Anda di halaman 1dari 9

MISI DALAM MASYARAKAT MAJEMUK

Misi Dalam Pemahaman Yang Lama

Kelompok 4
Audina Olifia Sulangi
Kurnia Varadis Singka
Geovane Tarumingkeng
Michael Regoh

Dosen :
Pdt. Dr. Denny Najoan, S.Th, M.Si

FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA TOMOHON
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terdiri atas kelompok-kelompok, yang
tinggal bersama dalam suatu wilayah, tetapi terpisah menurut garis budaya masing-masing.
Kemajemukan suatu masyarakat patut dilihat dari dua variable yaitu kemajemukan budaya
dan kemajemukan social. Kemajemukan budaya ditentukan oleh indicator-indikator genetic
social (ras, etnis, suku), budaya (kultur, nilai, kebiasaan), bahasa, agama, kasta, ataupun
wilayah. Kemajemukan social ditentukan indicator-indikator seperti kelas, status, lembaga,
ataupun power. Keragaman suku, bangsa, Bahasa, ras, dan agama merupakan sesuatu hal
yang tidak terelakan di Indonesia. Sejak zaman dahulu Indonesia dikenal sebagai masyarakat
yang majemuk. Keragaman atau perbedaan yang diamanatkan Yang Kuasa ini patut untuk
disyukuri dan dibanggakan. Tetapi, era ini perbadaan menjadi suatu masalah serius bagi
sebagian kaum yang hidupnya tak puas bila damai sejahtera dalam keberagaman.
secara etimologis pengertian misi/penginjilan dalam Alkitab, baik dalam kitab-kitab
Perjanjian Baru, maupun dalam kitab-kitab Perjanjian Lama, kata ‘penginjilan’ tidak ditemukan
secara hurufiah, pada hakikatnya kata ini berasal dari Bahasa Yunani, yaitu ‘evanggeliso’
artinya pengumuman, memberitakan, atau membawa kabar baik dan ‘memproklamasikan injil
atau menjadi pembawa kabar baik di dalam Yesus.
maka pengertian penginjilan secara etimologis adalah satu tugas untuk
mengumumkan atau memberitakan kabar baik, dana tau kabar keselamatan di dalam Yesus
Kristus. Dilakukan dengan cara merukannya seperti seorang utusan raja yang sedang
mengumumkan satu dekrit, yaitu dengan suara yang tegas dan keras, dan dapat juga
dilakukan dengan mengajar seperti kepada seorang murid, dan dengan bersaksi berdasarkan
apa yang dialami oleh pemberita injil tersebut. Tugas penginjilan tidak dapat dibantah dnan
atau dilalaikan karena berita itu menyangkut keselamatan jiwa banyak orang yang dikasihi
oleh pemberi perintah.
Dalam pemahaman misi yang lama, ada usaha untuk memilah-milah dan
menyebutkan beberapa corak misi dalam pemahaman yang lama dan bermaksud agar wajah
(atau wajah-wajah) misi lama itu makin jelas. Wajah misi yang lama tidak dapat digambarkan
sebagai satu wajah saja karena dalam sejarah misi tampak dengan jelas terjadinya
pergeseran paradigma misi, seperti yang sudah digambarkan oleh David. J. Bosch yang
menunjukkan bahwa dalam era tertentu terdapat beberapa tema dan corak yang mempunyai
tekanan berbeda-beda berkaitan dengan pengertian, motivasi, tujuan, dan strategi misi
Kristen pada masa lalu. Dalam kenyataan, aspek-aspek yang ada di dalam tema dan corak
yang berbeda-beda itu sering kali saling berkaitan. Seperti akan terlihat nanti bahwa aspek
politik dalam corak misi yang berwajah kolonial ada hubungannya dengan arogansi kultural
dalam corak misi yang dipahami sebagai civilization.
Ditengah perbedaan corak/wajah –wajah itu, yang pasti bahwa kahadiran misi yaitu
untuk membawa kabar baik, kabar sukacita, kabar keselamatan bagi setiap orang, agar
mereka semua tahu bahwa Yesus Kristus adalah Juruselamat yang telah menebus dosa-dosa
umat manusia.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Misi dalam Pemahaman yang Lama


