Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Konseling pastoral merupakan salah satu bentuk pelayanan

gereja yang sangat penting, berkaitan dengan kepedulian gereja

terhadap pertumbuhan umat terutama di dalam gereja secara

holistik meliputi biologis, psikologis, sosial dan spiritual. Melalui

konseling pastoral, gereja membantu warganya untuk

memaksimalkan hidup mereka secara perorangan dan korporat

untuk berelasi dengan Tuhan, bertumbuh secara pribadi dan

selanjutnya mengambil bagian untuk melayani sesama. Konseling

pastoral menjadi instrumen gereja untuk melayani dunia. Dengan

demikian, konseling pastoral itu merealisasikan ilmu teologi di dalam

kehidupan manusia secara nyata.1

Dalam kehidupan nyata manusia, banyak masalah yang

digelutinya berkaitan dengan eksistensinya. Jika masalah-masalah

itu ingin dilihat dengan pendekatan ilmu teologi, maka tidak bisa

mengabaikan segi-segi ilmiah. Melihat masalah dalam “teologi”

pastoral bukanlah pemilihan di antara sikap ilmiah dan tidak ilmiah,

melainkan membangun jembatan di antara teori yang diperoleh dan

kenyataan yang dihadapi secara konkret.2 Jika menggunakan

1 Lihat Emanuel Gerrit Singgih, Bergereja, Berteologi dan Bermasyarakat.


(Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2007), 60.
2 Ibid, 72.

1
pendekatan konseling pastoral untuk menghadapi masalah nyata

manusia, maka sumber-sumber religius yang ada diintegrasikan ke

dalam konseling atau sebaliknya konseling diintegrasikan secara

kreatif dengan pendekatan keagamaan.3 Pendekatan religius dalam

integrasinya dengan konseling untuk suatu konseling pastoral

menjadi penting karena pola religius memiliki potensi yang kuat

untuk suatu transformasi yang positif bagi kehidupan manusia.4

Kehidupan manusia adalah inti dari proses konseling pastoral.

Berkaitan dengan memenuhi tanggungjawab kependetaannya secara

maksimal, pendeta perlu menggunakan pendekatan konseling

pastoral.5 Dalam melakukan tugas konseling pastoral ini, pendeta

sebagai “hamba Tuhan” memiliki peran yang berbeda dengan

konselor pada umumnya. Saat melaksanakan tugas kependetaannya

dengan menggunakan konseling pastoral, sebagai seorang “hamba

Tuhan”, pendeta memiliki peran dan akuntabilitas di dalam

menciptakan hubungan dan melakukan pelayanan konseling

pastoral yang berdasar pada prinsip-prinsip Alkitabiah. Oleh sebab

itu di dalam pelayanan konseling pastoral, seorang “hamba Tuhan”

3 Lihat Totok S. Wiryasaputra, Ready to Care (Yogyakarta: Galang Press 2006), 26.
4 Lihat Alfredo P. Cabrera, “Metaphor: Timeless Tool In Counseling For Asian People”
dalam Mesach Krisetya, (ed.), Pastoral Care and Counselling in Pluralistic Society
(Bali: Tanpa Penerbit, 1993), 77.
5 Maksud dari pernyataan ini adalah hendak menegaskan bahwa konseling

pastoral merupakan salah satu bentuk pendekatan yang dapat digunakan oleh
pendeta dalam tugas pelayanannya sebagai pimpinan jemaat. Walaupun
menggunakan konseling pastoral dalam pelayanan kependetaannya, pendeta tidak
secara otomatis disebut sebagai seorang konselor pastoral. Untuk menjadi seorang
konselor pastoral profesional, pendeta harus memiliki pengetahuan dan
keterampilan yang memadai melalui suatu proses belajar konseling pastoral yang
efektif dan ilmiah.
2
harus menggunakan teknik-teknik konseling yang diselaraskan

dengan Firman Tuhan. Oleh karena dalam konseling pastoral

“hamba Tuhan” itu akan berhadapan dengan manusia dan

permasalahannya yang semakin kompleks.6

Menurut Yakub B. Subsada, dalam tugas konseling pastoral,

pendeta mempunyai peran unik dan paling strategis dalam

pelayanan konseling pastoral ini. Hal ini disebabkan oleh pendeta

memiliki wewenang, tugas dan jabatan fungsional untuk

melaksanakan konseling pastoral demi kesejahteraan warga gereja

yang dilayaninya.7 Dengan demikian, pelayanan konseling pastoral

ini tidak boleh disepelekan apalagi diabaikan oleh seorang pendeta

karena berkaitan dengan panggilan dan tugasnya di hadapan Tuhan.

Oleh sebab itu, sebagaimana yang dikatakan oleh Wayne Oates,

seorang pendeta mesti sudah sampai pada tahap berpikir bagaimana

dapat melakukan konseling pastoral secara disiplin dan terampil.8

Setiap pelaksanaan konseling pastoral memiliki fungsi untuk

memberikan solusi bagi jemaat yang menghadapi masalahnya.

