Anda di halaman 1dari 8

1

“Batta Bokul Pullu Pamba” sidang Raya PGI ke XVII, di Sumba

Misi dan Pekabaran Injil dalam Masyarakat Majemuk


(oleh: Pdt. martin lukito sinaga D.Th*)

BASIS/TEOLOGI MISI

1. Pergulatan misi/pekabaran Injil (p.I) dalam konteks masyarakat majemuk dan


dalam realitas “global Christianity” hari-hari ini -suatu lanskap baru “mission
field”-, telah banyak menyita pemikiran gereja se-dunia. Dalam suatu konferensi
misi (Dewan gereja se-Dunia) di San Antonio, 1990 –lihat F.R. Wilson, The San
Antonio Report, hl. 31-, telah diupayakan suatu kesimpulan menarik yang
membuka perenungan dan juga langkah misi yang baru:

Kami tidak dapat menunjuk jalan keselamatan lain kecuali Yesus


Kristus; pada saat yang sama kami tidak dapat mendirikan batas bagi
kuasa penyelamatan Allah”.

2. Terkait perenungan teologis ini, terasa di situ gema dari hasil penelitian
Alkitabiah yang semakin mendalam terkait misi ( misalnya oleh Stephen Bevans
dan Roger Schroeder, Constants in Context: A Theology of Mission for Today
[2004], yang mendalami secara serius kitab Kisah para Rasul sebagai basis misi),
dan menekankan pengalaman Petrus sebagai momen inspiratif, saat ia sendiri
bertemu dengan wajah majemuk agama-agama ataupun masyarakat kala itu,
katanya “...aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang. Setiap
orang dari bangsa mana pun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan
kebenaran berkenan kepada-Nya” (Kis. 10:34-35). Allah yang tidak
membedakan itu memelihara segala ciptaan-Nya di bawah kasih karunia-Nya.
Tidak ada yang bisa membatasi kemurahan dan kesanggrahan rahmat Allah itu,
dan Kristus menjadi jaminan -atau meminjam pendalaman teolog Jacquis Dupuis,
Kristus itu konstitutif- dalam hal inklusivitas kemurahan Allah tadi. Arah
teologis yang lebih kontekstual dan leluasa memang telah mulai muncul terkait
misi dan pekabaran Injil.

3. Dokumen yang diterbitkan DGD, “Together Towards Life: Mission and


Evangelism in Changing Landscape, With a Practical Guide” (2013), selanjutnya
disingkat DGD-TTL -telah pula diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,
“Memberitakan Injil di Tengah Masyarakat Majemuk: Tiga Dokumen
Kontemporer Gerejawi” (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2018)-, adalah upaya
konstruktif dan mendasar yang akan membantu kita mendasarkan misi dan
Pekabaran Injil secara teologis, dan juga membuka terobosan baru perenungan
dan karya misi di Indonesia ini. Karena dokumen tersebut bersifat ekumenis,
kita sungguh dapat memanfaatkannya dalam membimbing gereja di Indonesia

“Batta Bokul Pullu Pamba” sidang Raya PGI ke XVII, di Sumba


2

untuk senantiasa -meminjam ungkapan TB Simatupang- melanjutkan Kisah para


Rasul dalam Indonesia modern.

4. Dokumen Keesaan Gereja Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (2014-2019)


juga menyimpan perspektif khas dalam hal misi. Dokumen tersebut dimulai
dengan bagian “Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama” (PTPB) yang dipahami
sebagai dokumen teologi misi, dan di situ telah ditegaskan bahwa gereja adalah
bagian dari Missio dei yaitu gerak ekonomi keselamatan ilahi yang hendak
dihadirkan-Nya di seantero dunia ini. Dan sambil gereja melayani missio Dei, ia
pun ikut menikmati karya pemeliharaan Allah akan bangsa dan negara
Indonesia, yang majemuk ini. Sehingga memang upaya rekonstruksi teologis
dan praktik dari misi/pekabaran Injil tersebut, sudah mulai mengerucut bagi
konteks kemajemukan kita saat ini.

