Anda di halaman 1dari 7

Icon Sebagai Teologi yang Terlihat dalam

Bentuk
Disusun Sebagai Tugas Mid Semester Mata Kuliah Sejarah Doktrin Gereja

Dosen: Dr. F. Purwanto

Disusun oleh:

Nama : Bernardus Aris Ferdinan

No. FT : 3503

FAKULTAS TEOLOGI WEDHABAKTI


FAKULTAS TEOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2017
A. Pengantar
Perkembangan ajaran Gereja merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Perkembangan
ini terjadi karena pengaruh perubahan dari keadaan sosial, ekonomi, politik dan budaya yang ada
di tengah masyarakat. Salah satu ajaran Gereja yang berkembang dari pengaruh perubahan yang
ada di masyarakat adalah penghormatan pada icon. Penghormatan ini mulai berkembang saat
Gereja mulai merasa bahwa teologi yang ada terkadang tidak terpahami oleh umat biasa. Umat
beriman perlu suatu sarana agar dapat memahami teologi dan membantu pertumbuhan iman
mereka. Oleh karena itu, icon mulai muncul dalam tradisi Gereja.
Di tengah masa penggunaan icon, tantangan mulai muncul dari orang-orang yang
menentang icon. Hal ini mungkin karena dipengaruhi oleh budaya timur-tengah yang tidak
menggunakan icon atau patung dalam peribadatan. Budaya ini memiliki pandangan yang
menyatakan bahwa penghormatan kepada icon dan patung merupakan suatu penyembahan
berhala. Ketika pandangan ini masuk ke dalam Gereja, pertentangan antar anggota Gereja pun
terjadi, dan berpuncak para peristiwa pemusnahan semua icon. Seiring dengan berjalannya
waktu, konsili-konsili dilakukan, yang akhirnya melahirkan pandangan khusus mengenai icon.
Icon diyakini memiliki nilai yang lebih mendalam berkaitan dengan kebenaran. Berdasarkan
latar belakang yang telah disebutkan, paper ini akan menyampaikan pembahasan mengenai icon,
yang berpangkal dari “Icon as an agent of truth”.

B. Icon as an Agent of Truth


Kebenaran Ilahi merupakan suatu kebenaran yang melampaui kapasitas dari pemahaman
manusia. Kebenaran yang hanya dapat dipahami ketika manusia mengenali Allah dan Allah
menyatakan diri-Nya kepada manusia. Gal 4:9 menyatakan hal ini, “tetapi sekarang sesudah
kamu mengenal Allah, atau lebih baik, sesudah kamu dikenal Allah”. Pandangan ini menjadi titik
pusat dalam memahami icon. Dua aspek penting yang dapat membantu pemahaman: pertama,
rahmat dari pewahyuan diri Allah menampung kelemahan dari daya terima manusia, dan kedua,
menjaga prinsip inkarnasi, Kitab Suci, dan sakramen, rahmat yang diberikan menjadi
pengudusan yang nyata.
Pendidikan mengenai icon merupakan kelanjutan dari tradisi pendidikan Yunani-
Romawi. Pendidikan adalah suatu ‘cara hidup yang dipilih’, yang di dalamnya terdapat pula
proses pengembangan rasa dan penglihatan. Penglihatan dipandang memiliki sumbangan dalam

