DOSEN :
PDT. DR. DENNY NAJOAN S.TH, M.SI
DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK I :
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan kita Yesus Kristus yang karena oleh
penyertaan-Nya sehingga makalah dari tugas mata kuliah Misi dalam Masyarakat Majemuk
tentang Pergeseran Paradigma Misi dalam Sejarah yang kami susun boleh terselesaikan dengan
baik. Kiranya Pdt. Dr. Denny Najoan S.Th, M.Si selaku dosen pembimbing kami di mata kuliah
Misi dalam Masyarakat Majemuk ini bisa membimbing kami dalam mengerjakan makalah ini.
Dalam pembuatan tugas makalah ini, kami menemukan beberapa masalah dan rintangan,
sehingga dalam pembuatan makalah ini kami belum dapat dikatakan sempurna. Untuk itu kami
memohon maaf kepada dosen dan teman-teman apabila terdapat kekurangan dan kesalahan dalam
pengetikkan tugas ini.
Kami dari kelompok meminta kritik dan saran, agar supaya kami dapat memperbaiki tugas
yang lainnya. Kiranya Tuhan Yesus akan menolong kita dan memberkati kita semua.
Kelompok 1
BAB I
PENDAHULUAN
Pergeseran paradigma misi salah satunya disebabkan karena munculnya krisis yang
menyebabkan perubahan yang teramat cepat seperti perkembangan ilmu dan teknologi yang
menyuburkan sekulerisme, negara barat bukan hanya milik Kristen karena agama lain juga
berkembang dengan pesat di barat. (Widi Artanto: 1997) Kemajemukan bangsa Indonesia terutama
dalam bidang agama tidak hanya sebatas kebanggaan karena beragamnya agama, lebih dari itu
agama harus memiliki fungsi dalam menyelesaikan berbagai permasalahan umat manusia. Dengan
kata lain, agama harus memiliki kontribusi dalam menegakkan nilai-nilai kemanusiaan seperti
peran agama dalam mengurangi jumlah angka kemiskinan, menurunkan angka kekerasan,
meminimalisir kerusakan lingkungan, menghapuskan ketidakadilan, menyelesaikan masalah
gender dan membantu orang yang dimarjinalisasi dan didiskriminasi hak-hak asasinya (Th
Sumartana: 1998). Gereja sebagai institusi yang memiliki misi harus dapat berpartisipasi dalam
meletakkan landasan moral, etik dan spiritual kepada pembangunan nasional. Gereja tidak boleh
merasa nyaman dengan kurungan emas Anugerah Allah dan bersembunyi dalam
pernyataan bahwa Gereja tidak masuk dalam perpolitikan dan hanya mengurus kehidupan
rohani (John Campbell-Nelson: 1995). Bonhoeffer menegaskan bahwa Gereja adalah “the church
for others”. Gereja harus mampu menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan
kehidupan manusia yaitu membantu dan memberikan pelayanan bukan dengan menguasai. Hal ini
harus dilakukan agar gereja terhindar dari stigma “humanis liberal borjuis” yang telah diubah
menjadi “the church with others”. Gereja memiliki nilai essensial sebagai misi dan keberadaannya
adalah demi misi (Widi Artanto:1997). Semua manusia termasuk orang awam memiliki tugas
pengutusan, tidak terbatas pada gereja, karena pada dasarnya misi adalah milik Allah yang
ditegaskan dengan Missio Dei atau pengutusan dari Allah yang menghendaki
keselamatan bagi semua orang. Jadi gereja hanya mendapat misi dan bukan pemilik misi (J B
Banawiratma: 2006).
Suatu pemahaman tentang misi Gereja tidak terbentuk dengan sendirinya, tetapi sangat ditentukan
oleh teologi misi yang menjadi dasar dari pemahaman itu. Di balik pemahaman misi selalu terdapat suatu
paradigma yang mempengaruhi dan menentukannya karena dalam kenyataan tidak hanya terdapat satu
teologi misi. Dengan kata lain, dalam sejarah Gereja telah muncul beberapa paradigma misi yang
menentukan bagaimana misi dipahami dan dilaksanakan oleh Gereja yang meyakini dan hidup dalam
paradigma misi yang dinilai relevan dalam kurun waktu tertentu.
Paradigma yang mempengaruhi dan menentukan pemahaman misi itu dapat disebut paradigma isi.
Adapun istilah paradigma itu sendiri mempunyai pengertian ‘an entire constellation of beliefs, values,
techniques, and so on shared by the members or a given community’ (‘keseluruhan konstelasi dari
keyakinan, nilai-nilai, teknik-teknik yang dipahami bersama oleh anggota-anggota suatu komunitas’).