5. Dalam rangka rekonstruksi misi dan Pekaraban Injil di Indonesia tepatlah kalau
kita pun memanfaatkan pendasaran teologis dalam dokumen DGD-TTL itu,
yang menetapkan bahwa (fondasi) misi adalah gerak kasih yang keluar dari
dalam hati Allah Tritunggal kepada setiap pribadi dan segala makhluk (#2); Kita
pun selanjutnya ikutserta dalam misi trinitarian tersebut, dan dengan berada
dalam karya Roh Kudus berarti kita masuk dalam karya misi ilahi yang
sesungguhnya (#3).

6. Keikutsertaan kita pada gerak Roh ilahi sedemikian membuat misi tidak lagi
bersifat “dari pusat ke pinggiran”, tetapi berkarakter kesegala-arahan; dengan
kesadaran yang perlu diasah bahwa konteks pasar global hari-hari ini telah
sedemikian merebak menjunjung ideologi keserakahannya, sehingga misi kita
membutuhkan spiritualitas yang bersifat keugaharian, tetapi juga transformatif.

CARA MENJALANKAN MISI


7. Maka misi di konteks yang kompleks nan majemuk tersebut membutuhkan
kemampuan “discernment” atau pewiwekaan rohani (kemampuan “menguji
roh”, 1 Kor 12:1), agar dalam pengertian dan hikmat (Ef 1:17) kita dapat
menemukan jalan terbaik bagi gereja melayani misi ilahi tersebut. Dengan jalan
pewiwekaan itu gereja diminta berdialog dengan kreativitas manusia yang telah
tumbuh dalam berbagai budaya dalam kehidupan ini, dan mau bertemu dengan
berbagai kearifan lokal. Dalam DKG-PTPB PGI (#D-61) hal ini dieksplisitkan
sebagai cara misi itu dilaksanakan, yaitu dengan belajar dari Paulus yang
“menjadi segala-galanya bagi semua orang” (1 Kor 9:22).

8. Missio Dei dengan demikian dikerjakan oleh gereja dalam sebentuk spiritualitas
yang tumbuh akibat curahan Roh Kudus, sambil secara mendalam bertemu
dengan kearifan budaya dan hikmat kehidupan di sekitarnya; dengan modus
spiritualitas yang sedemikianlah (artinya: beriman yang terhayati secara
kontekstual) transformasi kehidupan menjadi mungkin dan utuh adanya (DGD-
TTL #30). Dengan ini misi yang diemban gereja berarti mentransformasikan
dan mempersaksikan kehidupan yang di dalamnya semua orang dapat ikut

“Batta Bokul Pullu Pamba” sidang Raya PGI ke XVII, di Sumba


3

dalam perjamuan dan perayaan kasih Allah, sehingga hidup bersama-sama


dapat dirayakan sepenuhnya, dalam segala kelimpahan (Yoh 10:10).

9. Secara mengejutkan, komunitas Katolik Ordo SVD (Serikat Sabda Allah –yang
bekerja dalam misi di Indonesi bagian Timur-) mengeluarkan perenungan hasil
simposium merayakan 125 Ordo tersebut. Dalam perenungan dan “lesson
learned” Ordo itu (Stephen Bevans dan Roger Schroeder menyunting
laporannya, dalam buku Misi untuk Abad ke 21, Maumere: 2002), mereka
melanjutkan semangat Missio Dei yang sudah dikenal sejak konferensi gereja
Protestan yaitu konferensi misi Dewan gereja se-Dunia di Willingen (1952) -jadi
kita sudah memulai mendapatkan konvergensi Kristen-Katolik akan makna dan
langkah misi di sini-. Dengan dianutnya bersama-sama gagasan “missio Dei” itu
maka misi adalah karya Allah demi penyelamatan manusia di dalam sejarah.
Allah adalah subjek yang menangani karya misi sehingga kita tidak dapat
berbicara tentang “misi gereja” an sich. Maksudnya, gereja dan misinya bukanlah
fenomena yang berdiri sendiri, tetapi adalah sarana Allah dalam menjalankan
misinya. Gereja adalah hasil karya Allah yang mengutus dan menyelamatkan;
maka setiap karya misi perlu merenungkan apakah Allah menghendaki adanya
misi tertentu, dan apakah Ia menghendaki cara misi itu dijalankan dengan cara
yang kita tempuh. Misi adalah ketaatan pada Allah, dan pada perutusan Putra-
Nya, demi penebusan segala ciptaan. Maka dalam pada itu Ordo SVD di atas pun
menegaskan makna dan cara menjalankan misi saat ini:
Allah sedang membawa gereja ke tengah dunia, dan bukannya
gereja yang membawa Allah. Allah membawa gereja ke tengah dunia
melalui praktik dan semangat dialog.