[1]
belajar untuk dapat memahami secara lebih baik. Hal inilah yang mendasari pernyataan dari
bapa-bapa tujuh konsili ekumenis pertama; ‘icon lebih besar dari pada kata dan melalui
penyelenggaraan Ilahi mengambil peran bagi orang-orang yang tidak terdidik’. Icon memiliki
sumbangan yang besar dalam pendidikan iman kaum beriman dan katemumen, serta sarana
pengudusan dan penyelamatan.
Tradisi teologi yang kering dan pengetahuan sejarah yang abstrak membuat praktek iman
terkadang turut melemah. Ketika segala sesuatu, termasuk Allah berusaha untuk selalu dipahami
melalui pikiran membuat iman kepada-Nya itu sendiri menjadi kering. Allah perlu juga untuk
didekati melalui hati. Salah satu sarana untuk dapat dekat kepada Allah yaitu melalui icon. Icon
adalah instrument pendidikan tertinggi yang dapat dengat tepat mengarahkan pada kebenaran
tertinggi dan realitas yang tidak dapat disangkal. ‘Ada waktu ketika hanya membaca Kitab Suci
dalam Gereja saja tidak cukup, tetapi menghadirkan icon, memandangnya setiap saat akan
mengantar pada kebenaran’.
Icon merupakan sarana untuk merasakan energi Ilahi yang dihadirkan dalam setiap icon
kudus. ‘Icon adalah buku bagi orang yang tidak terdidik, pewartaan yang tidak hanya diam,
tetapi pengajaran tanpa suara dan pengudusan bagi penglihatan’. Klaim dari para pembela icon
menyatakan bahwa; jika warna dan bentuk dan ketajaman dapat digunakan untuk efek yang baik
disamping suara dan kata-kata maka pesan Krisitiani dapat dibuat lebih efektif. Perlu untuk
dipahami pula bahwa pernyataan tersebut tetap mempertimbangkan secara mendalam
penggunaan seni untuk mengekspresikan bahasa dan pemikiran dan tidak pernah memiliki niat
untuk menembus secara lebih dalam misteri penyelamatan serta melemahkan perumusannya.
Icon ini pula yang diyakini dapat melengkapi kebenaran yang telah ada dalam pikiran,
jika memandangnya. Icon yang terlihat bagi orang beriman dapat menjadi suatu gambaran yang
merepresentasikan kata-kata dan tindakan dari Sang Sabda, baik sebelum dan sesudah
Penjelamaan-Nya, dalam penyelamatan-Nya dan relasi pengilahian dengan umat-Nya dan
komunikasi diri kepada mereka melalui para nabi dan para rasul, hidup para kudus dan tulisan
dari para Bapa.
Icon dipahami sebagai sarana untuk berkomunikasi dengan Allah melalui Sang Sabda
dan dalam Roh Kudus. Atau, dengan kata lain icon merupakan perpanjangan kata-kata dan
tindakan yang akan membawa umat Allah pada iman kepada-Nya dan persatuan dengan-Nya
melalui Putra-Nya dalam Roh Kudus, terkhusus setelah peristiwa Pentakosta di mana Gereja

[2]
menjadi Tubuh Kristus dan mengatar pada seluruh kebenaran. Namun, perlu untuk dipahami
bahwa icon tetap berada di samping kata-kata (Kitab Suci) dan konsep tentang Allah (teologi).
Karena, icon tetap memiliki keterbatasan dalam menyampaikan kebenaran Ilahi.
Catatan yang penting berkaitan dengan fungsi icon adalah hanya sebagai pengingat dan
bukan sebagai pemujaan. Icon dibuat pertama-tama untuk membantu perkembangan iman umat,
dan selalu mempertimbangkan sisi kesucian dari pribadi yang dilukiskan serta teologi yang ada,
sehingga, icon tidak jatuh pada profanasi. Icon digunakan oleh kaum beriman karena berguna
pula dalam pemenuhan ‘kebutuhan psikologi’, di mana kebenaran iman tidak selalu harus
terwujud dalam rangkaian kata-kata dan teori, melainkan juga dalam keindahan seni yang dapat
dilihat mata. Pelukis icon selalu mendasarkan lukisannya dari permenungannya atas Kitab Suci
dan pengalaman imannya, sehingga icon yang dihasilkan dapat menjadi instrument dari
kebenaran. Catatan yang penting berkaitan dengan icon adalah jangan sampai para pelihatnya
menghilangkan ‘pola dasar’ yang ada di dalam icon. Kaum beriman diajak untuk sampai pada
pengalaman iman dari pelukis icon yang asli, sehingga icon tidak jatuh pada keindahan semata,
tetapi juga ‘icon an agent of truth’.

