Anda di halaman 1dari 17

IBADAH DALAM KITAB PERJANJIAN LAMA

BAB I

PENDAHULUAN

Ibadah nampaknya sama tuanya dengan manusia. Pasal-pasal awal kitab Kejadian
menyatakan tentang kurban yang dipersembahkan oleh Kain, Habel dan Nuh. Kain dan Habel
mempersembahkan kurban sebagai respons kepada Allah atas segala kebaikan-Nya, dengan
memberi berkat melalui ternak dan tanah. Kurban Nuh adalah merupakan suatu pemberian
kepada Allah yang telah menyelamatkan dari kematian.

Tidak dapat disangkal bahwa ibadah memegang peranan sentral dalam semua agama-
agama di dunia ini. Tanpa ibadah, suatu agama akan kehilangan hakekatnya. Melalui ibadah
manusia mengadakan hubungan vertikal dengan yang ilahi dan mewujudkan nilai-nilai
rohaninya dalam kehidupan bersama (horisontal). Jadi idealnya, ibadah menjadi ciri dimana
manusia hidup dalam relasi yang benar dengan Allah dan dengan sesamanya. Tetapi dalam
praktek hidup keberagaman rupanya ada kecenderungan bahwa ibadah itu dipahami secara
sempit, bahkan dapat dikatakan mengalami degradasi nilai dan berakibat pada dekadensi
moral. Ibadah hanya dipahami secara ritual atau dalam hubungan dengan upacara-upacara
keagamaan yang kadang-kadang lebih bersifat formal dan legalistis. Ibadah hanya berlaku
dalam wilayah tempat-tempat suci tertentu, tidak mencakupi wilayah kehidupan sehari-hari.
Atau ibadah hanya dimengerti sebagai perkara-perkara rohani saja, terpisah dari perkara-
perkara jasmani. Tidak mengherankan bahwa ada kesenjangan antara iman dan perbuatan,
antara hal-hal rohani dan hal-hal jasmani, antara kesalehan dan tingkah laku, antara ajaran
dan etika hidup dan lain-lain semacamnya. Semua masalah yang muncul di dunia ini
sepanjang sejarahnya, ketegangan-ketegangan politik atau ketegangan antar bangsa atau
golongan, konflik-konflik sosial, masalah-masalah moral dan kriminal, konflik-konflik
internal/domestik (dalam keluarga atau komunitas-komunitas kecil) dan sebagainya,
semuanya itu merupakan indikasi tentang pemahaman yang sempit dan praktek-praktek
ibadah yang biasa (ibadah tidak dipahami dan dihayati secara benar dan utuh) dan akhirnya
bermuara pada degradasi iman dan krisis moral.
Lalu bagaimana kita, apakah ibadah itu sesungguhnya? Orientasi secara umum
tentang pemahaman,penghayatan, dan praktek ibadah dalam kesaksian Alkitab Perjanjian
Lama akan menolong kita untuk mengerti dan memaknai ibadah itu secara benar dan utuh.

BAB II

IBADAH

1. PENGERTIAN

Kata ibadah sebenarnya berasal dari kosa kata “äbodah” (bahasa Ibrani) atau ibadah
(bahasa Arab) yang secara harafiah berarti bakti, hormat, penghormatan (homage)[1] , suatu
“sikap dan aktivitas“ yang mengakui dan menghargai seseorang (atau yang ilahi). Atau dapat
juga dikatakan suatu penghormatan hidup yang mencakup kesalehan (yang diatur dalam
suatu tatacara), yang implikasinya nampak dalam tingkah laku dan aktivitas kehidupan
sehari-hari.[2] Jadi ibadah disini merupakan ekspresi dan sikap hidup yang penuh bhakti
(penyerahan diri) kepada yang ilahi, yang pengaruhnya nampak dalam tingkah laku yang
benar. Dalam kesaksian Alkitab ada beberapa kata atau ungkapan yang dipakai untuk ibadah.
Kata kerja äbad (Bahasa Ibrani) berarti melayani atau mengabdi (seperti
pengabdian/pelayanan yang utuh dari seorang hamba kepada tuannya).[3] Sedangkan kata
àbodah (bahasa Ibrani), latria (bahasa Yunani) berarti pelayan atau bisa juga berarti
pemujaan dan pemuliaan.[4] Disamping itu kita juga bertemu dengan kata histaaweh
(proskuneo ;bahasa Yunani) yang berarti sujud atau membungkuk atau meniarap dihadapan
tuannya.[5] Jadi sebenarnya ada dua kata kunci dalam pengertian ibadah itu, yaitu sikap
hormat (pemuliaan) dan pelayanan (sikap hidup)[6].

Dari pengertian beberapa ungkapan di atas, menjadi jelas bahwa konsep dasar dari
ibadah adalah pelayanan atau pengabdian seutuhnya kepada Allah, yang dinyatakan baik
dalam bentuk penyembahan (kultus) maupun dalam tingkah laku atau tabiat (jadi bukan
hanya menyangkut hal-hal ritual yang bersifat formal legalistis).

2. IBADAH PERJANJIAN LAMA


Pada awalnya kita menemukan adanya ibadah atau persembahan pribadi kepada Allah
(Kej. 4:4 Habel memberikan persembahan kepada Tuhan ; lihat pula, Kel. 24:26). Hal itu
menunjukkan bahwa pada dasarnya ibadah adalah merupakan ungkapan bathin seseorang
yang mengakui bahwa Allah berdaulat, penuh kuasa dan baik. Atau ibadah adalah
menunjukkan ketinggian spritual seseorang yang disertai ungkapan pujian dan syukur kepada
Tuhan, karena Ia patut disembah (bd. Ayub 1:20 ; Yos. 5 :14). Harus dipahami bahwa Allah
kita adalah Allah yang transenden dan imanen. Allah yang “tidak sama dan terpisah dari
ciptaanNya” juga merupakan Allah yang berkomunikasi dengan umat manusia. Allah
menerima penyembahan dari umat-Nya.[7]

Pada waktu Allah memilih suatu bangsa bagi diri-Nya, Allah juga memberikan cara
bagaimana bangsa itu dapat bertemu dengan TUHAN; jadi Dia memberikan ibadah
tabernakel di mana Israel dapat menghadap Allah yang mahakudus. Di tempat ini TUHAN
akan bertemu dengan Israel (Kel. 25:22; 29:42, 43; 30:6, 36).[8]

Kemudian, pelaksanaan ibadah itu berkembang menjadi ibadah umat. Musa adalah
seorang tokoh yang dianggap sebagai peletak dasar dari ibadah umat yang diorganisir, dan
yang menjadikan Jahwe sebagai alamat ibadah satu-satunya. Ibadah umat diorganisir di
dalam Kemah Pertemuan, dan upacaranya dipandang sebagai “pelayanan suci” dari pihak
umat untuk memuji Tuhan.

Pada perkembangan selanjutnya, setelah Kemah Pertemuan, lahirlah Bait Suci dan
Sinagoge sebagai tempat ibadah bagi Israel. Perkembangan ini didasari oleh pemahaman
bahwa ibadah adalah merupakan faktor penting dalam kehidupan Nasional Jahudi. Bait Suci
dihancurkan oleh Babel, dibentuk kebaktian Sinagoge karena pelaksanaan ibadah tetap
dirasakan sebagai kebutuhan penting.

