BASIS/TEOLOGI MISI
2. Terkait perenungan teologis ini, terasa di situ gema dari hasil penelitian
Alkitabiah yang semakin mendalam terkait misi ( misalnya oleh Stephen Bevans
dan Roger Schroeder, Constants in Context: A Theology of Mission for Today
[2004], yang mendalami secara serius kitab Kisah para Rasul sebagai basis misi),
dan menekankan pengalaman Petrus sebagai momen inspiratif, saat ia sendiri
bertemu dengan wajah majemuk agama-agama ataupun masyarakat kala itu,
katanya “...aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang. Setiap
orang dari bangsa mana pun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan
kebenaran berkenan kepada-Nya” (Kis. 10:34-35). Allah yang tidak
membedakan itu memelihara segala ciptaan-Nya di bawah kasih karunia-Nya.
Tidak ada yang bisa membatasi kemurahan dan kesanggrahan rahmat Allah itu,
dan Kristus menjadi jaminan -atau meminjam pendalaman teolog Jacquis Dupuis,
Kristus itu konstitutif- dalam hal inklusivitas kemurahan Allah tadi. Arah
teologis yang lebih kontekstual dan leluasa memang telah mulai muncul terkait
misi dan pekabaran Injil.
5. Dalam rangka rekonstruksi misi dan Pekaraban Injil di Indonesia tepatlah kalau
kita pun memanfaatkan pendasaran teologis dalam dokumen DGD-TTL itu,
yang menetapkan bahwa (fondasi) misi adalah gerak kasih yang keluar dari
dalam hati Allah Tritunggal kepada setiap pribadi dan segala makhluk (#2); Kita
pun selanjutnya ikutserta dalam misi trinitarian tersebut, dan dengan berada
dalam karya Roh Kudus berarti kita masuk dalam karya misi ilahi yang
sesungguhnya (#3).
6. Keikutsertaan kita pada gerak Roh ilahi sedemikian membuat misi tidak lagi
bersifat “dari pusat ke pinggiran”, tetapi berkarakter kesegala-arahan; dengan
kesadaran yang perlu diasah bahwa konteks pasar global hari-hari ini telah
sedemikian merebak menjunjung ideologi keserakahannya, sehingga misi kita
membutuhkan spiritualitas yang bersifat keugaharian, tetapi juga transformatif.
8. Missio Dei dengan demikian dikerjakan oleh gereja dalam sebentuk spiritualitas
yang tumbuh akibat curahan Roh Kudus, sambil secara mendalam bertemu
dengan kearifan budaya dan hikmat kehidupan di sekitarnya; dengan modus
spiritualitas yang sedemikianlah (artinya: beriman yang terhayati secara
kontekstual) transformasi kehidupan menjadi mungkin dan utuh adanya (DGD-
TTL #30). Dengan ini misi yang diemban gereja berarti mentransformasikan
dan mempersaksikan kehidupan yang di dalamnya semua orang dapat ikut
9. Secara mengejutkan, komunitas Katolik Ordo SVD (Serikat Sabda Allah –yang
bekerja dalam misi di Indonesi bagian Timur-) mengeluarkan perenungan hasil
simposium merayakan 125 Ordo tersebut. Dalam perenungan dan “lesson
learned” Ordo itu (Stephen Bevans dan Roger Schroeder menyunting
laporannya, dalam buku Misi untuk Abad ke 21, Maumere: 2002), mereka
melanjutkan semangat Missio Dei yang sudah dikenal sejak konferensi gereja
Protestan yaitu konferensi misi Dewan gereja se-Dunia di Willingen (1952) -jadi
kita sudah memulai mendapatkan konvergensi Kristen-Katolik akan makna dan
langkah misi di sini-. Dengan dianutnya bersama-sama gagasan “missio Dei” itu
maka misi adalah karya Allah demi penyelamatan manusia di dalam sejarah.
Allah adalah subjek yang menangani karya misi sehingga kita tidak dapat
berbicara tentang “misi gereja” an sich. Maksudnya, gereja dan misinya bukanlah
fenomena yang berdiri sendiri, tetapi adalah sarana Allah dalam menjalankan
misinya. Gereja adalah hasil karya Allah yang mengutus dan menyelamatkan;
maka setiap karya misi perlu merenungkan apakah Allah menghendaki adanya
misi tertentu, dan apakah Ia menghendaki cara misi itu dijalankan dengan cara
yang kita tempuh. Misi adalah ketaatan pada Allah, dan pada perutusan Putra-
Nya, demi penebusan segala ciptaan. Maka dalam pada itu Ordo SVD di atas pun
menegaskan makna dan cara menjalankan misi saat ini:
Allah sedang membawa gereja ke tengah dunia, dan bukannya
gereja yang membawa Allah. Allah membawa gereja ke tengah dunia
melalui praktik dan semangat dialog.
