PENDAHULUAN
itu ingin dilihat dengan pendekatan ilmu teologi, maka tidak bisa
1
pendekatan konseling pastoral untuk menghadapi masalah nyata
3 Lihat Totok S. Wiryasaputra, Ready to Care (Yogyakarta: Galang Press 2006), 26.
4 Lihat Alfredo P. Cabrera, “Metaphor: Timeless Tool In Counseling For Asian People”
dalam Mesach Krisetya, (ed.), Pastoral Care and Counselling in Pluralistic Society
(Bali: Tanpa Penerbit, 1993), 77.
5 Maksud dari pernyataan ini adalah hendak menegaskan bahwa konseling
pastoral merupakan salah satu bentuk pendekatan yang dapat digunakan oleh
pendeta dalam tugas pelayanannya sebagai pimpinan jemaat. Walaupun
menggunakan konseling pastoral dalam pelayanan kependetaannya, pendeta tidak
secara otomatis disebut sebagai seorang konselor pastoral. Untuk menjadi seorang
konselor pastoral profesional, pendeta harus memiliki pengetahuan dan
keterampilan yang memadai melalui suatu proses belajar konseling pastoral yang
efektif dan ilmiah.
2
harus menggunakan teknik-teknik konseling yang diselaraskan
11,12, 14-15.
8 Lihat Wayne Oates dalam Yakub B. Susabda, Pastoral Konseling Jilid 1. (Malang:
8).12 Bila interaksi timbal balik ini tercipta di antara pendeta dan
11 Hal ini yang menjadi kajian utama dalam Program Kompetensi Konseling
Pastoral sebagai wujud kepedulian Universitas Kristen Satya Wacana (selanjutnya
UKSW) terhadap kebutuhan tenaga-tenaga profesional konseling pastoral di
berbagai bidang pelayanan kemanusiaan.
12 Lihat Yakub B. Susabda, op.cit., 5.
5
Dalam konteks bergereja, jemaat sebagai komunitas yang
gereja, jemaat tidak hanya terdiri dari orang-orang yang berasal dari
satu suku, satu bahasa, dan memiliki kesamaan budaya seperti yang
13
Multikultur dan plural adalah dua istilah yang memiliki pengertian yang sama.
Menurut Syaifuddin, keduanya sama-sama menggambarkan keanekaragaman
sosial dan kebudayaan. Akan tetapi, apabila istilah plural dan multikultural
ditambahi imbuhan -isme maka pengertian keduanya akan berbeda. Pluralisme
berarti pemahaman atau cara pandang keanekaragaman yang menekankan entitas
perbedaan setiap masyarakat satu sama lain dan kurang memperhatikan
interaksinya, sedangkan multikulturalisme adalah pemahaman dengan cara
pandang yang menekankan interaksi dengan memperhatikan keberadaan setiap
kebudayaan sebagai entitas yang memiliki hak-hak yang setara. Dari konsep
multikulturalisme inilah kemudian muncul gagasan normatif mengenai
kerukunan, toleransi, saling menghargai perbedaan dan hak-hak masing-masing
kebudayaan. Achmad, F. Syaifuddin, “Membumikan multikulturalisme di
Indonesia”, dikutip dari Jurnal Antropologi Sosial Budaya Etnovisi, Vol. II. No. 1.
April 2006, 4.
14 Gereja Methodist Indonesia Jakarta, selanjutnya disingkat GMI Wesley Jakarta.
15
Gereja Methodist Indonesia dan disingkat GMI adalah bagian dari Gereja
Universal, sebab itu dapat menerima segala bangsa tanpa memandang warna kulit,
kedudukan atau martabat kehidupan menjadi anggota penuh dan mengambil
bagian dalam gereja sesuai dengan disiplin GMI. Menyangkut nama gereja ini
diatur dalam Disiplin Gereja Methodist Indonesia Bab I, pasal 1. Lihat Tiandi
Lukman, (dkk)., Disiplin Gereja Methodist Indonesia 2009 (Medan: tanpa penerbit,
2012), 24.
