kora-kora dan Kayuroya Pasukan dari
kerajaan Siau menggunakan kapal kora-kora atau kapal Bininta. Bininta adalah perahu tradisional
Sangihe yang khusus digunakan Raja dalam kunjungan kedaerah bawahan juga sebagai perahu
perang yang khusus digunakan oleh panglima perang. Perahu kora-kora juga pernah digunakan
sebagai angkutan laut oleh VOC dalam pelayaran Hongi Tokten. Diperairan Laut Maluku.
Bentuk perahu ini mirip dengan perahu naga China, dengan konstruksi haluan berbentuk Mulut
Buaya dan buritan berbentuk ekor buaya. Panjang perahu ini 12 sampai 16 meter. Dan ditumpangi
oleh 30 60 pasukan perang, satu penabuh Tagonggong ( gendang adat sangihe) satu tua adat dan
seorang panglima perang.
Istilah panglima perang laut kemudian dikenal sebagai Kapitan Laut. Istilah Kapiten Laut kemudian
berubah lagi menjadi Kapitalaung ( kepala desa)
Sistem Monarki pada kerajaan-kerajaan Sangihe berakhir sejak dimulainya Pemerintahan
Kolonial Belanda, pengangkatan raja dilakukan tidak lagi berdasarkan garis keturunan waris raja
kepada anak laki-laki tertua tetapi diangkat berdasarkan kepentingan Belanda.
Kerajaan Sangihe sejak masuknya Bangsa Eropa terdiri dari :
1. Kerajaan Tahuna ( Malahasa)
2. Kerajaan Manganitu ( Maubungang )
3. Kerajaan Siau ( Karangetang )
4. Kerajaan Taghulandang (Mandolokang)
5. Kerajaan Tabukan ( Rimpulaeng )
6. Kerajaan Kendahe ( Wulaeng )
Pada masa kolonial Belanda, satu orang raja dapat memimpin sekaligus tiga kerajaan seperti
yang dilakukan Belanda pada Raja Manganitu Willem Manuel Pandensolang Mokodompis, menjadi
raja atas kerajaan bawahan Kerajaan Manganitu Tamako yang berpusat di Tamako, kerajaan
Manganitu yang berpusat di Kampung Karatung soa, dan Kerajaan Tahuna yang berpusat di Kota
Tahuna.
Kepulauan Sangihe dan Talaud merupakan salah satu daerah yang pertama kali dimasuki
Jepang disamping Tarakan dan Sumatera bagian utara.
Pada masa pendudukan Jepang, semua yang berhubungan dengan Belanda dimusnahkan oleh Bala
tentara Jepang, termasuk membunuh orang-orang yang dianggap kaki tangan Belanda tanpa proses
peradilan. Jepang memberlakukan hukum pancung kepada orang-orang yang dianggap mata-mata
Belanda.
Pada masa itu pernah dilakukan eksekusi masal oleh tentara Jepang. Eksekusi yang dilakukan
secara rahasia oleh tentara Jepang ternyata sempat disaksikan oleh seorang pemanjat kelapa yang
berada tidak jauh dari tempat eksekusi, berdasarkan petunjuk dari orang tersebut akhirnya kuburan
dapat ditemukan dan dipasangi batu pusara.
Mereka yang dipancung dalam satu hari adalah :
W.M.P. Mokodompis -Raja Manganitu
C. Bastian -Raja Kendar
L.I.P. Macpal -Raja Tabukan
Ch. N. Pontoh -Raja Kendahe Tahuna
S. Anthonie -Jogugu Kendahe
M. Makahekung -Jogugu Manganitu
K.P. Macpal -Jogugu Tabukan selatan
P.H. Taidi -Jogugu Tamako
F. Mandalika -Gunchoo Kendahe
Amandus Aer -Panitera Pengadilan
K. Kantohe -Juru tulis Kantor Distrik
Manganitu
F. Mandalika -Sunchoo Kolongan
Akembawi
M. Suenaung -Kepala Kampung Marore
S. Barahama -Hukum Mayoor Marore
A. Suku -Kepala kampung
Kawaluso/Lipaeng
S. Pangumpia -Juru Tulis Kampung Kawio
M. Karimela -Kepala Kampung Tidore
H. Mendome -Penatua di Marore
A. Dalentang -Diaken di Marore
Ny. Csesskho -Istri dari Kepala Rumah Sakit
Zending Tahuna. Asal
Hongaria.
G. Tatengkeng - Pengawas sekolah
Limangbiang -Kepala Kampung
Manumpitaeng
Thomas Bawoel -Imam di Lipaeng
Setelah kemerdekaan, ada beberapa warga Sangihe yang tinggal di Makasar merasa
terpanggil untuk mendukung kemerdekaan Indonesia. Kisah perjuangan mereka menjadi bagian
dari peristiwa Merah putih di Sangihe meskipun tidak terdaftar dalam catatan perjuangan rakyat
Sulawesi utara.
Para pejuang membawah bendera Merah Putih dari Makasar secara estafet dengan sangat rahasia
melalui laut hingga sampai di Tahuna dan berakhir di kecamatan Kendahe.
Sejak kemerdekan RI, tidak ada lagi kerajaan di Kepulauan Sangihe.
Istana raja yang pernah ada, dihancurkan dimasa orde baru termasuk istana kerajaan Manganitu
Tamako, Istana kerajaan Taghulandang, Istana kerajaan Tabukan di Enemawira.
Salah satu dan satu-satunya yang masih bertahan adalah Istana kerajaan Manganitu.
Sangihe memiliki system kekeluargaan Madani yang berbeda dengan daerah lain di Sulawesi utara.
Setiap keluarga memiliki susunan empat orang anak yang disebut Akang (anak pertama atau
Sulung), Ara (anak kedua), Ari (anak ketiga), Hembo (anak keempat terakhir atau bungsu) Jika satu
rumah tangga hanya memiliki satu anak maka anak tersebut disebut Mbau.
Sitem gotong royong telah dikembankan sejak lama dengan istilah palose ( atau mapalus dalam
bahasa tountemboan)
Kemajuan kehidupan bermasyarakat didukung dengan filosofi Somahe kai kehage

