Anda di halaman 1dari 19

Penginjilan dan tanggung jawab sosial seringkali dilihat sebagai dua kutub yang sangat berbeda dan

bertentangan, yaitu kutub rohani dan kutub jasmani. Dalam sisi rohani, penginjilan merupakan
tanggung jawab yang menekankan pada keselamatan jiwa, sedangkan dalam sisi jasmani, tanggung
jawab sosial merupakan tanggung jawab untuk kepentingan kehidupan di dunia ini. Seringkali
kedua hal ini dipertentangkan dan dibedakan dalam misi Kristen, sehingga hal ini menyebabkan
dikotomi dalam misi.

Sadar atau tidak sadar pendikotomian misi ini telah menjalar dan berakar didalam gerakan injili,
yang menganggap bahwa tugas misi Kristen adalah penginjilan, sedangkan tanggung jawab sosial
bukanlah tugas orang percaya. Kaum injili lebih terfokus kepada proklamasi Injil sebagai berita
keselamatan, yang akhirnya mengabaikan tanggung jawab sosial.

Dikotomi misi ini tertanam dalam misi injili hingga saat ini, padahal dalam Lausanne Covenant sudah
terjadi perubahan paradigma misi kaum injili, tetapi pada kenyataannya sebagian besar misi injili
secara khusus di Indonesia masih terjebak dalam pendikotomian. Karena itulah, melalui penulisan
ini penulis akan mencoba melakukan penelusuran historis penyebab pendikotomian misi, akibat
dikotomi misi, dan kemudian melihat pemahaman misi sesuai dengan Ikrar kaum injili dalam
Lausanne Covenant.

LATAR BELAKANG DIKOTOMI MISI

Populernya Eskatologi Premilenialisme

Sekitar abad 19 eskatologi postmilenialisme merupakan konsep eskatologis yang dianut banyak
orang pada waktu itu. Dimana di dalam konsep postmilenialisme memberikan secara optimistik
perkembangan spiritual dan budaya masyarakat, dan refleksi teologi dalam politik, ekonomi dan
kehidupan sosial. Namun seiring berjalannya waktu pandangan ini mulai tenggelam dan diganti
dengan konsep eskatologis premilenialisme. Tenggelamnya eskatologi postmilenialisme dan
populernya pandangan premilenialisme dilatarbelakangi dengan terjadinya perang sipil di Amerika.
Perang sipil ini membawa pada meningkatnya kekecewaan dan kepesimisan masyarakat. Kemudian
kekecewaan semakin berkembang dengan terjadinya perang dunia I dan II di abad 20, dan hal ini
semakin menambah popularitas bagi pandangan premilenialisme. Kondisi ini membuat kaum injili
mulai melihat “life beyond” sebagai tempat yang lebih baik dan kemudian menekankan untuk
memberikan pertolongan bagi jiwa-jiwa yang tenggelam dalam dosa. Akibatnya penginjilan
kehilangan penekanan pada dimensi sosial.

Premilenialisme dibawah filosofi sejarah hampir tak terelakkan memberikan dampak negatif dalam
tanggung jawab terhadap perhatian sosial. Perkembangan premilenialisme memberikan pengaruh
yang besar dan pandangan ini bersifat defensif dalam menghadapi teologi liberal. Di bawah
pengaruh pandangan ini muncullah satu perputaran yang dahsyat dalam pemikiran injili yang
disebut Timothy Smith sebagai ‘the great reversal’. Ini terjadi pada tahun 1920-an, dimana menurut
David Bosch pada masa ini minat kaum evangelikal terhadap keprihatinan-keprihatinan sosial
menjadi semakin tenggelam dan dihapuskan. Didalam konsep eskatologi premilenialisme
penekanannya hanya pada menyelamatkan jiwa-jiwa, yang mengakibatkan pada pengabaian
tanggung jawab sosial. Mereka menggunakan segala usaha dan kemampuan dalam mencapai tujuan
ini, seperti yang dikatakan Dana L. Robert, “premillennialists tended to focus their energies on
evangelism rather than on teaching, medicine, or other aspects of Protestant missions.”

Premilenialisme memiliki peran penting dalam Student Volunteer Movement dan ekspansi misionari
besar-besaran dari premilenialisme dispensasionalisme Amerika yang terjadi di abad 20. Inilah yang
menyebabkan orang – orang Kristen injili di negara-negara dunia ketiga mengalami dikotomi dan
distorsi yang sama dengan barat. Pemikiran misi yang dibawa oleh para misionari, langsung
diwariskan kepada kaum injili di dunia ketiga dan kaum injili di dunia ketiga yang adalah hasil misi
barat tersebut langsung menerima begitu saja pemahaman itu dan terus berakar hingga saat ini.

Matius 24:14 Sebagai Teks Dasar Misioner

Kedatangan Kristus kedua kali merupakan tema umum yang marak pada paruhan kedua abad ke-19.
Beberapa pemimpin misionaris dan organisasi misi mulai menggunakan Matius 24:14 sebagai teks
misioner yang utama. Kedatangan Kristus kedua kali kini dipahami tergantung pada penyelasaian
tugas misioner yang sukses; pemberitaan Injil adalah syarat yang harus digenapi sebelum akhir
zaman tiba. Secara tidak langsung ini berarti bahwa “kedatangan hari Tuhan” juga dapat dipercepat
melalui suatu usaha misioner bersama. Menurut Charles Van Engen, inilah yang menjadi motivasi
misi kaum premilenialis dalam memproklamasikan Injil kepada seluruh bangsa. Pemahaman
terhadap teks ini mendorong sebuah kesadaran akan mendesaknya proklamasi Injil dilaksanakan ke
seluruh penjuru dunia.

Motif misi di tahun 1940-1950an adalah amanat agung dan kedatangan kerajaan Allah (milenium),
yang juga berfokus pada Mat. 24:14. Mereka berharap akan kedatangan Kristus kedua kali dan
kerajaan baru Dia dirikan dibumi. Goal yang terutama pada era ini adalah keselamatan jiwa individu.
Setiap pribadi yang ada dimanapun, sesungguhnya jiwa mereka sepenuhnya sangat penting. Aspek
sosial, politik, ekonomi dan budaya dari kehidupan secara relatif tidak penting dibandingkan
pertanyaan akan surga dan neraka. Hal ini sangat mendongkrak untuk perhatian yang sangat besar
pada sisi penginjilan dalam penyelamatan jiwa-jiwa, tetapi juga tentunya semakin menenggelamkan
tanggung jawab sosial.

Kelemahan Dalam Pemikiran Teologis

Kebangkitan pengutusan misi ke berbagai belahan dunia, menguras tenaga kaum injili dalam
mempersiapkan banyak hal dan tentunya lebih banyak bersifat praktis sebagai modal dalam
penginjilan. Apa yang menjadi fokus pada masa ini, menjadikan satu sisi dari teologi misi menjadi
lemah. Yang diperlukan hanya hal-hal praktis, sedangkan teologi yang dipahami sebagai teori yang
rumit dirasakan tidak perlu. Seperti apa yang diungkapkan oleh Arthur Glasser yang menyampaikan
penilaiannya terhadap era ini bahwa sebuah teologi misi yang rumit tidak dirasakan perlu, yang
diutamakan adalah strategi kuantitas berdasarkan perintah utama Tuhan Yesus kepada para murid;
Go! Motif kuantitas merupakan goal yang tak terelakkan pada masa ini, mengingat waktu yang terus
berlanjut dan ketakutan akan keterlambatan dalam menyelamatkan jiwa-jiwa yang terhilang.
Selain itu juga, dalam masa kebangunan semangat penginjilan di awal abad 20 dan juga
menghadapi tantangan liberalisme, kaum injili justru mengalami krisis dalam teologi. Menurut Carl
Henry dalam masa krisis teologi ini kaum injili cenderung mengalami ketakutan (gun-shy) dalam
menghadapi tantangan dan peperangan teologi. Ia melihat bahwa krisis yang paling dalam
sesungguhnya bukan ketika berhadapan dengan non-injili, tetapi level yang terdalam ketika krisis
internal melanda kaum injili sendiri. Krisis ini terlihat dengan minimnya teolog injili dan juga buku-
buku teologi. Lemahnya minat dan ketertarikan akan teologi, “membutakan” kaum injili pada masa
itu untuk melihat bahwa mandat orang percaya secara utuh dalam teologi, adalah juga tanggung
jawab sosial. Ini berdampak pada penekanan misi yang tidak seimbang.

Dikotomi terhadap kedua hal tersebut membawa pada dorongan untuk menilai yang lebih penting
dan terutama, sehingga menyebabkan sikap dan tindakan yang lebih memperhatikan yang satu dan
mengabaikan sisi lainnya. Tentu saja, mendorong pemikiran bahwa yang rohani dan kekal adalah
lebih penting, sedangkan yang jasmani dan duniawi adalah sesuatu yang sementara dan tidak
mendapat posisi yang lebih baik untuk diperhatikan. Sewajarnyalah pemikiran ini menyebabkan
ketidakseimbangan dalam misi dengan melihat penginjilan yang lebih penting dan utama, sedangkan
tanggung jawab sosial diabaikan. Padahal keduanya adalah penting dan sama-sama merupakan
keprihatinan bagi Allah.

