Anda di halaman 1dari 7

KAWISTARA

VOLUME 4 No. 2, 17 Agustus 2014 Halaman 111-224

Resensi
Mencari Arah Baru Dialog
dengan Agama Lain
Heri Setyawan*

Judul Buku : “I Come from a Pancasila Family”: A Discursive Study


on Muslim-Christian Identity Transformation in
Indonesia Post-Reformasi Era
Pengarang : Suhadi
Penerbit : LIT Verlag, Zurich
Tahun : 2014
Tebal Halaman : 242 halaman
ISBN : 978-3-643-90465-2

Buku ini merupakan hasil penelitian yang lain (speak to each other). Mengikuti
tentang wacana identitas diri dan kelompok Analisis Wacana Kritis dari Fairclough dan
sebagai penganut agama dan pengaruhnya Bourdieu, gagasan pokok Suhadi mengajukan
bagi relasi antarumat beragama di Indonesia pertanyaan tersebut bahwa ketika partisipan
pasca-era Reformasi. Cara pandang penganut menyampaikan pendapatnya tentang agama
agamatertentu tentang dirinya dan penganut lain, ia melakukan dua hal sekaligus yaitu
agama lain menentukan terjalinnya relasi memproduksi teks yang disampaikan dalam
antarumat beragama di masyarakat yang kata-kata dan mengkonsumsi teks karena
plural. Sebagai hasil penelitian langsung apa yang diucapkan berasal dari ingatan
melalui Focus Group Discussion (FGD) yang dan kesan dari realitas. Suhadi dengan
melibatkan 150 orang dari agama Kristen terang menyatakan bahwa ingatan dan
dan Islam di Surakarta, Jawa Tengah, kesan itupun terbentuk dari realitas sosial
dilaksanakan tahun 2009-2010, buku ini yang dilihat partisipan dan produksi teks
menyajikan data penting dan terkini tentang yang disampaikan membentuk cara berrelasi
wacana relasi antarumat beragama di mereka terhadap yang lain (Fairclough, 1989).
Indonesia. Analisis penulis yang didasarkan Suhadimemulai penelitiannya dengan
pada Analisis Wacana Kritis (Critical bertanya kepada umat Kristen, dalam
Discourse Analysis/CDA) juga memberikan kapasitas mereka sebagai pribadi penganut
cara pembacaan baru dalam melihat relasi agama (micro-level), anggota dari institusi
antarumat beragama di Indonesia. agama yang dianutnya (meso-level), dan
Suhadi mengajukan dua pertanyaan lingkup yang lebih luas sebagai anggota
penting: bagaimana umat agama yang satu masyarakat di mana institusi agama
berbicara tentang agama lain (speak about other) memainkan perannya (macro level), tentang
dan bagaimana mereka berbicara satu dengan bagaimana pandangan umat Kristen
terhadap Islam (Bab II). Disimpulkan bahwa
* Mahasiswa pada Agama dan Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana
UGM umat Kristen memandang Islam dalam