Rumusan dari Thomas Kuhn ini kemudian dirumuskan dengan lebih singkat oleh Hans Kueng sebagai
interpretative models, explanatory models, atau models for understanding. Dengan demikian, paradigma
misi dapat dirumuskan sebagai model interpretasi dan pemahaman yang mempengaruhi, bahkan
menentukan keyakinan dan nilai serta teknik-teknik misi yang dipahami oleh Gereja sebagai suatu
komunitas dalam era tertentu. Namun, dalam kenyataannya, tidak sesederhana seperti yang dirumuskan di
atas. Munculnyua suatu paradigma misi sangat di tentukan oleh perubahan dan pergeseran paradigma
teologi. Padahal, perubahan dan pergeseran paradigma teologi tidak persis sama seperti dalam ilmu
pengetahuan seringkali terjadi secara revolusioner. Seperti dalam ilmu alam, paradigma Copernican diganti
oleh Newtonian dan kemudian digeser lagi oleh Einsteinian. Bial terjadi pergeseran, maka paradigma yang
lama sudah tidak dianut lagi oleh para ilmuwan yang sudah bekerja dalam paradigma baru. Tidak demikian
halnya dalam pergeseran paradigma teologi karena munculnya suatu paradigma yang baru tidak sama sekali
menghapus elemen-elemen dari paradigma yang lama. Hal ini juga harus disadari dalam memahami
paradigma misi.
Mempelajari pergeseran paradigma misi akan membantu usaha memahami bagaimana orang-orang
Kristen atau Gereja memahami dan melaksanakan misi dalam pelbagai era dalam sejarah kekristenan. Hal
itu juga akan menolong Gereja pada masa kini untuk memiliki pandangan yang lebih mendalam tentang
bagaimana Gereja pada masa kini harus memberi arti terhadap misi karena setiap usaha menginterpretasikan
misi di masa lalu secara tidak langsung adalah usaha untuk menginterpretasikan misi pada masa kini dan
masa depan. Di sinilah kita melihat relevansi dari pemikiran misiologis David J. Bosch, terutama mengenai
pergeseran paradigma misi dalam sejarah Gereja sampai tahun 1990-an.
David J. Bosch adalah seorang profesor dan dosen misiologi di University of Africa, Petroria, Afrika
Selatan (beliau meninggal dunia pada akhir tahun 1993). Pemikiran misiologinya menjadi terkenal setelah
dua buah bukunya diterbitkan. Buku yang pertama terbit pada tahun 1980 dengan judul Witness to the
World, The Christian Mission in Theological Perspective (Marshall, Morgan & Scott, London, 1980) dan
yang kedua terbit tahun 1991 dengan judul Transforming Mission, Paradigm Shifts in Theology of Mission
(Orbis Books, Maryknoll, New York, 1991).
Bukunya yang kedua bukan suatu revisi atau seri baru untuk buku yang pertama karena konteks tahun 1980
sudah begitu berbeda dengan awal tahun 1990-an. Dalam bukunya yang kedua inilah kita mendapat
gambaran yang sangat lengkap tentang pergeseran paradigma misi.
Untuk menunjukkan pergeseran paradigma misi dalam sejarah Gereja, secara garis besar David J.
Bosch mengikuti pembagian era yang dibuat oleh Hans Kueng sebagai berikut.
1) Paradigma Misi Apokaliptik dari Gereja Perdana
2) Paradigma Misi Helenistik dari Periode Patristik
3) Paradigma Misi Gereja Katolik Abad-Abad Pertengahan
4) Paradigma Misi Reformasi Protestan
5) Paradigma Misi Era Pencerahan
6) Paradigma Misi Ekumenis.
Setiap era memiliki konteks masing-masing dan klaim bahwa pemahaman iman dan misi Gereja saat
itu setia kepada kehendak Allah. Mereka percaya bahwa pemahaman iman mereka tepat dan ‘objektif’.
Itulah sebabnya setiap era memiliki paradigma yang berbeda secara kualitatif seperti tampak, misalnya,
dalam perbedaan dunia kekristenan Helenistik dari abad II sampai IV yang begitu berbeda dengan dunia
kekristenan dari Gereja perdana. Perbedaan itu terjadi karena masing-masing era melakukan refleksi
teologis dengan paradigma yang telah bergeser dari paradigma yang dipakai oleh era sebelumnya.