PEMAHAMAN MISI YANG TIDAK SEIMBANG

Misi Kristen adalah Penginjilan

John R.W. Stott merupakan satu dari sekian banyak tokoh injili di dunia, yang memiliki peran sangat
besar dalam gerakan injili. Tanpa disadari ternyata, semula Stott memiliki pemahaman yang berbeda
terhadap misi Kristen dalam amanat agung, ketika dia menyampaikan bible studies yang bertemakan
“The Great Commission” dalam World Congress On Evangelism di Berlin tahun 1966. Dalam
penjelasannya ia menegaskan bahwa “The commission of the church, therefore, is not to reform
society, but to preach the Gospel”. Kemudian ia melanjutkan dengan menegaskan bahwa “the
commission of the church is not to heal the sick, but to preach the Gospel”. Stott menyimpulkan
bahwa tugas gereja adalah :

“Our mandate is the command of Christ to go forth as his heralds; our warrant is the lordship of the
Christ who bids us go.

Our Gospel is the forgiveness of Christ who died for sinners and rose again; our demand is repentant
faith in Christ our Saviour and our Lord.

Our authority is the name of Christ in which we preach; our assurance is the peace of Christ which
garrisons our hearts and minds.

Our method is example of Christ who sends us into the world as he himself was sent; our equipment
is the Spirit of Christ breathed upon us and clothing us with power.

Our task is to be witness to Christ to the ends of the earth; our reward is the presence of Christ to the
end of time.”
John Stott seorang misiolog yang ternama ternyata semula memiliki pemikiran misi yang
demikian, bahwa tugas gereja hanyalah memberitakan Injil keselamatan. Hal ini bisa dikatakan
pemahaman misi yang sempit sangat nyata telah mengikat kaum injili pada masa itu.

Hal senada juga dikemukan oleh seorang misiolog Indonesia yaitu Chris Marantika, yang sepertinya
memiliki pemahaman misi yang hampir sama dengan pemahaman misi Stott semula. Marantika
menjelaskan bahwa ada dua mandat ilahi yaitu mandat ilahi kultural (budaya-pembangunan) dan
mandat ilahi spiritual (rohaniah-pembaharuan). Keduanya adalah sama penting dan tidak saling
meniadakan, namun dipundak agen-agen ilahi yang berbedalah kedua mandat ilahi tersebut
dipercayakan. Sarana bagi mandat ilahi kultural adalah negara, masyarakat dan bangsa-bangsa.
Sedangkan mandat ilahi spiritual adalah mandat yang bernilai kekal dan hanya dipercayakan kepada
orang Kristen sebagai warga gereja Yesus untuk membawakan pembaharuan rohaniah manusia
melalui pemberitaan Injil Yesus Kristus. Marantika juga melihat bahwa diamnya kisah perkembangan
gereja, kisah para rasul atau kisah perbuatan Roh Kudus, atas mandat kultural disebabkan karena
jelas-jelas mandat ini bukanlah mandat gereja. Marantika melihat bahayanya jikalau kedua mandat
ini akan dikerjakan secara bersama maka akan terjadi kekacauan dalam tugas, pekerjaan dan
personil. Potensi dan personil akan tersedot dalam mandat kultural dan melumpuhkan penginjilan.
Akhirnya Marantika menghindari hal ini, dan mengharapkan agar gereja – gereja di Indonesia
mengkhususkan usahanya dalam mandat ilahi spiritual.

Pemikiran misi yang dikotomi sangat jelas dalam pemahaman misi John Stott dan Chris Marantika,
bahwa mandat kultural adalah tugas negara dan aparat, sedangkan mandat spiritual adalah mandat
bagi orang percaya. Tentunya pemikiran ini akan membawa pada tindakan yang cenderung pasif
dalam menanggapi permasalahan sosial yang ada karena merasa bagian ini bukanlah tugas gereja
dan orang percaya.

Misi adalah Pertumbuhan Gereja

Pertumbuhan gereja merupakan strategi baru dalam misi, namun strategi ini terkadang
menimbulkan pemahaman misi yang sempit. Karena memahami misi sebagai pertumbuhan gereja.
Dalam pengertian George W. Peters, misi dipahami sebagai pemberitaan Injil Yesus Kristus kepada
orang yang belum percaya di daerah yang melarat dan miskin, kemudian diberdayakan dan
melipatgandakan gereja-gereja lokal untuk kemudian baru berbuah dalam masyarakat dan negara.
Rumusan pemahaman ini sangat menekankan pada misi dalam pengertian pertumbuhan gereja
secara kuantitas, yaitu multiplikasi gereja-gereja lokal.

Pemahaman misi yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa misi dipahami sebagai sarana untuk
sampai pada tujuan yaitu pertumbuhan gereja. Penginjilan dilakukan untuk memenangkan jiwa dan
multiplikasi jemaat, dan pemahaman ini tidak memunculkan pemahaman integrasi misi antara
penginjilan dan tanggung jawab sosial.
Generalisasi makna evangelization dan evangelism

Istilah “penginjilan” dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dari kata “evangelization dan
evangelism”. Kedua kata ini diterjemahkan dalam kata yang sama. Sesungguhnya kedua kata ini
memberikan penekanan makna yang berbeda. Togardo Siburian dalam analisanya terhadap kata ini
memberikan komentar bahwa: Evangelization bersifat misional ke seluruh dunia dengan
perencanaan yang strategis, sistematis dan mempertimbangkan faktor-faktor misiologis seperti
ekonomi, budaya, sosial dan lain-lain. Evangelization terkait dengan pekabaran Injil sedunia (Mat.
28:18-20). Sedangkan evangelism adalah menyatakan proklamasi Injil pertobatan secara langsung
kepada orang lain dengan metode antar pribadi dan menuntut respon (1 Kor. 3:16-17). Keduanya
memiliki hubungan yang erat, dimana evangelism adalah bagian dari evangelization. Menyinggung
sedikit tentang Lausanne Movement dimana dalam kongres tersebut menggunakan nama Lausanne
Committee for World Evangelization. Dalam istilah evangelization yang digunakan, didalamnya
mencakup evangelism dan tanggung jawab sosial. Dengan demikian perlu untuk memilahkan
pengertian kata ini dan menghentikan pengeneralisasian, sehingga makna evangelization
(pekabaran Injil sedunia) dapat ditempatkan serta digunakan sesuai maksudnya, yaitu proklamasi
Injil keselamatan dan pelayanan sosial.

DAMPAK DARI DIKOTOMI MISI

Sosial yang terabaikan

Banyak orang injili yang menyimpulkan pentingnya belas kasihan dan kemurahan hati yang pastinya
merupakan bagian yang penting dari berita Injil, namun ini tidak menyatakan dalamnya perasaan
terhadap tanggung jawab sosial dalam bagian gereja. Jikalau demikian realitanya maka
sesungguhnya kaum injili telah kehilangan rasa belas kasihan dan kemanusiaan, dan inilah yang
didiagnosa dan dinamakan Francis A. Schaeffer sebagai “penyakit spiritual”.
Minimnya peran tanggung jawab sosial juga terlihat dalam pemikiran kaum injili, dimana
sumbangsih pemikiran injili sangat sedikit ditemukan. Horace L. Fenton memberikan penilaiannya
akan berapa banyak buku yang menceritakan usaha sosial dari kaum injili di masa lainnya, dan
berapa lagi suara kenabian yang menantang kita untuk terlibat dalam kehidupan kita, tetapi tidak
banyak. Khotbah dari mimbar kaum injili seringkali bersifat ekslusif dari dunia sekitar.[22]

Hal ini bukan hanya terjadi pada masa tahun 1966-an di saat Horace L. Fenton menulis artikel ini,
namun ini menjadi demam yang sama, yang menjangkit dalam kaum injili di Indonesia. Sangat
sedikit literatur-literatur yang mengalir dari pengetahuan kaum injili dalam meresponi setiap
permasalahan sosial di Indonesia. Hal ini tentunya juga mempengaruhi secara luas akan konsep
berpikir yang tersebar, dan isu-isu sosial yang sebenarnya menuntut implementasi dari doktrin
kekristenan injili menjadi terbengkalai dan kurang atau bahkan tidak mendapatkan sambutan yang
hangat dalam perspektif injili. Tentunya hal ini sangat disayangkan. Hal serupa juga dirasakan oleh
Togardo Siburian dimana tidak adanya buku-buku yang keluar dari pemikiran-pemikiran kaum injili
yang menegaskan pemikiran mendalam sebagai terobosan teologis dalam situasi di Indonesia.[23]

Diakui bahwa memang kaum injili sangat terbeban untuk penginjilan lebih daripada beban untuk
keadilan sosial, tetapi melanjutkan sikap dalam pengabaian kesaksian sosial injili akan menjadi
sesuatu yang tragis dan kekeliruan yang merugikan.[24] Demikianlah komentar Carl Henry yang
mengingatkan kaum injili untuk kembali pada komitmen yang peduli terhadap aspek sosial sebagai
wujud dari iman Kristen.

