Anda di halaman 1dari 10

TEOLOGI PROPER DARI ASPEK ARGUMENTASI

1. ARGUMENTASI PENYANGKALAN

isme yang menjurus kepada penyangkalan tersebut dikenal dengan sebutan


Ateisme. Ateisme yang terdiri dari kata "A” yang berarti "tidak”, "Theos” yang berarti
"Allah” dan "isme” yang berarti paham ini, mempunyai pengertian yang luas dan
sempit. Dalam pengertian luas, ateisme adalah paham yang menyangkal
keberadaan Allah atau boleh disebut sebagai paham yang tidak mungkin dapat
menerima argumentasi apapun tentang keberadaan Allah; arti sempitnya adalah
paham yang mengarah kepada penyangkalan terhadap keberadaan Allah yang
memiliki rasio, kepribadian, kedaulatan dan kuasa menghakimi untuk perbuatan
manusia.

Sebenarnya Ateisme tidak menyangkal keberadaan Allah yang bersifat subjektif,


tetapi menyangkal keberadaan-Nya yang bersifat objektif. Dengan kata lain, mereka
mengakui ada banyak orang yang percaya keberadaan Allah, tetapi sifatnya
individual, tetapi tidak bersifat universal. Karena keberadaan Allah adalah hasil
pemikiran individu manusia semata. Seperti yang dikatakan oleh Feuerbach dalam
buku berjudul "Hakikat Agama Kristen" dengan menyebutkan bahwa bukan Allah
menjadikan manusia, tetapi sebaliknya manusialah yang menjadikan Allah. Allah
dan para dewa, ilah adalah hasil fantasi manusia dan bayangan wujud manusia.
Nada yang hampir sama juga dikemukakan Karl Marx dengan mengatakan bahwa
manusia, negara dan masyarakat itulah yang menghasilkan agama.

2. MATERIALISME

Paham ini berpandangan bahwa segala sesuatu yang berada di alam semesta ini,
murni dalam bentuk material. Sebab itu di luar dunia materi tidak ada yang disebut
dunia mentalspiritual. Bagi Lamettrei (1709 - 1751 M), tokoh materialisme Perancis
berpendapat bahwa manusia sama dengan mesin dan binatang. Artinya ia
menyangkal keberadaan jiwa dengan alasan bahwa materi tanpa jiwa masih
mungkin bergerak, tetapi tidak demikian dengan sebaliknya.

Karl Marx tokoh materialisme yang paling menonjol mengemukakan bahwa


keberadaan material lebih dulu dibandingkan yang lainnya. Materi itu ada dan
mencukupi dirinya (autosufficient) dan bersifat kontradiktif. Dari sifatnya yang
kontradiktif menghasilkan kekuatan untuk mengadakan perubahan di alam semesta,
sehingga perubahan tersebut tidak memerlukan kekuatan di luar dirinya.

Marx menggunakan teori tesis, antitesis dan sintesis dari Hegel menciptakan tiga
hukum untuk menjelaskan terjadinya perubahan di alam semesta ini. Hukum
pertama disebut sebagai Hukum Kontradiktif (Law of Contraries), kedua Hukum
Penyangkalan (Law of Negation), ketiga Hukum Transformasi (Law of
Transformation).

Yang dimaksud dengan ”Hukum Kontradiktif” adalah segala benda teriadi karena
hukum kontradiktif yang harmonis. Misalnya keberadaan laki-laki (hukum positif) dan
keberadaan perempuan (hukum negatif) sebagai makhluk yang kontradiktif,
kemudian disatukan sehingga menghasilkan makhluk baru, yaitu anak-anak.
Demikian pula terjadinya di dalam benda-benda terdapat unsur ini, sehingga
menghasilkan kekuatan yang mengubah dan menghasilkan benda Iainnya. Sebab
itu, benda-benda dapat bergerak dengan sendirinya, tanpa ada campur tangan di
luar benda itu sendiri.

Yang dimaksud dengan Hukum Penyangkalan adalah segala materi bergerak sendiri
dan gerakan ini berjalan secara berkesinambungan dan mengarah maju. Satu benda
mengorbankan diri untuk menghasilkan benda Iainnya. Misalnya, sebiji benih harus
meniadakan diri (penyangkalan), baru bisa menghasilkan sebatang pohon. Benih
tersebut pada hakikatnya tetap benih, tetapi dapat berubah bentuk menjadi satu
yang Iain. Perubahan ini berlaku dengan sendirinya, tanpa pertolongan di luar dari
diri benda tersebut.