C. Icon sebagai Tradisi Gereja, sebuah tanggapan pribadi


Icon mulai digunakan dalam Gereja sekitar abad 5 – 6 Masehi, dan Konsili ekumene
Nicea II (787), secara khusus menyatakan ajaran mengenai penghormatan pada icon. Kata icon
(yang berarti gambar), digunakan dalam Perjanjian Lama versi Bahasa Yunani pada Kej 1:26-27;
“berfirmlah Allah, baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar (icon) dan rupa kita …
maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar (icon)-Nya”1. Seturut dengan ajaran
Gereja, icon adalah teologi yang didasarkan pada penjelmaan, oleh karena itu melekat dalam
esensi kristianitas, yang adalah pewahyuan tidak hanya sabda Allah, tetapi juga gambaran Allah,
yang tersingkap dalam manusia Yesus Kristus2.
Icon mengenai Yesus Kristus merupakan suatu pengingat yang paling baik akan misteri
penjelmaan-Nya. Icon Yesus Kristus yang tampak menghadirkan pribadi Yesus Kristus sebagai
titik fokus dari wahyu Ilahi, kesatuan sempurna antara Allah dan manusia, Ia adalah penjelmaan

1
Jesus in History, Thought dan Culture, edisi ke-1, pada artikel “Icon and the Icon Tradition”.
2
New Catholic Encyclopedia, edisi ke-2, pada artikel “Icon”.

[3]
Putera yang membawa penebusan manusia melalui kematian-Nya dan kebangkitan dan
membukakan bagi manusia hidup dalam persatuan dengan Allah3.
Icon dipahami bukan pertama-tama gambaran Allah yang berasal dari gagasan pemikiran
manusia, melainkan gambaran nyata akan Putera Allah yang menjadi manusia. Ketujuh konsili
ekumene yang pertama menyatakan bahwa icon memiliki tingkatan yang sama dengan Kitab
Suci. Icon dapat dikatakan sebagai suatu kesaksian dari realitas hidup Allah di antara manusia
dan hidup manusia dalam Allah4. Oleh karena itu, icon tidak ingin menghadirkan kembali
realitas keilahian, melainkan melalui bahasa simbolik gambar berusaha untuk mengajak manusia
ikut serta dalam hidup Ilahi.
Penggunaan kata icon secara bersamaan membawa pewahyuan tentang sifat dasar
manusia sebagai makhluk ciptaan “seturut dengan gambar (icon) Allah,” dan juga pewahyuan
tentang keilahian Yesus Kristus5. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika Icon disebut juga sebagai
teologi dalam bentuk yang terlihat6. Penghormatan kepada icon dilakukan bukan untuk
menghormati icon dalam artian materialnya, melainkan pribadi yang digambarkan dalam icon
tersebut. Maka, fungsi dari icon adalah sebagai pintu atau jendela antara surga dan dunia, antara
realitas Ilahi dan dunia material; icon membantu manusia dalam pertumbuhan spiritualitas untuk
menjadi lebih manusia ‘sesuai dengan gambar (icon) dan rupa’ dari Allah-manusia Yesus7.
Penghormatan terhadap icon-icon kudus dalam kehidupan Gereja muncul karena latar
belakang teologi yang ada dalam Gereja. Hal ini ditegaskan pula dalam ketujuh konsili ekumene
pertama mengenai icon. Icon dengan jelas berusaha untuk menghadirkan gambaran akan Allah
yang hadir di dunia yang dapat dilihat oleh mata, yang mungkin tidak dapat ditampilkan dalam
Kitab Suci. Berkaitan dengan sejarah doktrin Gereja, penulis melihat bahwa tampilan dari
gambar Allah inilah salah satu bentuk dari perkembangan doktrin Gereja. Ajaran Gereja
tampaknya ingin membantu umat beriman untuk dapat pula bertumbuh dalam iman. Bagi umat
yang terdidik, akan dengan mudah memahami bahasa-bahasa teologi untuk dapat membatu
pertumbuhan iman, tetapi bagaimana dengan umat tidak terdidik?
Penulis melihat bahwa icon dihadirkan untuk membantu umat bertumbuh dalam iman,
terkhusus bagi umat yang tidak dapat memahami bahasa teologi. Icon memiliki tingkatan yang

3
Jesus in History, Thought dan Culture, edisi ke-1, pada artikel “Icon and the Icon Tradition”.
4
New Catholic Encyclopedia, edisi ke-2, pada artikel “Icon”.
5
Jesus in History, Thought dan Culture, edisi ke-1, pada artikel “Icon and the Icon Tradition”.
6
New Catholic Encyclopedia, edisi ke-2, pada artikel “Icon”.
7
Jesus in History, Thought dan Culture, edisi ke-1, pada artikel “Icon and the Icon Tradition”.

