Anda di halaman 1dari 8

Gereja dan Dialog Antar Agama di Asia

Disusun Sebagai Bahan Ujian Akhir Mata Kuliah Sejarah Doktrin Gereja

Dosen: Dr. F. Purwanto

Disusun Oleh:

Nama : Bernardus Aris Ferdinan

No. FT : 3503

FAKULTAS TEOLOGI WEDHABAKTI


FAKULTAS TEOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2017
A. Pengantar
Pasca Konsili Vatikan II, ‘angin segar’ dan semangat pembaruan semakin terasa dalam
kehidupan menggereja. Gereja mulai terbuka terhadap dunia dan mulai membangun dialog
dengan berbagai macam pihak demi kebaikan bersama. Gereja pun semakin sadar akan perannya
sebagai sakramen keselamatan Allah (LG 9), yang karena persatuannya dengan Kristus (LG 1).
Berdasarkan hal ini, Gereja berusaha untuk semakin menjadi saluran rahmat keselamatan-Nya
bagi dunia. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Gereja untuk mewujudkan keselamatan di
dunia adalah dengan membangun dialog. Secara khusus, Gereja membangun dialog dengan
berbagai agama dan kepercayaan. Gereja sadar bahwa dirinya tidak hidup sendiri di dunia ini,
Gereja hidup berdampingan dengan berbagai agama dan kepercayaan. Oleh karena itu, jika
Gereja hendak membangun keselamatan di dunia, ia harus pula bekerjasama dan berdialog
dengan yang lain. Namun, sejauh mana usaha Gereja dalam membangun dialog dengan berbagai
pihak, terkhusus di Asia? Bagaimana ajaran Gereja menanggapi dialog antar iman yang ada di
Asia? Pertanyaan inilah yang akan menjadi dasar dalam pembahasan paper ini.

B. Bishops Institute for Interreligious Dialogue Documents


Gereja Asia sadar akan pluralitas yang ada, mulai dari suku, bahasa, budaya, dan agama.
Keberagaman ini menjadi kekayaan dan kekhasan bagi Asia, tetapi ketika keberagaman ini tidak
dapat dikelola dengan baik, perpecahan dan konflik akan mudah terjadi. Gereja yang hidup di
tengah-tengah keberagaman ini memiliki tantangan yang tidak mudah. Gereja memiliki tugas
untuk mewartakan Kristus, Kabar Keselamatan kepada setiap manusia. Namun, perbedaan yang
ada membuat Gereja juga harus bersikap hati-hati dalam mewartakan Kristus. Gereja yang
adalah sakramen keselamatan Allah ingin menjadi sarana perdamaian di tengah dunia. Oleh
karena itu, Gereja berusaha untuk dapat menjaga perdamaian dan keharmonisan di tengah dunia,
terkhusus Asia yang plural.
Federation of Asia Bishops Conferences, terkhusus dalam interreligious dialog telah
berusaha untuk membangun dialog dan kerjasama antar agama dan kepercayaan di Asia.
Dokumen Bishops Institute for Interreligious Dialogue tahun 1992-1996 mencatat dialog yang
telah dilakukan oleh Gereja dengan agama serta kepercayaan lain di Asia. Dialog Gereja dengan
Muslim yang terjadi pada 19-24 Oktober 1992 di Pakistan memberikan gambaran akan usaha