Disamping tempat ibadah, orang Jahudi juga memiliki kalender tahunan untuk
upacara agamawi. Diantaranya yang amat penting adalah : Hari Raya Paskah (Kel. 12:23-27),
Hari Raya Perdamaian (Im. 16 : 29 – 34), Hari Raya Pentakosta (bd. Kis.2), Hari Raya
Pondok Daun, dan Hari Raya Roti Tidak Beragi (Kel.12:14-20).

Pemimpin ibadah di Bait Suci dan Sinagoge adalah para Imam. Mereka adalah
keturunan Lewi yang telah dikhususkan untuk tugas pelayanan ibadah. Para imam memimpin
ibadah umat pada setiap hari Sabat dan pada Hari Raya agama lainnya. Ibadah di Sinagoge
terdiri dari : Shema, doa, pembacaan Kitab Suci dan penjelasannya.

Ibadah juga berkaitan dengan kewajiban-kewajiban agama, yakni perintah-perintah


Tuhan (pbd. Ul.11:8-11). Jadi, pada hakekatnya ibadah bukanlah hanya merupakan
pelaksanaan upacara keagamaan di tempat-tempat ibadah, akan tetapi adalah mencakup
pelaksanaan kewajiban agama, seperti : sunat, puasa, pemeliharaan Sabat, torat dan doa.
Dengan demikian, ibadah juga harus mengandung makna bagi hidup susila.
Dalam Perjanjian Lama ada beberapa contoh ibadah pribadi (Kej.24:26; kel. 33:9-34:8). Tapi
tekanannya adalah pada ibadat dalam jemaat (Mzm 42:4; I Taw 29:20). Dalam kemah
pertemuan dan dalam Bait Suci tata upacara ibadah adalah yang utama. Terlepas dari korba-
korban harian setiap pagi atau sore, perayaan Paskah dan penghormatan Hari Pendamaian
merupakan hal penting dalam kalender tahunan Yahudi. Upacara agamawi berupa
pencurahan darah, pembakaran kemenyan, penyampaian berkat imamat dan lain lain,
cenderung menekankan segi upacaranya sehingga mengurangi segi rohaniah ibadahnya, dan
bahkan sering memperlihatkan pertentangan antara kedua sikap itu (Mzm 40:6; 50:7-15; Mi.
6:6-8). Tapi banyak ibadah di Israel yang dapat mengikuti ibadah umum misalnya di Mazmur
93; 95-100) dan doa –doa bersama misalnya Mazmur 60; 79; 80, dan memanfaatkanya untuk
mengungkapkan kasih dan syukur mereka kepada Allah (Ul 11:13) dalam tindakan ibadah
rohani batiniah yang sungguh-sungguh.

Ibadah umum yang sudah demikian berkembang yang dilaksanakan dalam kemah
pertemuan dan Bait Suci, berbeda sekali dari ibadah pada zaman yang lebih awal ketika para
Bapak leluhur percaya, bahwa Tuhan dapat disembah di tempat mana pun Dia dipilih untuk
menyatakan diriNya. Tapi bahwa ibadat umum di bait Suci merupakan realitas rohani, jelas
dari fakta bahwa ketika tempat suci itu dibinasakan, dan masyarakat Yahudi terbuang di
babel, ibadat tetap merupakan kebutuhan dan untuk memenuhi kebutuhan itu ’diciptakanlah’
kebaktian sinagoge, yang terdiri dari:

1. Shema’

2. Doa-doa

3. Pembacaan Kitab Suci


4. Penjelasan

Tapi kemudian di Bait Suci yang kedua kebaktian-kebaktian harian, sabat, perayaan-
perayaan tahunan dan puasa-puasa, serta pujian dan buku puji-pujian memastikan, bahwa
ibadah tetap merupakan faktor amat penting dalam kehidupan nasional Yahudi.[9]

Alkitab menunjukkan kepada kita bahwa ibadah secara mendasar adalah merupakan
satu respons sebagai pribadi atau sebagai jemaat kepada perbuatan Allah yang Mahatinggi.
Pola ini dapat ditemukan di dalam Alkitab sebagai berikut; Allah yang Mahakuasa bertindak
atas nama umat Allah; umat Allah berespons dengan ucapan syukur dan pujian; Allah
menerima tindakan ibadah mereka. Pola ini secara konsisten dapat ditemukan di dlam seluruh
bagian Alkitab, dengan titik pusat kebenarannya adalah di dalam ibadah, Allah adalah
inisiator. Atau dengan kata lai, ibadah adalah satu respons manusia kepada inisiatif Allah.[10]

Ekspresi ibadah dalam Perjanjian Lama dapat ditemukan dalam kisah pemanggilan
Abraham sebagai Bapak bangsa-bangsa. Panggilan Abraham disertai janji-janji berkat Allah
seperti kemasyuran, pengaruh, keturunan dan pemilik tanah. Sebagai respons Abraham
terhadap janji-janji ini, Abraham menyembah Allah dengan membuat mezbah (Kej. 12:7-8;
13:18). Dan mempersembahkan kurban (Kej. 15:1-11; 22:13-14). Kemudian juga ketika Nuh
keluar dari bahtera setelah Air Bah tindakan pertamanya adalah membangun mezbah dan
beribadah kepada Tuhan (Kej. 8:20) ini merupakan catatan pertama di Perjanjian Lama
tentang ibadah kepada Tuhan melalui korban penumpahan darah di atas mezbah.
Persembahan korban bakaran kemudian dinyatakan sebagai korban persembahan (Im. 1:1-7).
[11] Selanjutnya dalam kisah keluarnya bangsa Israel dari Mesir, ibadah mejadi dasar dan
sebagai blueprint untuk semua bentuk ibadah masa depan. Allah menyelamatkan umat-Nya
dari perbudakan adalah peristiwa penting dalam Perjanjian Lama. Inilah salib dan
kebangkitan dalam Perjanjian Lama yang digenapi di dalam Perjanjian Baru.[12] Keluaran
telah memberikan kepada Israel beberapa jalan untuk beribadah kepada Allah. Ekspresi
utama termasuk mempersembahkan korban binatang pada Paskah (Kel.12:1-28),
mempersembahkan semua yang sulung atau pertama lahir kepada Tuhan menjadi milik
Tuhan (Kel.13:1-2), dan menyanyikan puji-pujian dengan sorak sorai dan penuh kemenangan
yang dipimpin oleh Musa dan Miriam (Kel.15:1-21).