Usaha untuk memilah-milah dan menyebutkan beberapa corak misi dalam
pemahaman yang lama di bawah ini dimaksudkan agar wajah (atau wajah-wajah) misi lama
itu makin jelas.
1. Foreign Mission yang Berwajah Kolonial
“Pemahaman misi yang paling tajam dikritik oleh para teolog Asia adalah misi yang berwajah
kolonial Barat. Aloysius Pieris, misalnya, dengan tajam mengatakan:
Zending dan misi pada masa kini membuat kesalahan yang sama, yakni melalui rencana-
rencana pengembangan yang padat menempatkan Gereja-gereja Asia dalam oasis-oasis
Barat, yaitu dalam proyek-proyek besar bersifat pendidikan pribadi atau pusat pusat
teknologi dan pertaruan, yang diayai oleh bantuan dari luar negeri."
Pemahaman 'foreign mission' ini berakar dari pemahaman mengenai misi yang
menekankan segi geografis dalam menafsirkan 'Pergilah . dari Matius 28:18-20 yang
dianggap sebagai amanat misi paling penting dari Alkitab. Perintah itu dimengerti sebagai
perintah untuk pergi meninggalkan negeri sendiri menjadi misionaris',” membaptis, mengajar,
dan menjadikan murid (mengkristenkan) semua bangsa, Pada abad-abad yang lampau,
Gereja-gereja dan agen-agen misi Kristen Barat dengan kacamata mereka melaksanakan
misi dengan mengirimkan misionaris-misionanis sebagai usaha utama ke negeri lain yang
masih kafir atau menyembah berhala. Negeri lain itu adalah bangsa-bangy Asia, Afrika, dan
Amerika Latin yang pada saat yang sama menjag wilayah atau koloni yang dijajah oleh
negara-negara Barat. Di balik pemahaman misi semacam itu tersembunyi suatu ide bahwa
'Western home' sudah di bawah anugerah keselamatan Allah dan karena itu misi hanya
ditujukan kepada wilayah Asia dan Afrika yang dihuni oleh orang yang 'belum diinjili' dan
"belum berbudaya'. Itulah sebabnya, pengertian unevangelized dan uncivilized sering kali
dianggap sinonim
2. Misi 'Civilization'
Titik berangkat yang penting dari teologi tradisional adalah selalu memperlakukan
kebudayaan Barat sebagai suatu kesatuan yang abstrak dalam relasinya dengan Injil dan
terkandung di dalamnya suata sikap yang menganggap kebudayaan lainnya sebagai sesuatu
yang kontradiktif serta bertentangan dengan Injil.
Corak misi semacam itu menghasilkan Gereja-gereja Asia dan bagian Dunia Ketiga
lainnya tidak berakar dalam kehidupan masyarakatpya sendiri, 'Sterilisasi' kebudayaan dalam
kehidupan orang-orang Kristen menimbulkan sikap negatif terhadap perkembangan
kebudayaan sendiri dan kesulitan untuk menghargai kebudayaan yang dihayati oleh orang
lain. Gereja dan teolog Ama harus bersusah payah untuk menemukan identitas Asia dulam
praksis Gereja dan membangun teologi misi yang kontekstual.
Pemahaman dan sikap misi terhadap kebudayaan makin tajam bila dihadapkan
dengan agama-agama non-Kristen. Agama-agama 4 Dunia Ketiga dianggap agama-agama
palsu. A.H. Francka seperti dikutip Wessels mengatakan, "Para penginjil diutus untuk
memberantas agama kafir di India, bukan untuk menyebarkan kekafiran yang tidak ada
gunanya di Eropa.” Hal ini menyangkut suatu keyakinan tradisi. nal bahwa di dalam agama-
agama lain tidak mungkin ditemukan kebenaran karena kebenaran Allah hanya ada dalam
kekristenan.
3. Misi Penaklukan (Penganut) Agama-Agama Lain
Semangat misi untuk menaklukkan agama-agama lain membentuk misionaris yang
militan. Semangat militan ini berakar secara historis sejak abad Pertengahan ketika Gereja
dalam pergulatan kekuasaan melawan negara dan suatu ketika memenangkannya serta
memuliki kekuasaan politis. Dengan cara tertentu, pergulatan kekuasaan yang terjadi di Barat
itu dibawa dalam usaha misioner ke Asia seperti yang tampak dalam sejarah misi ke Cina.
Injil dibawa ke Cina dengan kekuatan politis Barat sehingga Nasionalis Anti Kristen di Cina
menganggap misi militan dari Barat sebagai bagian tidak terpisahkan dari invasi militer asing.
Kata kunci yang dipegang dalam misi semacam ini adalah pertobatan dari orang-orang kafir
di Cina."
Dasar Alkitab yang mempengaruhi pemahaman misi yang bertujuan menaklukkan