Yang dimaksud dengan Hukum Transformasi adalah pada masa semua benda
berkembang maju, tiba-tiba bisa terjadi perubahan radikal, sehingga dari satu benda
bisa berubah menjadi benda Iain yang berlainan jenisnya. Hukum ini dibuat untuk
meniawab pertanyaan tentang asal mula keberadaan hidup. Karena logika manusia
mempertanyakan bagaimana mungkin benda mati melalui perubahan dapat
menghasilkan benda hidup? Untuk menghindar Allah sebagai Pencipta, maka
diciptakan hukum ketiga bahwa kemungkinan yang tidak mungkin bisa saja terjadi
dengan Hukum Transformasi tersebut.
Paham materialisme ini dengan jelas mengemukakan argumentasi yang mengarah
kepada sedikit pemaksaan untuk penyangkalan keberadaan Allah, khususnya Karl
Marx. Karena ia sendiri walaupun menyangkal keberadaan Allah, tetapi selalu
menghindar untuk berbicara tentang Allah. Karena ia sendiri menyadari bahwa jika
orang tidak bisa membuktikan secara akurat keberadaan Allah dan tentu pula tidak
bisa menyangkal secara akurat ketidak-beradaan Allah.

3. AGNOSTISISME

Istilah ini berasal dari kata Yunani "agnotos" yang berarti "tidak tahu" (unknown).
Menurut paham ini bahwa rasio dan pengertian manusia yang dibatasi oleh apa
yang dirasakan manusia, sehingga tidak mengerti fenomena dibalik kenyataan yang
ada (noumenon), seperti jiwa roh dan Allah. Oleh karena keterbatasan ini, maka
manusia tidak bisa mengakui atau menyangkal eksistensi Allah.

Waktu Russel ditanya oleh F. C. Copleston tentang sikapnya untuk membuktikan


ketidakberadaan Allah, ia mendapat jawaban, "Aku tidak bisa, sebab itu aku
mengambil sikap agnostisisme." Nada yang hampir sama juga diungkapkan oleh
William Hamilton (1788 - 1856) dalam bukunya "Philosophy of the Unconditioned,
The Edinburgh Review, 1829" dengan menyebutkan bahwa pikiran manusia hanya
bisa mengetahui hal-hal yang terbatas dan bersyarat (Limited and conditionally
limited things), tetapi pengenalan pengetahuan tentang Allah tetap kabur.

Memang harus diakui bukan semua penganut agnostisisme adalah ateis, karena
ada di antara mereka Yang masih percaya akan keberadaan Allah, tetapi minimal
penganut agnostisisme lebih mudah mempunyai kecenderungan untuk menjadi ateis
dari pada Yang Iainnya. Karena motto penganut agnostisisme adalah ''Tidak ada
orang Yang mengerti mengenai yang melampaui pengalaman". Jika tidak
mengetahui, konsekuensinya tidak mengetahui eksistensi Allah atau membuktikan
eksistensi-N a, maka wajarlah agnostisisme akan menyimpulkan tidak adanya hal-
hal yang berkaitan dengan non pengalaman. Bukankah nada ini sama dengan Yang
dikemukakan orang ateis?

4. ARGUMENTASI PEMBUKTIAN

Di atas telah dikemukakan paham yang menentang eksistensi Allah, tiba saatnya
juga dalam bagian ini untuk mengemukakan paham yang membuktikan eksistensi
atau keberadaan Allah. Sebenarnya pembuktian keberadaan Allah tidak perlu,
karena di samping penyangkalan tidak akan membawa akibat Allah menjadi tidak
eksis, tetapi juga secara umum lebih mudah membuktikan keberadaan Allah dari
pada membuktikan ketidak beradaan-Nya. Tidak heran teolog abad ke- 4 yang
bernama Augustinus mengatakan bahwa hanya segelintir orang yang menderita
sakit yang menyatakan Allah tidak ada. Perkataan ini mendapat dukungan dari
Teolog Anselm dengan pernyataannya bahwa keberadaan Allah dengan mudah
dapat diketahui secara umum.