Tuduhan Bahwa Kaum Injili adalah Fundamentalisme

Ciri utama dari fundamentalisme adalah anti-intelektual, anti-sosial dan anti-kemasyarakatan.


Munculnya penilaian yang ditujukan kepada kaum injili tersebut, tentunya dipengaruhi dengan
pemahaman tentang misi yang sempit dalam kaum injili sendiri karena masih terbawa pada suasana
pemahaman misi pada masa lampau, maka tidak heran jikalau kaum injili di Indonesia menerima
suatu kritikan sebagai gerakan yang mengabaikan pelayanan kepedulian sosial, bahkan menerima
“cap” sebagai kaum fundamentalisme, kendati berdasarkan historisitas gerakan injili penilaian
tersebut tidaklah tepat.[25]

Ekslusivisme Gerakan Injili

Carl Henry berkomentar bahwa diantara pendeta injili seringkali berkhotbah dan mengajarkan
tentang martabat manusia sebagai ciptaan dan umat yang ditebus Allah, namun sangat disayangkan
kaum injili pun memangkas bagian kemanusiaan. Kaum injili merasa jika kedamaian telah ada dalam
komunitas mereka, maka itu sudah cukup.[26] Anggapan kaum injili bahwa permasalahan sosial
bukanlah tanggung jawabnya merupakan konsep yang bisa dikatakan telah berurat-akar.
Memahami kemanusiaan hanya sebatas khotbah dan teori namun tidak mengaplikasikan dalam
situasi keseharian dan praktis. Mungkin para pendeta injili ini hanya memikirkan dan menggumuli
bagaimana caranya membina jemaat sebaik mungkin, gereja bertumbuh dan dilengkapi dengan
berbagai fasilitas dan sistem yang canggih. Gereja membangun menara gading dan merasa dunia
sekitar adalah sebatas “tetangga” dan bukan sesama yang selayaknya untuk menerima ekspresi
kasih dari kekristenan (Bdk. Lukas 10:25-37).

PENGINJILAN DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL DALAM LAUSANNE MOVEMENT

Istilah “misi” berasal dari bahasa Latin “mitto” yang berasal dari penterjamahan bahasa Yunani
“apostello” (to send). [27] Istilah “apostello” secara umum dalam Perjanjian Baru memberikan
makna “to send forth to service in the kingdom of God with full authority (grounded in God)”. [28]

Istilah “misi” ini muncul dalam konteks pengutusan yang dilakukan Allah Bapa kepada Anak untuk
masuk ke dalam dunia kemudian juga dilakukan oleh Tuhan Yesus kepada para murid dalam rangka
mengutus mereka masuk ke dalam dunia untuk menjadi pelayan dan saksiNya (Band. Yoh. 17).
Dalam eksposisi dan komentar John Stott terhadap perjanjian Lausanne mengatakan “when we talk
about the church being ‘sent into the world’ we are talking about its mission”.[29] Dengan kata lain
pengutusan murid-murid oleh Tuhan Yesus masuk ke dalam dunia, itu adalah misi. “Sent into the
world” merupakan model inkarnasi Yohanes untuk misi. Paradigma misi inkarnasi ini dimaksudkan
untuk memperhatikan dunia dengan lebih serius lagi, berbagi dalam penderitaan manusia dan
pengharapan manusia.[30]

Misi Yesus Kristus ditengah-tengah dunia ini adalah Dia datang untuk melayani (Mar. 10:45) dan Dia
datang untuk bersaksi (Yoh. 18:37). Misi Tuhan Yesus ini merupakan model bagi misi gereja. Misi
gereja di dunia ini adalah penginjilan, tetapi bukan hanya itu saja melainkan juga tanggung jawab
sosial.[31] Dengan demikian jelaslah bahwa misi merupakan tugas orang percaya, yaitu melingkupi
tugas penginjilan dan tanggung jawab sosial.

Penginjilan

Istilah “penginjilan” berasal dari kata “Injil” yang dalam Yunani “euaggelion”. Terdiri dari dua kata
yaitu “eu” yang berarti baik dan “aggelion” yang berarti pesan atau kabar. Oleh karena itu Injil
berarti kabar baik atau pesan yang baik, dan penginjilan adalah pemberitaan kabar baik. Dalam
Perjanjian Lausanne secara jelas mendefinisikan penginjilan sebagai proklamasi tentang Kristus
sebagai Juruselamat dan Tuhan, dengan suatu pandangan untuk mengajak orang datang kepada-Nya
secara pribadi dan karena itu diperdamaikan dengan Tuhan.[32] J.I. Packer melihat hal ini sebagai
deklarasi berita yang spesifik yaitu menyatakan Yesus Kristus sebagai Juruselamat. [33]

Motif Penginjilan

Pendorong untuk melaksanakan penginjilan adalah dimulai dengan ketaatan kepada Amanat Agung
dan kepada Tuhan yang menyatakan Amanat Agung itu, yang mana segala kuasa di bumi dan disurga
telah diberikan kepadaNya (Mat. 28:18-20).[34] Amanat Agung adalah mandat misi Allah, dan
penginjilan adalah hati dari Amanat Agung tersebut.[35] Dua aspek yang menjadi arah motif dalam
penginjilan, yaitu kasih kepada Allah dan kerinduan untuk memuliakan Allah dan motif kedua adalah
kasih kepada sesama manusia dan kepedulian akan keselamatan mereka.[36] Karena mengasihi dan
mentaati Tuhan, orang percaya menginjili. Demikian juga karena mengasihi sesama mengingat
bahwa manusia tanpa Kristus akan terhilang atau binasa (Yoh. 3:16; I Kor. 1:18).

Yang paling mendasar dari semua motif adalah setiap natur Allah sendiri. Dasar ketritunggalan untuk
misi adalah yang terutama.[37] R.B Kuiper mengatakan bahwa “Allah Tritunggal adalah pencipta
penginjilan” [38]. Allah Bapa sebagai Pencipta misi, yang telah merancangkan penginjilan sejak
kekekalan. Melalui para nabiNya Ia menginpirasikan nubuatan akan kedatangan Anak-Nya yang
tunggal. Anak Allah itu akan menjadi daging dan melalui penderitaan akan masuk dalam
kemuliaanNya (Luk. 24:26). Dia merancangkan bahwa melalui kematian Anak-Nya penebusan
manusia berdosa akan dilaksanakan. Bapa membangkitkan Anak dari kematian dan Anak duduk
disebelah kanan Allah Bapa yang Mahakuasa. Kepada Anak-lah dikaruniakan nama diatas segala
nama karena Ia taat bahkan taat sampai mati di kayu salib. Dan dihari Pentakosta Allah Bapa
memberikan Roh Kudus untuk bersaksi tentang Kristus di Yerusalem, Yudea, Samaria dan ujung-
ujung bumi (Kis. 1:8).

Allah Anak dengan rela Ia mengambil rupa hamba dan meninggalkan segala kemuliaanNya sebagai
Allah. Ia taat bahkan sampai mati di kayu salib, untuk karya penebusan bagi umat manusia yang
berdosa. Dia memberitakan Injil Kerajaan Allah (Mat.13), datang untuk mencari dan menyelamatkan
yang hilang (Luk. 19:20) dan Dia membawa Injil kepada orang-orang Samaria (Yoh.4). Allah Roh
Kudus memberikan umatNya kuasa untuk bersaksi seperti yang Yesus janjikan dan mendorong
mereka untuk pergi keujung-ujung bumi, seperti yang dikatakan Yesus (Kis.1:8).

Tujuan Penginjilan

Klaim Kristus sebagai satu-satunya jalan untuk menerima pengampunan dosa dan jaminan akan
hidup yang kekal, menolong orang percaya untuk memiliki tujuan dalam penginjilan yang dilakukan.
Proklamasi Injil bertujuan untuk menyampaikan berita keselamatan, agar setiap orang mendengar
berita itu dan memberi respon. Undangan Injil diberikan dan berita keselamatan disampaikan agar
pendengar mengalami pertobatan dan menerima keselamatan. Penginjilan bertujuan untuk
memenangkan jiwa-jiwa tersesat yang sedang berjalan menuju pada kebinasaan, dan membawa
mereka masuk didalam ketundukan kepada satu Tuhan dan Juruselamat yaitu Yesus Kristus.[39]

Paulus mengatakan bahwa pemilihan yang ditetapkan Allah dalam kekekalan, karya penebusan
Kristus, dan tujuan dari semua pekerjaan Allah ialah “supaya terpujilah kasih karuniaNya yang mulia
(Ef.1:6)….supaya kami….boleh menjadi puji-pujian bagi kemuliaanNya (Ef. 1:12,14; Rm. 11:36, 16:27;
1 Kor. 10:31; 2 Kor.1:20, 4:15)”.[40] Allah menciptakan segala sesuatu sesuai dengan kehendakNya
untuk maksud kemuliaanNya. Penginjilan bersumber dari Allah sendiri, sehingga penginjilan memiliki
tujuan untuk memuliakan Allah. Penginjilan adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi
kemuliaanNya yang kekallah Ia melakukannya (Band. Rm 11:36).