Pergeseran itu terjadi karena suatu krisis dalam teologi dan kehidupan Gereja. Krisis itulah yang
mengantar suatu perubahan atau pergeseran paradigma seperti, misalnya, yang terjadi awal abad-abad
pertengahan, perpisahan Gereja Timur dan Barat, serta krisis yang melatarbelakangi terjadinya reformasi.
Demikian pula dengan paradigma misi Ekumenis yang muncul karena suatu krisis. Krisis itu tidak hanya
terjadi di dalam tubuh Gereja dan masyarakat Kristen (misalnya, berakhirnya dominasi Gereja dan teologi
Barat, kesadaran Gereja dan teolog-teolog Dunia Ketiga untuk merumuskan hakikat keberadaan dan misi
Gereja di Dunia Ketiga), tetapi juga di dalam kehidupan dunia yang ternyata sangat mempengaruhi misi
Gereja (misalnya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bersifat ambigius, kesenjangan
sosial-ekonomi-politik yang menyebabkan penderitaan sebagian besar umat manusia, dan pluralitas agama
di Dunia Ketiga, Eropa, serta Amerika). Semua itu mendorong Gereja dan teolog Dunia Ketiga (tetapi juga
Gereja dan teolog Barat itu sendiri) untuk merumuskan ulang pemahaman dan penghayatan Gereja terhadap
keberadaan dan misinya ditengah-tengah dunia ini.
Pergumulan teologis yang didorong oleh krisis itu memunculkan paradigma teologi, termasuk
didalamnya teologi misi yang juga memberi pengaruh pada pemahaman dan pelaksanaan misi. Hal itu
terjadi karena teologi dan praktik misi saling mempengaruhi. Interaksi yang menentukan antara misi dan
teologi sudah tampak sejak zaman PB, terutama dilihat dalam diri Paulus. Teologi Paulus sangat ditentukan
praktek misinya dan sebaliknya. Teologi memperhatikan anggapan dan prinsip dasar yang memberi arah
kepada aktivitas Gereja. Anggapan dan prinsip dasar itu selalu hadir dalam aktivitas Gereja walaupun tidak
selalu diekspresikan dan diformalisasikan secara eksplisit.
Di belakang setiap usaha misi dalam pelbagai periode selalu terdapat refleksi teologis walau tidak
selalu secara formal dinyatakan. Nomission is possible without theology!Sering kali memnag terjadi
kesenjangan dan bahkan ketegangan, namun relasi semacam itu bersifat kreatif sehingga interaksi antara
teologi dan praktek misi tetap merupakan kenyataan. Yang mungkin terjadi adalah teologi tanpa misi atau
usaha berteologi tanpa menghubungkannya dengan misi Gereja. Namun, teologi semacam itu tidak dapat
lagi disebut teologi yang autentik karena teologi yang autentik hanya berkembang di mana Gereja bergerak
dalam relasi dialektis dengan dunia; atau dengan kata lain, teologi berkembang di mana Gereja secara aktif
menjalankan misinya ditengah-tengah dunia. Oleh karena itu, paradigma teologi misi tidak terpisahkan dari
paradigma misi karena model-model pemahaman dalam teologi misi menentukan model-model praktek misi
Gereja.
Namun, dalam hal ini harus disadari bahwa paradigma dalam teologi misi tidaklah bersifat tunggal
seperti paradigma dalam ilmu pengetahuan alam. Yang menjadi kenyataan (seperti sudah disinggung pada
awal bab ini) bukan suatu teologi misi dengan satu paradigma misi, melainkan teologi-teologi misi dengan
beberapa paradigma misi. Enam era yang disebutkan oleh Hans Kueng masih menunjukkan paradigma
makro yang menyatakan suatu rekonstruksi teologi secara keseluruhan, namun di dalamnya masih dibagi
lagi dalam pelbagai bidang. Juga harus disadari bahwa transisi dari suatu paradigma ke paradigma yang lain
tidak terjadi tiba-tiba karena ketika paradigma yang baru muncul, yang lama tetap hidup. Bahkan, ketika
suatu paradigma sudah muncul dengan jelas, masih dapat diamati adanya paradigma lain yang hidup di
tengah-tengah pergumulan teologis baik secara akademis maupun dalam praksis Gereja. Kenyataan ini tidak
menggembirakan bahkan seringkali membingungkan, tetapi tidak ada jalan lain kecuali menentukan sikap
dengan memilih paradigma yang diyakini dan bekerja dengan paradigma itu.