Seperti yang juga sudah dikemukakan sebelumnya, integrasi antara

konseling keagamaan (religius) dengan konseling sekuler adalah

sesuatu yang penting bagi praktek konseling pastoral ini. Terkait

dengan itu, maka fungsi konseling seharusnya dapat diintegrasikan

6 Lihat Agung Gunawan, Konseling Pastoral, Mengapa Takut, dalam Jurnal


Theologia Aletheia, 4/ (Maret 2002), 16.
7 Lihat Yakub B. Susabda, Pastoral Konseling Jilid 1. (Malang: Gandum Mas, 2003),

11,12, 14-15.
8 Lihat Wayne Oates dalam Yakub B. Susabda, Pastoral Konseling Jilid 1. (Malang:

Gandum Mas, 2003), 11.


3
ke dalam fungsi konseling pastoral. Adapun fungsi konseling

tersebut dapat diketahui seperti yang dikemukakan oleh Totok S.

Wiryasaputra sebagai berikut: 9

“Konseling yang dilakukan oleh orang-orang yang dipersiapkan,


terdidik dan terlatih ini berfungsi untuk menyembuhkan (healing),
menopang (sustaining), membimbing (guiding), memperbaiki
hubungan (reconciling), dan membebaskan (liberating, empowering,
capacity building) mereka yang didampingi baik secara individual
maupun korporat agar dapat mencapai kehidupan yang seimbang,
sehat, utuh, penuh, dinamis dan fungsional.”

Mengacu pada uraian fungsi konseling di atas, maka dapat

dikonstruksikan bahwa fungsi dari konseling pastoral adalah

menyembuhkan, menopang, membimbing, merekonsiliasi,

membebaskan, dan memberdayakan jemaat dari persoalan-

persoalan yang menyebabkan akar pahit dan luka-luka batin,

sehingga jemaat tertolong untuk mengatasi atau menerima masalah

yang dihadapinya dan menjadi bertumbuh dengan cara-cara yang

lebih realistis. Dengan demikian, jemaat akan semakin kuat untuk

mengatasi persoalan mereka di masa depan.10

Konseling pastoral yang memberi pertumbuhan bagi jemaat

seperti demikian perlu dilakukan oleh pendeta secara fungsional

berkaitan dengan tugas kependetaannya terhadap siapa saja, kapan

saja dan dimana saja, secara terstruktur ataupun tidak. Adapun

sasaran konseling pastoral itu meliputi: pria dan wanita, anak-anak

hingga lanjut usia, dari berbagai latar belakang status ekonomi,

sosial, budaya dan pendidikan, secara individual maupun korporat,

9 Lihat Totok S. Wiryasaputra, Ready to Care. op.cit., 79-93.


10 Lihat Yakub B. Susabda, op.cit., 4.
4
ataupun mereka yang sedang mengalami suka bahkan duka.

Dikatakan dimana saja berarti bisa di gereja, rumah, sekolah, rumah

sakit, klinik, dan sebagainya dengan menggunakan pendekatan

psikologis dan teologis yang terpadu serta bersifat preventif,

promotif, kuratif, dan rehabilitatif.11 Tentunya sesuai dengan

kesepakatan bersama antara pendeta dan jemaat.

Dalam melaksanakan tugas kependetaannya dengan

menggunakan konseling pastoral, pendeta harus memposisikan

dirinya sederajat secara eksistensial dengan warga gereja yang

didampinginya. Hubungan antara keduanya adalah hubungan

subyek-subyek dimana keduanya sama-sama mempunyai hak dan

kebebasan untuk mengekspresikan diri secara utuh. Yakub B.

Susabda mengemukakan bahwa dasar teologi dari relasi

interpersonal ini adalah relasi Yesus dengan orang-orang yang

dilayaniNya, dimana Ia sendiri berinkarnasi dengan mengorbankan

dan merendahkan diriNya menjadi sama dengan manusia (Filipi 2:5-

8).12 Bila interaksi timbal balik ini tercipta di antara pendeta dan

warga jemaat ketika konseling pastoral sedang berlangsung,

kemudian kehadiran Allah dilibatkan, maka dialog yang ideal pun

akan terjadi. Pola triangle inilah yang membedakan konseling

pastoral dengan konseling-konseling lainnya.

11 Hal ini yang menjadi kajian utama dalam Program Kompetensi Konseling
Pastoral sebagai wujud kepedulian Universitas Kristen Satya Wacana (selanjutnya
UKSW) terhadap kebutuhan tenaga-tenaga profesional konseling pastoral di
berbagai bidang pelayanan kemanusiaan.
12 Lihat Yakub B. Susabda, op.cit., 5.

5
Dalam konteks bergereja, jemaat sebagai komunitas yang

bersekutu dan menjadi sasaran konseling pastoral tidak bersifat

homogen saja tetapi juga multikultural/plural.13 Artinya, pada suatu

gereja, jemaat tidak hanya terdiri dari orang-orang yang berasal dari

satu suku, satu bahasa, dan memiliki kesamaan budaya seperti yang

umumnya terdapat pada gereja-gereja mainstream di Indonesia,

tetapi ada juga jemaat yang di dalamnya terdiri dari orang-orang

yang berbeda suku, bahasa, bangsa, dan budaya. Konteks jemaat

yang multikultural/plural ini seperti yang terdapat di Gereja

Methodist Indonesia Wesley Jakarta.14

Sebagai salah satu jemaat di bawah Gereja Methodist

Indonesia15, GMI Wesley Jakarta merupakan salah satu gereja yang

warga jemaatnya memiliki latar belakang budaya yang berbeda-beda.