Walaupun keberadaan Allah tidak perlu dibuktikan, tetapi penulis berpendapat


pembuktian ini sangat penting, karena di samping agar pembicaraan lebih lanjut
tidak mubazir, tetapi juga untuk membuktikan keberadaan Allah bukan sebagaimana
dikatakan sebagai tongkat penopang bagi orang tua, orang yang labil emosinya; dan
bukan pula sebagai candu, sebagai alat untuk menipu masyarakat.

Memang harus diakui bukti eksistensi Allah secara langsung, boleh dikatakan
hampir tidak mungkin, karena Allah itu Roh adanya (Yoh. 4: 24). Pengalaman Musa
waktu berada di gunung Sinai sebagai contoh konkrit. Disebutkan oleh firman Tuhan
bahwa Musa tidak melihat langsung, tetapi hanya melihat kemuliaan-Nya, bagaikan
api yang menghanguskan (Kel. 24'.1518).

Sebenarnya harus disyukuri tidak dapat melihat Allah secara langsung, karena tidak
akan ada satupun manusia yang tahan berdiri di hadapan Allah. Sebagaimana
dikatakan Allah kepada Musa, orang tidak akan tahan memandang wajah-Nya,
karena tidak ada seorangpun setelah memandang wajah-Nya dapat hidup (Kel.
33:20).

Walaupun secara langsung tidak bisa membuktikan eksistensi Allah, tetapi


keberadaan Allah dapat dibuktikan secara tidak langsung. Di bawah ini akan
disajikan beberapa pandangan untuk membuktikan eksistensi Allah sebagai berikut:

Ia menjadi terkenal karena dalam bukunya yang berjudul ”Proslogium” membuktikan


eksistensi Allah dengan mempergunakan argumentasi ontologis. Menurutnya Allah
adalah hakikat zat yang terbesar dan zat yang maha-sempurna; zat yang hakiki dan
sempurna ini bukan saja ada di benak manusia, tetapi juga berada di dalam benda.
Dengan kata lain, jika di dalam satu barang terdapat kesempurnaan hakiki, maka
keberadaannya bersifat pasti. Jika tidak, maka barang tersebut tidak hakiki dan
sempurna. Allah adalah hakiki dan sempurna yang tertinggi, maka eksistensi Allah
adalah pasti.

THOMAS AQUINAS (1224 - 1274

Thomas boleh dikatakan sebagai pemikir besar Barat pada abad ke- 13, karena
usahanya mendirikan satu sistem yang mau menyatukan seluruh pemikiran filsafat
Yunani dan keyakinan iman Ibrani. Dari usahanya ini, maka dihasilkan dengan
argumentasi pemikiran filsafat untuk membuktikan eksistensi Alah yang kemudian
dikenal dengan istilah Latin ”QuinqueViae” yang berarti ”Lima Jalan”. ”Lima Jalan”
atau ”Lima Argumentasi” ini dituangkan dalam buku yang berjudul ”Summa
Theologiae”, membuktikan keberadaan Allah.

5. ARGUMENTASI ONTOLOGIKAL (ARGUMENTUNMOVEDMOVER)

Thomas dengan menggunakan teori Aristoteles tentang "Penggerak Pertama" untuk


membuktikan keberadaan Allah. Menurutnya, alam yang selalu bergerak merupakan
bukti ada yang "menggerakkan". Tidak mungkin sesuatu yang bersifat potensialitas
bergerak menjadi aktualitas tanpa ada penyebabnya. Gerakan potensialitas yang
menjadi aktualitas, bukan dari dirinya sendiri, tetapi ada sesuatu dari luar dirinya
yang melakukan. Siapakah "penggerak" yang berada di luar dirinya itu yang
"menggerakkan" tetapi "tidak digerakkan" (Unmoved Mover)? Jawaban tidak ada
lainnya, terkecuali Allah.