213
Kawistara, Vol. 4, No. 2, Agustus 2014: 213-219

dua kategori besar, yaitu Islam ‘normal’ Kristen eksesif bagi mereka yang berusaha
dan Islam ‘extrem’. Islam ‘normal’ merujuk menyebarkan Kristianitas di masyarakat dan
pada penganut Islam yang menghidupi memisahkan diri dari masyarakat. Kegiatan
keislamannya, tetapi berinteraksi secara ini dinilai meresahkan kehidupan bersama.
bersaudara dalam kapasitas sebagai teman, Mereka menilai Kristen eksesifbukanlah
tetangga, atau kerabat (hal. 68-69). Kriteria Kristen Jawa (Javanese Christians) yang
hidup bersama di mana satu sama lain saling telah lama tumbuh di sekitar mereka, tetapi
menghormati dan menjaga suasana harmoni Kristen pendatang baru yang belum lama
menjadi kategori umat Kristen memandang muncul. Kristen ini biasanya secara aktif
Islam sebagai ‘normal’. Sekalipun menyadari mengajak orang untuk mengikuti ajarannya.
bahwa Kristen dan Islam adalah kelompok Sementara itu dilihat dari relasi mental
yang berbeda, tetapi bila saling menjaga (mental model), umat Islam memandang
kehidupan bersama yang harmonis,maka umat Kristen sebagai saudara, yakni sama-
Islam dinyatakan sebagai Islam ‘normal’ (hal. sama ‘anak-anak Abraham’ (children of
94-96). Islam ‘normal’ seperti ini biasanya Abraham) dan ‘orang-orang Kitab’ (people
akrab dengan masyarakat dan, dalam konteks of Book). Mereka menyadari tidak ada jarak
kehidupan bersama di Surakarta, menjun­ yang memisahkan ketika mereka hidup
jung kebudayaan Jawa. Sedangkan Islam dalam kebudayaan yang sama, terutama
dikatakan ‘ektrim’ bila sebagai penganut hidup dalam kebudayaan Jawa. Islam juga
dan kelompok Islam memisahkan diri dari memandang umat Kristen sebagai saudara
kebersamaan di masyarakat, menunjukkan yang berada dalam satu kewargaan,yaitu
sikap tidak bersahabat, menolak bergaul, warga Indonesia. Walaupun begitu, umat
bahkan menolak dasar kehidupan bersama Islam cukup merasa berjarak dengan
khususnya Pancasila yang dipandang sebagian umat Kristen etnis Tionghoa yang
partisipan semakin terkikis dalam era kebanyakan memiliki kemampuan ekonomi
kebebasan Pasca-Reformasi. Hal ini ditemui lebih tinggi. Jarak yang tercipta tidak hanya
umat Kristen bila ada Islam yang tidak mau diciptakan oleh kepercayaan yang berbeda
mengikuti undangan kegiatan bersama di tetapi lebih oleh gaya hidup dan tingkat
masyarakat atau adanya kelompok yang ekonomi yang berbeda.
atas nama Islam melakukan penertiban di Kriteria persaudaraan yang mengikat
masyarakat, demonstrasi, atau melakukan ranah sosial, keberakaran dalam tradisi Jawa
teror di depan umum. Umat Kristen menilai dan jalinan darah kembali terlihat ketika
kelompok-kelompok Islam tersebut sebagai Suhadi melanjutkan penelitian dengan
Islamgaris keras atau radikal. Mereka juga mengumpulkan partisipan dari kedua latar
dinilai tidak berakar dalam tradisi Jawa, belakang agama ke dalam satu FGD (Bab
tetapi membawa nilai-nilai dari luar. IV). Bila sebelumnya mereka diminta untuk
Mengajukan pertanyaan sebaliknya, memberikan pendapat tentang agama lain,
yaitu kepada umat Islam tentang pandangan kini mereka melakukan pembicaraan secara
mereka terhadap orang Kristen dan dengan langsung dan berbicara satu dengan yang
memakai cara analisa yang sama, dalam Bab lainnya. Keberagamaan latar belakang
III,Suhadi menemukan pengklasifikasian budaya, latar belakang keluarga, dan
Islam terhadap Kristen terbagi dalam dua kehidupan sosial ternyata menjadi pijakan
kriteria utama, yaitu Kristen yang baik (good satu dengan yang lain untuk mencari titik
Christians) dan Kristen eksesif (excessive temu dan hidup dalam kesatuan. “Saya
Christians). Dalam ranah sosial, kembali dibesarkan.... dari keluarga Pancasila. Ayah
terlihat unsur keberakaran pada tradisi dan saya Hindu, ibu saya Islam, anak-anaknya
kesatuan dalam kehidupan sosial menjadi Kristen,” begitu salah satu partisipan
landasan dalam memberikan penilaian menjelaskan latar belakangnya (hal. 156).
terhadap agama lain. Umat Islam menyebut Dengan pengalaman yang serupa beberapa