[1]
baik apa yang dapat dibangun bersama untuk menjaga keharmonisan di dunia. Dialog ini
bertemakan working together for harmony in God’s world.
Kristiani dan Muslim memiliki perbedaan dalam memahami pewahyuan Allah. Namun,
perbedaan ini seharusnya bukan menjadi sumber perpecahan. Ada banyak usaha yang dapat
dilakukan untuk membangun keharmonian, misalnya dengan memberi perhatian dan rasa hormat
kepada yang lain. Perselisihan yang terjadi antara Kristiani dan Muslim mungkin terjadi karena
pengaruh masa lampau. Oleh karena itu, perlu adanya pengampunan dan rekonsiliasi bersama
sebagai sesama anak Abraham.
Dialog Gereja dengan Buddhis terjadi pada tanggal 25-29 April di Thailand. Tema dialog
dengan Buddhis adalah working together for harmony in our contemporary world. Hidup
harmoni menjadi hal yang harus dihidupi di tengah kemajemukan yang terjadi di Asia.
Perdamaian akan terjadi ketika manusia dapat harmoni dengan diri sendiri, harmoni dengan
sesama melalui peneriman – penghormatan – pengapresasian setiap budaya – etnik – identitas
agama, dan harmoni dengan Tuhan. Dialog kehidupan, dialog spiritualitas, merupakan cara-cara
yang dapat dilakukan untuk membangun dunia yang harmoni antara Kirstiani dan Buddhis.
Dialog Gereja dengan Hindu terjadi pada tanggal 24-28 Oktober 1995 di New Delhi.
Tema dialog ini adalah working for harmony in the contemporary world. Pluralitas yang ada di
masyarakat Asia merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, pluralitas ini harus
ditanggapi dengan bijak melalui persahabatan dan kepercayaan timbal balik. Persahabatan di
mulai melalui perjumpaan dan kesatuan antar sesama makhluk ciptaan. ‘Aku menjadi aku karena
berjumpa dengan engkau’. Perjumpaan membantu untuk lebih mengenal diri sendiri, dan
akhirnya mulai mengasihi yang lain. Kristen dan Hindu merupakan rekan yang berziarah
bersama di dunia ini, yang juga memiliki tanggung jawab untuk menjaga keharmonian dunia
ciptaan.
Dialog Gereja dengan Konfucianisme dan Taoisme terjadi pada tanggal 15-19 April 1996
di Taiwan. Tema pertemuan ini adalah Taoist and Confucian contributions to harmony in east
asia. Hidup harmoni merupakan salah satu hal yang dijunjung oleh penganut Tao dan Konfusius.
Mereka selalu berusaha untuk membangun keharmonisan dengan alam, sesama, dan Pencipta.
Kristianitas pun memiliki hukum kasih, yaitu kasih kepada Tuhan dan sesama. Kesamaan ini
merupakan suatu awal yang baik bagi dialog antara Kristiani, Taoisme dan Konfucianisme.
Inilah titik temu untuk membangun dialog.

[2]
C. Ajaran Gereja Tentang Dialog Antar Agama
Pra-Konsili Vatikan II, Gereja tampak memiliki keyakinan yang teguh akan klaim
kebenaran yang ada padanya. Kebenaran yang dibawa oleh Yesus Kristus merupakan satu-
satunya kebenaran yang harus dipegang teguh. Hal ini membuat Gereja berpegang pada paham
eksklusif. Pandangan Gereja ini bermula pada doktrin Kristologi dalam Konsili Nicea dan
Calcedon1. “Yesus dari Nazaret adalah unik dalam arti yang setepat-tepatnya bahwa meskipun
sungguh-sungguh manusia, berlaku bagi Dia dan hanya Dia, bahwa Dia juga sungguh-sungguh
Allah, pribadi kedua dari Tritunggal yang sama kedudukannya”2. Doktrin tersebut menyatakan
mengenai kesatuan yang unik antara Yesus Kristus dan Allah. Doktrin inilah yang dapat
dikatakan sebagai dasar Gereja untuk mempertanyakan kebenaran atau doktrin tentang Allah
dalam agama-agama.
Jika suatu tradisi mempunyai anggapan telah menyumbangkan suatu bentuk atau konteks
universal bagi kebenaran, tradisi lain atau apa saja yang bertentangan dengan kebenaran
universal tersebut harus dinyatakan salah3. Tampaknya, pernyataan ini sempat dimiliki oleh
Gereja pra-Konsili Vatikan II. Penerimaan Gereja atas penjelmaan Allah dalam pribadi Yesus
Kristus membuat Gereja yakin bahwa dirinya sebagai satu-satunya pemegang kebenaran. Hal ini
membawa anggapan bagi Gereja untuk tidak perlu memandang dan mengakui kebenaran dari
agama lain. Gereja dapat dikatakan hanya berpusat pada dirinya sendiri, dan berusaha untuk
menjaga stabilitas yang sudah ada dengan memberi pembelaan bila ada arus pemikiran yang
berseberangan dengan Gereja.
Pada abad pertengahan, otoritas Gereja yang memegang klaim kebenaran begitu tampak
dalam dokumen-dokumen yang ada di masa itu. Tidak jarang dokumen-dokumen tersebut
menyatakan anathema sit bagi orang-orang yang berseberangan dengan paham Gereja. Gereja
dapat dikatakan masih tertutup dengan dunianya sendiri, ditambah dengan paham kuno extra
ecclesiam nulla salus. Keselamatan hanya ada pada Gereja, dan di luar Gereja tidak ada paham
keselamatan yang dapat dipertanggung jawabkan. Gereja berkeyakinan bahwa keselamatan
hanya datang kepada mereka yang berada di bawah naungan Gereja. Karena dasar paham inilah
Gereja memulai karya misi.

