Anda di halaman 1dari 8

MISI DALAM MASYARAKAT MAJEMUK

(TUGAS KELOMPOK)

MATERI : MENUJU
PARADIGMA MISI EKUMENIS DALAM ERA
POSTMODERNISME & ELEMEN-ELEMEN MISI EKUMENIS (BAGIAN 1
GEREJA DAN MISI & BAGIAN 4 MISI DAN PENGINJILAN)

DOSEN : PDT. DR. DENNY NAJOAN, S.TH. M.SI

NAMA KELOMPOK 2 :

ADELINA LIANDO
DHEA FIRANDA TAMPOMURI
CINDY STEVA KAPOH
VALDA MARIA BASTIAN

FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN INDOSESIA TOMOHON
YAYASAN GMIM D. A. Z. R. WENAS
BAB 1 PENDAHULUAN
Latar Belakang

Gereja sebagai persekutuan orang-orang percaya mempunyai tiga tugas, yaitu Persekutuan,

Kesaksian dan Pelayanan. Tiga tugas ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu

dengan yang lain. Ketiga tugas ini juga merupakan misi gereja di tengah-tengah dunia ini.dapat dikatakan

gereja belum menjalankan misi atau tugasnya dengan baik kalau ia hanya menekankan salah satu saja dari

ketiga tugas tersebut. Aspek hakiki gereja adalah membawa misi dan melayani. Itulah sebabnya ia

mengungkapkan bahwa gereja adalah misi dan gereja adalah pelayanan.

Dibalik pemahaman misi selalu terdapat suatu paradigma yang mempengaruhi dan menentukannya

karena dalam kenyataan tidak hanya terdapat satu teologi misi. Dengan kata lain, dalam sejarah gereja

telah muncul beberapa paradigma misi yang menentukan bagaimana misi dipahami dan dilaksanakan

oleh gereja yang meyakini dan hidup dalam paradigma misi yang dinilai relevan dalam kurun waktu

tertentu. Munculnya suatu paradigma misi sangat ditentukan oleh perubahan dan pergeseran paradigma

teologi. Padahal, perubahan dan pergeseran paradigma teologi tidak persis sama seperti dalam ilmu

pengetahuan karena perubahan dan pergeseran paradigma dalam ilmu pengetahuan seringkali terjadi

secara revolusioner.

Paradigma misi ekumenis yang sedang muncul Setiap era memiliki konteks masing-masing dan klaim

bahwa pemahaman iman dan misi gereja saat itu sesuai kehendak Allah. Mereka percaya bahwa

pemahaman iman mereka tepat dan obyektif. Itulah sebabnya setiap era memiliki paradigma yang

berbeda secara kualitatif seperti tampak, misalnya dalam perbedaan dunia kekristenan Helenistik dari

abad ke II sampai abad ke IV yang begitu berbeda dengan dunia kekristenan dari gereja

perdana.perbedaan itu terjadi karena masing-masing era melakukan refleksi teologis dengan paradigma

yang telah bergeser dari paradigma yang dipakai oleh era sebelumnya.

BAB II KAJIAN TEORI/PEMBAHASAN


B. MENUJU PARADIGMA MISI EKUMENIS DALAM ERA POSTMODERNISME
Dilihat dari dimensi historis, era gerakan ekumenis muncul bersamaan dengan era
postmodernisme setelah era Pencerahan yang melahikan modernisme dipertanyakan keabsahannya
dalam menjawab masalah manusia. Modernisme sendiri sebagai suatu bentuk peradaban berakar dari
kebangkitan akal budi (rasionalisme) dari era Pencerahan (Enlightenment atau Aufklarung) di Barat. Maka
akal budi dinobatkan sebagai penuntun perjalanan hidup manusia untuk mencapai kebahagiaan.

Postmodernisme menawarkan suatu wawasan di luar modernisme yang justru membuka diri terhadap
budaya dan peradaban lainnya. Anggapan yang bernada etnosentrisme bahwa seolah-olah hanya
modernisme sajalah yang bisa membawa umat manusia menuju kebahagiaan telah kehilangan
keabsahannya. Ternyata sekelompok manusia dapat bidup bahagia dalam sistem budaya yang dulu dicap
’ primitif atau tradisional.