Pentingnya Penginjilan

Kejatuhan manusia dalam dosa adalah konsekuensi dari ketidaktaatan manusia kepada perintah
yang Allah berikan. Konsekuensi itu membawa manusia pada keterpisahan dengan Allah dan upah
dari dosa itu adalah maut, kematian kekal (Roma 6:23). Kegagalan manusia dalam menaati perintah
Allah membuat manusia tercemar dan tidak memiliki kesempatan untuk menyelamatkan diri sendiri
dari dosa. Allah yang berinisiatif untuk memberikan pemulihan bagi manusia berdosa dengan
memproklamirkan protoevangelium (Kej.3:15) atau juga sering disebut perjanjian anugerah.
Perjanjian anugerah itu Allah genapi di dalam dan melalui Yesus Kristus, melalui perjanjian inilah
Allah mengerjakan karya keselamatanNya dalam sejarah. Dengan perjanjian Ia memberikan Yesus
Kristus, supaya manusia memperoleh pengampunan dan kehidupan yang kekal (Yoh. 3:16).

Tanpa Kristus manusia akan terhilang dan binasa.[41] Keberdosaan manusia dan ketidaksanggupan
manusia menyelamatkan diri sendiri menunjukkan bahwa sesungguhnya manusia membutuhkan
Juruselamat. Dengan syarat bahwa penebus atau juruselamat itu adalah pribadi yang tidak berdosa
dan dia adalah manusia. Syarat tersebut tidak dapat dipenuhi oleh seorangpun yang ada didunia ini,
karena itulah Allah mengutus AnakNya yang tunggal; karena Dia adalah kudus (Luk. 1:35) dan
menjadi sama dengan manusia (Yoh. 1:14; Fil. 2:7). Inilah keunikan Kristus bahwa Dia adalah Allah
yang telah menjadi manusia (Allah-manusia sejati), hanya Dia yang layak menjadi seorang Penebus
atau Juruselamat. Sebab tidak ada Juruselamat lain selain di dalam Yesus Kristus (Band. Kis.
4:12).[42]

Skop Penginjilan

Objek pengutusan misi Kristus kepada para murid adalah dunia ini (Yoh. 17), dan amanat untuk
menjadi saksi Kristus yang memberitakan kabar baik adalah sampai keujung bumi serta kepada
segala bangsa (Kis. 1:8; Mat. 28:19), Perjanjian Lausanne menyatakan meliputi seantaro dunia
ini.[43] Skop penginjilan meliputi “ruang” yang begitu luas dan universal. Karena kekristenan adalah
kepercayaan yang bersifat universal, maka menuntut penginjilan yang universal pula. Universal yang
dimaksud bukan hanya menyangkut suku, bangsa dan bahasa, melainkan juga setiap segmen
masyarakat,[44] melampaui batasan-batasan geografis dan batasan lainnya. Hal ini dikarenakan
semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah (Rm.3;23), sehingga semua
orang membutuhkan berita keselamatan. Kabar baik keselamatan yang adalah karya Yesus Kristus
harus dinyatakan dalam semua bahasa dan budaya di dunia,[45] dan hakekat Injil sebagai kabar baik
ditujukan untuk semua orang yang membutuhkan.[46] Dengan demikian penginjilan tidak dibatasi
oleh suku bangsa, bahasa dan berbagai perbedaan karena pada dasarnya semua orang
membutuhkan keselamatan.

Berita Penginjilan

Berita penginjilan adalah kabar baik tentang Yesus Kristus yang telah mati karena dosa-dosa manusia
dan telah bangkit dari kematian sesuai dengan Alkitab dan sebagai Tuhan yang berdaulat, dan Ia
menawarkan pengampunan dosa dan anugerah yang membebaskan oleh Roh Kudus kepada setiap
orang yang bertobat dan percaya.[47] Searah dengan penyataan Lausanne J.I. Packer juga
menyatakan bahwa yang diberitakan dalam penginjilan adalah “Injil tentang Kristus dan salib-Nya;
berita tentang dosa manusia dan anugerah Allah, tentang kesalahan manusia dan pengampunan
ilahi, tentang kelahiran baru dan hidup baru melalui karunia Roh Kudus.”[48] Selanjutnya ia melihat
bahwa berita penginjilan tersebut terdiri dari empat elemen penting, yaitu Injil adalah berita
tentang Allah, berita tentang dosa, berita tentang Kristus, injil adalah undangan untuk beriman dan
bertobat.[49] Jantung dari pemberitaan adalah pribadi Kristus dan karyaNya, sehingga dengan
pemberitaan ini setiap orang yang mendengar dan percaya diselamatkan dan menerima anugerah
hidup yang kekal.

Penginjilan dan Akhir Zaman

Di dalam perjanjian Lausanne,[50] Janji kedatangan adalah pendorong bagi penginjilan. Kedatangan
Kristus kedua kali merupakan penyempurnaan dari segala janjiNya, penggenapan akan Kerajaan
Allah dan Ia akan berdiri sebagai Hakim yang menghakimi setiap orang. Mengingat kedatanganNya
yang sudah dekat, maka ini merupakan peringatan betapa mendesaknya tugas pemberitaan Injil.
Desakan akan waktu yang semakin singkat menjadi dorongan untuk semangat penginjilan secara
luas. Masa ini adalah masa penantian akan kedatangan Kristus, dan harus diisi dengan penginjilan
dan pelayanan anak-anak Tuhan hingga Ia datang. Merupakan kesempatan untuk merededikasikan
diri untuk memproklamasikan Kristus dan kerajaanNya sampai Dia datang.

Tanggung Jawab Sosial

Tanggung jawab sosial orang percaya merupakan point penting dalam perjanjian Lausanne.
Penjelasan dalam butir 5 kemudian dalam konsultasi misi Lausanne yang dilaksanakan di Grand
Rapids tahun 1982, diperjelas kembali sebagai definisi tanggung jawab sosial Kristen.

“Kami menyatakan bahwa Tuhan adalah Pencipta dan juga Hakim atas semua manusia. Karena itu
kami seharusnya juga membagikan perhatianNya pada keadilan dan pendamaian kepada seluruh
manusia serta pembebasan pria dan wanita dari segala bentuk penekanan. Karena pria dan wanita
diciptakan menurut citra Tuhan, setiap manusia, dengan tidak memandang ras, agama, warna,
budaya, kelas sosial, jenis kelamin atau usia memiliki martabat intrinsik dan karena itu mereka darus
dihormati dan dilayani, dan bukan dieksploitasi. Di sini kami menyatakan penyesalan atas
pengabaian yang kami lakukan dan juga atas seringnya kami berpandangan bahwa penginjilan dan
perhatian sosial adalah dua hal yang terpisah. Walaupun pendamaian dengan orang lain bukanlah
pendamaian dengan Tuhan, kegiatan sosial bukanlah penginjilan, dan pembebasan politik bukanlah
keselamatan, kami menyatakan bahwa penginjilan dan keterlibatan sosial politik adalah bagian dari
tugas orang-orang Kristen. Keduanya dibutuhkan sebagai perwujudan doktrin Allah dan manusia,
kasih kami kepada sesama manusia dan bentuk ketaatan kami kepada Yesus Kristus. Kabar
keselamatan juga menyiratkan sebuah pesan penghakiman atas segala bentuk pengucilan,
penekanan dan diskriminasi dan kita tidak perlu takut untuk menyingkapkan kejahatan dan
ketidakadilan dimanapun hal tersebut terjadi. Ketika manusia menerima Yesus, mereka lahir baru ke
dalam kerajaan Tuhan dan berkewajiban bukan hanya menyatakan namun juga menyebarkan
kebenaranNya di tengah-tengah dunia yang tidak benar. Keselamatan yang kita terima seharusnya
mengubah pribadi dan tanggungjawab sosial kita secara utuh. Iman tanpa perbuatan adalah mati.”
[51]

Hakekat Tanggung Jawab Sosial

Keprihatinan sosial merupakan bagian dari tugas orang-orang Kristen. Perasaan dan tindakan itu
terefleksi dari apa yang diterima dan diajarkan dalam iman kekristenan. Karena itu sikap tanggung
jawab ini muncul dari doktrin-doktrin Kristen, yaitu doktrin Allah, doktrin manusia, doktrin
keselamatan dan doktrin kerajaan.