1
Bdk. Heinrich Denzinger, Compendium of Creeds, Definitions, and Declarations on Matters of Faith and Morals,
(San Fransisco: Ignatius Press, 2012), 108-110.
2
Silvester Kanisius, Allah dan Pluralisme Religius, (Jakarta: Obor, 2006), 13
3
Silvester Kanisius, Allah dan Pluralisme Religius, 12.

[3]
Perubahan dunia yang pesat dan perenungan yang semakin mendalam mengenai misteri
Gereja sebagai sakramen keselamatan universal telah menyuburkan sikap baru terhadap agama-
agama bukan Kristiani4. Sikap baru yang ada dalam Gereja itu disebut dengan dialog. Gereja kini
mulai untuk membangun dialog dengan berbagai pihak, termasuk mereka yang berbeda agama.
Usaha yang telah dibuat oleh Gereja untuk dapat membangun dialog ini adalah dengan
memberikan penghargaan dan penghormatan terhadap mereka yang berkeyakinan non-kristiani.
Penghargaan Gereja terlihat jelas dalam Konstitusi Dogmatis tentang Gereja (LG):
Namun, rencana keselamatan juga merangkum mereka, yang mengakui Sang Pencipta; di
antara mereka terdapat kaum muslimin, yang menyatakan bahwa mereka berpegang pada
imam Abraham, dan bersama kita bersujud menyembah Allah yang tunggal dan
maharahim, yang akan menghakimi manusia pada hari kiamat. Pun dari umat lain, yang
mencari Allah yang tak mereka kenal dalam bayangan dan gambaran, tidak jauhlah
Allah, karena Ia memberikan semua kehidupan dan nafas segalanya (Kis 17:25-28), dan
sebagai Penyelamat menghendaki keselamatan semua orang (1Tim 2:4) (LG 16).
Penghargaan Gereja terhadap agama lain terlihat pula dalam Nostra Aetate.
Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan
suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan
hidup, kaidah-kaidah, serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari
apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar
kebanaran yang menerangi semua orang (NA 2).
Pernyataan yang diberikan oleh Gereja terhadap mereka yang beragama lain dapat
dikatakan sebagai suatu bentuk pengakuan rendah hati atas kemajemukan yang ada di dunia.
Konsili Vatikan II merupakan pertanda kepekaan batin terhadap panggilan untuk saling
menghormati iman yang berbeda; iman yang suci dan dihormati oleh para pemeluknya, yang
jumlahnya jutaan orang, yang melingkupi seluruh muka bumi5. Pengaruh Konsili Vatikan II ini
begitu besar bagi gerak kehidupan Gereja di abad digital. Gereja selalu berusaha untuk menjalin
dialog dengan berbagai macam pihak demi terwujudnya suatu kehidupan yang damai. Pada
tanggal 10 Mei 1984, Sekretaris Kepausan untuk dialog antar agama memberikan pernyatan
mengenai dialog:
Dialog tak hanya berarti diskusi, melainkan juga mencakup semua hubungan antar agama
yang positif dan konstruktif dengan orang perorangan dan komunitas lain yang ditujukan
untuk saling mengerti dan saling memperkaya6.