EKLESIA MISIONAL
10. Maka misi kiranya bisa menghindari kecenderungan ekleosentrismenya, sebab
gereja adalah pelayan atau bahkan instrumen bagi misi; malah yang justru perlu
disambut ialah bermunculannya berbagai bentuk “emerging church” yang terus
mengekspresikan kesegaran dan semangat baru mengikut jalan Roh dalam
mempersaksikan Kristus yang bangkit di tengah zaman ini. Di era migrasi dan
pergerakan penduduk serta lanskap demografis dunia yang sedemikian cair ini
(yang juga dialami warga Indonesia) ,maka memang peran jemaat setempat
sungguh strategis dalam menemukan model dan karya misinya. Dalam pada itu
kita membutuhkan sebentuk gereja misional ataupun eklesiologi misional di
sini. Misi yang selama ini bersifat “mengirim” seseorang atau lembaga ke
“seberang sana” mengesankan bahwa gereja pada dirinya tidak misional.
Padahal di era “global christianity” kini tak ada lagi lapangan penginjilan per se,
tetapi kehadiran kita sepenuhnya akan menjadi “surat Kristus yang terbuka”
dan hadir di segala lapangan kesaksian. Maka memang struktur-struktur
misional kiranya sudah ada dalam kehidupan menggereja itu sendiri. Cara
berpikir yang eksklusiflah yang ada di belakang mentalitas dan program misi
yang melihat di sana ada yang “gelap”, lalu bergegas menaklukkan mereka.
Dengan eklesiologi misional maka terjadi penekanan baru akan cara berada

“Batta Bokul Pullu Pamba” sidang Raya PGI ke XVII, di Sumba


4

ataupun identitas gereja, yang sungguh kontekstual dan berlaku sebagai saksi;
di dalam konteksnyalah gereja hadir selaku perjamuan sukacita ilahi yang
terbuka dan inklusif.

11. Agar semakin jelas basis eklesiologi misional yang terbuka ini, baiklah saya buat
rengrengannya dalam bandingan dengan sikap eksklusif yang barangkali sering
memperkeruh modus kesaksian kita di tengah masyarakat majemuk ataupun
Indonesia ini:

Eksklusif Inklusif
Kristus adalah Juruselamat, yang di Kristus adalah Juruselamat, Ia bekerja melampaui
luar komunitas Kristen tidak selamat batas-batas

Allah datang sebagai Hakim yang Allah datang dengan kasih –yang nyata dalam Yesus
menghukum orang yang tak percaya Kristus- yang mengundang dan menawarkan rahmat-
Nya

Gereja adalah persekutuan orang benar, Gereja adalah persekutuan orang-orang yang dipanggil
yang dipisahkan dari dunia yang gelap. untuk melayani kasih ilahi yang mengalir dari Bapa-
Misi Gereja untuk menobatkan orang Putra & Roh Kudus. Misi gereja ialah melayani gerak
lain kasih-trinitarian itu dan berbagi harapan secara dialogis

Umat Kristen percaya pada ajaran Umat Kristen percaya pada Kristus yang
keselamatan yang sungguh benar dan menganugerahkan kehidupan, umat lain menjalani
pasti, umat lain terkecoh dan tersesat imannya di dalam penyelenggaraan ilahi
dalam agama/keyakinannya