Perbedaan latar belakang budaya tersebut dipengaruhi oleh beberapa

13
Multikultur dan plural adalah dua istilah yang memiliki pengertian yang sama.
Menurut Syaifuddin, keduanya sama-sama menggambarkan keanekaragaman
sosial dan kebudayaan. Akan tetapi, apabila istilah plural dan multikultural
ditambahi imbuhan -isme maka pengertian keduanya akan berbeda. Pluralisme
berarti pemahaman atau cara pandang keanekaragaman yang menekankan entitas
perbedaan setiap masyarakat satu sama lain dan kurang memperhatikan
interaksinya, sedangkan multikulturalisme adalah pemahaman dengan cara
pandang yang menekankan interaksi dengan memperhatikan keberadaan setiap
kebudayaan sebagai entitas yang memiliki hak-hak yang setara. Dari konsep
multikulturalisme inilah kemudian muncul gagasan normatif mengenai
kerukunan, toleransi, saling menghargai perbedaan dan hak-hak masing-masing
kebudayaan. Achmad, F. Syaifuddin, “Membumikan multikulturalisme di
Indonesia”, dikutip dari Jurnal Antropologi Sosial Budaya Etnovisi, Vol. II. No. 1.
April 2006, 4.
14 Gereja Methodist Indonesia Jakarta, selanjutnya disingkat GMI Wesley Jakarta.
15
Gereja Methodist Indonesia dan disingkat GMI adalah bagian dari Gereja
Universal, sebab itu dapat menerima segala bangsa tanpa memandang warna kulit,
kedudukan atau martabat kehidupan menjadi anggota penuh dan mengambil
bagian dalam gereja sesuai dengan disiplin GMI. Menyangkut nama gereja ini
diatur dalam Disiplin Gereja Methodist Indonesia Bab I, pasal 1. Lihat Tiandi
Lukman, (dkk)., Disiplin Gereja Methodist Indonesia 2009 (Medan: tanpa penerbit,
2012), 24.
6
faktor, antara lain: perbedaan suku, kewarganegaraan, bahasa,

pendidikan, ekonomi, gaya hidup dan usia. Keragaman yang dimiliki

oleh Jemaat GMI Wesley ini pada akhirnya menimbulkan

ketidaknyamanan, kesulitan, kesenjangan, benturan, bahkan konflik

antara satu dengan yang lainnya.16

Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa jemaat GMI

Wesley memiliki anggota jemaat yang beragam dimana mereka

berasal dari bermacam-macam suku di Indonesia, maka dapat

disebutkan keberadaan asal-usul mereka, yaitu: dari suku Jawa,

Batak, Nias, Papua, Manado, Ambon, dan keturunan Tionghoa.

Bahkan banyak juga yang berasal dari negara-negara lain, antara

lain: India, Amerika, Zimbabwe, Singapura, dan Filipina. Dengan

latar belakang jemaat yang berasal dari suku-bangsa yang berbeda-

beda ini, keragaman bahasa pun turut memperkaya pluralitas

jemaat itu. Keanekaragaman bahasa yang dimiliki, antara lain:

bahasa Indonesia, bahasa Mandarin, bahasa Inggris dan bahasa

daerah asal mereka masing-masing. Keanekaragaman bahasa itu

cukup menyulitkan pendeta dalam melakukan konseling pastoral.

Antara pendeta dengan jemaat seringkali mengalami kesulitan dalam

berkomunikasi karena keterbatasan pemahaman kedua belah pihak

terhadap bahasa yang digunakan.17

16Hasil observasi sepanjang tahun 2011-2013 di GMI Wesley Jakarta.


17 Hasil observasi partisipatoris sepanjang tahun 2011-2013 di GMI Wesley
Jakarta; Lihat juga data keanggotaan jemaat GMI Wesley Jakarta 2011-2013.
7
Kenyataan praktis yang sering terjadi dan dialami di jemaat

berkaitan dengan penggunaan bahasa adalah jemaat keturunan

Tionghoa yang berusia lanjut umumnya susah mengutarakan apa

yang hendak dikatakannya selain dengan bahasa Mandarin,

sementara pendeta tidak dapat sama sekali berbahasa Mandarin

sehingga membutuhkan pihak keluarga untuk menerjemahkan apa

yang diutarakan dari kedua belah pihak. Akibatnya komunikasi

konseling pastoral yang dilakukan tidak terjalin dengan leluasa. Oleh

karena itu, dapat dikatakan bahwa konseling pastoral yang

dilakukan tidak terjadi seperti yang diinginkan, yaitu adanya saling

feed back (timbal balik) untuk mencari solusi terhadap masalah yang

dihadapi jemaat.18 Di pihak lain, perhatian kepada relasi

interpersonal sebagai aspek penting dalam konseling pastoral

antarbudaya antara pendeta sebagai pimpinan jemaat dengan jemaat

tidak tercipta dengan baik, ketimbang peran pendeta sebagai

pengkhotbah.19 Padahal membangun relasi dengan sesama (jemaat)

merupakan perwujudan dari suatu relasi dengan Tuhan. Dalam

proses membangun relasi dengan Tuhan, Retnowati mengatakan:

“Semakin seseorang mempunyai relasi yang baik dengan Tuhan, ia pasti


juga mempunyai relasi yang baik dengan sesama. Relasi baik dengan
sesama harus didasari oleh sikap yang positif dan kreatif, memiliki
kehidupan ibadah yang benar dan kehidupan doa yang benar.”20

18 Hasil observasi partisipatoris sepanjang tahun 2011-2013 di GMI Wesley


Jakarta.
19 Ibid.
20 Lihat Retnowati, Teologi Kepemimpinan dan Manajemen (Salatiga: Tanpa

Penerbit, 2009), 16.