Argumentasi Ontologikal Thomas bisa diperkuat dengan penemuan Albert Einstein


(1879-1955) tentang batu bara yang dibakar sebanyak 1. 000 gram mengalami
penyusutan sebanyak 1 gram. Penyusutan tersebut bukan hilang, tetapi berubah
menjadi energi. Berdasarkan penemuan itu, Einstein mencoba untuk menghitung
energi yang diperlukan untuk menggerakkan benda-benda yang ada di langit.
Menurut perkiraan pada waktu itu, benda-benda di langit berjumlah 100 triliyun dan
energi yang diperlukan untuk menggerakkan tidak bisa dihitung. Siapa yang bisa
mempunyai kekuatan energi yang demikian besar dan dahsyatnya? Einstein
menyebutnya sebagai "kekuatan maha dahsyat" Siapa yang dimaksudkan dengan
"kekuatan maha dahsyat" itu? Allah!

6. ARGUMENTASIKAUSALITAS (ARGUMENTTHEFIRST CAUSE)


Thomas berpendapat bahwa semua fenomena perubahan dari keberadaan
menunjukkan benda yang ada sekarang, dulunya tidak ada; atau dulunya ada, tetapi
sekarang sudah musnah. Fenomena adanya dan musnahnya benda menunjukkan
bahwa benda yang ada pasti bukan "penyebab” dari keberadaannya. Artinya benda
yang dari l'tidak ada” menjadi "ada"; dan dari "ada” menjadi 'itidak ada” pasti dari
unsur di luar dirinya yang menjadi "penyebab". Dengan kata lain, terjadinya suatu
”akibat" pasti ada "penyebabnya". Dengan keberadaan "sebab” dan "akibat” ini, pasti
ada "penyebab” utamanya. Siapa yang dimaksud dengan "penyebab utama” itu?
Allah!

Menurut penjelasan Norman Geisler dan Paul D. Feinberg tentang inti pemikiran
Thomas adalah:

1. Setiap akibat pasti ada sebab.


2. Setiap keberadaan sesuatu (contingent) adalah akibat.
3. Oleh karena itu, setiap keberadaan sesuatu (contingent) karena ada
sebabnya.
4. Dengan demikian, keberadaan segala sesuatu bukan sebab, maka yang
dimaksud dengan ”sebab” atau "sebab utama” adalah Allah.

7. ARGUMENTASI EKSISTENSIALITAS

Menurut Tomas, segala sesuatu di alam semesta ini bersifat mungkin ada dan
mungkin juga tidak ada. Maksudnya adalah segala sesuatu yang ada muncul dari
tidak ada, lalu yang ada ini berkembang dan akhirnya bisa berubah, bisa rusak dan
musnah. Sebab itu, eksistensi segala sesuatu yang tidak pasti tentu berasal dari
yang pasti, yang tidak berubah, yang tidak bisa rusak. Siapakah yang bisa
mempunyai kondisi demikian ini? Allah!

Menurut penulis perdebatan tentang eksistensi Allah, khususnya yang menentang


adanya Allah, justru dapat dijadikan sebagai bukti keberadaan Allah. Jika tidak ada
Allah, untuk apa diributkan, apa lagi untuk disangkal.

8. ARGUMENTASI AKSIOLOGIKAL

Di dunia terdapat sistem tingkat; ada yang baik, tetapi ada juga yang lebih dan maha
baik. Ada yang dihormati, tetapi ada pula yang lebih dan maha-dihormati. Ada yang
benar, tetapi ada pula yang lebih dan maha-benar. Ada yang indah, tetapi ada pula
yang lebih dan maha-indah dan sebagainya. Siapakah yang bisa menyandang gelar
"Maha” itu? Allah!

9. ARGUMENTASI TELEOLOGIKAL

Alam yang tidak berakal, tetapi dapat bergerak secara teratur, rapi dan menuju
kepada satu tujuan tertentu. Keteraturan dan arah menuju kepada tujuan tentü
bukan berasal dari alam itü sendiri. Di balik itü pasti ada yang mengendalikan dan
mengatur. Pengendalian itü pasti di samping memiliki kekuatan yang luar biasa,
tetapi juga "pemikir" yang mempunyai hikmat luar biasa, sehingga alam semesta ini
dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Penulis dalam buku yang berjudul "Pengantar ke dalam Administrasi Gereja"


menyebut "Pemikir" ini sebagai Administrator Agung." Siapakah Administrator Agung
yang mengatur, berkuasa dan berhikmat demikian? Allah!