1. Pergeseran Rasionalitas

Berlawanan dengan kekuatiran bahwa agama akan merosot dan bahkan mati karena pengaruh
yang hebat dari Rasionalisme yang menguasai Manusia pada era Pencerahan, ternyata pada abad ke-20
justru terjadi kebangkitan agama-agama di dunia: Islam, Budha, Hindu, dan Kristen. Kekristenan tetap
berkembang di negara-negara yang dikuasai oleh nilai-nilai Pencerahan selama beberapa abad. Menjelang
abad ke20, grakan Pentakosta melebihi Lutheran, Reformed, dan Anglikan yang bertumbuh pesat. Di
negara-negara, tempat para penganut agama ditindas, seperi Soviet dan Cina, kekristenan semakin
meluas. Di Polandia, Gereja Katolik mendapat dukungan penduduk lebih daripada masa sebelumnya.

2. Pergeseran Skema ’ Subjek-Objek’

Dominasi atas alam dan sikap meng-objek-kan dunia telah membawa konsekuensi yang besar.
Dunia kehilangan ’ misteri’ nya dan dilihat sebagai objek dari program mesinisasi manusia. Kalau pada
awalnya mesin-mesin itu menggantikan tenaga budak manusia, maka kemudian pada gilirannya manusia
yang diperbudak oleh mesin-mesin. Konsekuensi selanjutnya dari model ini tampak dalam krisia ekologis
yang makin parah karena manuaia memperlakukan bumi sebagai objek yang memberi keuntungan.
Sekarang bumi mendekati kehancuran di bawah tangan-tangan manusia. Kerusakan lapisan ozon dan
kekuatan nuklir yang menghancurkan merupakan tantangan yang harus dijawab generasi masa kini.

3. Penemuan Kembali Dimensi Teologis


Eliminasi ’ tujuan’ dalam hidup manusia dan dunia ini serta lingkaran ’ sebab-akibat’ dari
pemikiran era Pencerahan telah menyebabkan panyak manusia kehilangan arti kehidupannya di dunia ini.
Padahal, manusia tidak dapat hidup dan melanjutkannya tanpa arti, tujuan, dan harapan. Mungkin hanya
golongan yang punya hak istimewa pada abad ke-19 di Eropa dan Amerika Utara dapat hidup dengan
situasi semacam itu karena mereka punya jaminan untuk maju dan berkembang. Namun, berangsur-
angsur mereka melihat bahwa ’ privilese’ yang mereka miliki tidak dapat memecahkan masalah,
sedangkan lingkaran ’ sebab-akibat’ secara teologis menyebabkan iman yang eskatologis tidak dapat
dihayati karena tidak ada lagi perubahan yang tidak dapat diramalkan. Namun, pada abad ke-20, terjadi
pergeseran dari pemikiran *‘ noneskatologis’ tadi ke pemikiran eskatologis. Sesuatu dapat berubah dan
menjadi berbeda.

4. Tantangan terhadap ‘ Progress Thinking’


Gagasan pembangunan yang merebak mulai 1960 memiliki latar belakang pemikiran era
Pencerahan yang disebut ‘ progress thinking’ . Pemikiran yang mendewakan kemajuan yang bisa dicapai
manusia ini telah melahirkan ekspansi kolonial dan kemudian juga mempengaruhi gagasan yang disebut
pembangunan.

Di kalangan Gereja, tampak suatu perkembangan bahwa setelah PD II pendekatan komprehensif yang
dicanangkan di Yeruselam (1928) berubah dan diganti dengan gagasan pembangunan. Baik Gereja
Protestan maupun Gereja Katolik begitu antusias dengan ’ proyek barw ini. Dekade 1960 dapat disebut
sebagai periode n dilaksanakan dengan semangat (dan agak tergesa-gesa) baik oleh pemerintah maupun
oleh Gereja. Pembangunan dianggap bisa dan harus memecahkan masalah Dunia Ketiga. Optimisme
muncul di mana-mana. Namun, dalam perkembangan dan kenyataan selanjutnya, model pembangunan
menghasilkan konsekuensi yang tidak diharapkan.

5. Penemuan Kembali Nilai-Nilai dalam Fakta Kehidupan

Paradigma era Pencerahan yang mendasar adalah pembedaan yang radikal antara fakta dan nilai.
Namun, memasuki era postmodernisme, seluruh konstruksinya mengalami kemunduran dan hampir
hilang sama sekali. Tembok yang dibangun oleh Positivisme dan Empirismei antara subjek dan objek serta
antara fakta dan nilai mulai hancur. Pandangan yang mengatakan bahwa ilmu itu bebas nilai tidak berlaku
setelah peristiwa seperti Hiroshima dan Nagasaki membuktikan bersatunya’ fakta dan nilai. Objektivisme
secara total telah menyesatkan konsep manusia tentang kebenaran.