8
Masalah lainnya yang muncul adalah dalam hal menyapa satu

dengan yang lain. Dalam perilaku saling menyapa sering

menimbulkan culture shock atau benturan antara jemaat satu

dengan yang lain, maupun antara jemaat dengan pendeta. Hal ini

dikarenakan sebagian warga gereja keturunan Tionghoa dan

beberapa warga dari suku-suku di Indonesia yang cukup

dipengaruhi oleh budaya Barat, lebih senang disapa dan menyapa

langsung dengan menggunakan namanya tanpa sebutan “Bapak”

atau “Ibu” meskipun sudah menikah ataupun lebih tua.21 Sementara

itu, ada warga gereja dari Zimbabwe dan sebagian besar warga gereja

dari suku-suku di Indonesia yang menganut budaya Timur merasa

sapaan sedemikian kurang santun atau menyangkut persoalan

kerendahan hati.22

Selain itu, dalam hal berpakaian terdapat sebagian besar

warga jemaat yang cukup dipengaruhi oleh budaya Barat dan status

ekonomi yang mapan membuat model berpakaian yang digunakan

kurang tertutup, relatif mahal, glamour, atau juga santai ketika

beribadah atau melakukan pelayanan di gereja. Di pihak lain, ada

warga gereja lainnya yang berpakaian formal, tertutup, dan

sederhana.23 Dengan model berpakaian yang sedemikian tersebut,

pernah terjadi benturan antara pendeta dan warga jemaat, serta

21 Hasil observasi pelayanan sepanjang tahun 2011-2013 bersama pendeta di GMI


Wesley Jakarta.
22 Hasil wawancara dengan responden 1, 23 Oktober 2012; juga hasil observasi

partisipatoris sepanjang tahun 2011-2013 di GMI Wesley Jakarta.


23 Hasil observasi partisipatoris sepanjang tahun 2011-2013 di GMI Wesley

Jakarta.
9
antar jemaat sendiri. Salah satunya adalah ketika terjadi ketegangan

karena ada seorang jemaat yang menggunakan jeans pada saat ia

melayani sebagai pemimpin ibadah (liturgos) yang sebelumnya tidak

dipersoalkan pada masa kepemimpinan pendeta sebelumnya.

Tindakan tersebut dianggap sebagai pola berpakaian yang tidak

benar oleh pendeta yang baru dan sebagian dari anggota jemaat.

Sementara itu, bagi sebagian yang lain, hal ini dianggap modern.

Pada akhirnya jemaat tersebut salah paham dan tidak aktif lagi

beribadah di gereja.24

Masalah keragaman jemaat lainnya adalah berkaitan dengan

kesenjangan usia. Di dalam jemaat terdapat warga gereja yang

berusia anak-anak dan membutuhkan pelayanan konseling pastoral,

namun mereka jarang mendapat perhatian atau kontak langsung

dari pendeta karena pendeta menganggap pelayanan sedemikian

bukanlah fokus tugasnya dan telah mendelegasikan tugas

pelayanan, pendampingan dan pembinaan tersebut kepada guru-

guru Sekolah Minggu saja. Persoalan yang muncul disini adalah

guru-guru Sekolah Minggu ini belum pernah mengikuti pelatihan

khusus konseling untuk anak-anak. Padahal bagi mereka konseling

bagi anak-anak di gereja adalah penting sebagaimana yang mereka

laporkan dalam beberapa kali Laporan Konferensi Resort GMI Wesley

Jakarta, diantaranya berbunyi demikian: 25

24 Hasil wawancara dengan responden 2, tanggal 6 September 2011.


25 Laporan Konferensi Resort GMI Wesley Jakarta tanggal 28 Nopember 2010, 28.
10
“Sangat diperlukan adanya konseling anak di gereja yang
dilayani oleh pendeta/pimpinan yang sudah dibekali dengan
seminar konseling anak.”

Ketika permintaan guru-guru Sekolah Minggu itu

disampaikan, gereja pun baru mulai mengambil langkah untuk

melakukan pelatihan konseling. Tindakan itu merupakan bagian

dari program resmi gereja. Dalam pelatihan tersebut pendeta

bertindak sebagai pembicara atau fasilitator, hal yang lebih banyak

ditekankan adalah perihal mendengar untuk selanjutnya

memberitakan Injil. Pola tersebut menempatkan jemaat sebagai

obyek yang diinjili daripada subyek yang setara dengan diri

pendeta.26

Masalah kemajemukan lainnya adalah terdapat

kecenderungan eksklusifitas setiap anggota jemaat berdasarkan asal

mereka (in group) yang sangat kuat. Hal ini nampak lewat relasi yang

terbangun antara satu dengan yang lain lebih pada relasi yang

berdasar pada latar belakang asal suku/budaya yang sama.27

Sementara itu, bagi warga gereja yang berasal dari luar negeri

sebagian besar tidak membuka diri untuk membaur sehingga

pendeta mengalami kesulitan untuk masuk ke dalam hubungan

yang lebih intens dalam rangka melakukan konseling pastoral

antarbudaya secara personal.28 Padahal relasi interpersonal adalah

26 Materi Pelatihan Konseling Pastoral Jemaat GMI Wesley Jakarta, 14 Oktober


2012.
27 Hasil observasi partisipatoris sepanjang tahun 2011-2013 di GMI Wesley

Jakarta.
28 Ibid., juga hasil wawancara dengan responden 1, 23 Oktober 2012.