orang-orang kafir dapat dilihat dalam penafsiran terhadap peperangan Israel melawan
bangsa-bangsa kafir yang dianggap sebagai musuh mereka dan sekaligus musuh Yahwe.
Peperangan itu adalah perang suci karena Yahwe memihak Israel yang sedang menuju dan
kemudian harus mempertahankan tanah perjanjian. Pemahaman dan tradisi perang suci
itulah yang terua berlanjut dalam sejarah Gereja Kristen, khususnya dalam Perang Salib pada
Abad Pertengahan dan masih tampak dalam ekspansi misi Gereja pada era modern.
4. Misi sebagai Church Planting dan Church Growth
Pada abad ke-19 yang sering disebut sebagai the great century d mission, gerakan
misi menekankan pertumbuhan Gereja sebagai tujuan utama misi. Di kalangan Gereja
Katolik, pemahaman ini sudah ada sejak Tomas Aquinas yang mengajarkan dalam Summa
Theological pertumbuhan Gereja dengan struktur hierarki dan monarkinya sebagai tujuan
misi. Pemahaman ini terus berlanjut dan tampak dalam enklisik tentang misi dari Paus Pius
XII (Juni 1961), Evangeli Praeconas, yang menyatakan, "The final goal toward which we must
strive and which must ever remain before our eyes is the firm establishment of the Church
among ths peoples, each (local church) having its own hierarchy chosenfrom the ranks of the
native clergy.”” Dalam deklarasi Vatikan mengenai misi, Ad Gentes, masih tampak uraian
yang senada:
Prakarsa-prakarsa khusus, yang ditempuh oleh para pewarta Injil utusan Gereja
dengan pergi ke seluruh dunia untuk menunaikan tugas menyiarkan Injil dan menanamkan
Gereja di antara para bangsa atau golongan golongan yang belum beriman akan Kristus,
lazimnya disebut "misi". Misi itu dilaksanakan melalui kegiatan misioner, dan kebanyakan
diselenggarakan di kawasan-kawasan tertentu yang diakui oleh Takhta suci. Tujuan khas
kegiatan misioner itu mewartakan Injil dan menanamkan Gereja di tengah bangsa-bangsa
dan golongan-golongan, tempat Gereja berakar.
Sesudah Vatikan II, tetap ada kecenderungan untuk mempertahankan pemahaman
misi yang menekankan penanaman Gereja sebagai tujuan misi di samping arah lain yang
menekankan misi sebagai panggilan untuk terlibat dalam peristiwa historis dalam rangka
kedatangan Kerajaan Allah.
Di kalangan Protestan, pandangan Gisbertus Voetius (abad ke-16) yang diikuti H. A.
van Andel dalam De Missionibus ecclesiasticis (1912), seorang misionaris yang merintis misi
di Jawa Tengah, menegaskan tiga tujuan utama misi, yaitu (1) pertobatan dari kekafiran
sebagai tujuan pertama, (2) penanaman Gereja (gereja-gereja) sebagai tujuan selanjutnya:
(3) kemuliaan dan perwujudan anugerah ilahi sebagai tujuan akhir yang tertinggi. Dalam
pemahaman misi semacam ini, tujuan praktis misi adalah bagaimana orang yang tidak
percaya menjadi anggota Gereja. Kemudian, J.H. Bavinck, dalam Introduction to the Science
of Mission (1962), tetap mempunyai pandangan yang sama dengan sedikit menambahkan
bahwa ketiga tujuan itu tidak terpisahkan. Ketiganya merupakan aspek-aspek tujuan Allah
sendiri untuk memperluas Kerajaan Allah. Jadi, pemahaman misi sebagai usaha penanaman
Gereja (church planting) berlanjut menjadi usaha untuk menumbuhkan Gereja (church
growth) dengan tekanan terhadap pertambahan jumlah anggota, Sampai sekarang,
pemahaman ini terus dikembangkan oleh School of World Mission and Institute of Church
Growth dengantokoh utamanya Donald McGavran. Pertumbuhan Gereja tidak hang menjadi
tujuan misi, tetapi lebih dari itu, usaha misi harus dijalankan dengan prinsip-prinsip
pertumbuhan Gereja.
Berkaitan dengan hal ini, C.S. Song juga menunjukkan pemahang misi Kristen Barat
pada masa lalu yang dilaksanakan dengan asumsi bahwa misi Kristen harus merupakan
ekspresi dari peningkatan fisik dan ekspansi kuantitas Gereja yang menjurus kepada
kepentingan denominasionalisme. Misi kemudian menjadi semacam kompetisi penuh
kecemburuan antardenominasi Gereja yang melancarkan foreign mission dari Barat. Misi
seperti ini akhirnya menjadi ecclesia gloria yang melahirkan dan menumbuhkan Gereja-gereja
introvert di Asia."