Doktrin Allah. Allah sebagai Pencipta dan Hakim, tidak hanya memberikan kasih dan perhatiannya
atas umat yang berada didalam gereja tetapi juga yang ada di dalam dunia. Pada hari penghakiman
Allah akan bertindak sebagai Hakim atas semua orang dan semuanya tanpa terkecuali harus
memberikan pertanggungjawaban kepada Hakim itu. Oleh karena itulah, setiap orang percaya yang
mengklaim umat Allah sebaiknya memberikan dan membagikan keprihatinan Allah secara luas,
terutama bagi keprihatinan akan keadilan dan pendamaian seluruh manusia serta bagi pembebasan
manusia dari setiap jenis tekanan (Band. Amos 1,2).[52]

Sejak semula Allah sedemikian memperhatikan akan keprihatinan sosial yang terjadi, mulai dari
Perjanjian Lama hingga Perjanjian Baru. Keberadaan Allah dan seluruh tindakanNya menunjukkan
akan karakter Allah sendiri. Karena itu doktrin Allah merupakan fondasi pertama dalam keprihatinan
sosial yang alkitabiah. Keprihatinan Allah bagi kaum miskin adalah pusat untuk karakter Allah.[53]
Keprihatinan dan sikap tanggung jawab sosial orang percaya merupakan refleksi dari pengenalannya
akan keberadaan dan karakter Allah, bertindak seperti juga apa yang dilakukan Allah.

Doktrin Manusia. Tanggung jawab sosial dan penginjilan adalah bagian dari tugas orang Kristen,
keduanya adalah ekspresi yang penting dari doktrin Allah dan doktrin manusia. Dia menciptakan
semua orang yang ada didunia dengan hakekat yang sama, yaitu serupa dan segambar dengan Allah
(Kej. 1:26-27), ini merupakan alasan betapa manusia ciptaan Allah memiliki keunikan tersendiri dari
ciptaan yang lain. Manusia adalah ciptaan yang memiliki rasionalitas, kesadaran, kuasa dan kasih,
berbeda dengan ciptaan lainnya. Gambar ilahi dalam diri manusia memberikannya satu martabat
intrinsik atau harga diri. Harga diri termasuk untuk semua manusia yang diciptakan tanpa
memandang ras, agama, warna kulit, budaya, jenis kelamin atau usia. Sebab setiap orang memiliki
martabat seperti yang diberikan Allah, sehingga dia bisa menghormati, melayani dan mengasihi
(Im.19:18; Luk 6:27, 35).[54]

Kemartabatan yang Allah berikan terhadap semua orang merupakan motif yang Allah berikan
bagi orang percaya untuk saling mengasihi sesama manusia seperti mengasihi diri sendiri
(Mat.22:39). Sesama bukan dalam pengertian satu kepercayaan atau karena kesamaan tertentu,
tetapi mengasihi sesama tanpa memandang nilai dan batasan-batasan tertentu (Band. Orang
Samaria yang baik hati – Lukas 10:25-37). Keprihatinan sosial yang dinyatakan dalam tindakan
merupakan wujud kasih yang nyata sebagai penghargaan kepada sesama manusia yang telah
dijadikan dengan gambar Allah sendiri (Kej. 9:5-6).

Doktrin Keselamatan. Penginjilan dan tanggung jawab sosial merupakan ekspresi dari kasih kita
kepada sesama dan ketaatan kepada Yesus Kristus. Kabar keselamatan juga menyiratkan sebuah
pesan penghakiman atas segala bentuk pengucilan, penekanan dan diskriminasi dan orang percaya
tidak perlu takut untuk menyingkapkan kejahatan dan ketidakadilan. Keselamatan yang telah
diterima juga seharusnya mengubah pribadi dan tanggung jawab sosial secara utuh, karena iman
tanpa perbuatan adalah mati. [55]

Doktrin Kerajaan. Kerajaan Allah telah hadir saat ini dan merupakan pengharapan di masa yang akan
datang. Kedatangan Kristus adalah untuk menggenapi akan kehadiran kerajaan Allah, baik saat ini di
bumi maupun di masa yang akan datang. Warga Kerajaan Allah itu adalah setiap orang yang telah
mengalami kelahiran baru (Yoh. 1:12,13;3:3,5). Sebagai warga maka orang percaya harus memiliki
sikap tunduk dalam kuasa Allah dan berada dibawah kewajiban untuk menyatakan standar
kebenaran kerajaan dalam kehidupan praktis (Mat.5:6,20) dan menyatakan kebenaranNya
(Mat.5:14).[56]

Ada beberapa tanda dari kerajaan itu, yaitu: 1) Yesus Kristus berada ditengah umatNya
(Luk.17:21; Mat.18:20) yang membawa dan menghadirkan sukacita dan damai (Yoh.15:11;16:33). 2)
Pemberitaan Injil. 3) Pembebasan dari kuasa kejahatan. 4) Kesembuhan dan mujizat. 5) Mujizat
pertobatan dan kelahiran baru. 6) Umat Allah memanifestasikan kualitas hidup sebagai orang
percaya. Yang disebut Paulus buah Roh (Gal. 5:22-23). 7) Penderitaan.[57] Tanda-tanda dari
kerajaan Allah bukan hanya pada dimensi keselamatan jiwa dan rohani, tetapi juga pada dimensi
fisik (kesembuhan) dll. Kerajaan itu bukan hanya mempengaruhi jiwa dan tubuh, tetapi juga individu
dan masyarakat.[58] Terlebih lagi tanda-tanda itu juga sangat kental mencorakkan akan etika
kerajaan Allah, yang mendasari bagaimana seharusnya orang percaya hidup. Roger E. Hedlund
mengatakan “the kingdom is more than words. The kingdom is deeds”.[59] Tanggung jawab sosial
menunjukkan buah dari kehidupan iman orang percaya. Kepercayaan yang nyata dalam tindakan.
Pemahaman akan status sebagai warga kerajaan Allah menstimulasi orang percaya untuk
menghadirkan damai, keadilan, kasih dan sukacita dalam kehidupan individu dan komunitas.

Motivasi Untuk Tanggung Jawab Sosial

Dasar fundamental untuk tindakan kita ada dalam karakter Allah sendiri. Dia adalah Allah yang adil,
Allah yang berbelaskasihan. Tidak mengherankan kalau Yesus sendiri merefleksikan kasih sayang dari
Allah BapaNya. Dia berbelas kasihan kepada yang sakit, yang terhilang dan orang-orang yang
terbuang. Demikian juga dengan karya Roh Kudus dalam diri orang percaya, yang memberikan buah
Roh dan desakan untuk mengasihi. Inilah yang merupakan dasar Trinitarian bagi motivasi orang
percaya dalam tugas sosialnya.[60]

Kasih Allah yang memungkinkan keprihatinan Allah atas permasalahan sosial, demikian juga Yesus
Kristus memiliki kasih yang sama, sehingga Dia begitu keras menegur ketidakadilan dan penindasan.
Setiap orang percaya menerima jaminan dan karunia di dalam kuasa Roh Kudus. Buah dari Roh
Kudus dalam diri orang percaya salah satunya adalah kasih. Ini merupakan buah pertama dari Roh
Kudus (Gal. 5:22). Oleh karena itu Dia yang memberikan bagi umatNya suara hati sosial dan
mendorong mereka untuk masuk dalam pembebasan kemanusiaan, pengembangan dan pencarian
keadilan. Hati yang telah dipenuhi oleh kasih Allah untuk terlibat dalam kesulitan dan penderitaan
yang dialami orang lain. Klaim orang percaya bahwa mereka adalah kepunyaan Allah dan yang
menyembahNya sebagai Bapa, Anak dan Roh Kudus, harus mengekspresikan penyembahannya
dalam seluruh kehidupannya. [61] Bukti ketaatan dan ibadah kepada Allah juga harus terpancar
dalam Christian life-style.

Tujuan dari Tanggung Jawab Sosial

Great Commandment merupakan hukum yang Tuhan berikan kepada setiap orang percaya.
Tanggung jawab sosial yang digumulkan dan dilakukan adalah wujud dari ketaatan kepada Great
Commission dan Great Commandment. Ketaatan kepada kedua perintah itu demi kehidupan yang
lebih layak bagi orang lain yang mengalami penindasan, kekurangan dan ketidakadilan. Agar setiap
orang dapat merasakan arti kerajaan Allah dan proklamasi Injil. Menikmati hidup yang penuh
keadilan, cukup dan diberlakukan sebagaimana manusia adanya.