11
penting sebagai gambaran dari tubuh Kristus yang mencerminkan

kesatuan jemaat dan tidak terbagi-bagi.

Menghadapi konteks jemaat GMI Wesley yang plural dan

memiliki kebutuhan yang juga beragam sedemikian, maka konseling

pastoral antarbudaya bagi jemaat GMI Wesley Jakarta penting untuk

diterapkan. Penerapan konseling pastoral yang efektif bagi jemaat ini

dapat berkontribusi untuk menghindari kesalahpahaman di antara

pendeta dengan jemaat ketika keduanya saling berhadapan dalam

pencarian solusi bagi suatu masalah yang dihadapi. Selain itu,

dengan memperhatikan budaya dalam konseling pastoral maka

totalitas kehidupan dan mentalitas dari seseorang dapat dimengerti

dengan baik.29 Adapun kebudayaan itu sendiri merupakan kesatuan

pengalaman dari keseluruhan area kehidupan manusia yang bersifat

fundamental atau mendasar.30 Hal penting lainnya adalah melalui

konseling pastoral antarbudaya setiap kebutuhan jemaat dapat

diupayakan pendampingannya dengan memperhatikan keberadaan

dan faktor kultural yang turut mempengaruhi kehidupan dan mental

setiap individu dalam jemaat. Tentunya agar dapat menjalankan

konseling pastoral antarbudaya secara baik, seorang konselor

pastoral harus menguasai strategi antarbudaya dan kemampuan

yang kapabel agar pelaksanaannya dapat berjalan baik dan berhasil.

29 Lihat Louis J. Luzbetak, The Church and Cultures: An Applied Anthtropology for
The Religious Worker (California: William Carey Library, 1970), 4.
30 Lihat Aart Van Beek, Cross-Cultural Counseling. (USA: Fortress Press, 1996), 13.

12
Dengan demikian, melalui penerapan konseling pastoral

antarbudaya ini diharapkan relasi timbal balik antara konseling

pastoral dengan budaya akan saling menopang dan membangun

suatu peradaban dan religiusitas manusia yang kokoh. Sebagaimana

pandangan Totok S. Wiryasaputra, tentang hubungan antara

konseling dan budaya, yaitu: melalui konseling dapat melahirkan

peradaban setiap kelompok manusia dan sebaliknya peradaban dan

budaya setiap kelompok manusia melahirkan konseling.31 Lebih

lanjut, uraian tentang pentingnya konseling pastoral antarbudaya

bagi jemaat GMI Wesley Jakarta dibahas secara komprehensif dalam

tulisan ini setelah melalui suatu proses penelitian yang

bertanggungjawab secara ilmiah dan metodologis.

B. Rumusan Masalah

Penelitian ini mengkaji secara mendalam tentang pentingnya

konseling pastoral antarbudaya dalam konteks jemaat GMI Wesley

Jakarta. Adapun rumusan masalah penelitian ini, dibuat dalam

bentuk pertanyaan-pertanyaan penelitian, antara lain:

1. Bagaimana profil jemaat GMI Wesley Jakarta?

2. Bagaimana model konseling pastoral antarbudaya di GMI Wesley

Jakarta selama ini?

31Lihat Totok S. Wiryasaputra, Konseling Antarbudaya (Yogyakarta: Grafika Indah,


2009), 54. Selanjutnya, studi ini patut berterimakasih kepada Totok S.
Wiryasaputera yang telah menerbitkan bukunya “Konseling Antarbudaya” itu.
Adapun buku tersebut dapat penulis jadikan sebagai referensi utama yang sangat
membantu untuk menguraikan tentang konseling antarbudaya, strategi,
kemampuan konselor dan model konseling antarbudaya yang sebagian besar
dikemukakan dalam tulisan ini. Ibid., 34, 36-39, 74, 101-102,106.
13
3. Apakah model konseling pastoral antarbudaya menjadi penting

untuk diterapkan di Jemaat GMI Wesley Jakarta?

Fokus penelitian ini adalah sepanjang tahun 2011-2013.

Fokus penelitian ini dibatasi pada durasi waktu tersebut karena

disesuaikan dengan masa tugas pelayanan peneliti yang mulai

melayani di GMI Wesley sejak tahun 2011, sedangkan untuk tahun

2013 disesuaikan dengan akhir masa tugas pelayanan pendeta yang

menjadi fokus penelitian. Peneliti tidak bermaksud untuk mencari

kemudahan atau berspekulasi dalam penulisan ini dengan memilih

batasan tahun 2011-2013 tersebut, tetapi dengan fokus pada tahun

tersebut peneliti sekaligus melakukan proses observasi partisipatoris

dalam pelayanan yang berlangsung di tengah-tengah jemaat. Dengan

proses itu, peneliti dapat memahami situasi yang sebenarnya terjadi

berkaitan dengan proses konseling pastoral yang berlangsung di

jemaat GMI Wesley Jakarta. Selanjutnya lewat observasi

partisipatoris tersebut, peneliti dapat menguraikannya secara kritis

dan ilmiah dalam penulisan ini.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian kualitatif ini bertujuan untuk mendeskripsikan