214
Resensi

partisipan lain menjelaskan latar belakang sosial. Membahas tentang identitas agama
yang sama. Salah satunya mengatakan, dan pengaruhnya bagi relasi antarumat
“Saya tumbuh dan berasal dari dua budaya beragama mau tak mau harus berpijak dari
dan dua agama yang berbeda. Kebetulan pembahasan tentang identitas. Suhadi sedari
keluarga saya adalah keluarga yang sangat awal sudah memahami bahwa identitas
demokratis menjunjung rasa kemanusiaan” keagamaan sudah tertanam (embedded) dan
(hal. 157). tidak dapat dipisahkan dari dalam diri
Dalam meso level, identifikasi diri sebagai penganut agama yang ia teliti. Identitas
kelompok yang berbeda dari yang lain tersebut membawa ke kesadaran bahwa
menemukan titik temunya dari nilai-nilai seorang penganut agamamerasa berbeda
kemanusiaan yang bersumber dari ajaran dengan sesamanya yang memeluk agama
agama masing-masing. Islam mengidenti­ yang berbeda dengan dirinya. Akan tetapi,
fikasi diri sebagai agama yang artinya‘salam’, pada saat yang sama, Suhadi berhasil
berarti ‘selamat’ dan mengajarkan ‘keindah­ keluar dari dikotomi itu. Identitas diri tidak
an’ (hal. 161), semen­tara itu Kristen meng­ tunggal, tetapi dengan mengikuti Anthony
identifikasi agama mereka sebagai pengajar Giddens, Suhadi melihat identitas adalah
cinta kasih dan meletakkan ajaran cinta kasih sebuah narasi diri (a narrative of the self).
sebagai ajaran yang paling utama (hal. 161). Narasi diri dibentuk dari bermacam situasi
Walaupun begitu perbedaan tetaplah disadari dan perubahan di sekelilingnya (Giddens,
dan kebanggaan terhadap agamanya masing- 1991). Titik berangkat identitas yang coba
masing yang diungkapkan dengan rasa diangkat Suhadi ini tepat. Perubahan sosial
syukur bahwa mereka memeluk agamanya tidak hanya mempengaruhi identitas yang
juga menjadi salah satu identifikasi diri sebagai selama ini dihidupi, tetapi bertemunya
kelompok yang membedakan diri dengan aneka kebudayaan dan cara pandang baru
kelompok lain. Seorang Kristen me­ngatakan membentuk suatu percampuran budaya
‘puji Tuhan’ atas ibunya yang men­jadi Kristen, baru atau hibriditas yang semakin merambah
sementara itu seorang Islam mengatakan ke dalam masyarakat plural sekarang ini.
‘Alhamdulillah’ bagi seluruh keluarganya yang Budaya yang hibrid membuat identitas diri
terlahir sebagai Islam (hal. 202-206). Kesadaran tidak singular lagi.
bahwa mereka adalah berbeda terungkap Di tengah hibrid atas budaya tersebut,
dalam sebutan ‘kami’ untuk menyebut diri identitas agama memainkan perannya sebagai
sendiri dan kelompoknya dan ‘mereka’ untuk sebuah kebudayaan di antara budaya-budaya
menyebut pemeluk agama lain. Perbedaan lain, namun sekaligus bersinggungan bahkan
itu dilihat sebagai pembedaan (distinction), bisa terjadi konflik dengan kebudayaan
tetapi Suhadi menunjukkan bahwa dalam lain. Suhadi berhasil menunjukkan bahwa
kehidupan bersama, kata ‘mereka’ tidak serta pengakuan terhadap identitas agama lain
merta memisahkan dan berlawanan dengan sebagai berbeda dengan identitas agama yang
yang lain, tetapi mengandung unsur inklusif dianutdapat saling diterima bila identitas
(hal. 203). Dalam ranah interpersonal dan sosial kemasyarakatan tetap dipegang.
kehidupan bersama, aspek persaudaraan, Akan tetapi, bila identitas agama merusak
pertemanan, ketetanggaan, dan kerjasama, harmoni sosial, perbedaan itu berujung
seperti kerja bakti dan perkumpulan sosial pada pembedaan yang saling mengalienasi.
menyatukan mereka untuk menerima yang Kepada yang berbeda kemudian disematkan
lain sebagai bagian dari kelompoknya (hal. sebutan ‘ekstrim’, ‘tidak baik’, ‘eksesif’,
203). ‘kafir’, ‘tidak nasionalis’, dan lain-lain.
Pada konteks identitas inilah sebenarnya
Identitas dan Hibriditas dapat lebih didalami bahwa pada saat yang
Tema identitas menjadi tema pelik sama,pihak yang dianggap ‘ekstrim’, ‘tidak
yang menjadi bahan diskusi para ilmuwan baik’, ‘eksesif’ atau ‘kafir’ juga sedang me­