Di Gunung Sinai Allah menentukan tiga hari raya yang harus diadakan dalam rangka
mempersembahkan ibadah kepada Allah setiap tahun. Pertama, hari raya roti tidak beragi,
kedua, hari raya menuai dan ketiga, hari raya pengumpuan hasil (Kel.23:14-19). Perintah ini
telah tertanam di dalam kesadaran umat Tuan bahwa ibadah melibatkan pengertian waktu
yang kudus.[13]

Kemudian pertemuan Allah dengan Musa, Harun, Naab dan Abihu an tujuh puluh tua-
tua Israel di Gunung Sinai (Kel.24:1-8) adalah bagian penting. Ini adalah pertemuan antara
Allah dan Israel. Pertemuan ini berisi struktur elemen-elemen dasar bagi pertemuan antara
Allah dan umat-Nya.[14] Elemen-elemen ini sangat penting bagi ibadah umum, yang
kemudian akan ditentukan detailnya dalam ibadah Yahudi dan Kristen. Selanjutnya Webber
mengemukakan ada lima elemen, yaitu:

Pertama, ibadah aalah pangilan Allah. Allah yang memanggil umat-Nya untuk
bertemu dengan-Nya;

Kedua, Umat Tuhan diatur dalam satu tanggungjawab terstruktur. Artinya ada yang
bertanggungjawab. Musa adalah pemimpin. Tetapi untuk mengatur ibadah dan lain-
lainnya adalah tugas Harun, Nadab, Abihu. 70 tua-tua Israel, pemuda dan umat.
Dengan kata lain, elemen kedua adalah soal partisipasi dalam ibadah;

Ketiga, pertemuan antara Allah dan Umat bersifat proklamasi Firman. Allah berbicara
kepada umat-Nya dan memperkenalkan diri-Nya kepada mereka. Hal ini berarti
ibadah belumlah lengkap tanpa mendengar Firman Tuhan;

Keempat, umat setuju dan menerima perjanian dengan syarat-syaratnya yang


memberi makna kepada komitmen umat secara subjektif untuk mendengar dan taat
kepada Firman Allah. Dengan kata lain, aspek penting dalam ibadah disini adalah
pembaharuan komitmen pribadi secara terus-menerus. Di dalam ibadah umat Tuhan
membaharui janji yang telah ada antara Allah dan umat-Nya sendiri;

Kelima, puncak hari pertemuan itu ditandai dengan symbol pengesahan, satu materai
perjanjian. Dalam Perjanjian Lama Allah selalu menggunakan darah korban sebagai
materai hubungan-Nya dengan manusia. Pengorbanan ini menunjuk kepada korban
Yesus Kristus.[15]
Dengan demikian Allah adalah pusat ibadah Perjanjian Lama. Umat Tuhan atau
manusia beribadah adalah sebagai respons dalam ucapan syukur kepada karya Allah di dalam
hidup manusia.

BAB III

KESIMPULAN

Allah sendirilah yang membuat ibadah dimungkinkan ada. Dalam anugerah-Nya, Ia


mengundang penyembahan manusia tertuju kepada -Nya. Ibadah selalu berfokus tunggal
yaitu ketika Allah bertindak menyatakan kasih-Nya kepada kita dan Ia jugalah yang
mendorong tanggapan kita atas semua pernyataan kasih-Nya.

Ibadah adalah jawaban manusia terhadap panggilan Allah, terhadap tindakan-


tindakan-Nya yang penuh kuasa yang berpuncak pada tindakan pendamaian dalam Kristus.
Ibadah adalah kegiatan puji-pujian dalam penyembahan yang mensyukuri kasih Allah yang
merangkul kita dan kebaikan kasih-Nya yang menebus kita dalam Kristus, Tuhan kita.

Ibadah (baca; kebaktian) adalah suatu ‘bakti’ dan persembahan kepada Allah.
Persembahan yang dinaikkan bukan sekedar ritus batiniah tetapi persembahan yang juga
dihaturkan dari tengah pergumulan kehidupan sesehari yang nyata. Pengudusan manusia oleh
Allah dan pemuliaan Allah oleh manusia, keduanya merupakan karakteristik dalam ibadah.
Ibadah yang sejati tidak hanya terbatas pada ritual-ritual keagamaan. Atau sebatas misalnya
pergi ke gereja, ikut persekutuan ini dan itu. Betul, semua itu adalah ibadah. Namun tidak
hanya sebatas itu. Ibadah yang sejati juga menyangkut kehidupan sehari-hari, kapan saja dan
di mana saja. Dan yang menjadi pusat ibadah adalah Allah.

DAFTAR PUSTAKA

A. Cronbach, Worship in Old Testament, dalam The Interpreter’s Dictionary of the Bible.
Editor by G.A. Buttrick, R-2, Nashville, Abingdon Press, 1982.

Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 1974


Bible Dictionary, Leicester: Inter-Varsity Press, 1967.

J. D. Douglas, Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, YKBK/OMF, Jakarta 2004

Paul Basden, The Worship Maze, Downers Grove, Illionis Inter Varsity Press, 1999

Paul Enns, The Moody Handbook Of Theology: Buku Pegangan Teologi, Literatur SAAT,
Malang, 2006

Robert E. Webber, Worship Old & New, Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publishing
House, 1982

William Dyrness, Tema-Tema Dalam Teologi Perjanjian Lama, Gandum Mas, Malang, 2004

[1] A. Cronbach, Worship in Old Testament, dalam The Interpreter’s Dictionary of the Bible.
Editor by G.A. Buttrick, R-2, Hal. 879. Nashville, Abingdon Press, 1982.

[2] Ibid

[3] New Bible Dictionary, Leicester: Inter-Varsity Press, 1967. Hal. 1262

[4] A. Cronbach, Ibid, halaman 879; NBD, ibit halaman 1262.

[5] NBH, ibit hal. 1262

[6] A. Cronbach, Ibid, halaman 879

[7] Paul Enns, The Moody Handbook Of Theology: Buku Pegangan Teologi, Literatur SAAT,
Malang, 2006, hal. 54

[8] Paul Enns, The Moody…., hal.65

[9] J. D. Douglas,Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, YKBK/OMF, hal 409

[10] Paul Basden, The Worship Maze, Downers Grove, Illionis Inter Varsity Press, 1999, hal.
17

[11] Paul Enns, The Moody…, hal.51

[12] Basden, The Worship….20

[13] Basden, The Worship….20

[14] Robert E. Webber, Worship Old & New, Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publishing
House, 1982. hal. 24.
[15] Ibid., 24
Adat Batak – perlu atau tidak?
Perlu barangkali kita samakan penegertian kita mengenai “Adat”. Sebenarnya, ada 2 (dua) hal
yang harus kita perlu cermati mengenai adat Batak, yaitu adat formal, yang biasa dapat kita lihat dari
pelaksanaan acara adat Batak, mulai dari lahir, besar, menikah, samapai meninggal. Banyak sekali
praktek adat Batak yang berkaitan dengan siklus hidup orang Batak. Kalau ada anak lahir, datanglah
mertuanya “mamboan aek ni unte”, “pasahat ulos parompa”, paebathon, setelah besar, anak laki-laki
biasanya “manulangi tulang”, untuk minta izin mau menikah dengan orang lain, biasanya hanya anak
laki-laki yang paling sulung, acara pernikahan, sampai acara yang berkaitan dengan orang yang
meninggal. Semua ini adalah merupakan bagian dari adat formal.