profil Jemaat GMI Wesley Jakarta; mengeksplorasi model konseling

pastoral antarbudaya yang berlangsung selama ini di Jemaat GMI

Wesley Jakarta; dan menganalisa pentingnya model konseling

14
pastoral antarbudaya yang sesuai dengan konteks Jemaat GMI

Wesley Jakarta.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah untuk pengembangan ilmu

pastoral dalam penerapannya di bidang akademik maupun secara

praktis di lapangan bagi kebutuhan masyarakat dan gereja secara

khusus dalam konteks yang multikultural/plural. Secara teoritis

penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya khasanah ilmu

pastoral, dalam hal ini memperkaya pemahaman tentang pentingnya

suatu konseling pastoral antarbudaya dalam konteks jemaat yang

multikultural/plural. Kemudian manfaat praktis yang dapat

diperoleh adalah memberikan kontribusi kepada pendeta untuk

menjalankan tugas kependetaannya melalui pemberlakuan suatu

model konseling pastoral antarbudaya yang relevan dengan konteks

warga gereja yang multikultural/plural baik di GMI Wesley Jakarta

secara khusus maupun konteks gereja secara universal.

E. Signifikansi Penelitian

Orientasi studi ini difokuskan pada Jemaat GMI Wesley

Jakarta. Hal ini dikarenakan masalah yang berhubungan dengan

konseling pastoral antarbudaya dalam konteks warga gereja yang

multikultural/plural di GMI Wesley Jakarta belum pernah diteliti

oleh orang lain atau pihak manapun. Oleh karena itu, penulis
15
merasa penting dan terdorong untuk melakukan penelitian terhadap

masalah yang dimaksud. Selain itu, dengan konteks yang

multikultural dalam jemaat menimbulkan ketidaknyamanan,

kesulitan benturan, bahkan konflik antar sesama jemaat maupun

jemaat dengan pendeta. Berangkat dari permasalahan tersebut,

maka penelitian ini dilakukan untuk menghasilkan sebuah karya

tulis ilmiah yang dapat membantu pendeta GMI Wesley Jakarta

untuk menggunakan pendekatan konseling pastoral antarbudaya

yang sukses bagi jemaat yang dilayani.

Dalam proses penelitian yang dilakukan, penulis terlebih

dahulu melakukan kajian terhadap penelitian-penelitian sebelumnya

yang pernah dilakukan, sehingga studi ini dapat menunjukkan

dengan tegas kekkhasannya yang berbeda dari penelitian-penelitian

itu. Adapun para peneliti yang sudah pernah melakukan penelitian

tentang konseling pastoral antarbudaya, antara lain: Pamela Cooper

White, Fransisca Debora Nuzzolese, dan Homer L. Jernigan di

Amerika, dan Tapiwa N. Mucherera.

Pamela Cooper White dalam tulisannya Shared Wisdom: Use of

the Self in Pastoral Care and Counseling (Person, Culture, and Religion

Group American Academy of Religion, November 18, 2005)

memberikan sumbangan pemikiran tentang metode yang tepat untuk

melakukan konseling pastoral antarbudaya dengan menggunakan

metode shared wisdom melalui pendekatan countertransference atau

16
intersubjektif.32 Dalam mendeskripsikan tulisannya, Pamela tidak

menampilkan substansi permasalahan atau data-data yang dapat

memperkuat pemberlakuan metode yang ditawarkannya

sebagaimana yang penulis kemukakan dalam tulisan ini. Dimana

penulis mengemukakan bahwa pendekatan relasional penting untuk

dilakukan dalam proses konseling pastoral antarbudaya karena

konteks Jemaat GMI Wesley yang multikultural dan rentan terhadap

ketersinggungan dan konflik antar sesama jemaat dan jemaat

dengan pendeta. Oleh karena itu, supaya menghindari terjadinya

persoalan seperti demikian, maka perlu adanya saling memahami

dan menerima perbedaan diantara mereka sebagaimana penekanan

pendekatan relasional.

Selanjutnya, Fransisca Debora Nuzzolese meneliti tentang

aspek holistik dalam konseling pastoral yang berhubungan dengan

diri, budaya, dan dimensi religius dari konseli, tetapi hanya berfokus

pada persoalan sosial ekonomi keluarga yang dialami oleh konselinya

saja, tanpa melihat faktor lainnya seperti bahasa, pendidikan,

perbedaan suku bangsa yang penulis kemukakan dalam tulisan

ini.33

32 Pamela Cooper White, Shared Wisdom: Use of the Self in Pastoral Care and
Counseling (Person, Culture, and Religion Group American Academy of Religion,
November 18, 2005) Jurnal Pastoral Psychology (16 August 2006) 55:233–241: DOI
10.1007/s11089-006-0036-z.
33 Francesca Debora Nuzzolese, “Leaking Roofs Matter.” Responding to Pamela