Pananaru, Desember 2007


Penulis : Alffian Walukow
Guru di SMP 4 Tamako
Kue adat Sangihe Tamo
Adalah satu bentuk kebudayaan yang dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa.

Tugu Wenang
Pusat kota Manado 1934
Latar belakang Gedung Kopa

Pelataran depan Istana kerajaan Manganitu


Arsitekturnya meniru Istana Sultan Ternate
Pelataran depan Istana Kesultanan ternate

Gereja GMIST Petra Manganitu


Geraja tertua di Sangihe
Dibangun berdasarkan arsitektur Gereja Khatolik
(Bagian depan gereja mirip dengan gereja Khatolik yang dibangun Columbus di Cuba juga Gereja
tua Khatolik Cebu Phillhipines)

PROFIL PENULIS
Nama : Alffian Walukow
Pekerjaan : Guru di SMP Negeri 3 Manganitu
Alamat : SMP Negeri 3 Manganitu
Kampung Karatung II
Kab. Kepl. Sangihe
Kode Pos. 95853
HP. 081340422006

Beberapa pekerjaan seni yang pernah dikerjakan adalah :

Tahun 1996 sampai 1998 :


- Menjadi Salah satu penata Ruang pertemuan di Aula Kantor Wali Kota Manado dan acara-
acara Dharma wanita / PKK Kotamadya Manado Dibawah pengawasan Ny.V.Rorong
Raung.
- Merancang Pohon Natal Tertinggi Indonesia ( tinggi 16 meter ) dan Patung Santa Claus (
tinggi 5 meter ) pada acara Ibadah Natal Bersama Propinsi Sulawesi Utara yang
dilaksanakan dilapangan Tikala.
- Membuat Lampion Artistik Natal dan Idul Fitri di tempat-tempat strategis Kota Manado.

Tahun 2004 :
- Merancang Kue Ulang Tahun Tradisional Minahasa Selatan dengan 10 ribu buah kue
tradisional ( tinggi 4,5 meter )
- Merancang pembuatan Dodol Raksasa ( panjang 10 meter garis tengah 50 cm ) pada
peringatan Hari Ulang Tahun Pertama Minsel.
Tahun 2006 bulan January
( MENCIPTAKAN REKOR BARU MURI )
Merancang Pembuatan Kue adat Sangihe sebagai Kue adat terbesar sepanjang Sejarah
Indonesia dan tercatat dalam Buku Recor Indonesia di Museum Record Indonesia.
Dokumentasi kue adapt ini sudah di pajang Di Candi Borobudur sebagai Rekor terbaru
dan paling lain pada jenisnya.

Anda mungkin juga menyukai