Yang kedua adalah yang disebut dengan adat material. Yang berhubungan dengan adat material
adalah sistem nilai yang terkandung di dalam budaya Batak, yang umum kita tahu adalah konsep
Dalihan Na Tolu, yaitu Somba marhula-hula, Elek Marboru, manat mardongan tubu, kadang-kadang
ditambah lagi satu lagi burju mardongan sahuta. Dalihan na tolu adalah suatu kerangka yang sangat
baik, bagai mana orang Batak berinteraksi dengan lingkungannya, yang kaya dengan sistem nilai yang
sangat baik dan dapat bertahan sepanjang zaman. Karena, sistem nilai yang ada di dalamnya sangat
universal dengan nilai-nilai religius yang sangat dalam. Akar dari sistem nilai dalihan na tolu adalah
kerendahan hati . Bagaimana tidak, seorang orang Batak harus hormat sama hula-hulanya, tanpa
syarat. Tidak dikatakan, hormatilah hula-hulamu, kalau dia kaya, punya jabatan, atau baik. Demikian
juga, pada saat kita hula-hula, harus elek kepada boru, walaupun dalam tatanan kekerabatan Batak,
Boru adalah kelompok yang dapat kita minta untuk melayani kita (marhobas), tetapi dalam
kedudukan kita yang lebih tinggipun kita harus elek. Manat mardongan tubu, juga merupakan satu
tatanan interaksi masyarakat Batak kepada keluarga yang semarga yang sangat unik. kenapa dikatakan
manat (hati-hati). Dengan dongan sabutuha, sangat jarang didalam umpama/umpasa yang
memberikan kita solusi, untuk mendamaikan orang yang sabutuha kalau terjadi konflik diantara
mereka. Kalau mar-hula-hula, kita masih bisa membawa makanan kepada hula-hula untuk minta
maaf. Demikian juga marboru, kita bisa memberikan ulos untuk minta maaf. Jadi kalau ada orang
yang mempertentangkan adat Batak dengan agama, agama apapun, mungkin itu hanyalah ketidak
tahuan dari sistem nilai budaya batak itu sendiri.

Banyak juga orang Batak yang memonopoli sifat-sifat buruk yang selalu dikaitkan sebagai
HANYA milik orang Batak, yang umum disebut TEAL, LATE, dan ELAT. Tapi kalau kita uji,
hampir semua suku bangsa, juga memiliki sifat-sifat ini. Bedanya adalah, orang Batak berani
mengakui, bahwa sifat-sifat itupun ada di orang Batak, sedang masyarakat lain tidak berani
mengakuinya. Menurut saya ini juga hal yang positif. Sebab dengan mengakuinya (awareness), adalah
merupakan langkah awal untuk menghindari, mengurangi atau bahkan mengilangkannya. Kalau kita
tidak ada pengakuan mengenai sifat-sifat yang jelek ini, maka kita akan menganggap hal ini adalah
hal yang lumrah.
Adat Batak material yang lainnya, banyak terkandung di dalam umpama/umpasa Batak,
dalam hal ini, mungkin bisa kita undang natua-tua kita untuk sesekali menjelaskan beberapa
umpama/umpasa Batak. Di dalamnya terkandung sistem nilai yang sangat baik.
HAKEKAT DAN MAKNA UPACARA ADAT BATAK
Sinkretisme dalam kehidupan orang-orang Batak didasarkan pada pemahaman, bahwa upacara
adat itu hanya merupakan suatu kebiasaan yang diwariskan oleh leluhur. Karena itu keberadaannya
perlu dilestarikan dengan cara menyingkirkan beberapa hal yang dinilai me ngandung unsur
Hasipelebeguon seperti: perdukunan (Hadatuon), kesurupan (siar-siaran), pembuatan patung-patung
(gana-ganaan), jimat (parsimboraon), menyembah setan (mamele begu) dan hal-hal lainnya.
Hasipelebeguon itu hanya sebagian dari bentuk tipuan yang dimainkan oleh iblis. Di luar itu, masih
banyak lagi bentuk hasipelebeguon lain yang sangat dibenci oleh Tuhan. Hasipelebeguon itu
mengambil bentuk yang lebih halus, sehingga sekilas bisa dianggap tidak bertentangan dengan Firman
Tuhan.
Kita tidak pernah mengajukan pertanyaan yang lebih mendalam terhadap upacara adat: tentang
hakikat, makna, dan tujuan dari upacara adat itu sebenarnya. Kita tidak pernah bertanya, apakah arti
keberadaan upacara itu bagi leluhur yang hidup pada masa sebelum Injil tiba di tanah Batak. Apakah
benar bahwa upacara itu sungguh-sungguh tidak bertentangan dengan Firman Tuhan? Apakah layak
sebagai pengikut Kristus kita terlibat di dalamnya? Kita berpikir, karena hampir semua orang telah
melakukannya, maka tidak ada sesuatupun yang salah. Bahkan hampir semua pemimpin umat Tuhan
terlibat dalam aktivitas itu. Kita juga beranggapan, bahwa identitas baru sebagai seorang Batak
pengikut Yesus tetap didasarkan pada nilai-nilai yang dianut oleh leluhur yang hidup dizaman
Hasipelebeguon. Kita telah menjadi orang Kristen yang kompromis dan permisif, seperti ungkapan
Batak yang mengatakan: “Eme na masak digagat ursa, aha na masa ima na taula”.

Sinkretisme dalam kekristenan Batak dihasilkan oleh cara berpikir parsial, yang melihat upacara
adat hanya sebagai unsur dari kebudayaan Batak yang terpisah dari unsur-unsur budaya lainnya,
seperti: religi, kesenian, hukum, dan lainnya. Pandangan parsial merupakan suatu pola pikir yang
menguasai pemikiran orang Eropa pada abad 19. Mereka memisahkan antara religi dengan berbagai
unsur kebudayaan lainnya, seperti politik, ekonomi, sosial, hukum, dan lain-lain. Pemikiran yang
demikianlah yang digunakan Missionaris untuk menilai kebudayaan Batak. Kebudayaan Batak dinilai
dari sudut pandang orang Eropa, bukan dari sudut pandang orang Batak itu sendiri.

Pendekatan antropologi memberikan pemahaman lebih menyeluruh (holistik) tentang upacara


adat. Pendekatan ini memandang upacara adat tidak hanya sebagai aktivitas sosial yang berdiri
sendiri, tetapi berupaya menggambarkan segala nilai, ide, gagasan, paradigma, norma, dan kuasa roh
yang ada dibelakangnya. Sehingga dapat digambarkan aktivitas itu sebagaimana yang dilihat oleh
masyarakat pelaku budaya itu sendiri.

Penelitian antropologi memperlihatkan bahwa masyarakat Batak bersifat religius. Artinya,


seluruh unsur kebudayaannya dipengaruhi dan dibentuk oleh keyakinan religi leluhur. Religi yang
dimaksud adalah “agama Batak” atau Hasipelebeguon. Segala upacara adat didasarkan atas ide,
gagasan, nilai, paradigma, ajaran dan kuasa dari roh sembahan leluhur. Jadi, upacara adat bukan
sekedar tradisi leluhur, melainkan rangkaian ritual agama Batak yang diajarkan kepada keturunannya.