Cooper-White’s Shared Wisdom: Use of the self in pastoral care and counseling.
Person, Culture, and Religion Pre-session, American Academy of
Religion,Philadelphia, PA, November 18, 2005, jurnal Pastoral Psychology (2006)
55:223–228: DOI 10.1007/s11089-006-0039-9.
17
Bagi Homer L. Jernigan, untuk membangun spiritualitas setiap

individu yang berhubungan dengan budaya tidak bisa dilepaskan

dari tiga aspek penting, antara lain: pertama, inti dari nilai-nilai

budaya pada setiap individu. Kedua, pengaruh budaya sekitar

terhadap pengalaman setiap orang. Dan ketiga, spiritualitas pribadi

setiap orang. Dalam pelayanan interaksi dengan budaya, makna dan

nilai-nilai menjadi sangat penting.34 Dengan demikian, betapa

pentingnya “diri” individu dalam budayanya harus dipahami dengan

baik sehingga dalam menjalankan fungsi pelayanan, setiap

kebutuhannya dapat pula dipenuhi dengan baik. Menyikapi

penelitian Jernigan ini, dapat dikatakan bahwa ia cenderung

berusaha untuk memahami individu dengan budayanya sendiri saja,

tanpa melihat proses interaksi antar individu yang berbeda, dan

bagaimana mereka saling berelasional dengan empati sehingga

keduanya dapat saling menghargai dan menerima, seperti yang

penulis teliti dalam studi ini.

Selain itu, tulisan lainnya yang terdapat pada buku-buku yang

menurut penulis sangat relevan dan dapat membantu penelitian ini,

adalah tulisan dari Aart Martin Van Beek tentang konseling

antarbudaya dalam bukunya “Konseling Pastoral” yang mengkritik

model konseling pastoral yang diterapkan di Indonesia adalah model

Barat yang tidak cocok dengan konteks budaya masyarakat

Indonesia. Bagi Van Beek untuk menghadapi identitas dalam diri

34Homer L. Jernigan, Spirituality in Older Adults: A Cross-Cultural and Interfaith


Perspective, Pastoral Psychology Journal, Vol. 49, No. 6 (2001), 424, 428.
18
individu yang dipengaruhi kebudayaannya, dibutuhkan kemampuan

dan keterampilan konselor untuk memperhatikannya di saat proses

konseling pastoral sedang berlangsung, baik oleh konselor dan

konseli yang kebudayaannya sama, juga oleh konselor dan konseli

yang budayanya berbeda. Kelemahan tulisan dari Van Beek ini

adalah cenderung memberi perhatian pada proses konseling antar

konselor dan konseli yang berbeda budaya dan keduanya harus

saling mengerti budaya masing-masing yang berbeda tetapi tidak

memberikan suatu model konseling pastoral antarbudaya yang

penting untuk diberlakukan dalam konteks jemaat yang

multikultural.35

Kemudian Totok S. Wiryasaputra dalam bukunya “Konseling

Antar Budaya Konteks Indonesia” memberikan kontribusi metode

konseling antarbudaya yang menyebutkan bahwa peran antara

konselor dan konseli adalah sama-sama subyek atau setara. Oleh

karena itu, pertemuan antara konselor dan konseli harus dilandasi

dengan prinsip existensial intercultural understanding dan

intercultural empathy, dimana antara konselor dan konseli saling

berkontribusi untuk menciptakan eksistensi mereka sebagai

manusia baru. Adapun perjumpaan antara konselor dan konseli

harus dibangun atas dasar proses interelasi, interaksi, dan

intertransaksi.36 Tulisan Totok S. Wiryasaputra ini dapat dikatakan

35Lihat Aart Van Beek, Crooss-Cultural Counseling, op.cit., hlm. 25-36.


36Totok S. Wiryasaputra, Konseling Antarbudaya Konteks Indonesia (Yogyakarta:
Grafika Indah, 2009), 37-39.
19
tulisan yang sangat membantu penulis untuk melakukan studi ini,

tetapi tulisan ini merupakan tulisan konseling antarbudaya yang

sifatnya umum dan tidak menjelaskan tentang konseling pastoral

antarbudaya.

Pentingnya pemahaman intercultural dalam proses konseling

antarbudaya dapat membantu konselor untuk menjawab kebutuhan

konteks dari konseli. Untuk menghasilkan suatu pola konseling

pastoral intercultural maka sejarah individu atau komunitas penting

untuk diketahui. Pandangan seperti itu ditegaskan oleh Tapiwa N.

Mucherera dalam penelitiannya di daerah-daerah jajahan seperti di

Australia, Amerika Latin, Afrika dan Asia. Baginya, sejarah

komunitas (berkaitan konteks tradisi, agama dan budaya), dampak

kolonialisme dan Kekristenan serta pendidikan yang diterima dari

Barat turut mempengaruhi terbentuknya suatu pola pastoral yang

kontekstual.37 Penjelasan yang dikemukakan Mucherera ini memiliki

kelemahan dimana ia tidak mengemukakan suatu model pastoral

intercultural yang dapat digunakan sebagai kekuatan untuk

mentransformasi suatu proses pastoral yang bersifat kebaratan,

sebagaimana yang penulis kemukakan dalam studi ini.