215
Kawistara, Vol. 4, No. 2, Agustus 2014: 213-219

nunjukkan identitasnya sebagai penganut telah ada sebelumnya. “Ruang ketiga” ini
agama sebagaimana mereka yakini. Mereka adalah juga hasil dari hibriditas itu sendiri.
juga sedang menghidupi suatu identitas Ia tidak memperhitungkan minoritas
sebagaimana mereka percayai dan bentuk. dan mayoritas, berangkat dari keinginan
Sayangnya Suhadi tidak banyak menguak yang sama untuk hidup berdampingan
bagaimana yang disebut ‘ekstrim’, ‘eksesif’, membangun kebudayaan bagi semua
dan dialienasi ini mengidentifikasikan diri dengan tetap berangkat dari perbedaan yang
dan mengidentifikasi yang lain. ada dan saling mengakui perbedaan yang
Masyarakat yang plural dan budaya ada. Menurut penulis, di sinilah peluang
yang hibrid ini, maka paham-paham yang untuk membangun fondasi dialog antarumat
bersumber dari nilai-nilai sosial, agama, beragama berada.
lokal, dan global saling bersinggungan. Di
tengah budaya yang saling bersinggungan Melampaui Inklusivisme dan
itulah pertanyaan penting tentang relasi Pluralisme
antarumat beragama dapat diajukan: Mencari titik pijak yang disebut Homi
dapatkah ditemukan titik pijak bagi suatu Bhabha sebagai ‘ruang ketiga’ tersebut,
kehidupan harmonis antaragama di tengah tidak berarti serta merta menghilangkan
perbedaan dan pertemuan banyak budaya? budaya lama atau meninggalkan identitas
Ke arah mana dialog antarumat beragama lama, tetapi membawanya dalam area
dapat dituju? wacana bagi kepentingan semua. Seperti
Peter Mandaville ketika memaparkan itulah yang nampak dalam penelitian Suhadi
model translokalitas (translocality) dari dalam bukunya. Relasi selalu berada dalam
gerakan transnational Islam, salah satunya tegangan antara menunjukkan identitas
menunjukkan identitas di tengah hibriditas. diri, berpegang pada nilai-nilai sosial, dan
Teori hibriditas (hybridity theory) yang penempatan posisi di antara identitas diri
awalnya berpijak dari teori bahasa Mikhail dan penerimaan yang lain yang berbeda.
Bahktin (1981) dikembangkan dalam teori ‘Ruang ketiga’ dengan demikian tidak diisi
postkolonial, misalnya oleh Homi Bhabha, dengan mencari payung bagi semua yang
sebagaikondisi hilangnya otoritas suatu serta merta dapat diberlakukan bagi semua
budaya tertentu ketika terjadi percampuran seakan-akan benar-benar dapat diciptakan
dari berbagai kebudayaan yang berbeda satu rumusan lugas seperti yang diusulkan
(Bhabha, 1994). Akan tetapi, melanjutkan Hans Kung dengan etika globalnya (Kung,
pemikiran Homi Bhabha, Mandaville 1997). Hal ini juga bukan seperti dalam
berargumen hilangnya otoritas suatu klasifikasi respon terhadap pluralitas agama
budaya tidak mengarah kepada relativisme seperti yang pertama kali dikemukakan
budaya atau kebingungan budaya, tetapi Alan Race dan berkembang dalam wacana
justru situasi yang hibrid dapat menjadi dialog antarumat beragama, yaitu klasifikasi
muara munculnya sebuah wacana ‘ruang ekslusif, inklusif, dan pluralis (Alan Race,
ketiga” (third space),yaitu suatu area wacana 1983).
yang tidak memilih satu di antara yang Model inklusif seperti yang kemudian
lain, tetapi menemukan ruang antara bagi dijelaskan Paul Knitter dalam model
terciptanya sebuah budaya baru yang pemenuhan (fulfillment model) sebagai pene­
berguna bagi semua. Ketika diwawacarai rimaan agama yang lain karena agama yang
oleh Jonathan Rutherford (1990), Bhabha lain pun dapat menjadi jalan keselamatan
menjelaskan bahwa wacana dalam ‘ruang walaupun yang pasti keselamatan itu secara
ketiga’ yang dimaksud bukan gabungan partikular adalah dalam agamanya sendiri
dari budaya-budaya lama yang muncul tidaklah mencukupi (Knitter, 2002:63). Model
kembali, tetapi sebuah kebaruan yang ini tetaplah meletakkan superioritas pada
menerobos batas identitas semua yang agama diri sendiri, membuat jarak terhadap