[4]
sama dengan Kitab Suci dan disebut juga sebagai teologi dalam bentuk yang terlihat. Ketika
umat beriman memandang icon, diharapkan umat dapat merasakan kehadiran Allah dan diikut
sertakan dalam keilahian Putera-Nya. Berkaitan dengan hierarkhi kebenaran dan prinsip tradisi
dari St. Vincentius dari Lerin, icon memiliki tingkat kebenaran yang tidak dapat diragukan lagi.
Ketujuh konsili ekumene pertama dengan tegas menyatakan bahwa icon bukan hanya material
belaka, melainkan dengan tepat menyatakan misteri Allah.
Pernyataan resmi yang diberikan oleh konsili berkaitan dengan icon merupakan suatu
ajaran Gereja dalam menanggapi para penentang icon. Bapa-Bapa konsili yang diterangi oleh
Roh Kudus telah berani memutuskan dan menyatakan keunggulan ajaran yang ditampilkan
melalui icon-icon kudus. Konsili Nicea II (24 September – 23 Oktober 787) menyatakan bahwa
konsili melanjutkan ajaran Bapa-Bapa suci dan tradisi Gereja Katolik, salah satunya berkaitan
dengan icon. Konsili dengan tegas akan mengucilkan mereka yang tidak menghomati icon suci,
karena penghormatan kepada icon yang sesungguhnya adalah penghormatan pada pribadi yang
digambarkan dalam icon8.
Konsili Konstantinopel IV (5 Oktober 869 – 28 Februari 870) menyatakan: “kami setuju
bahwa gambar kudus dari Tuhan kita Yesus Kristus, pembebas dan penyelamat semua manusia
harus dihormati sama halnya dengan penghormatan terhadap Injil Suci”9. Konsili mengajarkan
bahwa penghormatan kepada icon sama halnya dengan penghormatan kepada Kitab Suci. “Jika,
oleh karena itu, ada seseorang yang tidak menghormati gambar dari Kristus Penyelamat, biarlah
dia tidak melihat wajah-Nya ketika Ia datang dalam kemuliaan Bapa-Nya”10.
Penulis melihat bahwa ajaran Gereja mengenai icon ternyata tidak selancar yang
dibayangkan. Sejarah menyatakan, ada suatu masa di mana icon ditentang dan dimusnahkan,
bahkan suatu sinode mengecam penggunaan icon dalam peribadatan. Mengapa? Karena ada
anggapan bahwa umat beriman menghormati icon dalam artian benda, bukan pribadi yang ada
dalam icon tersebut. Namun, setelah melalui proses refleksi dalam suatu konsili, icon kembali
digunakan dalam Gereja, dan mengakui bahwa icon merupakan agent dari kebenaran.

8
Bdk. Heinrich Denzinger, Compendium of Creeds, Definitions, and Declarations on Matters of Faith and Morals,
(San Fransisco: Ignatius Press, 2012), 207-208.
9
“we decree that the sacred image of our Lord Jesus Christ, the Liberator and Savior of all people, must be
venerated with honor equal to that given to the book of the holy Gospels.” Heinrich Denzinger, Compendium of
Creeds, Definitions, and Declarations on Matters of Faith and Morals, 225.
10
“if, therefore, anyone does not venerate the image of Christ the Savior, let him not see his face when he comes in
his Father’s glory.” Heinrich Denzinger, Compendium of Creeds, Definitions, and Declarations on Matters of Faith
and Morals, 225.

[5]
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku:
Frank dan Dorothy Getlein. Christianity in Art, Milwaukee: The Bruce Publishing Company,
1959.
Giakalis, Ambrosios. Images of the Divine, Leiden: Brill, 2005.
Jurgens, William A. The Faith of the Early Fathers, Banglore: St. Peter’s Seminary, 2000.

Sumber Ensiklopedi:
Ouspensky, L. “Icon.” dalam New Catholic Encyclopedia, edisi ke-2, Washington DC: Catholic
University of America, 1981. 324-326.
Baggley, John. “Icons and the Icon Tradition.” dalam Houlden, Leslie (ed). Jesus in History,
Thought and Culture, edisi ke-1, California: ABC-CLIO, 2003, 369-379.

[6]

Anda mungkin juga menyukai