37 Tapiwa N. Mucherera, “Pastoral Formation of Counselors in Intercultural


Societies.” Co-published simultaneously in American Journal of Pastoral Counseling
(The Haworth Pastoral Press, an imprint of The Haworth Press, Inc.) Vol. 8, No.
3/4, 2006, pp. 99-111.
20
F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif, yaitu

penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa

yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik dan dengan cara

deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks

khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode

alamiah.38 Penelitian kualitatif merupakan suatu proses yang

dimulai dengan pengumpulan data baik lisan maupun tulisan

kemudian dideskripsikan, setelah itu dilakukan proses analisis dan

interpretasi data, dan akhirnya dibuat kesimpulan yang penting dan

mendalam secara kualitatif.39

2. Sumber data

Data-data penelitian ini bersumber dari hasil observasi

partisipatoris dan wawancara secara langsung (wawancara

terstandar). Awalnya rencana wawancara akan dilakukan kepada 10

responden, namun untuk mendapatkan data valid bagi penulisan ini

penulis menganggap penting untuk menambahkan 15 responden

berikutnya. Hal ini disebabkan oleh kompleksnya masalah yang

diteliti dan dianggap penting untuk memperkuat sumber data

penelitian ini. Adapun 25 responden tersebut, terdiri dari 1 orang

Pendeta Jemaat, 2 mantan Majelis Jemaat periode 2009-2011, 10

38 Lihat Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja


Rosdakarya, 2010), 6.
39 Ibid., 7-13.

21
Majelis Jemaat periode 2011-2014, 1 mantan pengurus pemuda, 1

pengurus pemuda periode 2011-2012, 2 jemaat luar negeri

(Zimbabwe dan India), 3 Guru Sekolah Minggu, dan 5 anggota

jemaat. Hasil observasi dan wawancara ini merupakan sumber

primer, sedangkan sumber lainnya adalah sumber sekunder yang

diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, berupa laporan program

gereja dalam laporan Konferensi Resort GMI Wesley Jakarta. Namun,

sumber berupa dokumen tertulis yang berhubungan dengan konten

penulisan ini tidak dapat ditemukan secara maksimal selama

penelitian. Hal ini dikarenakan tidak tersedianya suatu pengarsipan

yang baik di GMI Wesley untuk menyimpan sumber atau bahan-

bahan yang penting selama proses pelayanan berlangsung.

Meskipun tidak terdapat sumber tertulis untuk membantu

mengeksplanasi konten penulisan ini, kami sangat terbantu dengan

data utama melalui wawancara dan observasi partisipatoris yang

dilakukan. Sumber data utama ini dicatat melalui catatan tertulis

setelah melalui suatu proses hasil usaha gabungan kegiatan melihat,

mendengar, dan bertanya. Ketiga kegiatan ini penulis lakukan secara

sadar, terarah, dan senantiasa bertujuan untuk memperoleh suatu

informasi yang diperlukan. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh

Moleong yaitu,

“Dalam penelitian kualitatif kegiatan melihat, mendengar, dan bertanya


harus dilakukan secara sadar, terarah, dan senantiasa bertujuan. Dilakukan
secara sadar dan terarah karena memang direncanakan oleh peneliti.
Terarah karena memang dari pelbagai macam informasi yang tersedia tidak
seluruhnya akan digali oleh peneliti. Senantiasa bertujuan karena peneliti

22
mempunyai seperangkat tujuan penelitian yang diharapkan dicapai untuk
memecahkan sejumlah masalah penelitian.” 40

3. Lokasi

Lokasi penelitian adalah Gereja Methodist Indonesia (GMI)

Wesley Jakarta di Jalan Pluit Raya Nomor 18-19, Jakarta Utara.

4. Teknik Pengumpulan Data

Proses pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan

dalam bentuk: wawancara terhadap informan-informan kunci,

observasi partisipatoris, dan pemanfaatan dokumen yang

berhubungan dengan masalah penelitian. Pengumpulan data melalui

wawancara bersifat baku terbuka (wawancara terstandar/

terstruktur) dimana setiap pertanyaan yang diberikan kepada semua

informan adalah sama dan lewat pertanyaan-pertanyaan itu

informan memberikan respons sesuai kondisi yang dialami secara

kritis dan realistis.41 Sementara dengan observasi partisipatoris,

data-data yang ditemukan adalah bersumber dari pengamatan dan

penginderaan.42

5. Teknik Pengolahan Data

Data yang didapatkan dari hasil penelitian akan dianalisis

secara deskriptif kualitatif dengan cara mengorganisasikan,

memilah, mensintesis, dan akhirnya menarik kesimpulan dari-

padanya.

40 Ibid., 158.
41 Lihat Djam’an Satori dan Aan Komaria, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung:
Alfabeta, 2010), 135-136.
42 Lihat Burhan Bungin, “Penelitian Kualitatif”, dikutip oleh Djam’an Satori dan

Aan Komaria, Ibid., 105.


23
G. Sistematika Penulisan

Tesis ini ditulis secara sistematis berdasarkan kerangka

penulisan sebagai berikut:

Pada bagian bab satu merupakan pendahuluan dimana di

dalamnya terdapat sub-sub pembahasan, antara lain: latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

signifikansi penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika

penulisan. Sementara itu, pada bab dua diuraikan tentang kerangka

konseptual dari tulisan ini.

Pada bab tiga, penulis mendeskripsikan tentang profil jemaat

GMI Wesley Jakarta sebagai lokus dimana penelitian dilakukan,

Selanjutnya uraian tentang temuan data lapangan sebagai hasil

penelitian dan hasil analisis kualitatif dari tulisan ini akan diuraikan

pada bab empat. Akhirnya bagian penutup yang berisikan tentang

refleksi kritis dan saran penulis dimuat pada bab lima dalam tulisan

ini.

24

Anda mungkin juga menyukai