6. Pergeseran Optimisme

Era Pencerahan ada keyakinan bahwa semua masalah pada prinsipnya dapat dipecahkan. Muncul
impian tentang dunia yang bersatu yang di dalamnya semua orang menikmati perdamaian, kebebasan,
dan keadilan. Namun, semua itu i ternyata gagal dan menimbulkan kekecewaan.

7. Pergeseran dari Individualisme ke Ketergantungan Positif

Keyakinan dari era Pencerahan tentang kebebasan individu untuk mengejar kebahagiaannya
sendiri tanpa mau tahu apa yang dipikirkan dan dikatakan orang lain mempunyai konsekuensi yang
menghancurkan. Manusia tidak butuh dan tidak peduli pada orang lain, bahkan juga pada dirinya sendiri
karena mereka sibuk dengan pekerjaan dan permainan' sehingga tidak menghadapi kenyataan yang
sebenarnya. Kebebasan memilh untuk tidak percaya berakhir dengan ketidakpercayaan terhadap segala
hal. Penolakan untuk menerima risiko ketergantungan berakhir dengan keterasingan juga terhadap diri
sendiri. Keyakinan diri yang keterlaluan terhadap pengetahuan telah melahirkan nihilisme. Terhadap
'doktrin' palsu itu, harus ditegaskan kembali keyakinan dan komitmen bahwa manusia tidak dapat hidup
tanpa orangi lain. Adalah suatu komitmen untuk hidup bersama orang lain dalam kebersamaan, saling
bergantung, dan 'simbiosis' dalam satu dunia untuk menerima keselamatan dalam relasi yang baru.
'Generasiku' harus diganti dengan 'generasi kita'.

C. ELEMEN-ELEMEN PARADIGMA MISI EKUMENIS

I. GEREJA DAN MISI


Dalam melihat pergeseran pemikiran misioner di kalangan Gereja Protestan pada era sesudah
Pencerahan, kontribusi dari konferensi konferensi misi internasional sangat penting dan karena itu perlu
ditelusuri. Konferensi Pekabaran Injil Sedunia di Edinburgh (19102 yang diakui sebagai saat kelahiran
gerakan ekumenis memberi perhatian besar terhadap hilangnya semangat misi Kristen Barat masa itu,
tetapi hampir tidak menyentuh pertanyaan teologis tentang relasi Gereja dan misi. Pokok-pokok
pemikiran yang dihasilkan masih di sekitari pekabaran Inil ke seluruh dunia dengan sasaran wilayah-
wilayah dunia yang bukan Kristen. Pandangan teologi misi dengan terminologi ‘ sakramen, tanda dan
sarana’ digunakan lebih ekstensif dalam Gereja Katolik daripada dalam Gereja Protestan. LG secara
eksplisit menyebut Gereja sebagai “Sakramen, tanda, dan sarana dalam hubungan erat antara manusia
dengan Allah dan kesatuan di antara umat”. Gereja adalah “Sakramen yang kelihatan dari kesatuan umat
yang diselamatkan”, “Sakramen dari keselamatan universal”.

Eklesiologi yang muncul dalam era ini menegaskan bahwa Gereja harus dilihat secara esensial
sebagai misi. Misi bukan sesuatu yang sekunder dan keberadaan Gereja adalah demi misi. Karena Allah
adalah Allah yang misioner, maka umat Allah juga harus umat vang misioner. Karena Gereja dan misi
menjadi satu dan bersama-sama sejak dari permulaan, maka tidak mungkin ada sebuah Gereja tanpa
misi atau misi tanpa Gereja. Bila terjadi sebuah Gereja tanpa misi, maka itu hanya sebuah 'badan yang
semu'. Itu tidak berarti bahwa Gereja itu selalu dan di setiap tempat terlibat dalam proyek-proyek
misioner.