Melalui upacara adat itu, para leluhur berupaya mengatasi berbagai bahaya yang mengancam
kehidupannya dan menjamin berkat (pasu-pasu) dari para roh yang menjadi sembahan mereka. Religi
Batak mengenal nama dewa yang diyakini sebagai dewa tertinggi yang dipanggil dengan Ompu
Mulajadi Nabolon atau Debata Mulajadi Nabolon. Disamping itu dikenal juga beberapa dewa lainnya
yang bernama: Batara Guru, Mangala Bulan, Mangala Sori, Debata Asiasi, Boraspati Ni Tano, Boru
Saniang Naga, roh-roh para leluhur dan berbagai macam jenis begu lainnya. Seluruh roh sembahan ini
dimanfaatkan untuk melindungi mereka dari berbagai bentuk bahaya dan malapetaka, dan menjamin
tercapainya kekayaan (hamoraon), kemuliaan (hasangapon), dan keberhasilan hidup (hagabeon).

Dengan menyebut upacara “agama Batak” dengan istilah “tradisi warisan leluhur” atau
“adat”, maka Iblis berhasil memperdaya banyak orang Kristen, dengan membutakan mata
rohaninya dari segala jerat kelicikan Iblis yang di-sembunyikan di dalam upacara itu. Hal itu
lebih dimungkinkan lagi karena kita tidak pernah bertanya lebih dalam tentang apakah
sesungguhnya yang diwariskan oleh leluhur itu. Kita menerima begitu saja keberadaan
upacara adat itu. Orang Batak lebih cenderung memahami detail dan urutan pelaksanaan
upacara adat. Pembahasan tentang kedua unsur ini bisa memunculkan suatu debat yang sengit
dan panas. Tetapi sangat jarang dijumpai orang Batak, yang mengerti makna rohani dari
upacara itu, dan yang mempertanyakan tentang prinsip-prinsip yang ada dibelakang upacara
itu.
PANDANGAN INJIL TERHADAP UPACARA ADAT
BATAK
Salah satu perbedaan terbesar antara masyarakat di belahan dunia Timur dengan di belahan
Dunia Barat adalah dalam hal adat istiadat. Kehidupan masyarakat Timur dipenuhi dengan berbagai
jenis upacara adat, mulai dari masa dalam kandungan, kelahiran, penyapihan, perkawinan, penyakit,
malapetaka, kematian dan lain -lain. Upacara-upacara di sepanjang lingkaran hidup manusia itu di
dalam antropologi dikenal dengan istilah rites de passages atau life cycle rites.
Peralihan dari setiap tingkat hidup ditandai dengan pelaksanaan suatu upacara adat khusus.
Upacara ini didasarkan pada pemikiran bahwa masa peralihan tingkat kehidupan itu mengandung
bahaya gaib. Upacara adat dilakukan agar seseorang atau sekelompok orang terhindar dari bahaya
atau celaka yang akan menimpanya. Malahan sebaliknya, mereka memperoleh berkat dan
keselamatan. Inilah salah satu prinsip universal yang terdapat di balik pelaksanaan setiap upacara adat
itu.

Beberapa life cycle rites yang dijumpai pada masyarakat Batak Toba di antaranya: mangganje
(kehamilan), mangharoan (kelahiran), martutu aek dan mampe goar (permandian dan pemberian
nama), marhajabuan (menikah), mangompoi jabu (memasuki rumah), manulangi
(menyulangi/menyuapi), hamatean (kematian), mangongkal holi (menggali tulang belulang), dll. Pada
masyarakat Batak lainnya (Karo, Simalungun, Mandailing, Angkola, dan Pakpak Dairi), upacara
tersebut memiliki sebutan-sebutan yang berbeda.