10. ARGUMENTASI LAINNYA

Selain argumentasi dari Anselmus dan Thomas Aquinas, masih terdapat banyak
argumentasi lainnya yang bisa menjadi bukti eksistensi Allah, Di antara argumentasi
tersebut adalah:

11. ARGUMENTASI KOSMOLOGIKAL

Geisler dan Brooks lebih suka menggunakan istilah "Argumentasi Penciptaan"


(Argument from Creation). Argumentasi ini mau mengemukakan bahwa dengan
keberadaan kosmos atau alam ini membuktikan ada penyebabnya, sehingga
kosmos ini ada. Dan penyebab ini tentu bukan berasal dari dalam alam sendiri,
tetapi di luar dan melampaui alam itu sendiri. Argumentasi Kosmologikal ini hampir
mirip dengan Argumentasi Kausalitas yang dikemukakan oleh Thomas Aquinas.

Yang memegang argumentasi ini di dalam Alkitab adalah rasul Paulus. Karena ia
pernah mengatakan bahwa apa yang diketahui tentang Allah dapat terlihat melalui
karya ciptaanNya (Rm. 1:20).

Di dunia filsafat, filsuf yang memegang argumentasi ini adalah Plato, Aristoteles
sebagai orang pertama dan penerus yang menggunakan metodologi "sebab akibat"
sebagai dasar bukti. Pemikir Islam yang memegang argumentasi ini adalah Alfarabi
dan Avicenna; pemikirYahudi adalah Moses Maimonides; kalangan Kristen adalah
Augustinus, Anselmus, Aquinas, Descattes, Leibniz dan sebagainya.

Menurut Geisler dan Brooks, argumentasi ini bukan saia mau menyatakan
keberadaan kosmos sebagai bukti eksistensi Allah, tetapi juga kesinambungan hasil
ciptaan dalam pemeliharaan juga dapat dijadikan bukti eksistensi Allah. Tanpa
adanya Allah, bagaimana alam ini dapat berjalan sebagaimana mestinya?

12. ARGUMENTASI DESAIN (ARGUMENTFROMDESIGN)

Argumentasi ini juga memakai alam semesta sebagai bukti eksistensi Allah, tetapi
dari segi rancangan atau desain dalam penciptaan ini. Rancangan alam semesta ini
sangat rumit dan kompleks, tetapi diatur sedemikian rupa sehingga dapat berjalan
dengan baik. Dengan keberadaan desain yang mengagumkan dalam kosmos
sebagai bukti adanya "desainer" yang berhikmat yang merancangnya.

Contoh yang sederhana untuk argumentasi ini dikemukakan oleh William Paley
(1743 - 1805). Menurutnya lika kita menemukan sebuah arloji di padang belantara,
maka jelas diketahui bahwa ada "pembuat"nya. Jika tanpa "pembuat"nya, tidaklah
mungkin, karena pembuatan arloji harus melalui proses yang sangat rumit. Demikian
pula tatkala kita hidup di dunia yang serba kompleks ini, maka dapat diketahui
bahwa ada "Maha Perancang” yang merancang dunia ini.

Pada waktu pemazmur melihat alam semesta dan isinya, hasil karya jari tangan
yang luar biasa dari Allah, dan melihat kekerdilan dirinya, lalu berkata, "Jika aku
melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan:
apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?” (Mzm. 8: 4 - 5).

Lebih lanjut pemazmur juga menyatakan kekaguman desain Allah untuk manusia
dengan mengatakan, ”Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku,
menenun aku dalam kandungan ibuku. Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena
kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kau buat, dan jiwaku benarbenar
menyadarinya” (Mzm. 139: 13 - 14).

13 ARGUMENTASI HUKUM MORAL (ARGUMENTFROMMORALLAW)


Di samping adanya hukum alam yang menyebabkan alam semesta yang bersifat
kompleks dapat berjalan secara teratur, tetapi ada pula hukum moral yang berlaku
secara umum yang bisa dijadikan bukti eksistensi Allah.

Yang membedakan hukum alam dengan hukum moral adalah hukum alam memang
sudah ada dan tinggal diikuti dan dilaksanakan saja, tetapi hukum moral bersifat
petunjuk' penuntun untuk dilaksanakan.