Hal yang mendasar dalam tujuan melakukan tanggung jawab sosial adalah agar orang lain
menyaksikan berita Injil secara nyata dan menikmati dalam kehidupan mereka. Kasih Allah harus
diproklamasikan secara nyata dengan mempedulikan yang kekurangan keadilan, harga diri, makanan
dan tempat tinggal. Tugas orang percaya juga adalah membagikan perhatian Allah demi
penyelesaian-penyelesaian permasalahan sosial. Sehingga setiap orang dapat menikmati
penghormatan, pelayanan dan kebebasan. Hal ini membutuhkan keterlibatan umat Allah secara
langsung dalam mencari keadilan dan kedamaian.[62]

Pentingnya Tanggung Jawab Sosial

Dalam Lausanne Occasional paper mencatat sejumlah 800 juta orang atau 1/5 dari manusia,
mengalami kemiskinan, kekurangan kebutuhan pokok untuk kelangsungan hidup dan ribuan dari
mereka meninggal mati kelaparan setiap hari. Jutaan tanpa pakaian, tanpa air bersih dan layanan
kesehatan, tanpa tempat berlindung yang memadai, tanpa kesempatan untuk menikmati
pendidikan dan pekerjaan. Mereka terhimpit oleh penindasan ekonomi dan politik. Semua ini
berakar dari keberdosaan manusia dan mereka memerlukan sebuah respon belas kasihan dari umat
Allah. Hanya Injil yang dapat mengubah hati manusia, namun sekalipun demikian kita tidak dapat
menghentikannya dengan proklamasi verbal. Dalam evangelisasi dunialah permasalahan ini dapat
dilihat. Kondisi ini membutuhkan kegelisahan hati nurani (belas kasihan) orang-orang percaya, untuk
dapat berpikir dan bertindak dalam rasa memiliki tanggung jawab terhadap hal ini. Dorongan kasih
dan uluran tangan orang percaya adalah pertolongan yang dapat meringankan beban mereka, untuk
itu umat Allah dituntut untuk terlibat dalam mengembangkan dan mencari keadilan serta damai.[63]

Tanggung jawab sosial juga merupakan kebutuhan yang mendesak. Mengingat ada banyak manusia
didunia ini yang mengalami penderitaan dan ketidakadilan. Tak dapat dipungkiri memang semua ini
ada karena berakar dari dosa, namun secara positif keberadaan penderitaan dan permasalahan
sosial yang muncul merupakan objek yang tersedia bagi umat Allah untuk menyaksikan kasih Allah
yang menyelamatkan.

Relasi Penginjilan dan Tanggung Jawab Sosial

Aktivitas Sosial adalah Konsekuensi Penginjilan

Pandangan yang dibahas dalam relasi ini menempatkan proklamasi Injil verbal sebagai primary dan
aktivitas sosial sebagai tugas secondary. Tidak hanya sampai disitu, karena pandangan ini melihat
bahwa sesungguhnya aktivitas sosial adalah konsekuensi dari penginjilan. Proklamasi Injil akan
memberikan pembaharuan terhadap kehidupan individu dan pembaharuan tersebut akan
memberikan efek-efeknya pada perubahan sosial dan membawa pada keterlibatan sosial. Analogi
yang sering digunakan dalam pandangan ini adalah analogi benih dan buah. Dimana benih adalah
proklamasi Injil yang menghasilkan perubahan dan keterlibatan sosial adalah buah.[64]
Memahami relasi penginjilan dan tanggung jawab sosial dalam kerangka konsekuensi menempatkan
pada kekuatan untuk berpegang pada prioritas penginjilan, dan memahami bahwa proklamasi kabar
baik menjadi misi Allah dan gereja-Nya. Aksi sosial dan perubahan sosial akan berharga apabila
kelahiran baru mendahului dan mempersiapkan akan hal tersebut. Dalam hal ini, Yakob Tomatala
mengatakan bahwa, “Dimana misi Allah dinyatakan (Injil diberitakan) disitu ada pembebasan
manusia secara holistik (manusia yang satu dengan ‘psycho-somatic unity’) untuk menikmati shalom
secara utuh pula.” [65] Dari rumusan Tomatala ini nampak dengan jelas bagaimana penginjilan
mengakibatkan perubahan dalam manusia secara menyeluruh, termasuk perubahan sosial
didalamnya.

Konsultasi misi Lausanne memberikan penilaian dan tanggapan terhadap pandangan ini bahwa
tanggung jawab sosial lebih daripada konsekuensi penginjilan, karena ini hanya satu dari prinsip-
prinsip tujuan penginjilan. Kristus memberikan diriNya sendiri bagi orang percaya bukan hanya untuk
menebus dari semua ketidakadilan tetapi juga untuk memurnikan bagi diriNya sendiri suatu umat
milikNya yang tekun untuk berbuat baik (Tit.2:14). Melalui Injil orang percaya diciptakan dalam
Kristus Yesus untuk pekerjaan-pekerjaan baik yang Allah persiapkan sebelumnya (Ef.2:10).
Pekerjaan-pekerjaan baik itu memang tidak dapat menyelamatkan, tetapi pekerjaan itu sangat
dibutuhkan untuk membuktikan keselamatan (Yak. 2:14-26).[66]

Penginjilan dimaksudkan Allah membawa umat pada kelahiran baru dan kehidupan baru mereka
dimanifestasikan dalam pelayanan satu dengan lainnya. Paulus menulis “iman bekerja melalui
kasih” (Gal.5:6), Yakobus mengatakan “aku akan menunjukkan kepadamu imanku melalui
perbuatan-perbuatanku” (Yak.2:18) dan Yohanes menyatakan bahwa kasih Allah dalam kita akan
melimpah dalam pelayanan akan keperluan saudara (1 Yoh.3:16-18). Dalam kesimpulan untuk relasi
ini konsultasi Lausanne mengemukakan bahwa tidak dapat mengklaim pelayanan kasih adalah
konsekuensi penginjilan.[67]

Aktivitas Sosial adalah Satu Jembatan Untuk Penginjilan

Relasi ini memperlihatkan bagaimana aktivitas sosial dilakukan supaya melalui itu proklamasi Injil
dapat disampaikan. Inilah yang dinamakan dengan aksi sosial sebagai jembatan penginjilan. Ada
yang mengatakan bahwa : “an empty sack cannot stand” (Upper Volta); “an empty belly has no ears”
(Sierra Leone); “a hungry man has no ears for words” (Yoruba). [68] Memang tidak mungkin
memproklamasikan Injil kepada orang yang perutnya kosong, karena mereka tidak akan dapat
berdiri dan mendengarkan, disebabkan kondisi fisik yang memungkinkan untuk mendengarkan Injil
tidak terpenuhi atas mereka. Tak dapat disangkali bahwa pemenuhan kebutuhan fisik akan
menolong orang untuk mendengarkan berita Injil. Pelayanan sosial sebagai jembatan memberikan
konotasi bahwa aksi tersebut dilakukan secara tidak tulus karena memberikan “sesuap nasi” untuk
maksud tertentu. Lausanne melihat ini sebagai ulterior motive.[69]

Penginjilan yang demikian sama dengan meletakkan dasar-dasar iman kekristenan yang sangat
rapuh di dalam diri seseorang. Orang mendengarkan Injil dan mengaku percaya, demi “sesuap nasi”
atau pakaian dan kebutuhan lainnya yang mereka perlukan. Ketika pelayanan kasih dihentikan,
orang-orang yang mengaku percaya tersebut akan mengalami kemorosotan bahkan meninggalkan
ibadah dan pengakuan kepercayaan, sehingga mengalami kerohanian yang “kerdil”. Inilah yang
dinamakan John Stott sebagai rice Christians.[70]

Aktivitas Sosial adalah Partner Penginjilan

Dalam konsultasi misi Lausanne yang membahas permasalahan relasi ini, melihat relasi yang ketiga
sebagai partner. Relasi ini digambarkan seperti sepasang mata gunting atau dua sayap pada seekor
burung. Relasi partnership ini jelas terlihat dalam pelayanan Tuhan Yesus, yang tidak hanya
memberitakan Injil tetapi memberi makan yang lapar dan menyembuhkan yang sakit. Dalam
pelayanannya, kerygma (proklamasi) dan diakonia (pelayanan) saling bergandengan tangan.
PerkataanNya menjelaskan perbuatanNya dan perbuatanNya menampilkan perkataanNya.
Keduanya mengekspresikan belas kasihanNya kepada orang-orang. Keduanya juga merupakan
pokok-pokok dari ketuhanan Yesus, karena itu Dia mengutus kita masuk ke dalam dunia untuk
memberitakan dan melayani. Jika kita memproklamasikan kabar baik dari kasih Allah, kita harus
memanifestasikan kasihNya dalam kepedulian terhadap orang-orang miskin. [71]

John Stott melihat relasi ini seperti dua cabang dari garpu. Analogi Stott ini berdasarkan pada 1 Yoh.
3:17,18 yang disimpulkan dengan “seeing and having”. Dalam pendapatnya ia mengemukakan
bahwa “jika saya tidak menghubungkan apa yang saya miliki pada apa yang saya lihat, maka saya
tidak dapat mengklaim kasih Allah selalu ada dalam hati saya”.[72] Hal ini memberikan pengertian
bahwa di dalam satu pekerjaan menjadikan terlihatnya perkataan. Proklamasi Injil yang telah
menyelamatkan, membawa pada tindakan yang penuh dengan kasih yang tulus.