EKLESIA MISIONAL
10. Maka misi kiranya bisa menghindari kecenderungan ekleosentrismenya, sebab
gereja adalah pelayan atau bahkan instrumen bagi misi; malah yang justru perlu
disambut ialah bermunculannya berbagai bentuk “emerging church” yang terus
mengekspresikan kesegaran dan semangat baru mengikut jalan Roh dalam
mempersaksikan Kristus yang bangkit di tengah zaman ini. Di era migrasi dan
pergerakan penduduk serta lanskap demografis dunia yang sedemikian cair ini
(yang juga dialami warga Indonesia) ,maka memang peran jemaat setempat
sungguh strategis dalam menemukan model dan karya misinya. Dalam pada itu
kita membutuhkan sebentuk gereja misional ataupun eklesiologi misional di
sini. Misi yang selama ini bersifat “mengirim” seseorang atau lembaga ke
“seberang sana” mengesankan bahwa gereja pada dirinya tidak misional.
Padahal di era “global christianity” kini tak ada lagi lapangan penginjilan per se,
tetapi kehadiran kita sepenuhnya akan menjadi “surat Kristus yang terbuka”
dan hadir di segala lapangan kesaksian. Maka memang struktur-struktur
misional kiranya sudah ada dalam kehidupan menggereja itu sendiri. Cara
berpikir yang eksklusiflah yang ada di belakang mentalitas dan program misi
yang melihat di sana ada yang “gelap”, lalu bergegas menaklukkan mereka.
Dengan eklesiologi misional maka terjadi penekanan baru akan cara berada
ataupun identitas gereja, yang sungguh kontekstual dan berlaku sebagai saksi;
di dalam konteksnyalah gereja hadir selaku perjamuan sukacita ilahi yang
terbuka dan inklusif.
11. Agar semakin jelas basis eklesiologi misional yang terbuka ini, baiklah saya buat
rengrengannya dalam bandingan dengan sikap eksklusif yang barangkali sering
memperkeruh modus kesaksian kita di tengah masyarakat majemuk ataupun
Indonesia ini:
Eksklusif Inklusif
Kristus adalah Juruselamat, yang di Kristus adalah Juruselamat, Ia bekerja melampaui
luar komunitas Kristen tidak selamat batas-batas
Allah datang sebagai Hakim yang Allah datang dengan kasih –yang nyata dalam Yesus
menghukum orang yang tak percaya Kristus- yang mengundang dan menawarkan rahmat-
Nya
Gereja adalah persekutuan orang benar, Gereja adalah persekutuan orang-orang yang dipanggil
yang dipisahkan dari dunia yang gelap. untuk melayani kasih ilahi yang mengalir dari Bapa-
Misi Gereja untuk menobatkan orang Putra & Roh Kudus. Misi gereja ialah melayani gerak
lain kasih-trinitarian itu dan berbagi harapan secara dialogis
Umat Kristen percaya pada ajaran Umat Kristen percaya pada Kristus yang
keselamatan yang sungguh benar dan menganugerahkan kehidupan, umat lain menjalani
pasti, umat lain terkecoh dan tersesat imannya di dalam penyelenggaraan ilahi
dalam agama/keyakinannya
PEKABARAN INJIL
12. St. Fransiskus Asisi mengatakan “Kabarkanlah Injil senantiasa, dan hanya kalau
perlu pakailah kata-kata”. Meminjam diktum DGD yang umum kita dengar maka
memang misi yang mengambil bentuk eksplisitnya dalam Pekabaran Injil/Kabar
Baik itu berarti communication of the whole Gospel to the whole humanity in the
whole world. Pekabaran injil ialah tindakan berbagi iman dan mengundang
mereka untuk hidup dalam kasih dan anugerah Allah yang nyata dalam Kristus.
Pekabaran Injil yang benar dan otentik, yaitu yang seturut cara Kristus selalu
bersifat memanusiawikan. Dengan demikian perjumpaan dialogis menjadi
syaratnya, yang dilakukan dalam hormat pada kepelbagaian budaya masyarakat
setempat, dan dengan kepekaan pada situasi kelompok masyarakat, teristimewa
akan mereka yang terpingggirkan. Maka sikap hormat dan tanggungjawab
menjadi cara kita mempersaksikan Injil Kabar Baik tersebut.