PEKABARAN INJIL

12. St. Fransiskus Asisi mengatakan “Kabarkanlah Injil senantiasa, dan hanya kalau
perlu pakailah kata-kata”. Meminjam diktum DGD yang umum kita dengar maka
memang misi yang mengambil bentuk eksplisitnya dalam Pekabaran Injil/Kabar
Baik itu berarti communication of the whole Gospel to the whole humanity in the
whole world. Pekabaran injil ialah tindakan berbagi iman dan mengundang
mereka untuk hidup dalam kasih dan anugerah Allah yang nyata dalam Kristus.
Pekabaran Injil yang benar dan otentik, yaitu yang seturut cara Kristus selalu
bersifat memanusiawikan. Dengan demikian perjumpaan dialogis menjadi
syaratnya, yang dilakukan dalam hormat pada kepelbagaian budaya masyarakat
setempat, dan dengan kepekaan pada situasi kelompok masyarakat, teristimewa
akan mereka yang terpingggirkan. Maka sikap hormat dan tanggungjawab
menjadi cara kita mempersaksikan Injil Kabar Baik tersebut.

MISI & PEKABARAN INJIL MASAKINI DI INDONESIA

“Batta Bokul Pullu Pamba” sidang Raya PGI ke XVII, di Sumba


5

13. Hasil penelitian survei oikoumene yang kami lakukan, dengan sample 26 Sinode
anggota PGI, (lihat Trisno Sutanto, et.al., Potret dan Tantangan Gerakan
oikoumene [BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2015, hal. 52]) menggambarkan secara
umum pengertian dan praktik misi & Pekabaran Injil di Indonesia, sebagai
berikut:

Pengertian Utama tentang Pekabaran Injil Presentasi %

1. Mengabarkan Injil ke non-Kristen 42

2. Mengabarkan Injil ke orang Kristen dari Sinode lain 8

3. Mengutamakan Kesejahteraan Bersama 62

4. Lainnya 8

14. Dari data empirik ini kami juga melakukan pendalaman dan kurang lebih alasan
di balik pilihan nomor 1 ialah “karena Amanat Agung yang diterima dari Injil
Matius 28”, sementara pilihan nomor 3 “karena keyakinan bahwa Injil adalah
berita untuk segala makhluk, dan karena dalam praktik bergereja hal ini cukup
sering dikerjakan di lingkungan masing-masing”. Dari data ini sebenarnya
gagasan rekonstruksi misi dan pekabaran Injil sebagaimana digambarkan di atas
memiliki realismenya. Dengan kata lain suatu perspektif misiologis yang inklusif
telah berkembang dalam aktifitas gerejawi, dan langkah pengkomunikasian Injil
Kabar Baik sama sekali tidak dilupakan. Tentu kini praktik Pekabaran Injil
dengan semangat dialogislah yang kiranya semakin terbentuk dalam hidup
umat Kristiani di Nusantara.

15. Dalam Konferensi Nasional PI yang diadakan PGI (Semarang, 11 November


2011) pencarian dasar teologis Pekabaran Injil telah menegaskan hakikat
misional gereja selaku “karya Roh Kudus untuk mewartakan karya keselamatan
Allah di dalam Yesus Kristus serta membawa dunia ke pertobatan dan
rekonsiliasi (Kis 2:1-39). Dengan kata lain, dasar keberadaan gereja adalah Allah
yang senantiasa hidup di dalam misi-Nya bagi bumi dan segala isinya,
sebagaimana tampak di dalam karya transformatif Yesus Kristus (Lukas 4:16-
20) yang terus hidup sepanjang sejarah melalui pekerjaan Roh Kudus (Yoh.
14:26; Kis. 1:8)”. Pendasaran ini seirama dengan rekonstruksi misi yang bersifat
trinitarian di atas.