Relasi ini menegaskan akan Proklamasi Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat (penginjilan)
memberikan implikasi sosial dan memberi makan kepada mereka yang lapar (tanggung jawab sosial)
memberikan implikasi penginjilan. Inilah yang dilihat dalam konsultasi misi Lausanne bahwa relasi
penginjilan dan tanggung jawab sosial merupakan merupakan relasi yang integral (a marriage).[73]
Relasi ini mengangkat satu prinsip akan kasih yang tulus dari orang percaya. Entah Injil atau “sesuap
nasi” semua adalah wujud kasih orang percaya terhadap Allah dan sesama, dan melakukan
semuanya di dalam nama Tuhan Yesus guna kehormatan dan kemuliaan bagi namaNya. Keprihatinan
sosial orang-orang percaya bukan sebagai pre-evangelism atau dengan kata lain melegitimasikan
pre-evangelism.[74] Kasih yang murni dan tulus adalah fondasi dalam memberitakan Injil Allah.
Tugas-tugas orang percaya adalah memproklamasikan Injil agar orang lain mendengar kasih Allah
dan percaya, namun tugas orang percaya juga adalah melakukan Injil agar orang lain melihat dan
menikmati kasih Allah.

MISI INTEGRATIF SEBAGAI TUGAS KAUM INJILI

Istilah “integratif” berasal dari kata Latin “integer”[75] yang berarti lengkap, utuh, dan menyeluruh.
Dikatakan misi yang integratif artinya misi tersebut memiliki sifat, hakekat, motif dan tujuan yang
utuh. Sesuai dengan apa yang telah dibahas dalam pemahaman misi, bahwa sesungguhnya misi
merupakan pengutusan Allah untuk melaksanakan penginjilan dan juga pelayanan (keprihatinan
sosial). Misi integratif adalah misi yang menempatkan kedua tugas sebagai satu kesatuan (integrasi)
secara seimbang tanpa mengabaikan dan meninggalkan salah satu sisi. Dengan demikian misi yang
seimbang adalah misi yang mengintegrasikan penginjilan dan tanggung jawab sosial sebagai tugas
yang utuh, memiliki sasaran yang bersifat menyeluruh atau holistik dalam seluruh aspek kehidupan
manusia.

Gereja adalah tubuh Kristus, yang menjadi utusan Kristus untuk melaksanakan misi Allah yaitu tugas
proklamasi (kerygma) dan mengajar (didache). Bagi gereja injili memiliki khas pembeda tersendiri
yaitu pada merek (merk) injili yang menekankan pada spiritual misi gereja.[76] Dimana spiritual misi
gereja ini, menyodorkan misi yang seimbang antara penginjilan dan aksi sosial. Tanpa pelayanan
sosial, penginjilan dapat dirasakan hanya sebagai “so much mouth”. [77] Sebaliknya tanpa Injil,
aktivitas sosial terlepas dari kuasa transformasi Roh Kudus. Gereja yang berbeda adalah gereja yang
membagikan kabar baik akan keselamatan dari Allah dan keadilan. Inilah keunikan dan kekhasan dari
gereja kaum injili.

Dalam sebuah survei tentang kekristenan Injili di Amerika, yang memaparkan keboborokan atau
disebut sebagai Skandal hati nurani injili oleh Ronald Sider, ia melihat tidak ada hal yang lebih
penting saat ini daripada mengembalikan pemahaman dan praktek hidup Perjanjian Baru tentang
gereja. Untuk itu Sider memberikan enam pokok penting untuk menjadi gereja yang sejati, yaitu :

“Pertama, Yesus adalah sumber, pusat dan Tuhan dari gereja. Kedua, gereja adalah kudus. Ketiga,
gereja adalah sebuah persekutuan, bukan sebuah perkumpulan dari orang-orang kesepian.
Keempat, karena ia takluk kepada norma-norma Kerajaan Yesus, maka Gereja adalah sebuah
komunitas lintas budaya yang menghidupi sebuah gaya hidup yang pada dasarnya menantang nilai-
nilai dan praktek-praktek hidup duniawi. Kelima, keterlibatan dan tanggung jawab bersama adalah
hal yang penting dalam tatanan sosial baru yang mengejutkan ini. Keenam, hanya kuasa Roh Kudus
yang memungkinkan komunitas baru ini untuk menjadi kebenaran baru, tatanan masyarakat lintas
budaya yang dituntut oleh Tuhannya.”[78]

Dengan demikian mandat yang berikan oleh Allah adalah mandat yang bersifat integratif dan
holistik. Togardo Siburian menyebut ini sebagai mandat kembar injili, yaitu antara mandat budaya
(ipoleksosbudhan) dan mandat rohani. Kemudian beliau menegaskan bahwa ini lebih cocok disebut
sebagai mandat peradaban, dimana manusia dimanusiakan dalam dua sisi secara bersama-sama di
dalam konteks kehidupan sesuai dengan kemajuan zamannya.[79] Inilah mandat gereja.

Pentingnya Reformulasi Pemahaman Misi Injili

Polarisasi antara oikumenikal dan injili terletak pada penekanan misi yang berbeda ; oikumenikal
menekankan misi yang berpusat pada keprihatinan sosial dan sebaliknya injili menekankan pada
dimensi keselamatan jiwa. Kedua kubu sebenarnya memiliki pemahaman yang sempit tentang misi.
Konsep misi inilah yang berurat akar dalam dunia misi baik dari oikumenikal maupun evangelikal,
sehingga masing-masing melaksanakan misi yang tidak utuh dan pincang.

Kini, kaum injili melangkah lebih maju dengan memahami bahwa sesungguhnya misi meliputi kedua
dimensi tersebut, dan mendorong untuk melaksanakan misi yang seimbang. Misi yang selama ini
dipahami hanya sebagai penginjilan dan pertumbuhan gereja, membutuhkan reformulasi
pemahaman sehingga misi kaum injili bergerak dengan seimbang tanpa mengabaikan salah satunya.
Mengingat keduanya adalah tugas gereja dan orang percaya sebagai utusan Kristus ditengah dunia
ini untuk menjadi garam dan terang yang membawa pembenaran dan keadilan. Dorongan yang telah
diawali dalam pertemuan-pertemuan kaum injili sendiri.

Ciri khas dari kaum injili sendiri adalah penginjilan, karena tanpa penginjilan maka tidak dapat
dikatakan sebagai injili, namun hal itu belum utuh dan lengkap tanpa tindakan kasih. Karena itu misi
injili sebagai misi yang holistik sangat berkomitmen pada Great Commission (Mat. 28:18-20) dan
Great Commadment (Mat. 22:37-40). Dengan demikian reformulasi misi penting bagi kaum injili
karena kaum injili sebenarnya memiliki mandat yang mencakup kehidupan manusia secara utuh.
Tanpa usaha reformulasi pemahaman misi, maka kaum injili tidak dapat mengalami kemajuan dalam
memahami misi Allah. Terlebih dalam konteks masa kini.

Pentingnya Keseimbangan Doktrin dan Praktis

Keseimbangan merupakan istilah yang mesti melekat dalam diri kaum injili. Doktrinal dan praktikal
pun harus seimbang. Teologi dan doktrin merupakan ciri khas kaum injili sebagai gerakan doktrinal,
namun tidak sebatas itu saja doktrin itu sendiri harus direfleksikan, diimplikasikan dan direlevansikan
dalam konteks kehidupan di masa kekinian. Apa yang diimani dan dirumuskan mesti terpancar
dalam perbuatan-perbuatan hidup. Karena menekankan doktrin tanpa praktik akan menjadi
doktrinalisme, demikian praktik tanpa dasar doktrinal hanya akan menjadi pragmatisme.

Dalam memenuhi keseimbangan tersebutlah kaum injili harus memiliki sistem teologi yang dinamis
dan stabil. Togardo Siburian mendefinisikan dinamis dalam pengertian tidak berteologi di ruang
kosong, namun harus berinteraksi dengan zaman dan meresponi perkembangannya. Beliau
melanjutkan bahwa Kaum injili harus berani merelasikan, menarik implikasi, mencari korelasi,
menetapkan konsekuensi doktrinal atas seluruh lapangan hidup dan lapangan pemikiran yang
berkembang, namun tetap konservatif. Kemudian kaum injili memiliki dialog simultan dengan
konteks tanpa meninggalkan Alkitab sebagai sumber teologi. berteologi secara seimbang dari atas
dan dari bawah secara proporsional dan seimbang, praktis namun bukan pragmatisme semata-mata.

Pentingnya Misi yang Seimbang Dalam Konteks Pasca-Modern

Pengaruh dunia pascamodern tak dapat terelakkan merambah gereja dan orang percaya. Jikalau
melihat kembali pada evangelikalisme yang muncul dalam dunia modern telah menerima pengaruh
dari dualisme modern. Dalam sistem kerja pencerahan yang dibangun atas dualisme yang
memisahkan antara jiwa dan tubuh, materi dan non-materi. Dasar dualisme inilah yang dikritik oleh
postmodernisme yang lebih memandang manusia dalam satu keutuhan. Keutuhan yang dimaksud
dalam postmodernisme adalah keutuhan tubuh dan jiwa, emosi dan rasional, sedangkan keutuhan
yang dimaksud dalam kekristenan adalah lebih dari itu.