13. Hasil penelitian survei oikoumene yang kami lakukan, dengan sample 26 Sinode
anggota PGI, (lihat Trisno Sutanto, et.al., Potret dan Tantangan Gerakan
oikoumene [BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2015, hal. 52]) menggambarkan secara
umum pengertian dan praktik misi & Pekabaran Injil di Indonesia, sebagai
berikut:
4. Lainnya 8
14. Dari data empirik ini kami juga melakukan pendalaman dan kurang lebih alasan
di balik pilihan nomor 1 ialah “karena Amanat Agung yang diterima dari Injil
Matius 28”, sementara pilihan nomor 3 “karena keyakinan bahwa Injil adalah
berita untuk segala makhluk, dan karena dalam praktik bergereja hal ini cukup
sering dikerjakan di lingkungan masing-masing”. Dari data ini sebenarnya
gagasan rekonstruksi misi dan pekabaran Injil sebagaimana digambarkan di atas
memiliki realismenya. Dengan kata lain suatu perspektif misiologis yang inklusif
telah berkembang dalam aktifitas gerejawi, dan langkah pengkomunikasian Injil
Kabar Baik sama sekali tidak dilupakan. Tentu kini praktik Pekabaran Injil
dengan semangat dialogislah yang kiranya semakin terbentuk dalam hidup
umat Kristiani di Nusantara.
16. Dalam Konferensi Nasional Misi yang diadakan PGI bekerja sama dengan CCA
dan WCRC (Jakarta 6-9 Mei 2012), ditekankan bahwa Misi Allah harus dipahami
di tengah konteks kehidupan nyata. Dinyatakan secara jelas sejumlah tantangan
mutakhir dan kontekstual misi dan pekabaran Injil di Indonesia: 1. Pergeseran
nilai dan praktik kehidupan. Cara pandang yang memahami manusia dan alam
sebagai sesama ciptaan Tuhan telah bergeser dan menyisakan dominasi
manusia atas alam, bahkan antarsesama manusia itu sendiri; 2. Penguasaan
Pancasila, UUD 1945 dan yang Bhinneka Tunggal Ika, gereja perlu terlibat dalam dialog
lintas iman dalam terang nilai-nilai Injil (bdk. Yer. 29: 7; Kis. 10: 34-35), terutama untuk
bersama-sama membangun dan mempererat kesatuan bangsa serta berkontribusi dalam
menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi bersama di tengah masyarakat dalam
tuntunan kebenaran Allah.
18. KESIMPULAN: Dapatlah disepakati bahwa misi adalah karya kasih Bapa-Putra-
Roh Kudus yang datang kepada manusia dan seluruh ciptaan, mengundang
semuanya hadir dalam perjamuan kehidupan di dalam Kerajaan-Nya (Lukas
14:15). Gereja, dalam pewiwekaan yang penuh hikmat diminta ikutserta
mewujudkan missio Dei ini. Dan dalam curahan Roh kita pun perlu tumbuh
dalam spiritualitas ugahari sambil menemukan jalan dan cara mentransformasi
kehidupan bersama, agar seluruh ciptaan dibaharui, dan khususnya yang
terpinggirkan dapat ikut bersekutu bersama. Pemberitaan Injil Kabar Baik pun
menjadi bagian tak terpisahkan dari undangan perjamuan kasih ilahi itu, dan
kita mempersaksikannya dalam sikap dialog yang menghormati kemajemukan
agama dan budaya masyarakat. Dalam hal misi dan pekabaran Injil tadi, kita
dalam hikmat dan pewiwekaan yang mendalam, sadar akan tantangan nyata di
Indonesia, dan dalam sikap yang positif, kreatif, kritis serta realistis, kita
terpanggil dan bertugas mentransformasi kehidupan bersama, agar “mereka
mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan”.
*Pdt Martin Lukito Sinaga D.Th adalah pendeta GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun), ia
adalah juga dosen luarbiasa di STT Jakarta & STF Driyarkara. Sejak tahun 2017 ia menjadi
tenaga ahli pada UKP-PIP (kini: Badan Pembinaan Ideologi Pancasila/BPIP). Studi teologi
ditempuhnya di Jakarta dan juga selaku “research scholar” di Missionsakademie Univ. Hamburg-
Jerman (1996-1998). Ia aktif dalam kegiatan lintasagama. Pada tahun 2009-2012 ia bekerja
sebagai “studi secretary” bidang Teologi dan Dialog Antar Agama pada “Lutheran World
Federation”, Geneva-Swiss. Beberapa karyanya yangd apat dinikmati: Beriman dalam Dialog:
Esai-esai Tentang Tuhan dan Agama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018), Teologi Gereja Kristen
Protestan Simalungun (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018) dan buku suntingannya, Common
Word: Buddhists and Christians Engage Structural Greed (Geneva, LWF-DTPW, 2012).