Geisler dan Brooks mengatakan bahwa keberadaan ”hukum moral” ini bukan
mengungkapkan tentang cara tingkah laku manusia atau suatu penelitian tingkah
laku manusia, tetapi hukum ini sebagai petunjuk, sebagai penuntun manusia untuk
tahu apa yang harus dilakukan, walaupun apa yang diketahui dengan apa yang
dilakukan itu berbeda.

Sebelum ada undang-undang perdata dan pidana, orang sudah tahu membunuh,
merampok, mencuri, berselingkuh, berbohong dan sebagainya adalah kesalahan.
Walaupun setelah kejatuhan manusia, standar tentang kesalahan atau dosa menjadi
kabur atau menurun atau dikenal dengan istilah dekadensi moral, tetapi manusia
masih tetap tahu apa yang dinamakan pelanggaran moral.

Imanuel Kant sebagai pencetus argumentasi moral ini mengatakan bahwa


argumentasi hukum moral bukan untuk membuktikan eksistensi Allah, tetapi
kehidupan moral manusia sebagai pernyataan (postulate) adanya AlIah.

Menurutnya "kebahagiaan" merupakan dambaan umat manusia (yang diperlukan);


melakukan hukum moral adalah kewajiban manusia (yang harus dilakukan). Ketika
keduanya disatukan, inilah yang dinamakan "kebajikan yang mahatinggi" (Summum
Bonum). Kebajikan ini yang dituntut manusia, tetapi manusia yang terbatas tidak
mungkin dapat mencapainya. Oleh karena itu secara praktis orang harus
mempunyai Allah sebagai kekuatan untuk dapat mewujudkan "kebajikan yang
mahatinggi" yang dituntut manusia itu.

Hoeksema mengatakan bahwa setiap orang mempunyai kesadaran dar, kewajiban


tentang apa Yang benar dan salah dan merasa bertanggung-jawab untuk
melaksanakan. Jika tidak melaksanakan, secara otomatis merasa bersalah dan
menghakimi diri sendiri dan sebagainya.
Menurut Thiessen bahwa hukum moral bukan ciptaan manusia dan bukan ketakutan
kepada penghakiman. Keberadaan hukum moral dan ketakutan ini, bukan datang
tanpa sebab. Oleh karena itu, dapat dipastikan ada sebuah kehendak kudus yang
membebani hukum moral dan tuntutan hukuman sebagai konsekuensi bagi yang
melanggar.

Enns mengatakan bahwa manusia diciptakan berdasarkan gambar dan rupa Allah
(Kej. 1: 26 - 28), oleh karena itu keberadaan manusia bukan hanya secara fisik
(physical being) tetapi juga moral (moral being). Keberadaan moral ini dapat
dibuktikan dengan keberadaan "hati nurani". Dengan menyitir kata-kata Chafer yang
menyebutkan, "There are philosophical and moral features in man's constitution
which may be traced back to find their origin in God. ... A blind force ... could never
produce a man with intellect, sensibility, will, conscience, and inherent belief in a
Creator." (Di dalam diri manusia memiliki kondisi Filosofis dan etika moral yang
dapat ditemui dalam diri Allah sebagai Sumbernya ... Kekuatan pada umumnya ...
tidak mungkin dapat menghasilkan manusia yang memiliki intelek, perasaan,
kehendak, kesadaran nurani dan naluri yang percaya Allah sebagai Penciptanya).

Firman Tuhan juga menyebutkan, "Apabila bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki
hukum Taurat oleh dorongan diri sendiri melakukan apa yang dituntut hukum Taurat,
maka, walaupun Menurutnya "kebahagiaan" merupakan dambaan umat manusia
(yang diperlukan); melakukan hukum moral adalah kewajiban manusia (yang harus
dilakukan). Ketika keduanya disatukan, inilah yang dinamakan "kebajikan yang
mahatinggi" (Summum Bonum). Kebajikan ini yang dituntut manusia, tetapi manusia
yang terbatas tidak mungkin dapat mencapainya. Oleh karena itu secara praktis
orang harus mempunyai Allah sebagai kekuatan untuk dapat mewujudkan
"kebajikan yang mahatinggi" yang dituntut manusia itu.

Hoeksema mengatakan bahwa setiap orang mempunyai kesadaran dar, kewajiban


tentang apa Yang benar dan salah dan

Anda mungkin juga menyukai