Tahun : 2002
1. Dapat mengetahui dan membedakan antara baik dan buruk, benar dan salah, suci dan cemar.
2. Mampu menentukan norma-norma tingkah laku yang jelas, yang disesuaikan dengan Kaidah
Kebenaran.
3. Dapat menyesuaikan tindak-tanduk kita dengan norma-norma yang ada.
Yang pasti, penulis menganggap bahwa jatuhnya manusia ke dalam dosa telah mengakibatkan
menurunnya kekuatan moral manusia. Pada masa kini, manusia Kristen memerlukan kuasa Roh Kudus
untuk dapat kembali memenuhi norma tersebut, yang hanya dapat diterima ketika seseorang sungguh-
sungguh bertobat dan beriman kepada Kristus. Bila seseorang berkata ia bertobat namun tidak sungguh-
sungguh lahir baru, maka ia akan mengalami frustrasi karena kebaikan moral yang dipaksakan. Ini terlihat
dalam kehidupan tokoh-tokoh pemimpin dalam Alkitab, dan masih terjadi sampai sekarang. Ketika
mereka berbuat etis karena tuntutan jabatan, maka awal mulanya mereka dapat melakukannya dengan
baik, namun lambat-laun pasti terjatuh juga.
Demikian pula terjadi di kalangan Kristen. Firman Tuhan mencatat: Sebab Akulah Tuhan, Allahmu, maka
haruslah kamu menguduskan dirimu dan haruslah kamu kudus sebab Aku ini kudus (Imamat 11:44).
Banyak orang percaya yang akhirnya stres dengan tuntutan Allah yang satu ini, sebab mereka kurang
memahami atau memandang Sepuluh Perintah Tuhan yang terdapat dalam Keluaran 20 sebagai suatu
penuntun atau Kaidah Tingkah Laku bagi orang percaya. Padahal dalam kitab Taurat tercakup 3 unsur,
yaitu unsur perintah/ketetapan/aturan, unsur ajaran/didikan dan unsur prinsip/azas.
Analogi rasul Paulus yang digambarkan sebagai sebuah radio rohani cukup mengena. Disebutkan bahwa
Tuhan seakan melengkapi kita dengan sebuah radio rohani yang bergelombang dua, gelombang ROh dan
gelombang daging. Apakah kita lebih menyukai gelombang yang rohani, atau yang daging, itu semua
tergantung pada diri kita sendiri. Saya menyimpulkan bahwa Hukum Allah pada akhirnya menentukan
Etika.
Pada bagian ini, penulis menggali prinsip-prinsip dasar Kristen dalam Alkitab, yaitu kesepuluh
Firman/Hukum dalam Keluaran 20, untuk melihat apakah memang sepuluh hukum ini sudah usang untuk
dijadikan landasan kehidupan di abad 21.
Memang benar bahwa pergaulan pranikah pada dasarnya penting dan menentukan bahagia atau
tidaknya suatu pasangan di masa yang akan datang. Memang sepasang pria dan wanita akan saling
mengasihi pada masa pranikah, tetapi yang membuat perbedaan hubungannya adalah tipe kasih yang
melandasi hubungan mereka. Ketika hubungan sepasang kekasih dijalin di dalam wilayah agape, maka
pergaulan pranikah mereka akan baik-baik saja. Berbeda bila mereka menjalin hubungan dalam wilayah
eros. Hubungan eros memang mampu mengorbankan segala sesuatu seperti tradisi, adat, hukum
kebudayaan dan sebagainya, tapi sayang, eros tidak pernah berani mengorbankan keinginan eros itu
sendiri, yang dalam hal ini, hubungan seperti suami istri yang terjadi di masa pranikah.
Tahap pertemuan
Tahap perkenalan
Tahap perkawinan
Menurut saya, tiga tahapan ini masuk akal dan memang begitu adanya pada umumnya. Pada akhir
tahapan inilah akan terlihat ke mana arah hubungan tersebut. Bila suatu hubungan hanya dilandasi
keakuan atau keegoisan, maka yang berkembang di dalam hubungan tersebut adalah nafsu. Namun, bila
yang melandasi hubungan tersebut adalah pengorbanan, maka yang berkembang di dalam hubungan
tersebut adalah kasih. Nafsu, berarti Problem. Sedangkan kasih, berarti No Problem!
Hubungan pranikah yang dilandaskan pada kasih akan melahirkan dan mengembangkan sebuah
persekutuan, dan menandakan bahwa kedua orang tersebut telah siap untuk menikah.