216
Resensi

agama lain sehingga tidak mencukupi bagi of London (2002) mengembangkan sebuah
terjalinnya dialog.Model pluralis di mana teologi dialog (theology of dialogue) dengan
Paul Knitter memosisikan dirinyajuga berpijak dari pengakuan akan perbedaan,
rentan terhadap kritik. Pertama karena posisi tetapi merancang wacana baru dengan saling
kesejajaran yang dilihat mengarah kepada belajar untuk memunculkan kebaruan.
relativisme. Kedua, terlebih karena ia berhenti Barnes berangkat dari pandangan filosofis
pada penerimaan satu terhadap yang lain Emanuel Levinas (Totality and Infinity, 1969
dan dengan menerima berarti terobosan baru dan Time and the Other, 1987) dan Paul Ricoeur
tidak dapat ditempuh lagi. (Oneself as Another, 1992) tentang yang lain
Knitter mengajukan dua model untuk (the other) dan tuntutan etis ketika mengalami
menjelaskan pluralisme, yaitu ‘mutuality’ dan perjumpaan dengan yang lain. Barnes tidak
‘acceptance’. Penjelasan pertama, “mutuality sedang merancang sebuah teologi tentang
model” berpijak dari paham teosentris, dialog (theology about dialogue) seperti yang
tentang cara Tuhan merepresentasikan umumnya dilakukan para teolog, tetapi
dirinya. Knitter memandang bahwa repre­ sebuah teologi dialog (theology of dialogue).
sentasi Tuhan dapat mengambil wujud
yang berbeda-beda. Ia misteri. Bagi orang Identitas, Alteritas, dan Altruisme
Kristen representasi Tuhan adalah Yesus Levinas menentang egologia yang
Kristus dan representasi itu berlaku normatif menempatkan diri sendiri sebagai pusat
bagi orang Kristen, tetapi Tuhan juga dapat dan dengannya dapat membuat konsep
merepresentasikan dirinya dalam yang tentang yang-lain (the other). Bagi Levinas,
lain dan hal itu juga berlaku normatif bagi sesama lain tidak dapat dikenali secara
pengikutnya (Knitter, 2002:156). Penjelasan absolut atau mutlak. Yang-lain tidak
kedua “acceptance model”, yaitu mengajak dapat diukur (incommensurable) apalagi
pemeluk agama untuk menerima pemeluk direduksi dalam pemahaman-pemahaman
agama lain apa adanya bersumber dari ajaran tertentu. Mengatakan ‘yang-lain sebagai
agamanya sendiri (Knitter, 2002:238-239). bukan diri saya’ pun tidak tepat karena hal
Hal inilah yang juga terjadi dalam penelitian itu membatasi yang-lain. Yang-lain tidak
Suhadi ketika Islam mengidentifikasi diri dapat ditotalkan (totalité) dan tidak dapat
sebagai agama damai dan Kristen sebagai didefinisikan (infinité). Maka yang-lain tetap­
agama cinta kasih. “Acceptance model” ini lah asing (stranger). Relasi dengan yang-lain
mendorong pemeluk agama untuk menerima adalah relasi asimetris,yaitu sama-sama
yang lain sebagaimana adanya (Knitter, asing (absolut stranger). Namun demikian
2002:240). Posisi yang kurang lebih sama juga keterasingan bagi Levinas justru adalah
seperti yang telah dijelaskan John Hick (1989) sebuah undangan (appeal) untuk berbuat etis,
ketika mengkritik absolutisme Kristiani dan terwujud dalam hal yang konkret (Levinas,
mengembalikan prinsip pluralisme pada 1969). Perjumpaan dengan yang asing
teisme daripada melalui siapa keselamatan menuntut tanggung jawab menerima yang
dibawa. lain.
Wacana dalam “ruang ketiga” yang dapat Akan tetapi, bagi Barnes, jurang yang
dibayangkan adalah melampaui kategori menganga antara satu dengan yang-lain yang
inklusifisme, ekslusifisme, dan pluralisme. berada dalam keterasingan menimbulkan
Wacana yang terjadi dalam ‘ruang ketiga’ pertanyaan besar, apakah jurang itu tidak
adalah mengakui perbedaan (difference), dapat dijembatani? Melanjutkan gagasan
namun pada saat yang sama melanjutkan Levinas, Barnes melihat Ricoeur masuk ke
yang dirumuskan kaum pluralis sebagai dalam hermeneutika bahasa, yaitu dalam
‘mutuality’, yaitu saling belajar dari yang perjumpaan dengan yang-lain, diri dipanggil
lain, dan dengan proses itu memunculkan untuk menanggapi bahasa yang disampai­
kebaruan. Michael Barnes dari University kan oleh yang-lain (Barnes, 2002:103-105).