6
faktor, antara lain: perbedaan suku, kewarganegaraan, bahasa,
feed back (timbal balik) untuk mencari solusi terhadap masalah yang
dengan yang lain, maupun antara jemaat dengan pendeta. Hal ini
itu, ada warga gereja dari Zimbabwe dan sebagian besar warga gereja
kerendahan hati.22
warga jemaat yang cukup dipengaruhi oleh budaya Barat dan status
Jakarta.
9
antar jemaat sendiri. Salah satunya adalah ketika terjadi ketegangan
benar oleh pendeta yang baru dan sebagian dari anggota jemaat.
Sementara itu, bagi sebagian yang lain, hal ini dianggap modern.
Pada akhirnya jemaat tersebut salah paham dan tidak aktif lagi
beribadah di gereja.24
pendeta.26
mereka (in group) yang sangat kuat. Hal ini nampak lewat relasi yang
terbangun antara satu dengan yang lain lebih pada relasi yang
Sementara itu, bagi warga gereja yang berasal dari luar negeri
Jakarta.
28 Ibid., juga hasil wawancara dengan responden 1, 23 Oktober 2012.
11
penting sebagai gambaran dari tubuh Kristus yang mencerminkan
29 Lihat Louis J. Luzbetak, The Church and Cultures: An Applied Anthtropology for
The Religious Worker (California: William Carey Library, 1970), 4.
30 Lihat Aart Van Beek, Cross-Cultural Counseling. (USA: Fortress Press, 1996), 13.
12
Dengan demikian, melalui penerapan konseling pastoral
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
14
pastoral antarbudaya yang sesuai dengan konteks Jemaat GMI
Wesley Jakarta.
D. Manfaat Penelitian
E. Signifikansi Penelitian
oleh orang lain atau pihak manapun. Oleh karena itu, penulis
15
merasa penting dan terdorong untuk melakukan penelitian terhadap
the Self in Pastoral Care and Counseling (Person, Culture, and Religion
16
intersubjektif.32 Dalam mendeskripsikan tulisannya, Pamela tidak
pendekatan relasional.
diri, budaya, dan dimensi religius dari konseli, tetapi hanya berfokus
ini.33
32 Pamela Cooper White, Shared Wisdom: Use of the Self in Pastoral Care and
Counseling (Person, Culture, and Religion Group American Academy of Religion,
November 18, 2005) Jurnal Pastoral Psychology (16 August 2006) 55:233–241: DOI
10.1007/s11089-006-0036-z.
33 Francesca Debora Nuzzolese, “Leaking Roofs Matter.” Responding to Pamela
Cooper-White’s Shared Wisdom: Use of the self in pastoral care and counseling.
Person, Culture, and Religion Pre-session, American Academy of
Religion,Philadelphia, PA, November 18, 2005, jurnal Pastoral Psychology (2006)
55:223–228: DOI 10.1007/s11089-006-0039-9.
17
Bagi Homer L. Jernigan, untuk membangun spiritualitas setiap
dari tiga aspek penting, antara lain: pertama, inti dari nilai-nilai
multikultural.35
antarbudaya.
1. Jenis Penelitian
yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik dan dengan cara
2. Sumber data
21
Majelis Jemaat periode 2011-2014, 1 mantan pengurus pemuda, 1
Moleong yaitu,
22
mempunyai seperangkat tujuan penelitian yang diharapkan dicapai untuk
memecahkan sejumlah masalah penelitian.” 40
3. Lokasi
penginderaan.42
padanya.
40 Ibid., 158.
41 Lihat Djam’an Satori dan Aan Komaria, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung:
Alfabeta, 2010), 135-136.
42 Lihat Burhan Bungin, “Penelitian Kualitatif”, dikutip oleh Djam’an Satori dan
penelitian dan hasil analisis kualitatif dari tulisan ini akan diuraikan
refleksi kritis dan saran penulis dimuat pada bab lima dalam tulisan
ini.
24