Argumen yang disampaikan menjelaskan bahwa kebiasaan-kebiasaan manusia modern telah membuat
free sex menjadi suatu komoditi yang dibutuhkan di kalangan tertentu, sebab dianggap dapat
mengurangi stres dan jalan keluar dari rutinitas yang melelahkan. Hal inilah yang membuat free sex
diperhitungkan sebagai sesuatu yang wajar.
Seks semestinya terjadi di antara sepasang insan yang telah menjalani hubungan yang benar-benar
serius dan telah terikat dalam suatu komitmen, yaitu pernikahan. Komitmen yang mengikat ini
bertujuan agar ada rasa tanggung jawab dan penyerahan diri dalam hal mempercayai sepenuhnya pada
pasangannya. Free sex mengabaikan komitmen itu. Ia mendorong pelakunya untuk menjalani hubungan
yang mendalam dengan seseorang lainnya tanpa melibatkan tanggung jawab dan rasa percaya.
Berikut 3 sudut pandang mengenai free sex yang dicatat dalam buku ini:
a. Sudut fisiologi
Yaitu sebuah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari proses-proses dan fungsi kehidupan dari
organ-organ kita. Katanya, penggemar free sex menuntut kebebasan mereka berdasarkan sudut
pandang ini. Menurut mereka dorongan seks adalah suatu dorongan fisik yang mau tidak mau harus
dipenuhi, sebab sifatnya sama seperti nafsu makan. Padahal, nafsu makan tidak bisa ditahan, sedang
nafsu seks bisa. Di sini saja sudah terlihat bedanya. Sudut fisiologi tidak bisa dijadikan alasan
seseorang untuk menghalalkan free sex.
b. Sudut psikologis
Pada sudut yang satu ini dapat disimpulkan bahwa seorang pelaku free sex pasti akan menerima
dampak-dampak yang negatif dalam jiwanya ketika ia melakukan kegiatan seksnya. Pihak wanita
perlahan akan merasakan penyesalan yang mendalam, perasaan terluka dan kecewa dan berujung
pada depresi yang hanya bisa dihentikan dengan pertobatan dengan sungguh kepada Allah. Pihak
pria pun demikian, akan terus merasa bersalah, tidak bisa dipercaya dan juga berujung pada depresi
yang sama dengan wanita. Ia juga pasti akan memerlukan pertobatan untuk memulihkan
keadaannya. Free sex mengganggu psikologi seseorang. Ya, sangat mengganggu.
c. Sudut Sosiologi
Sudut pandang ini memberi penilaian mengenai perubahan cara berinteraksi yang jelas dari pelaku
free sex terhadap lawan jenisnya. Disebutkan, pada awalnya para pelaku ini sekilas tampak semakin
dekat dengan pasangan free sex-nya. Tapi setelah masa tertentu mereka akan menunjukkan
perubahan yang sangat jauh dari sebelumnya. Yang tadinya bermula dari saling suka dan tertarik,
akan berubah menjadi saling menganggap pasangannya sebagai alat pemuas dan mulai memandang
rendah pasangannya. Mereka akan mulai merasa hanya membutuhkan pasangannya di saat-saat
tertentu saja. Bahasa yang dipakai di buku ini adalah dehumanisasi, yang artinya pengurangan nilai
seseorang sebagai manusia seutuhnya.
Sesudah membaca ketiga sudut pandang tersebut, saya menanggapi bahwa Free sex bukanlah sesuatu
yang normal terjadi, atau sesuatu yang bisa dianggap wajar bila dilakukan. Hal ini sangat merugikan
pelakunya dan dapat mendorong seseorang untuk semakin jauh dari Tuhan. Kita harus bisa membantu
siapapun di sekitar kita yang mungkin terjebak dalam arus yang ganas ini.
Dengan segala aspek yang ditimbang dalam mengambil keputusan untuk melegalkan tindakan abortus,
seharusnya kita mengingat bahwa bukan janin tersebut yang minta ia dikandung. Wanita yang
mengandung janin tersebutlah yang semestinya bersedia menanggung penderitaan akibat dari
kelalaiannya dalam menjaga dirinya di hadapan Tuhan, bila ia adalah seorang Kristen.
Alasan-alasan yang dikemukakan sebagai pendorong keinginan untuk abortus pastilah berkaitan dengan
keinginan menyelamatkan diri, nama baik dan menghindari rasa malu. Sangat jarang permintaan
abortus muncul karena alasan medis, sebab seorang calon ibu yang menantikan kelahiran anaknya pasti
telah bersedia menanggung konsekuensi dari kehamilannya, termasuk rasa sakit dan penderitaan pada
masa kehamilan 7-9 bulan.
