Nim : 1802166
Kelas : Sistematika A
Semester : V (Lima)
Agama suku Musi atau adat Musi yang menjadi ciri khas penyebutannya telah berdiri
pada tahun 1880 dan masih dipertahankan sampai saat ini.Dalam keseharian hidup, mereka
meyakini bahwa hanya Tuhan Yang Maha Esa atau Allah dalam tubuh manusia yang mereka
singkat “ADAT MUSI”.Ajaran ini berasal dari ajaran Bawangin Panahal, yang merupakan
bangsawan atau raja desa Musi. Penganut Adat Musi meyakini bahwa Bawangin menerima
Wahyu dari Tuhan dan dari perantaranya yang disebut Onto'a atau Onto’a Ruata. Ajaran ini
mengajak bahwa manusia harus selalu sadar terhadap kesalahan dalam dirinya, senantiasa
bertobat dan berdoa kepada Tuhan dan bersifat rendah hati, mengasihi, dan berbuat baik
kepada sesama manusia dan alam. Sampai saat ini jumlah penganut aliran ini sekitar 282
jiwa – tidak terhitung diluar daerah.
Ada banyak tradisi yang ada dalam masyarakat penghayatan ADAT Musi yang
masih dipelihara dan diteruskan oleh anak cuci yang masih setia memelihara ajaran ini.
Salah-satu tradisi yang diterima juga oleh masyarakat umum adalah pola bercocok tanam
dan “paramisi”. Dalam pelaksanaan tradisi bercocok tanam harus menjalankan ritual selama
tiga hari, untuk memastikan apakah nantinya hasil panen baik atau tidak. Sebab hasil panen
tidak akan dijual, namun dibagikan kepada siapa saja yang berkekurangan dalam pengertian
memelihara hubungan sosial, dan paramisi (meminta izin kepada sayang Pencipta) dengan
berdoa dalam segala kegiatan dalam bentuk apapun, bahkan saat memetik daun pun harus
ada paramisi. Karena dengan melakukan “paramisi” maka kita dapat menghargai alam
setempat, bahkan untuk menghargai sesuatu yang supernatural dan religius.
Agama adat suku Musi atau ADAT Musi menjalankan berapa ritual yang mereka
laksanakan pada hari raya mereka, pada tanggal 29- 30 Agustus. Adapun ritual yang mereka
lakukan seperti penurunan pedang, bibit, padi, dan penan. Ada juga ritual pertobatan yang
dilaksanakan pada hari Jumat jam 8 malam yang dilaksanakan di tempat persujudan Gereja
Adat Musi. Hari Sabtu ada ibadah ritual yang diakhiri dengan pendalaman penghayatan.
Sebelum memulai seluruh kegiatan diawali dengan doa, dengan menggunakan bahasa
Talaud. Mereka menggunakan kitab suci yang disebut “Buku Pembawa Damai” dan mereka
mempercayai bahwa Allah ada dalam tubuh mereka. Keunikan yang lain dari penganut
ajaran ini, baik di tempat suci maupun kehidupan sehari-hari yaitu, tidak dizinkan
menggunakan pakaian atau barang yang berwarna merah. Juga tidak minum teh, hanya air
rebus jeruk nipis. Ada gambaran yang disebut gambaran hidup dengan penjelasan-penjelasan
yang ada dalam ruangan tempat suci. Mereka tidak makan daging dan telur, hanya makan
Vegetarian. Bahkan saat makan tidak boleh menghadap ke arah laut.
Dalam tradisi ADAT Musi, mereka tidak menggunakan istilah Ratumbanua. Karena
bagi mereka, masah kebangsawanan sudah berakhir. Jadi tidak ada lagi raja atau hamba.
Bagi mereka hak dan kekuasaan harus disetarakan. Maka masyarakat memilih Penatua Adat
dengan syarat bahwa orang yang harus dipilih harus berperilaku baik, bisa menjadi teladan,
dan mampu menjadi pemimpin yang baik dan bertangung jawab.