2. Gereja dan Dunia

Konsep tentang Gereja dan dunia yang bersifat statis menempatkan dunia sebagai suatu kekuatan
yang jahat. Teologi hanya memperhatikan Gereja dan bukan dunia. Seolah-olah yang ada hanya Gereja.
Konsep semacam ini menyebabkan pelayanan dan kehidupan Kristen secara tertutup dipahami sebagai
aktivitas mengajar, beribadah, pastoral, dan karitatif. Misi dipahami sebagai proses mendirikan Gereja
dan untuk itu segala energi akan dihabiskan. Dengan sangat lambat terjadi perubahan pemahaman
mengenai Gereja dan dunia. Yang menonjol, barulah setelah PD II, orientasi Gereja terhadap dunia
berubah secara mendasar.

Dalam Gereja Katolik, terobosan pemikiran tentang relasi Gereja dan dunia datang dari Konsili Vatikan II.
Dalam Gaudium et Spes (GS) dinyatakan, "Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang
zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan
harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga." Di kalangan Protestan dan Katolik dalam era ini,
pemikiran tentang Gereja dan dunia dapat disimpulkan sebagai berikut.
3. Penemuan Kembali Peranan Jemaat
Misi Gereja yang terutama adalah misi yang dilaksanakan oleh jemaat-jemaat di segala tempat
di dunia ini. Perspektif ini jelas tampak dalam PB, tetapi sering diabaikan dalam sejarah Gereja.
Dalam Gereja Katolik, Gereja dan misi tampak jelas menjadi pope-centered. Di kalangan Protestan,
Gereia-gereja muda tetap bergantung pada kebijakan dan bantuan Gereja yang lebih tua serta
agen-agen misi.

Suatu perubahan terjadi dalam misi Protestan ketika Konferensi Yerusalem (1928) dan Tambaram
(1938) mulai mengakui 'Gereja-gereja muda' secara seimbang. Whitby memakai ungkapan
partnership in obe- dience (mitra dalam ketaatan) untuk menyatakan bahwa perbedaan antara
'Gereja tua' dan 'Gereja muda' sama sekali tidak berarti bahwa ada perbedaan status antara dua jenis
Gereja ini. Gereja tua dan Gereja muda mempunyai tanggung jawab dan tugas yang sama, yaitu
menga- barkan berita pengharapan.

4. MISI DAN PENGINJILAN


Dalam era ekumenis ini dibutuhkan pengertian penginjilan yang konstruktif. Penginjilan tidak
sama dengan misi, namun mempunyai kaitan dan saling berhubungan secara teologis dan praksis.
Ditempatkannya penginjilan sebagai salah satu elemen paradigma misi ekumenis juga membuktikan
bahwa dalam paradigma teologi sering kali masih berkembang pemahaman yang menonjol dalam
paradigma sebelumnya. Saat ini, eksistensi kaum evangelikal, melalui Lausanne Committee for World
Evangelization dengan konferensi-konferensi penginjilan sedunia (1974 di Lausanne yang melahirkan
Committee tersebut pada tahun 1974, di Pataya pada tahun 1980, di Wheaton pada tahun 1983, dan di
Manila pada tahun 1989) dan School of World Mis- sion and Institute of Church Growth yang dirintis
Donald Anderson McGavran di Pasadena, tetap mewarnai era ekumenis ini.

5. Missio Dei
Setelah PD I, para teolog misi mulai mencatat adanya perkembangan dalam teologi biblis dan
sistematis. Karl Barth (1932) menjadi seorang teolog pertama yang menyebutkan misi sebagai aktivitas
Allah sendirj. Pengaruh K. Barth sangat penting karena dia telah menerobos secara radikal pendekatan
teologi era Pencerahan. Pengaruh itu terasa sampai ke konferensi Willingen (1952) yang mencuatkan ide
Missio Dei secara jelas. Misi dimengerti sebagai datang hanya dari Allah sendiri.