217
Kawistara, Vol. 4, No. 2, Agustus 2014: 213-219

Perjumpaan mengundang tanggung jawab itu sendiri, suatu pemahaman baru yang
untuk menanggapi dan menerima yang-lain. muncul dari perjumpaan ketika identitas diri,
Gerak tanggapan terhadap yang-lain adalah alteritas, dan berorientasi kepada yang-lain
dari dalam diri sendiri, yaitu tanggung jawab saling bertemu dan membentuk rumusan
untuk memberikan tanggapan etis bagi yang- baru. Kemampuan untuk mendengarkan
lain, bukan menuntut yang-lain. Pada konteks yang lain (severer listening) menurut Barnes
itulah ketika identitas diri berhadapan menjadi kunci keberhasilan wacana ‘ruang
dengan yang-lain, justru identitas diritidak ketiga’ ini.
menjadi tertutup, masuk dalam ekslusifisme,
atau membangun relasi superior dan inferior, Dialog Agama Post-Nasion
tetapi untuk bertanggung jawab terhadap Keberadaan agama di Indonesia khusus­
yang lain. Dalam dialog, terjadi pergeseran nya pasca Reformasi juga ditunjukkan
dari identitas diri yang egosentris kepada Suhadi tidak serta merta terkikis oleh
altruis, berorientasi kepada yang-lain. Dalam budaya yang bercampur, namun justru
dialog antarumat beragama, identitas religius menemukan eksistensi baru, baik dengan
seseorang diteguhkan dengan menerima munculnya kelompok lokal maupun gerakan
yang-lain tanpa bermaksud mengubah atau transnational dalam Islam (Mandaville, 2001)
memberikan definisi terhadap yang-lain maupun dalam Kekristenan (G. Kirchberger,
(totality and infinity ). J. Prior, 2007). Keberadaan gerakan agama
Dengan demikian alteritas (menjadi tersebut dilihat justru mengikis ikatan
yang-lain dan berbeda) dan altruisme sosial bahkan kebangsaan yang selama ini
(berorientasi kepada yang lain) dapat menyatukan umat berbagai agama dalam
menciptakan ‘ruang ketiga’ di antara relasi satu bangsa seperti yang dikemukan Benedict
antarumat beragama yang berbeda. Dalam Anderson dalam satu ‘imagined community’.
bahasa Talal Asad yang ditunjukkan Barnes, Era Reformasi dilihat terutama bagi gerakan
ruang untuk menjadi altruis dan berempati agama yang disebut ‘garis keras’ (hardliner)
tersebut adalah ketrampilan khusus untuk mendukung terkikisnya nilai Pancasila.
menjadi pribadi yang gesit (mobile personality), Sementara itu ikatan sosial kemasyarakatan