Abortus adalah tindakan mencabut nyawa. Siapakah kita yang merasa berhak mencabut nyawa, di saat
Allah dengan senang hati mengembuskan nyawa ke dalam mahluk kecil yang sedang menanti masanya
untuk bertumbuh dengan sukacita? Bila memang ingin mencegah punya anak, jagalah dirimu dalam
pergaulanmu! Sebab bahkan ketika seorang anak dikandung karena kecelakaan, Tuhan tetap
mengasihinya dan merencanakan masa depan yang indah buatnya, buat ibu dan bapanya. Jangan
hancurkan rencana mulia Allah. Abortus memang perlu dan harus dihapuskan.
Jika tujuannya adalah dalam rangka mengurangi peledakan penduduk sedunia, maka saya sangat tidak
setuju dengan tindakan Euthanasia ini. Penulis telah sangat jelas membawa pemikiran kita kepada efek-
efek dan akibat yang muncul dari tindakan Euthanasia. Meskipun pada awalnya tampak baik, tapi tidak
satupun manusia dapat menjamin efek jangka panjang dari pengambilan keputusan tindakan
Euthanasia. Pihak keluarga yang menyetujui tindakan ini bisa saja dirundung dukacita yang lebih
mendalam bahkan ketika telah berbulan-bulan melewati masa dukacita, dan itu ditambah dengan rasa
bersalah yang tak kunjung hilang.
Menurut saya, bagi orang Kristen, Euthanasia sama sekali tidak boleh dilakukan, sebab tindakan ini sama
saja dengan mencabut nyawa seseorang, membunuhnya, bahkan secara sadar dan terencana! Apapun
alasan kita untuk memikirkan dan mengizinkan pihak medis melakukan tindakan Euthanasia, ingatlah,
sebagai orang Kristen kita sadar bahwa kita hanya ciptaan Tuhan yang berserah hidup pada Sang
Pencipta kita, dan bukanlah seorang pencipta sesama manusia, apalagi kalau sampai berpikir bahwa kita
berhak menentukan akhir hidup seseorang.
Satu hal yang menyentil iman saya adalah ketika Marx menulis bahwa Allah tetap dapat berkomunikasi
dengan seseorang bahkan dalam keadaan ia tidak sadarkan diri, sebab Ia adalah pencipta manusia, dan
manusia masih dapat memberi reaksi terhadap Allah, yang tidak akan terlihat oleh sesama manusia
lainnya. Itu berarti, bila kita melakukan Euthanasia kepada seseorang yang menurut kita lebih baik bila
mati saja, maka kita memotong kesempatannya untuk berbicara dengan Tuhan, yang mungkin masih
ingin memberinya nafas hidup untuk hari esok. Salahkah kita? Salah sekali.
Marx mengawali argumennya dengan memperjelas perbedaan antara seni dengan reklame, sebab
dalam dunia pornografi, segala hal yang terpampang di dalamnya terkadang dianggap sebagai sebuah
karya seni. Dijelaskan bahwa bila yang ditayangkan lebih menggambarkan perasaan dan pandangan
senimannya sehingga para penikmat dapat merasakan emosi dan ekspresi sang seniman, maka itu
adalah suatu bentuk seni. Sedangkan bila yang ditayangkan lebih didorong untuk mendalami perasaan
mereka sendiri dan menggugah mereka untuk mencerminkannya dalam tindakan mereka sendiri, maka
itu adalah suatu bentuk reklame.
Pornografi bukanlah seni. Sebab, produk-produknya mendorong konsumennya untuk turut melakukan
apa yang mereka lihat. Perlahan tapi pasti, seorang penikmat pornografi pasti terdorong untuk
melakukan sendiri hal-hal yang ia lihat di dalamnya.
Pornografi menurunkan nilai seorang manusia yang menjadi pelakunya. Ia tidak lagi dipandang sebagai
manusia seutuhnya, melainkan sekadar suatu alat sarana tindakan pornografi itu sendiri. Menurut
saya, orang Kristen tidak perlu menanyakan lagi apa akibat dari pornografi bagi kita, tapi kita lebih perlu
menelaah secara pribadi, apa yang seharusnya kita lakukan untuk mengatasinya.
Marx mencatat alasannya adalah karena melalui aksi-aksi kekerasan (violence), pergolakan revolusioner
dan tindakan-tindakan provokasi maka kemajuan dapat terjadi di negara-negara dan dunia politik.
Bab XI Perjudian: Itu kan iseng
Perjudian sejak jaman dahulu telah dipandang secara umum sebagai suatu hal yang merugikan. Namun
demikian, perjudian tetap menjadi suatu ajang yang dianggap membawa kebaikan bagi para pelakunya.