16. Dalam Konferensi Nasional Misi yang diadakan PGI bekerja sama dengan CCA
dan WCRC (Jakarta 6-9 Mei 2012), ditekankan bahwa Misi Allah harus dipahami
di tengah konteks kehidupan nyata. Dinyatakan secara jelas sejumlah tantangan
mutakhir dan kontekstual misi dan pekabaran Injil di Indonesia: 1. Pergeseran
nilai dan praktik kehidupan. Cara pandang yang memahami manusia dan alam
sebagai sesama ciptaan Tuhan telah bergeser dan menyisakan dominasi
manusia atas alam, bahkan antarsesama manusia itu sendiri; 2. Penguasaan

“Batta Bokul Pullu Pamba” sidang Raya PGI ke XVII, di Sumba


6

sumber ekonomi. Perdagangan kayu, pertambangan dan perkebunan telah


merusak hutan-hutan, menjadi tanah gersang yang rawan banjir dan berbagai
bencana. Bahkan, perkembangan ekonomi mengakibatkan: (a) penumpukan
sumber daya ekonomi pada segelintir orang, (b) kota-kota besar berubah
menjadi hutan beton dan membiarkan tebaran pemukiman kumuh yang penuh
sesak oleh kaum miskin, (c) arus perpindahan penduduk yang meninggalkan
desa menuju kota (urbanisasi) dan (d) perubahan relasi dan cara pandang
tentang kehidupan. Selain kehidupan kota dipandang lebih baik daripada di
perdesaan, sehingga ikut mendorong urbanisasi, relasi dalam masyarakat juga
mengalami pergeseran di saat desa berubah menjadi kota. Injil, sebagaimana
diberitakan oleh Alkitab, adalah shalom Allah melalui Yesus Kristus (Lukas 4:16-
20) yang terus hidup sepanjang sejarah oleh karya Roh Kudus, dan perlu
menemukan alamatnya dalam konteks pergumulan tersebut.

17. Selanjutnya dalam Konferensi Nasional “Pekabaran Injil dalam Masyarakat


Majemuk” (29-31 Mei 2018, di Berastagi, Karo, SUMUT) ditetapkan sejumlah
sikap mengenai misi dan Pekabaran Injil, yang senada dengan rekonstruksi misi
dan pekabaran Injil yang kita telah baca di bagian awal kertas-kerja ini:

Kami menyatakan bahwa panggilan pekabaran Injil gereja-gereja di Indonesia adalah: 1.


Gereja sebagai umat Allah, tubuh Kristus dan bait Roh Kudus (bdk. 1 Kor 12: 27; 1 Kor. 6:
19) harus terus bergerak secara dinamis dan senantiasa mengalami perubahan dalam
rangka mengikuti karya misi Allah. Pemahaman ini akan membawa gereja pada berbagai
bentuk pekabaran Injil yang menjadi kesaksian bersama. 2. Persekutuan Kristen dalam
segala keragamannya dipanggil untuk mengidentifikasi diri, keluar dari sekat-sekatnya,
saling terbuka dan saling menerima serta bekerjasama dalam melaksanakan pekabaran
Injil sebagai bentuk kesaksian bersama dalam semangat kemitraan; termasuk di dalamnya
mengembangkan sikap saling percaya (trust) dan saling menghormati serta menggunakan
bentuk-bentuk pekabaran Injil yang sesuai dengan nilai-nilai Injil. Kesaksian bersama
mengandung makna bahwa gereja-gereja, walaupun terpisah-pisah, namun bersama-sama
mewujudnyatakan berbagai kekayaan karunia ilahi tentang kebenaran dan hidup yang
mereka alami bersama-sama sebagai bagian dari tubuh Kristus yang satu, dan karena itu
terdorong untuk membagikannya kepada semua mahluk. 3. Gereja dipanggil menjadi suatu
komunitas yang bersifat inklusif, merangkul menerima dan menyambut semua orang.
Dengan demikian maka melalui Pekabaran Injil gereja menyatakan dan menyaksikan
pengharapan akan hadirnya damai sejahtera yang adalah inti pemberitaan Kristus. 4.
Pekabaran injil yang otentik haruslah didasarkan pada sikap memanusiakan dan
menghormati semua orang, serta mengembangkan suasana dialogis. Dengan demikian
maka pemberitaan Injil yang memulihkan dan mendamaikan, baik dalam perkataan
maupun perbuatan, akan terwujud. 5. Gereja sebagai persekutuan umat Allah dipanggil
untuk secara bersama-sama membawa karya keselamatan Allah bagi alam semesta dan
segala isinya (bdk. Kis. 1: 8; Maz. 145: 913). Kehadiran gereja menjadi kesaksian hidup
yang memulihkan relasi antar manusia dan seluruh ciptaan (bdk. Ef. 1: 7-10), serta
bersama “yang lain” (church with others) menjadi tanda solidaritas Allah dengan ciptaan-
Nya. 6. Gereja dipanggil untuk menegakkan budaya kehidupan dan memerangi praktik-
praktik budaya kematian yang membawa seluruh ciptaan kepada kebinasaan (bdk. Luk. 1:
77-79). Roh Kudus memberdayakan gereja untuk mewujudkan damai sejahtera dalam
persekutuan yang dilandasi kasih dan saling menerima satu sama lain (bdk. Ef. 4: 3-7). 7.
Sebagai bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan

“Batta Bokul Pullu Pamba” sidang Raya PGI ke XVII, di Sumba


7

Pancasila, UUD 1945 dan yang Bhinneka Tunggal Ika, gereja perlu terlibat dalam dialog
lintas iman dalam terang nilai-nilai Injil (bdk. Yer. 29: 7; Kis. 10: 34-35), terutama untuk
bersama-sama membangun dan mempererat kesatuan bangsa serta berkontribusi dalam
menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi bersama di tengah masyarakat dalam
tuntunan kebenaran Allah.

18. KESIMPULAN: Dapatlah disepakati bahwa misi adalah karya kasih Bapa-Putra-
Roh Kudus yang datang kepada manusia dan seluruh ciptaan, mengundang
semuanya hadir dalam perjamuan kehidupan di dalam Kerajaan-Nya (Lukas
14:15). Gereja, dalam pewiwekaan yang penuh hikmat diminta ikutserta
mewujudkan missio Dei ini. Dan dalam curahan Roh kita pun perlu tumbuh
dalam spiritualitas ugahari sambil menemukan jalan dan cara mentransformasi
kehidupan bersama, agar seluruh ciptaan dibaharui, dan khususnya yang
terpinggirkan dapat ikut bersekutu bersama. Pemberitaan Injil Kabar Baik pun
menjadi bagian tak terpisahkan dari undangan perjamuan kasih ilahi itu, dan
kita mempersaksikannya dalam sikap dialog yang menghormati kemajemukan
agama dan budaya masyarakat. Dalam hal misi dan pekabaran Injil tadi, kita
dalam hikmat dan pewiwekaan yang mendalam, sadar akan tantangan nyata di
Indonesia, dan dalam sikap yang positif, kreatif, kritis serta realistis, kita
terpanggil dan bertugas mentransformasi kehidupan bersama, agar “mereka
mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan”.

*Pdt Martin Lukito Sinaga D.Th adalah pendeta GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun), ia
adalah juga dosen luarbiasa di STT Jakarta & STF Driyarkara. Sejak tahun 2017 ia menjadi
tenaga ahli pada UKP-PIP (kini: Badan Pembinaan Ideologi Pancasila/BPIP). Studi teologi
ditempuhnya di Jakarta dan juga selaku “research scholar” di Missionsakademie Univ. Hamburg-
Jerman (1996-1998). Ia aktif dalam kegiatan lintasagama. Pada tahun 2009-2012 ia bekerja
sebagai “studi secretary” bidang Teologi dan Dialog Antar Agama pada “Lutheran World
Federation”, Geneva-Swiss. Beberapa karyanya yangd apat dinikmati: Beriman dalam Dialog:

“Batta Bokul Pullu Pamba” sidang Raya PGI ke XVII, di Sumba


8

Esai-esai Tentang Tuhan dan Agama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018), Teologi Gereja Kristen
Protestan Simalungun (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018) dan buku suntingannya, Common
Word: Buddhists and Christians Engage Structural Greed (Geneva, LWF-DTPW, 2012).

“Batta Bokul Pullu Pamba” sidang Raya PGI ke XVII, di Sumba

Anda mungkin juga menyukai