Persoalan besar dan sangat penting yang dihadapi oleh seseorang yang memutuskan untuk
sungguh-sungguh mengikut Tuhan Yesus adalah: apakah dia masih boleh terlibat dalam upacara adat
Batak yang berasal dari masa ketika leluhurnya hidup dalam kegelapan rohani (haholomon) dan
penyembahan berhala (hasipelebeguon). Permasalahan tersebut muncul ketika Injil Tuhan Yesus
diberitakan pertama kalinya oleh para Missionaris di Tanah Batak, dan terus berlanjut hingga masa
kini. Persoalan ini belum tuntas diselesaikan, baik sewaktu Pdt. I.L. Nommensen masih hidup, pada
masa gereja dipimpin para Missionaris penerusnya, maupun pada masa pimpinan gereja berada di
tangan orang Batak sendiri. Nommensen mencoba membagi upacara adat atas tiga kategori, yaitu:
i. Adat yang netral
ii. Adat yang bertentangan dengan Injil
iii. Adat yang sesuai dengan Injil
Sebelum masalah itu tuntas, beliau mengambil kebijaksanaan untuk melarang keras
dilaksanakannya upacara adat Batak oleh orang Kristen Batak, termasuk penggunaan musik dan tarian
(gondang dan tortor) Batak. Akibatnya, jemaat yang baru dilayani pada masa itu banyak yang
dikucilkan dari masyarakat, sehingga Nommensen terpaksa menampung mereka dengan membangun
perkampungan baru, yang disebut Huta Dame.
Bahkan Raja Pontas Lumban Tobing pernah dikenai disiplin gereja karena menghadiri sebuah
upacara kematian. Raja Pontas Lumban Tobing adalah orang yang memberikan tanahnya di Pearaja,
Tarutung untuk dipakai bagi kegiatan pelayanan gereja. Dia termasuk seorang raja
Batak yang menjadi percaya kepada Tuhan Yesus di awal pelayanan Nommensen. Raja ini
mempunyai andil yang cukup besar dalam penyebaran Injil, khususnya dalam menjangkau raja-raja di
wilayah Silindung.
Namun sampai akhir hidupnya, Nommensen gagal menyelesaikan masalah tersebut. Salah satu
sumber kegagalan Nommensen terletak pada kategori yang dibuatnya sendiri. Nommensen sulit
menentukan upacara adat Batak mana yang tidak bertentangan dengan Injil dan upacara adat mana
yang netral.
Pada masa-masa akhir pelayanan para Missionaris di Tanah Batak, ditengah-tengah umat
Kristen Batak muncul suatu desakan untuk mempertahankan berbagai upacara adat Batak dan
mengganti kepemimpinan gereja dengan orang Batak sendiri. Usaha tersebut baru berhasil dengan
diangkatnya Pdt. K. Sirait menjadi Ephorus Batak pertama (1942).
Tekanan supaya diizinkannya kembali upacara adat muncul sebagai dampak negatif dari
strategi penginjilan di tanah Batak dengan pendekatan struktural masyarakat Batak. Penginjilan
dilakukan dengan memusatkan perhatian kepada raja-raja yang memimpin di wilayah masing-masing
marga. Pertobatan seorang raja biasanya segera diikuti dengan pembaptisan massal dari penduduk di
wilayah itu, yang umumnya memiliki ikatan kekerabatan dengan sang raja. Dengan cara ini, para
Missionaris berhasil dengan cepat mengkristenkan wilayah Tapanuli bagian Utara.
sPdt. I.L.Nommensen yang pelayanan utamanya berada di Silindung memiliki sikap yang tegas
melarang keberadaan berbagai unsur upacara Hasipelebeguon, termasuk tortor dan gondang. Tetapi
Gustav Pilgram yang melayani di Balige dan sekitarnya justru mengizinkan tortor dan gondang
dilaksanakan dengan beberapa persyaratan seperti: unsur hasipelebeguon harus dihilangkan,
pemimpinnya harus missionaris, dilaksanakan pada siang hari, peralatannya milik orang Kristen, dan
tidak boleh diikuti oleh orang yang belum percaya kepada Tuhan Yesus.
Perbedaan sikap Pilgram itu dianggap oleh banyak orang Batak sebagai lampu hijau bagi
penerimaan adat Batak di dalam kekristenan. Mereka tidak memahami alasan Pilgram mengizinkan
dan memahami sikap dasar Pilgram bahwa segala bentuk hasipelebeguon tetap harus disingkirkan dari
kehidupan kekristenan. Alasannya untuk mengizinkan tortor dan gondang dapat kita baca dari “referat
1885” (dikutip dari buku “Parsorion ni Gustav Pilgram”, karangan DR. Andar Lumban Tobing):
“Disipareonta tung sogo do gondang i, jala tortor i pe ndang pasonanghon pamerenganta. Alai na
mansai manarik gondang dohot tortor i di halak Batak, boi do dibuktihon godang ni loloan na bolon
na mandohotsa. Haru angka Kristen dohot angka parguru pe, tung maol do padaohon nasida sian i.
Aut so manarik situtu na ginoran ondeng tu halak Batak i, ndang apala penting tema i, ia so i, molo
halak Kristen naung marpangalaman sambing do siadopanta dison, na so mamorluhon gondang
dohot tortor, ndang penting tema ginoran nangkin, ai manang ise marnampunahon Anak ni Amata,
nunga di ibana hangoluan na saleleng-lelengna, nunga martua nuaeng nang ro di saleleng-lelengna,
jala ndang mamorluhon gondang dohot tortor be ibana. Alai dison angka Kristen na baru tardidi
dope dohot angka na so marpangalaman, na ingkon sitogu-toguon dope songon dakdanak. Didok
rohangku, ndang adong hakta mambuat sude sian nasida naung adong hian di nasida, saleleng so
adong pangantusion di nasida mangonai na dumenggan i na naeng boanonta tu nasida.” Pilgram
tidak setuju, namun terpaksa mengizinkan keberadaan gondang dan tortor. Mereka dinilai belum
memiliki pengertian akan Kristus, belum berpengalaman, masih seperti seorang anak kecil. Dia
berkeyakinan, bila orang Batak itu sudah memiliki pengenalan akan Kristus (dewasa rohani), dia akan
mengenal arti hidup yang kekal di dalam Kristus itu, dan pada akhirnya mereka tidak memerlukan
lagi tortor dan gondang itu dan meninggalkannya. Jadi tidak perlu dipaksa. Namun, setelah ditunggu
selama seratus lima belas tahun kemudian, yakni awal tahun 2000 ini, masih banyak orang Kristen
Batak yang masih hidup didalam tingkat rohani seperti yang dikatakan oleh Pilgram itu. Alangkah
pedihnya hati Pilgram kalau melihat kenyataan seperti yang ada saat ini.
Pendudukan Jepang memaksa para Missionaris meninggalkan Indonesia tanpa berhasil
menuntaskan masalah upacara adat. Kepergian mereka meninggalkan kekosongan teologia (theologia
in loco) dan kebingungan rohani di tengah-tengah Jemaat Batak. Keterikatan dengan pola hidup
lamanya telah mendorong Jemaat untuk mendesak pimpinan gereja mengizinkan kembali pelaksanaan
berbagai upacara adat. Desakan ini didukung oleh argumentasi teologis yang dikemukakan para
pemimpin rohani yang belum mengalami pembaharuan total dalam pola pemikirannya.
Argumentasi teologis tersebut merupakan suatu pemahaman Injil yang mengkompromikan
kebenaran ajaran Injil dengan ajaran agama Batak, teologia yang bersifat sinkretis (pengajaran atau
cara hidup yang berasal dari campuran dua atau lebih ajaran), yang dapat diterima oleh pemikiran
jemaat kebanyakan. Dalam teologi ini diakui bahwa Yesuslah satusatunya Jalan, Kebenaran, dan
Hidup, tetapi dalam hidup sehari -hari perlu dipertahankan upacara adat (agama) Batak, yang
diketahui dengan jelas berasal dari Hasipelebeguon. Teologi Sinkretis inilah yang diajarkan kepada
Jemaat Kristen Batak sampai hari ini. Teologi Sinkretis ini telah menjadi arus utama didalam
pemahaman iman Jemaat Kristen Batak pada masa sekarang.
Akibatnya, pada generasi berikutnya merebak kembali pelaksanaan berbagai upacara adat yang
sebelumnya telah dilarang oleh para Missionaris untuk dilakukan. Sebagai contoh, upacara kematian