5. Misi Individualistis
"Pemahaman tentang Injil yang dibawa para misionaris Barat ke Asia adalah
pemahaman yang dibatasi oleh pengertian-pengertian yang pietistis dan individualistis.” Injil
yang dibawa ke Asia adalah Ii yang mewartakan 'pembebasan', tetapi yang dimaksudkan
ternyata adalah pembebasan pribadi saja. Para misionaris menekankan keselamatan dalam
hubungan pribadi dengan Kristus sebagai tobat.“ Usaha misi semacam ini didorong oleh
pemahaman misi sebagai usaha untuk mempertobatkan manusia secara individu dari
ancaman hukuman ke rena dosa-dosa pribadi. Tekanan pada individu tidak bisa dipisahkss
dari tekanan pada keselamatan jiwa atau keselamatan rohani. Akar pandangan ini bisa ditarik
jauh sampai ke belakang, yaitu pada era patristik abad ke-2 yang dipengaruhi oleh pemikiran
Yunani mengenai dikotumi tubuh dan jiwa. Pandangan dikotomis tersebut juga mendapat
tempat dalam era Pencerahan yang dicirikan dengan individualisme dan kemudian
pengaruhnya tetap berlanjut dalam kehidupan orang orang Kristen pada zaman
postmodernisme. Situasi ini mengingatkan kembali pada kenyataan bahwa pergeseran
paradigma teologi tidakpernah tegas seperti dalam dunia ilmu pengetahuan. Pandangan
teologis pada era yang sudah terlampaui sering kali masih muncul dalam era yang baru.
Sebagai konsekuensi dari pemahaman misi individualistis tersebut, Injil yang
dibawakan para misionaris tidak pernah atau sedikit sekali menyinggung masalah sosial-
politik. Hal ini juga berkaitan dengan pemboncengan misi Kristen Barat dalam ekspansi
kolonial sehingga tidak mungkin para misionaris 'merugikan' misi politis yang sedang
dijalankan pemerintah penjajah. Lagi pula, badan-badan Pekabaran Injil yang bekerja di Asia
membawa muatan pietisme yang kuat dalam usaha misi mereka. Inilah salah satu ciri periode
1792-1914 dalam usaha usaha misi ke Asia, yaitu badan-badan zending Protestan dari Barat
yang anggota-anggotanya adalah orang-orang Kristen secara pribadi dan kebanyakan
mereka adalah orang-orang Pietis dan Revivalis.? Hal tersebut juga tampak pada badan-
badan Pekabaran Injil yang berkarya di Indonesia. Sebut saja NZG (Nederlandsch Zendeling
Genootschap) yang tidak bertujuan mendirikan dan mengembangkan Gereja, tetapi
menanamkan iman Kristen yang sejati di dalam hati manusia. Tekanan pada 'hati' manusia
ini berarti juga tekanan pada keselamatan dan iman individu. Pengaruh yang lebih jelas
tampak dalam Pekabar-pekabar Injil Tukang yang dipelopori Gossner dari Jerman dan
Heldring dari Belanda yang memiliki semangat berkobar-kobar untuk memenangkan jiwa dan
berkorban bagi Kristus. Dua contoh di atas masih bisa dilengkapi dengan NZV (Nederlandsch
Zendingsvereeniging), UZV (Utrechtsche Zendingsvereeniging), dan Badan-Badan PI yang
memakai nama Gereformeerd serta badan-badan PI lainnya yang sedikit banyak dipengaruhi
oleh Pietisme, Bahkan, menurut catatan Leonard Hale, pengaruh Pietisme juga kelihatan
dalam diri tokoh-tokoh Pekabaran Injil yang berkarya di Indonesia seperti Joseph Kam,
Johann Friedrick Riedel, dan Ingwer Ludwig Nommensen walaupun tokoh terakhir ini
membuka diri terhadap keterlibatan dalam masalah politik."
C.S. Song menyatakan bahwa usaha misi di Asia yang bertujuan untuk
mempertobatkan jiwa-jiwa individu orang kafir di Dunia Ketiga, menjadi alasan yang kuat bagi
orang-orang Asia non-Kristen anti, memandang Western foreign mission itu hampir sama
dengan imperialisme spiritual. Usaha misi yang bercorak individualistis ita memperoleh dasar
teologis di sekitar tema penebusan yang menjaga pusat iman Kristen. Misi Kristen selalu
dihubungkan dengan penebung individu manusia oleh kasih dan anugerah Allah. Tema pokok
dalam berita Alkitab secara keseluruhan adalah pendamaian antara Allah dengan individu
manusia dan dunia ini melalui penebusan. C.S. Song menjelaskan hal itu dengan arah untuk
memperluas arti penebusan bagi seluruh ciptaan, namun sifat individualistis dalam misi
Kristen pada masa lalu tetap menjadi kenyataan sejarah yang telah member pengaruh besar
dalam kehidupan Gereja-gereja Asia.