4
Ignatius Suharyo, The Catholic Way, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 81.
5
Th. Sumartana, “Konsili Vatikan II dan Dialog Antar Agama di Indonesia,” dalam Gereja Indonesia Pasca
Vatikan II, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), 355.
6
Ignatius Suharyo, The Catholic Way,85.

[4]
Hal yang senada diungkapkan dalam sebuah dokumen resmi dari 1991, Dialog dan Pewartaan,
malah ditegaskan bahwa “Konsili Vatikan II dengan jelas mengakui nilai-nilai positif, tidak
hanya dalam hidup religious orang beriman pribadi, yang menganut tradisi keagamaan yang lain,
tetapi juga dalam tradisi religius itu sendiri”7.
Usaha dialog Gereja dengan agama non-Kristiani telah dimulai sejak Paus Paulus VI
membentuk sekretaris bagi dialog dengan agama non-Kristiani pada Bulan Mei 1964. Inilah
suatu upaya nyata dari Gereja untuk menjalin dialog. Di balik gagasan dan usaha Gereja untuk
membangun dialog terdapat suatu perkembangan teologi. Sebelum Konsili Vatikan II, Gereja
berpegang teguh pada pandangan penyelamatan yang ecclesiocentric dan exclusivist;
keselamatan hanya dapat ditemukan dalam Gereja Katolik. Konsili Vatikan II memiliki
pandangan yang christocentric tetapi juga inclusivist: keselamatan ditemukan hanya dalam
Kristus8. Pemahaman Gereja ini merupakan buah pemikiran dari Rahner tentang anonymous
Christianity.
Gereja kini pertama-tama melihat bahwa Kristuslah yang bekerja, yang terkadang
pekerjaan Kristus di luar kuasa Gereja. Hal ini pula yang melatarbelakangi pernyataan pembuka
dari Lumen Gentium, “Terang para bangsalah Kristus itu”. Kristus ini pula yang menerangi
Gereja, dan akhirnya membuat Gereja turut bersinar. Jadi, bukan karena dalam dirinya sendiri
Gereja bersinar, melainkan karena pantulan sinar Kristuslah Gereja bersinar (layaknya bulan
yang bersinar karena pantulan matahari). Latar belakang pemahaman inilah yang membuat
Gereja sadar bahwa Kristus pun menuntun keselamatan bagi para penganut agama lain. Namun,
Gereja tetap memiliki kewajiban untuk memberikan kesaksian iman kepada mereka.
Maka, Gereja mendorong para puteranya supaya dengan bijaksana dan penuh kasih,
melalui dialog dan kerja sama dengan para penganut agama-agama lain, sambil
memberikan kesaksian tentang iman serta perihidup Kristiani, mengakui, memelihara,
dan mengembangkan harta kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai sosio-budaya,
yang terdapat pada mereka (NA 2).

Penghargaan Gereja terhadap dialog ini semakin dilengkapi dengan pernyataan Gereja
dalam Dignitatis Humanae:
Allah mengikutsertakan manusia dalam hukum-Nya itu sehingga manusia, berkat
penyelenggaran Ilahi yang secara halus mengatur segalanya, dapat semakin menyelami

7
Iman Katolik, 168.
8
Timothy G. McCarthy, The Catholic Tradition Before and After Vatican II 1987-1993, (Chicago: Loyola
University Press, 1994), 158-159.

[5]
kebenaran yang tak dapat berubah. Maka dari itu, setiap orang mempunyai tugas dan
karena itu juga hak untuk mencari kebenaran prihal keagamaan, untuk dengan bijaksana,
melalui upaya-upaya yang memadai, membentuk pendirian suara hatinya yang cermat
dan benar (DH 3).