(hamatean), upacara memindahkan tulang belulang (mangongkal holi),
pelaksanaan tortor dan gondang Batak di gereja dan berbagai upacara lainnya.
Bukan itu saja, upacara penyembahan nenek moyang yang merupakan inti agama Batak pada
masa kegelapan, kembali merebak dilakukan oleh masyarakat Batak Kristen sekarang. Kebangkitan
penyembahan ini mengambil bentuk baru yang ditandai dengan menjamurnya pembangunan tugu-
tugu marga Batak. Anda dapat melihat banyaknya tugu yang dibangun di sepanjang jalan lintas antara
kota Parapat dengan kota Tarutung. Tugu tersebut dibangun oleh keturunan marga yang berasal dari
satu garis leluhur (ompu parsadaan). Pembangunan ini telah menghabiskan dana sangat besar, bahkan
mendatangkan kemerosotan rohani yang dalam. Kalau dahulu Nommensen mau dikorbankan oleh
orang Batak kepada roh sembahan leluhur marganya diatas bukit Siatas Barita, maka sekarang yang
terjadi sebaliknya. Banyak pendeta dan penatua pemimpin kebaktian pada acara pemujaan roh nenek
moyang di tugutugu marga.
Ironisnya lagi, pelaksanaan upacara dari masa kegelapan itu dibungkus dengan kebaktian
gerejawi, yang dilaksanakan di lokasi pendirian tugu marga dimana tulang belulang leluhur tersebut
dikuburkan kembali. Proses pembangunan tugu juga banyak melibatkan kuasa-kuasa setan melalui
datu (spirit medium), misalnya untuk menentukan lokasi penggalian tulang belulang leluhur marga.
Tanpa disadari umat Tuhan di tanah Batak telah berubah menjadi umat yang mendua hati
(shizoprenis: terpecah), yang pada satu sisi mencoba untuk mengikuti ajaran Yesus Kristus, pada sisi
yang lain giat melakukan ajaran agama nenek moyangnya. Dalam hidup keseharian terjadi
pencampuran kedua ajaran agama (sinkretis), yaitu agama leluhur dan Injil Yesus Kristus.
Akibatnya kekristenan orang Batak menjadi kompromis, permisif dan kebenaran Injil yang mutlak
menjadi relatif. Satu kaki berpijak pada Injil (?), dan kaki lainnya berpijak pada Adat (agama
Hasipelebeguon). Satu sisi dalam terang, sisi lain dalam kegelapan.
Sinkretisme orang Kristen Batak dapat kita lihat di dalam pelaksanaan perkawinan. Perkawinan
orang Kristen Batak dilakukan dengan dua jenis upacara: upacara kegerejaan yang biasanya
dilanjutkan dengan upacara agama Batak. Pelaksanaan kedua upacara tersebut merupakan suatu
keharusan, sekalipun tidak ada hukum formal maupun Firman Tuhan yang memerintahkannya.
Pernikahan secara gerejani, tanpa diikuti dengan pelaksanaan upacara adat Batak, sering
menimbulkan konflik besar di dalam keluarga orang yang hendak menikah. Di gedung gereja, orang
Batak melakukan upacara kekristenan, sedangkan di luar gedung gereja mereka melakukan upacara
agama leluhur. Perbedaannya hanya terletak pada orang yang memimpin upacara. Dulu dipimpin oleh
Datu, sekarang digantikan oleh Pendeta. Peranan datu digantikan oleh pendeta, tetapi rangkaian
upacara adat (agama leluhur) selanjutnya tetap sama. Berkat (pasu-pasu) dari Tuhan Yesus dianggap
belum cukup, dan perlu disempurnakan dengan berkat dari hula-hula dan lainnya. Kesempurnaan dan
kemutlakan karya Yesus Kristus telah disingkirkan demi mempertahankan upacara kegelapan warisan
leluhur itu.
Sinkretisme ini bukan hanya terjadi di kalangan gereja -gereja tradisional Batak, tetapi juga
telah merembes kepada orang-orang Kristen Injili yang mengaku Alkitabiah, menjunjung tinggi
keunikan Injil dan lebih giat memberitakannya. Dari mimbar kaum Injili yang ada di Sumatera Utara
sering disuarakan dukungan atas pelaksanaan upacara adat Batak. Merekapun banyak yang terlibat di
dalam pelaksanaan aktivitas tersebut.
Orang Batak telah melupakan prinsip rohani bahwa terang tidak dapat bersatu dengan gelap,
dan kebenaran tidak dapat dipersatukan dengan ketidakbenaran. Dalam bahasa Tuhan Yesus: “Tidak
seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikia n, ia akan membenci yang seorang
dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain.
Kamu tidak dapat mengabdi kepada Tuhan dan kepada Mammon” (Matius 6:24).
Seiring dengan merebaknya kembali aktivitas upacara adat di tengah-tengah bangsa Batak,
kemerosotan rohani yang besar terjadi, baik pada kaum awam, maupun pada pemimpin gereja.
Kemerosotan itu nampak pada banyaknya perpecahan dalam gereja Batak, contohnya kasus
perpecahan gereja HKI, GKPI, dan HKBP. Perpecahan itu juga telah terjadi pada hampir setiap gereja
suku di Sumatera Utara. Perpecahan gereja Batak banyak bersumber pada akar budaya Batak itu
sendiri, dan konflik kepentingan di antara pemimpin umat; bukan karena masalah teologia.
Perpecahan yang besar berpuncak pada kasus gereja HKBP yang sangat menghebohkan, yang telah
banyak mengorbankan materi, darah bahkan nyawa manusia. Semuanya sangat mempermalukan
nama Tuhan Yesus.
Kemuliaan dan kehormatan yang seharusnya diberikan kepada Tuhan Yesus, telah diberikan
kepada iblis dan Pemimpin Jemaat. Wajar jikalau damai Tuhan Yesus tidak ada disana. Seruan para
malaikat di Betlehem mengajarkan bahwa damai Tuhan hanya akan diberikan kepada orang yang
berkenan kepada-Nya, yaitu orang yang memberikan kemuliaan kepada Tuhan Yesus. “Kemuliaan
bagi Tuhan di tempat yang mahatinggi, dan damai sejahtera di bumi diantara manusia yang berkenan
kepada-Nya” (Lukas 2:14). Gereja HKBP (tempat penulis saat ini bergereja) sering diserukan sebagai
“HKBP Na bolon I” (HKBP yang besar), padahal gelar Na Bolon I tersebut hanya layak diberikan
kepada Yesus Kristus.
Gereja yang seharusnya Duta Pembawa Damai di dunia, telah berubah menjadi sekumpulan
orang-orang yang saling berperang. Gereja telah menjadi arena peperangan baru bagi orang Batak di
zaman modern ini. Peperangan bukan hanya terjadi di kalangan kaum awam, namun juga telah
merebak sampai kepada pucuk pimpinan gereja itu sendiri. Sangat tepat dikatakan bahwa orang Batak
telah kembali kepada masa hidup nenek moyangnya, yang ditandai dengan tingkat konflik yang
tinggi, dimana sering terjadi peperangan (marporang) antar kampung (huta). Konflik di gereja HKBP
beberapa tahun belakangan ini merupakan contoh terbesar dari peperangan antara sesama orang Batak
masa kini.
Pemberitaan keselamatan manusia di dalam Tuhan Yesus, yang seharusnya merupakan
kesibukan utama bagi gereja Tuhan, telah berganti dengan banyaknya waktu yang terbuang untuk
mengikuti berbagai upacara adat. Kelalaian dalam melaksanakan Amanat Agung Tuhan Yesus tidak
pernah dinyatakan sebagai dosa yang serius oleh pimpinan gereja. Tetapi, penolakan aktivitas upacara
adat, atau ketidaktepatan pelaksanaan upacara adat segera akan mengundang komentar yang tajam
dan ramai. Perdebatan dan pertengkaran karena masalah adat merupakan sesuatu yang biasa terjadi
dalam kehidupan sehari-hari.
Kemerosotan rohani dapat kita lihat juga dalam kehidupan sehari-hari. Anda jangan heran,
jikalau pada masa sekarang, banyak orang Batak Kristen yang sangat takut untuk tidak melakukan
upacara adat. Sementara untuk tidak mentaati Firman Tuhan itu merupakan hal yang dianggap sepele
saja oleh mereka. Bahkan, sering dijumpai orang yang lebih senang dikatakan sebagai orang yang