B. Rekonstruksi Misi Kristen di Asia


Bersama dengan C.S. Song dan teolog Asia lainnya, Gereja-gereja Asia sudah sampai
pada keberanian untuk menyatakan bahwa "Era yang lama sudah berakhir dan era baru
sudah tiba!" Foreign mission dengan one way traffic, dari Barat ke Dunia Ketiga, sudah tidak
berlaku lagi bagi Asia. Untuk itu, perlu rekonstruksi misi Gereja di Asia dalam pemahaman,
motivasi, dan tujuan misi. Usaha ini dilakukan oleh para teolog Asia dalam pergumulan
bersama Gereja-gereja Asia dan bahkan didukung oleh teolog-teolog Barat pasca-Perang
Dunia II yang terbuka terhadap dan mendukung perkembangan teologi Dunia Ketiga. Dalam
usaha ini, tentu saja para teolog tidak hanya berbicara tentang misi tetapi tentang teologi
secara keseluruhan. Namun, teologi dan misi di Asia hampir tidak dapat dipisahkan. Bahkan,
C.S. Song menyatakan bahwa tekanan teologi Asia bukan pada konsensus konsensus
doktrinal melainkan pada misi. "For us, to be engaged in mission in the midst of people
suffering and hoping is the mayor preoccupation,"
BAB III
PENUTUP