Mengenai pemilihan paradigma teologi ini, Hans Kueng memperingatkan bahwa seorang teolog
atau sekelompok teolog tidak dapat secara mudah menciptakan suatu paradigma karena suatu paradigma,
yang muncul dan berkembang secara komplek, menyangkut berbagai faktor sosial, politik, eklesiologis, dan
teologis yang saling terkait. Proses yang begitu kompleks itu tidak selalu terjadi secara dramatis seperti
dalam kasus Luther. Namun, perubahan yang terjadi bukanlah perubahan secara berangsur-angsur,
melainkan suatu perubahan yang drastis. Dalam proses perubahan itulah, para teolog, cepat atau lambat,
akan menemukan dirinya sendiri sedang diperhadapkan dengan pertanyaan apakah paradigma teologinya
sendiri tetap berkaitan dengan paradigma yang sedang berlaku saat itu. Pada saat itulah ia harus memilih
paradigma yang dengannya ia ingin bekerja dengan loyalitas, keterikatan, serta perhatian (concern) yang
penuh.
a. Teologi yang didominasi pemikiran Yunani dan Teologi Ortodoks Timur menghadirkan suatu
paradigma yang sangat berbeda.tradisi Kristen dibongkar dari bawah dan menghasilkan suatu cara
berteologi dengan memakai pemikiran Yunani. Helenis iman Kristen berjalan begitu jauh sehingga
Gereja saat itu tidak hanya mengahadapi kekristenan yang bersifat semitris ekstrem dari kelompok
Ebionit dan Montanis, tetapi juga kekristenan yang bersifat Helenistis Ekstrem yang tampak dalam
Gnostisisme.
b. Karakter misi yang penting pada era itu tampak dalam ekspresi iman Gereja Timur yang memahami
Gereja sebagai tanda, symbol dan sakramen dari keilahian dalam hidup manusia untuk mengarahkan
hati manusia kepada Allah dalam suatu dunia yang fatalistis.kasih Allah sebagai dasar misi lebih
daripada keadilan-Nya adalah suatu pesan revolusioner dalam dunia yang apatis.
c. Gereja Ortodoks adalah tradisi, doxology, fathers karena Gereja dianggap sebagai benteng yang
harus mempertahankan doktrin yang benar,Gereja lalu ‘tumbuh dari dalam’, a-politis dan tidak punya
perhatian terhadap mereka yang ada diluar Gereja. Kemanapun Gereja sebagai institusi telah menutup
keselamatan bagi dunia luar. Istilah Kristen menjadi ‘kamar tersendiri’ yang tertutup dan dinyatakan
hanya dalam upacara sakramen dan liturgi. Semangat eskatologis diganti oleh berbagai fase Pendidikan
iman, yaitu hidup baru dan tahan-tahap selanjutnya sampai akhirnya berjumpa dengan Allah.
Gereja atau umat Allah diharapkan selalu berada dalam perubahan positif, agar tegar dan siap terus
melaksanakan tanggung jawab vertikal dan horizontalnya. Sekalipun ada tantangan seperti konflik internal
dan eksternal karena kebangkitan agama-agama dan kesadaran masyarakat agamawi, namun masih ada
harapan bagi umat Allah di Indonesia. Dua prinsip yang perlu diingat dan diterapkan. Gereja dapat bekerja
sama dengan orang yang beragama lain dalam bidang sosial kemasyarakatan. Biarkan istilah “Agama ku
adalah agama ku, agama mu adalah agama mu” berada dalam kehidupan masyarakat kita sampai ada
pengakuan transformatif, “Allah mu adalah Allah ku, Kristus mu adalah Kristus ku.” Yang kedua,
Transformasi hidup datang dari TUHAN Allah, yang telah menyatakan diri-Nya dalam
Yesus Kristus. Usaha paksa agamawi tidak cocok dengan kebenaran Alkitabiah dan keyakinan
manusia. Ingatlah perkataan Yesus Kristus, Perantara Yang Maha tahu, Juruselamat manusia, sesuai dengan
tulisan rasul Yohanes: “Tidak ada seorang pun yang dapat datang kepada-Ku, jikalau ia tidak ditarik oleh
Bapa yang mengutus Aku, dan ia akan Ku bangkitkan pada akhir zaman” (Yoh. 8:44).
Jadilah orang yang beribadah dalam “Ibadah yang sejati” dan berubah oleh pembaruan ilahi untuk
mengetahui kehendak Allah, sehingga pikiran dan tindakan kita menyenangkan hati-Nya. Jadilah
komunikator Injil melalui pelayanan professional-kontekstual. Injil harus diberitakan dalam konteks
khusus, sebab itulah tanggung jawab spiritual-sosial kita, dengan keyakinan bahwa iman timbul dari
pendengaran tentang firman Kristus.