tidak “ber-Tuhan” (ndang martuhan) daripada dikatakan sebagai orang yang “tidak beradat” (ndang
maradat). Tanpa disadari, adat Batak telah kembali menjadi berhala atau ilah yang dijunjung tinggi di
hati orang Kristen Batak.
Kemerosotan rohani juga dapat kita lihat pada banyaknya orang-orang Kristen Batak yang
terlibat berbagai dosa seperti perdukunan, spiritisme (berhubungan dengan arwah orang mati),
memberikan persembahan di kuburan, perzinahan, kebebasan seksual, rentenir, perjudian,
kemabukan, korupsi, suap-menyuap, pembunuhan, kekerasan (premanisme), perkelahian dan berbagai
dosa lainnya.
Dalam dunia pekerjaan, berbagai jabatan yang penting dan strategis di birokrasi dan
pemerintahan, yang pada awal kemerdekaan banyak dipegang oleh orang Kristen Batak, pada saat ini
telah beralih kepada orang-orang lain. Bukan itu saja, peluang untuk mendapatkan pekerjaan
khususnya dalam birokrasi dan pemerintahan menjadi sangat sulit diperoleh oleh orang Batak Kristen,
kecuali dengan menyogok (ber-KKN).
Kita semua tahu bahwa banyak orang Kristen Batak yang telah menjual imannya (iman kepada
Yesus Kristus), demi memperoleh suatu pekerjaan, pernikahan, pangkat dan jabatan. Barter harta
rohani yang tak ternilai harganya, dengan barang-barang murahan dari dunia ini telah banyak
dilakukan oleh kaum Esau dari Bona Pasogit, Tano Batak. Firman Tuhan dibawah ini patut menjadi
bahan pemikiran kita:
“Tuhan akan mengangkat engkau menjadi kepala dan bukan menjadi ekor, engkau akan tetap
naik dan bukan turun, apabila engkau mendengarkan TUHAN, Bapamu, yang kusampaikan pada hari
ini engkau lakukan dengan setia” (Ulangan 28:13).
Karena itu, persoalan adat kini harus diselesaikan, karena kita mengetahui bahwa upacara
tersebut telah menimbulkan masalah rohani yang besar. Kita tidak mau membiarkan iblis memperoleh
kembali peluang untuk mencengkramkan kukunya pada generasi Batak saat ini. Semuanya itu sangat
mendukakan hati Tuhan dan mendatangkan murka atas bangsa Batak. Karena itu sudah merupakan
kewajiban dari generasi Kristen Batak pada masa kini untuk mengevaluasi kembali kehidupan
kerohaniannya di hadapan Tuhan Yesus. Evaluasi tersebut mencakup cara pandang, sikap dan
tindakan kita terhadap eksistensi upacara adat.
Evaluasi itu hanya mungkin dilakukan apabila kita mau datang kepada Tuhan Yesus dengan
sungguh-sungguh, dan meminta dengan tekun agar Dia menerangi hati kita, dan ;menyingkapkan
rahasia Firman-Nya. Karena hanya Tuhan Yesus, melalui Roh-Nya, yang memiliki otoritas mutlak
dalam menafsirkan seluruh kebenaran Firman Tuhan. Sehingga Dia berkenan mengoreksi segala
pemikiran, konsep, nilai, prinsip, cara dan tindakan kita selama ini. Seruan untuk kembali kepada
Tuhan Yesus sangat mendesak untuk diberitakan pada saat ini. “Wahai bangsa Batak, kembalilah
kepada Tuhan Yesus”, “Back to Jesus!”Semuanya ini hanya mungkin, bila kita mau merendahkan
hati untuk dikoreksi dan diajar oleh Tuhan Yesus, sama seperti seorang anak kecil, yang memiliki
kepolosan, keterbukaan dan kejujuran untuk diajar.
Bukan untuk sekedar menambah pengetahuan teologia belaka, tetapi benar-benar untuk
mentaati-Nya. Karena Roh Kudus hanya akan mengerjakan hal tersebut bila kita dinilai-Nya telah
memiliki ketaatan hati, sekalipun kebenaran itu sangat pahit untuk memulainya (Kisah Para Rasul
5:32). Karena itu, doa sang Pemazmur sangat relevan untuk dipanjatkan secara sungguh-sungguh oleh
orang-orang Kristen Batak:
“Selidikilah aku, ya Tuhan, dan kenalilah hatiku, ujilah aku dan kenalilah pikiranku; lihatlah
apakah jalanku serong dan tuntunlah aku di jalan yang kekal.” (Mazmur 139:23,24)
Kajian ini mencoba melihat kembali tentang sikap dan pandangan Tuhan terhadap masalah
upacara adat, khususnya yang hidup dalam masyarakat Batak, dengan mengambil contoh kasus
utamanya dari sub suku bangsa Batak Toba. Penulis hanya akan membatasi pembahasan pada
beberapa prinsip-prinsip utama yang mendasari pelaksanaan upacara adat, dan tidak akan
menguraikan detail dari pelaksanaan upacara tersebut. Karena melalui renungan ini, tidak mungkin
menguraikan dan mengkaji segala aspek dari berbagai macam upacara adat yang ada di tengah-tengah
masyarakat Batak.
Pertentangan pasti muncul, karena sudut pandang dalam melihat adat itu memang berbeda.
Pandangan Kristus tidak pernah sama dengan pandangan manusia yang duniawi. Pandangan Kristus
jauh lebih tinggi dari pandangan duniawi. Penafsiran seseorang mengenai adat istiadat muncul dari
suatu titik pijakan, sikap hati dan tujuan yang hendak dicapainya. Persoalannya, apakah kita memiliki
dasar pijakan yang sama dengan Tuhan Yesus? Kuasa Roh Kudus hanya akan menyertai dan
mengurapi orang-orang yang memberitakan Firman sesuai dengan maksud-Nya. Penulis sangat
terkejut ketika membaca sebuah buku, yang berjudul “Christ and Culture” (Kristus dan Kebudayaan),
yang ditulis oleh seorang teolog terkenal, yang bernama DR. Richard Niehbur. Dalam buku tersebut
dijelaskan alasan menyebabkan orang-orang Yahudi dan para pemimpin bangsa tersebut menyalibkan
Tuhan Yesus. Niehbur berpendapat bahwa orang-orang Yahudi membunuh Tuhan Yesus karena
segala pengajaran dan tindakan Tuhan Yesus merusak adat istiadat dan agama Yahudi, yang sangat
mereka banggakan. Akhirnya, mereka harus memilih, antara membinasakan Tuhan Yesus atau
membiarkan agama dan adat istiadat Yahudi hancur. Demi mempertahankan keutuhan adat dan agama
tersebut, mereka memilih untuk membinasakan Tuhan Yesus, orang yang dianggap sebagai sumber
kerusakan itu.
Peristiwa tersebut menjadi pelajaran, sekaligus tantangan bagi kita sebagai pengikut Kristus
didalam menghadapi kontroversi masalah adat. Yesus Kristus hadir di tengah-tengah kemerosotan
rohani bangsa Israel yang menjalar di seluruh bidang kehidupan. Dia segera mengenali ketidakberesan
bangsa tersebut dalam cara pandang dan sikap terhadap Firman- Nya. Lalu, dari mulut-Nya yang
kudus keluar penilaian dan koreksi-Nya terhadap agama dan adat istiadat bangsa tersebut.
Demikian juga bagi bangsa Batak, di tengah-tengah kemerosotan rohani yang terjadi masa kini,
sangat diperlukan kembali adanya suatu reinterprestasi dan pembaharuan sikap akan eksistensi
upacara adat Batak yang berasal dari masa kegelapan itu. Dengan kata lain, gereja Tuhan di tanah
Batak sangat memerlukan “reformasi iman” dalam kehidupan rohaninya. Karena itu, kita ditantang
Tuhan untuk mengambil sikap, antara menyuarakan Injil atau mempertahankan berbagai upacara adat
tersebut.
Kesimpulan
Pada awal milenium ketiga ini, dimana saat kedatangan Tuhan Yesus semakin dekat,
dibutuhkan adanya suatu kebangunan rohani di tengah-tengah bangsa Batak. Kebangunan rohani akan
dimulai, jikalau ada orang-orang Batak yang memiliki cara pandang dan sikap yang lebih tajam dan
Injili didalam menilai eksistensi upacara adat, serta memiliki keberanian untuk menyuarakannya pada
zaman ini. Karena hanya orang-orang yang seperti ini yang akan diperlayakkan TUHAN untuk
memasuki arena peperangan rohani melawan kuasa-kuasa kegelapan, yang telah membelenggu,
membutakan serta melumpuhkan kehidupan umat Tuhan di tanah Batak.

Anda mungkin juga menyukai