Refleksi Teologis
Karena Yesus tinggal di tengah-tengah kemajemukan, maka kita dapat
belajar dari caraNya menghadapi kemajemukan dan dengan orang lain. Dari Yesus
kita belajar bahwa walaupun identitas kita berbeda ( social (ras, etnis, suku), budaya
(kultur, nilai, kebiasaan), bahasa, agama, kasta, ataupun wilayah) merupakan suatu
kenyataan sosiologis, itu bukanlah tujuan dalam dirinya sendiri yang kepadanya segala hal
bergantung. Dalam suatu konteks yang sangat mejemuk, identitas merupakan hal yang
sangat penting. Yesus telah memperlihatkan kepada kita melalui banyak contoh, betapa
kuatnya identitas diriNya.
Yesus hadir lewat misi yang dibawa oleh para misionari, dengan prakarsa-prakarsa
khusus, yang ditempuh oleh para pewarta Injil utusan Gereja dengan pergi ke seluruh dunia
untuk menunaikan tugas menyiarkan Injil dan menanamkan Gereja di antara para bangsa
atau golongan golongan yang belum beriman akan Kristus, lazimnya disebut "misi". Misi itu
dilaksanakan melalui kegiatan misioner, dan kebanyakan diselenggarakan di kawasan-
kawasan tertentu yang diakui oleh Takhta suci. Tujuan khas kegiatan misioner itu mewartakan
Injil dan menanamkan Gereja di tengah bangsa-bangsa dan golongan-golongan, tempat
Gereja berakar. Secara tidak langsung kita memperoleh gambaran bagaimana bermisi.
Dimana misi itu mencakup suatu kemitraan dengan orang lain, karena tidak satu orang pun
dapat melakukan semuanya sendiri.
Dalam konteks masyarakat modern saat ini misi gereja yang bagaimanakah yang
dapat diandalkan untuk menjangkau masyarakat majemuk?. Sebagaimana dikatakan bahwa
Missio Ecclesiae (misi gereja) adalah ‘’menjadikan semua bangsa murid-Nya’’, bangsa yang
dimaksud aladah masyarakat yang majemuk dan hitrogen. Didasarkan pada pengalaman
pelayanan para misionaris terdahulu yaitu rasul-rasul dalam Kisah Para Rasul, khususnya
pada pasal dua, maka ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan oleh kita sebagai
Gereja Yang Misioner Di tengah Masyarakat Yang Majemuk.
- Gereja yang konsisten menyuarakan kebenaran Yesus Kristus dan karya-Nya. Bila
teknologi di masa yang lampau saja misi dapat dimulai dan dijalankan, apalagi
kita yang saat ini sudah ada di era 4.0 yang teknologinya sudah semakin canggih
maka dapat dikatakan bahwa Gereja akan mengalami tangtangan yang sangat
serius dalam pelaksanaan misinya. Dengan demikian konsistensi Gereja
menyuarakan kebenaran Yesus Kristus adalah hal yang paling penting dan paling
dibutuhkan Gereja-gereja Tuhan masa kini.
- Ukuran gereja yang missioner terletak pada keberanian gereja tersebut secara
konsisten dengan penuh hikmat dan bijaksana menyuarakan kebenaran Yesus
Kristus dan karya-Nya di tengah masyarakat yang majemuk dan pluralis.
- Gereja yang konsisten dalam Doa. Pertumbuhan Gereja mula-mula sampai hari ini
tidak dapat dipisahkan dari kekuatan dan ketekunan doa orang yang percaya
kepada Yesus Kristus. Kekuatan dan ketekunan doa orang-orang percaya kepada
Yeus Kristus sangat menentukan visi dan misi Gereja mula-mula, kini dan yang
akan datang. Gereja yang berdoa adalah Gereja yang hidup, Gereja yang berdoa
adlah Gereja yang missioner.
- Gereja yang konsisten membangun kebersamaan dalam kasih. Kebersamaan
dalam sebuah gereja yang missioner harus dijungjung tinggi dan menjadi prinsip-
prinsip pelayanan. Prinsip kebersamaan yang terdapat dalam kitab Kisah Para
Rasul 2 adalah kebersamaan yang saling mengutamakan satu dengan yang lain,
saling mempedulikan satu dengan yang lain. Dengan sederhana dapat
disimpulkan bahwa Gereja yang missioner di tengah masyarakat yang majemuk
dewasa ini adalah gereja yang kuat membangun kebersamaan dengan tekun,
sehati dan tulus dalam kasih. Tanpa topangan tiga hal ini maka kebersamaan
gereja akan rapuh dan mudah digoyahkan.
DAFTAR PUSTAKA

Artanto Widi, Menjadi Gereja Misioner dalam Konteks Indonesia,

Jurnal Misi daalam Masyarakat Majemuk.


https://media.neliti.com/media/publications/326227-misi-dalam-masyarakat-majemuk-
34b84cad.pdf
diakses tanggal 8 maret 2021, 16.40 WITA.

Anda mungkin juga menyukai