Menurut saya, hal ini terjadi sebab para pelaku perjudian telah mempertaruhkan nasib mereka kepada
perjudian itu sendiri, sehingga mereka akhirnya benar-benar menjunjung tinggi dunia ini. Padahal
sebagai anak-anak Tuhan kita diajar untuk mempertaruhkan kehidupan kita ke dalam tangan Tuhan,
yang menjamin hidup kita. Dari hal ini saja sudah terlihat perbedaan antara orang yang melakukan
perjudian dengan mereka yang melakukan firman Allah.
Iseng. Ini menjadi senjata favorit orang-orang yang ditegur karena mempraktikkan perjudian. Ketika istri
menegur suami yang berjudi, jawaban suaminya adalah: Itu kan cuma iseng. Ketika bos di kantor
menegur karyawan yang karena berjudi meninggalkan kantor pada jam kerja, maka jawabnya: Itu
cuman iseng aja, pak. Tanpa mereka sadari, perjudian, walaupun hanya diawali oleh keisengan, tetap
berdampak buruk bagi pribadinya, baik dari segi sosial maupun dari segi teologisnya.
Ungkapan bahwa perjudian secara tidak kita sadari adalah suatu bentuk penyembahan kepada berhala
mamon sangat saya setujui. Ketika seseorang berjudi, maka ia menyerahkan nasibnya kepada dadu,
ayam, kuda, kartu dan benda mati lainnya. Dan ketika ia adalah seorang Kristen, pertanyaannya,
bagaimana mungkin ia di satu sisi percaya bahwa Tuhan memberkati usaha pekerjaannya dan di sisi
yang lain ia percaya bahwa dadu akan menunjukkan angka keberuntungannya, atau kuda pilihannya
akan membuatnya menang uang puluhan juta? Inilah akibat dari tindakan yang katanya cuma iseng tadi.
Ketika kita membuka Firman Tuhan, maka kita baca dan imani perihal Tuan yang menitipkan talenta
untuk dikembangkan, dan olehnya kita digugah untuk dapat mengembangkan apapun yang kita miliki
dengan cara bekerja dengan gigih dan jujur. Sedangkan ketika kita melakukan perjudian, maka kita
dibawa kepada situasai di mana kita dibentuk menjadi pribadi yang serakah, tidak mau berusaha keras
memperoleh pendapatan yang jujur dan tidak merugikan orang lain.
Perjudian merugikan. Itu pendapat saya setelah membaca tulisan pada bab ini. Sesuatu yang cuma
iseng bukan berarti boleh-boleh saja. Bagaimana dengan iseng-iseng menang taruhan yang memakai
uang kantor? Kalau kalah, kita berhutang, kalau menang, mungkin lawan kita yang berhutang pada
kantornya karena telah memasang taruhan dengan uang mereka, dan kita mengambil uang mereka yang
tidak halal tersebut.
Marx mengemukakan begitu banyak bahaya yang bisa timbul oleh karena keputusan Manipulasi
Genetika tersebut. Secara sudut pandang Kristen, secara tidak langsung, manipulasi genetika adalah
suatu gambaran ketidakpuasan manusia atas apa yang Tuhan ijinkan dimiliki oleh manusia. Mungkin
seseorang dilahirkan hitam, maka dengan manipulasi genetika ia dapat membuat keturunannya berkulit
putih. Seseorang yang memiliki tinggi badan di bawah rata-rata akan memanipulasi gennya supaya
anaknya kelak lebih tinggi dari dirinya. Dan masih banyak contoh lain lagi.
Manipulasi genetika mendorong pemahaman kita bahwa kita sudah punya kuasa untuk mengubah masa
depan kita, atau setidaknya masa depan keluarga kita. Tapi, ingatkah anda, bahwa kita diciptakan Allah
sempurna adanya. Kekurangan-kekurangan yang kita alami telah memiliki maksud sendiri dari Tuhan,
dan sebenarnya tidak ada yang perlu diperbaiki sendiri oleh manusia. Justru ketika kita ingin
memperbaiki keadaan kita, maka saat itulah kita mulai meninggalkan Tuhan dan belajar begantung pada
diri sendiri.
Jika saat ini negara-negara barat telah mulai melaksanakan kegiatan ini (Manipulasi Genetika), maka
inilah tandanya bahwa kita memang harus benar-benar berfokus kepada tugas kita sebagai manusia
biasa, dan membiarkan Roh Kudus yang melakukan bagiannya dalam hidup kita. Menurut saya,
manipulasi genetika sama sekali tidak mendapat bagian dalam pandangan etika Kristen dan manusia
harus sepenuhnya berserah pada kehendak Tuhan.