Pernyataan-pernyataan yang diberikan oleh Gereja ini setidaknya memberi gambaran akan
perkembangan pemikiran dan teologi yang ada pada Gereja pasca Konsili Vatikan II.
Perkembangan doktrin ini sesuai dengan pemahaman Vincentius dari Lerin, ‘suatu
perkembangan autentik, bukan suatu perubahan dari iman’9. Iman Gereja pada Kristus tetaplah
sama dan tidak berubah, bahkan semakin dikuatkan berkat perkembangan refleksi iman. Dialog
dan sikap terbuka dari Gereja merupakan suatu perkembangan yang diyakini sebagai karya dari
Roh Kudus sendiri. Inilah suatu misi yang dapat dikatakan relevan dengan perkembangan zaman
yang diwarnai dengan pluralitas.

D. Kesimpulan
Gereja sampai saat ini sangat yakin akan dirinya yang adalah sakramen keselamatan
Allah. Sebagai sakramen keselamatan, Gereja setidaknya dapat menjadi tanda sarana dari
keselamatan itu sendiri di dunia, dan bukan sebagai sumber kehancuran. Di zaman yang serba
modern dan yang diwarnai dengan pluralitas ini, Gereja ditantang untuk dapat menjadi sarana
keselamatan. Di jiwai oleh semangat Konsili Vatikan II, Gereja mulai berani untuk membangun
dialog dengan berbagai pihak demi mewujudkan keselamatan di dunia.
Dialog dalam Gereja ini secara khusus dihidupi pula oleh Gereja Asia. Asia yang
memiliki kekhasan dalam pluralitas etnis, budaya, bahasa, ekonomi, sosial, dan agama
menantang Gereja untuk dapat berdialog dengan bijak. Oleh karena itu, Gereja Asia berusaha
untuk membangun ‘keharmonian’ dengan agama dan kepercayaan yang ada di Asia. Setiap
agama oleh Gereja diyakini memiliki tujuan yang sama, yaitu Allah, yang untuk mencapai tujuan
ini harus terwujud pula dalam tindakan baik di dunia. Kesamaan dalam tindakan baik inilah yang
mendorong Gereja untuk berdialog bersama demi terwujudnya suatu ‘harmoni’ di Asia.
Dialog yang diprakarsai oleh Gereja Asia diharapkan dapat saling memperkaya dan
saling memahami pluralitas yang ada. Dialog kehidupan, dialog karya, dialog pakar, dan dialog
spiritualitas yang selama ini dibangun diharapkan dapat menjaga kedamaian dan keselamatan di
Asia.
9
Avery Dulles, Church and Society, (New York: Fordham University Press, 2008), 350.

[6]
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku:
Bernard, David K. A History of Christian Doctrine, Hazelwood: Word Aflame Press, 1995.
Dulles, Avery. Church and Society, New York: Fordham University Press, 2008.
Kanisius L, Silvester. Allah dan Pluralisme Religius, Jakarta: Obor, 2006.
McCarthy, Timothy G. The Catholic Tradition Before and After Vatican II 1878-1993, Chicago:
Loyola University Press, 1994.
Suharyo, Ignatius. The Catholic Way, Yogyakarta: Kanisius, 2009.

Sumber Artikel:
Sumartana, Th. “Konsili Vatikan II dan Dialog Antar Agama di Indonesia,” dalam Gereja
Indonesia Pasca Vatikan II, Yogyakarta: Kanisius, 1997. 351-362.
Guarindo, Thomas G. “Tradition and Doctrinal Development: can Vincent of Lerins Still Teach
The Church?” Theological Studies 67, (2006): 34-72.

Sumber Dokumen Gereja:


Denzinger, Heinrich. Compendium of Creeds, Definitons, and Declarations on Matter of Faith
and Morals, San Fransisco: Ignatius Press, 2012.
Dokumen Konsili Vatikan II, terj. R. Hardawiryana SJ (Jakarta: Obor, 2009).
Iman Katolik, Konfrensi Waligereja Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 1996).
Federation of Asian Bishops Conferences Documents from 1992 to 1996, ed. Franz Josef Eilers
SVD (Quezon City: Claretian Publications, 1997).

[7]

Anda mungkin juga menyukai