Dalam dunia pascamodern, Injil yang diberitakan harus menempatkan manusia kembali ke dalam
konteks sosial dan lingkungan yang telah membentuknya, karena dunia pascamodern lebih melihat
pada komunitas dan keutuhan. Untuk itulah Injil yang diberitakan harus menyentuh aspek-aspek
kehidupan manusia secara utuh. Dalam kebutuhan akan keutuhan di konteks pasca modern ini,
maka dibutuhkan juga pemberitaan Injil yang memenuhi kebutuhan tersebut. Inilah yang dinamakan
oleh Stanley J. Grenz sebagai Injil postdualistik. Searah dengan ini Bloesch melihat bahwa dalam era
ini yang diperlukan bukan hanya proklamasi Injil secara verbal, tetapi juga life-style orang percaya.
Dengan demikian dalam dunia pascamodern ini, keutuhan Injil adalah mutlak yang dimanifestasikan
dalam proklamasi dan sosial, perkataan dan perbuatan.

KESIMPULAN

Pertama, kaum injili harus memahami historisitasnya sebagai gerakan doktrinal. Tetap berpegang
kepada warisan intelektual injili dan berteologi dalam dasar dan prinsip reformasi, serta
mempertahankan ortodoksi kekristenan. Dengan tetap memandang zaman ini untuk dapat
merefleksikan teologinya dalam konteks kekinian. Dasar dan prinsip berteologi ini penting agar
dalam doing theology of mission kaum injili tidak kehilangan arah, namun tetap berfondasi dalam
kebenaran. Ini merupakan langkah awal misi yang tepat karena mendasarkannya dalam kerangka
teologi, sehingga misi yang dilaksanakan tidak hanya bersifat pragmatis semata dan lemah secara
teologis. Karena pada dasarnya misi injili merupakan terapan dari refleksi teologis injili secara
komprehensif. Tanpa merefleksikannya, maka kaum injili hanya akan berteologi dalam ruang kosong
yang tidak ada gunanya. Dengan prinsip ini kaum injili akan menemukan kembali kesegaran,
kemurnian dan vitalitasnya dalam menunaikan misi Allah dalam zaman ini.

Kedua, misi kaum injili adalah misi yang integratif dan holistik. Memandang kebutuhan manusia
secara menyeluruh, baik secara jasmani maupun rohani. Baik kebutuhan keselamatan yang akan
datang maupun hidup di dunia ini. Keduanya membutuhkan pemenuhan dari Injil (Kabar Baik).
Karena itu, untuk memahami misi yang integratif, seimbang dan holistis, kaum injili harus kembali
pada pemahaman misi Allah (missio dei). Misi Allah adalah misi pengutusan Kristus ketengah-tengah
dunia ini. Demikian juga pengutusan orang percaya masuk didalam dunia untuk mewartakan kabar
baik kerajaan Allah, keselamatan dan kesejahteraan, pembenaran dan keadilan. Inilah yang
berkenaan dengan fungsi sebagai saksi dan pelayan Kristus, sebagai garam dan terang bagi dunia ini.

Ketiga, Penginjilan dan tanggung jawab sosial adalah tugas yang tidak dapat dipisahkan, tetapi harus
diingat bahwa penginjilan bukanlah pelayanan sosial, dan pelayanan sosial bukanlah penginjilan.
Keduanya lebih tepat dipahami sebagai partner, yang kedua-duanya harus dilakukan secara
seimbang; atau juga dapat dipahami bahwa tanggung jawab sosial adalah bagian dari kabar baik.
Mengabaikan salah satu dimensi dari keduanya akan terjadi kepincangan. Dengan demikian kaum
injili tidak dapat berdiam diri melihat perbudakan, kesenjangan sosial, kemiskinan, kelaparan,
perampasan hak-hak asasi, dan seluruh permasalahan lainnya dalam bidang sosial, keamanan,
ekonomi, ekologi dan seluruh bidang kehidupan lainnya. Kaum injili tidak dapat menutup mata
dengan seluruh permasalahan ini, namun kaum injili memiliki panggilan dan tugas untuk
menyatakan kabar baik yang membawa pembebasan dan kesejahteraan. Injil adalah jawaban bagi
keselamatan manusia berdosa dan juga jawaban bagi mereka yang mengalami setiap permasalahan
kehidupan di dunia ini. Entah mereka orang Kristen atau bukan, namun tugas kaum injili adalah
memproklamasikan Injil dalam perkataan dan perbuatan. Inilah tugas rangkap kaum injili, yaitu
penginjilan dan juga pelayanan sosial.
Keempat, misi kaum injili berfondasi pada kasih (agape). Baik penginjilan maupun tanggung jawab
sosial, keduanya merupakan wujud kasih kepada Allah dan kepada sesama. Memberitakan Injil dan
mengasihi sesama, tanpa hidden agenda, inilah yang dilakukan dan diteladankan Tuhan Yesus. Misi
kaum injili memiki motif yang murni, tulus, tanpa bujukan dan rayuan, tanpa janji-janji dan paksaan.
Misi kaum injili bukanlah kristenisasi, namun misi injili adalah menyatakan kasih Allah bagi setiap
orang, yang kemudian menuntut respon dari pribadi yang mendengar dan melihat Kabar Baik
tersebut. Kasih sebagai fondasi dalam misi, merupakan buah Roh Kudus dalam diri orang percaya.
Dengan kasih yang tulus seperti Allah telah mengasihi dan memberi pengampunan, kasih menjadi
life-style bagi orang percaya. Dengan demikian orang yang telah diselamatkan tidak dapat tidak
untuk tidak mengasihi, baik mengasihi karena keselamatan jiwa individu, maupun mengasihi dalam
wujud keprihatinan sosial.

Kelima, keselamatan adalah anugerah Allah. Dengan memahami bahwa keselamatan adalah
anugerah Allah semata-mata dan bukan atas jasa manusia atau bukan karena berhasilnya metode
penginjilan orang percaya, tetapi itu adalah perjanjian anugerah Allah yang telah dinyatakan
sebelum segala sesuatunya ada. Orang percaya adalah alat ditangan Tuhan untuk memberitakan Injil
dan menyatakan kasihNya. Memberitakan Injil dan mengasihi sesama dengan tulus. Jikalau objek
penginjilan dan kasih adalah orang yang telah dipilih Tuhan, maka Injil didalam kuasa Roh Kudus
akan bekerja secara efektif dan melahirbarukan pribadi tersebut dan memimpin dalam janji
keselamatan Allah. Pemberita Injil tidak lebih dari sebuah alat di tangan Tuhan dan Tuhan yang
mengaruniakan keselamatan, sehingga kaum injili tidak perlu kuatir akan tanggung jawab sosial yang
dilakukan.

Keenam, pentingnya keterbukaan dan keterlibatan kaum injili Indonesia dalam melihat dan
mengikuti perkembangan injili di dunia saat ini. Mengikuti perkembangan gerakan Injili, untuk dapat
belajar banyak tentang isu-isu terkini, sehingga dapat mempelajarinya dan menarik aplikasi,
implikasi ataupun relevansinya dalam konteks Indonesia. Kaum injili Indonesia terasa memerlukan
para elit injili yang memiliki kemampuan dalam akademis dan intelektual injili yang murni. Untuk itu
kaum injili Indonesia juga penting untuk mengalami reformasi diri dan iman, serta reposisi misi
untuk berdiri sebagai injili sejati. Selanjutnya kaum injili Indonesia juga harus lebih memotivasi diri
dalam mengembangkan kemampuan dalam berbagai bidang agar dapat bergerak secara lebih
leluasa dan meresponi perkembangan zaman dan mampu menyikapinya secara alkitabiah.
Kemampuan dalam kepelbagaian dibidang kehidupan ini akan sangat menopang pelaksanaan misi
holistis.

Ketujuh, mandat kaum injili adalah mandat peradaban, yang mencakup seluruh bidang kehidupan
dan membentuk sinergi kelompok dari kepelbagaian yang kemudian muncullah peradaban. Injil
terbuka secara global, untuk semua orang tanpa dibatasi oleh batasan-batasan tertentu, karena
semua orang diberikan kesempatan untuk mendengarkan firman Tuhan. Mandat kaum injili dalam
peradaban adalah untuk memanusiakan manusia, yang membutuhkan keselamatan pribadi dan juga
pembebasan atau perhatian dalam sosial, budaya, ekonomi dan bidang-bidang lainnya.

Pada akhirnya kaum injili harus tetap kembali pada slogan kaum injili “semper reformanda” untuk
kemuliaan Allah. Sebagai kaum injili yang secara hakiki berpegang pada Injil untuk memberitakan
Kabar Baik kerajaan Allah

Anda mungkin juga menyukai