BAB III REFLEKSI TEOLOGIS

Didalam menghadapi dunia postmodern saat ini, kita harus bisa menguatkan iman kita, dan jangan
termakan pada paham yang menyesatkan, dalam Matius 21:21 “Sesungguhnya Aku berkata kepadamu,
Jika engkau memiliki iman dan tidak bimbang, engkau bukan hanya akan melakukan yang Kuperbuat pada
pohon ara itu, tetapi jika engkau juga berkata kepada gunung ini, Terangkatlah dan tercampaklah ke laut,
itu pasti terjadi.” Tuhan menginginkan kita mempunyai iman yang kuat, tidak sedikit orang yang goyah
dengan keyakinan yang berlebih akan ilmu pengetahuan. Era postmodern membawa suatu paham
relativisme yang membuat orang orang mempertanyakan mengenai keabsolutan dari sebuah kebenaran.
Paham tersebut bertentangan dengan paham Alkitab yang adalah sebuah kebenaran absolut. Dalam
Amsal 3:5 “Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada
pengertianmu sendiri.” Dunia postmodern dan bahkan gereja masa kini tidak jarang tanpa sadar
melakukan hal ini, mereka lebih percaya pada kemampuan sendiri dibandingkan mengandalkan Tuhan.
Tantangan memberitakan misi Kristus menjadi agak sulit karena hal tersebut, namun janji Tuhan akan
selalu Ia tepati seperti dalam Lukas 4:18 “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku,
untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku” dan dalam
Matius 28:20 “dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan
ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” Keyakinan iman bahwa Tuhan
akan menyertai dan memapukan kita dalam menjalankan misi dimanapun dan kapanpun sudah
seharusnya kita yakin akan janji Tuhan.

Dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) gereja harus ikut menyesuaikan
dan beradaptasi, ditambah lagi dengan adanya wabah pandemi virus covid-19 yang mengglobal, gereja
masa kini siap tidak siap sudah harus menjalar measuk dan memanfaatkan hal tersebut untuk tetap
menjalankan misi kerajaan Allah. Kolose 1:16 (TB) karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu,
yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana,
maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk
Dia.” Segala achievement (pencapaian) di dunia ini haruslah berkait dengan kekekalan sesuai dengan
prinsip Alkitab. Tuhan yang mengadakan era saat ini, maka dari itu kita harus memanfaatkannya untuk
kemuliaan Tuhan juga. Melalui postmodernisme terdapat dampak positif bagi Kekristenan yaitu membuka
mata gereja menyadari pentingnya networking yaitu membangun jaringan pelayanan sebagai tubuh
Kristus (corporate body) guna memenangkan dunia bagi Kristus. Gereja juga disadarkan akan tugas
panggilannya yang hakiki yaitu menegakkan dan melebarkan kerajaan Sorga dengan menaklukkan kuasa
dan kerajaan Iblis melalui kuasa Injil Yesus Kristus yang mulia tersebut (Mat. 28:18-20; Mrk. 16:15-18).
Gereja juga harus hidup berbagi dalam problem-problem sekuler dari kehidupan manusia biasa, bukan
dengan menguasai melainkan dengan membantu dan melayani. Ungkapan ‘the church for others’ dianut
makin luas dengan dasar yang jelas dari PB yang menggambarkan Yesus sebagai seorang yang mencuci
kaki murid-murid-Nya yang menjadi simbol dari maksud kedatangan-Nya di dunia, yaitu “memberikan
nyawa untuk banyak orang” (Mrk 10:45). Sebagai orang Kristen kita bertugas membebaskan diri dalam
lingkaran posmodernisme tetapi dalam kebebasan rencana Allah: Richard B. Hays mengatakan orang
Kristen dipanggil menjadi sempurna seperti sebuah kota terletak di atas gunung. Orang Kristen dipanggil
untuk menterjemahkan Taurat dan melakukannya sepanjang hari. Orang Kristen dipanggil menerima
orang berdosa, bergaul, dan memenangkan mereka. Terdengar mudah untuk memenangkan orang
berdosa, namun tantangan akan tetap selalu ada terlebih di era postmodern, gereja masa kini harus lebih
memperkokoh iman dan bergerak lebih gesit dengan optimisme.

Misi berarti keseluruhan tugas yang telah Allah berikan kepada greja demi keselamatan Dunia, tetapi
selalu terkait dengan suatu konteks khusus kuasa jahat, keputusasaan Dan ketersesatan (sebagaimana
yang didefinisikan Yesus tenang misi-Nya menurut Lukas 4:18). Misi mencakup smua kegiatan yang
menolong membebaskan manusia dari perbudakannya di hadapan Allah yang sedang datang, perbudakan
yang meluas dari kebutuhan ekonomi sampai keberadaan tanpa Allah. Misi adalah gereja yang di utus ke
dalam dunia, untuk mengasihi, melayani, memberitakan,mengajar, menyembuhkan, membebaskan.

Anda mungkin juga menyukai