yaitu kemampuan untuk mampu hidup dan yang diwujudkan dalam sikap bersaudara,
bernegosiasi di antara dua tegangan yang tegur sapa, saling mengunjungi, memberi
ada, yakni dengan menciptakan ‘ruang ucapan selamat hari raya, kebersamaan
antara’ (space between) (Asad 1993:11). menjaga tradisi Jawa tetap menjadi kriteria
Suhadi melalui penelitian ini dengan tepat, menilai agama lain padahal kebiasaan itu
mengikuti Flood (1999:113), menempatkan sendiri tanpa disebabkan oleh alasan agama
agama sebagai sebuah peristiwa komunikasi pun eksistensinya mengalami tantangan,
(a communicative and speech event) (Suhadi, sejalan dengan perubahan kehidupan sosial
2014:213). Perjumpaan antarumat beragama di masyarakat.
adalah peluang untuk menciptakan wacana Bagaimana ikatan sosial yang semakin
‘ruang ketiga’ di mana komunikasi terjadi terkikis mampu memainkan perannya
dengan saling berorientasi kepada yang- lagi dalam mendukung relasi antarumat
lain. Bahkan saling menerima bukan hanya beragama dalam satu kebangsaan? Pada
pribadi yang-lain, tetapi juga pemikiran dan konteks membentuk wacana‘ruang ketiga’,
seluruh diri yang-lain. Barnes dalam hal alih-alih menjadikan ikatan sosial atau tradisi
ini memberanikan diri mengajukan sebuah dan etnisitas sebagai tolak ukur penilaian
teologi dialog (theology of dialogue) yakni terhadap yang-lain, mengikuti Barnes
teologi yang dibangun dari perjumpaan, adalah justru saat untuk saling bertemu,
penerimaan, dan belajar dari agama-lain. berdialog, mendengar dan belajar dari yang-
Teologi atau sebuah pemahaman yang diarah lain serta mentransformasi diri berdasarkan
oleh Barnes adalah isi dari ‘ruang ketiga’ penerimaan dan pembelajaran dari yang-

218
Resensi

lain. Dialog menjadi ajang intersubyektivitas dan tradisi, serta identitas diri dan identitas
yakni berelasi dalam kapasitasnya dalam keberbedaanjugadisintesakan dalam suatu
perbedaan dan kesadaran menerima yang wacana dialogis, entah itu teologi atau
lain. Dialog seperti yang telah banyak pandangan filosofis antropologis, yang
dipromosikan dalam dialog antaragama, berorientasi kepada yang-lain dan meletak­
dapat dibentuk dalam dialog kehidupan kan kesatuan sebagai pilar yang utama.
(dialogues of life), dialog aksi (dialogues Wacana ‘ruang ketiga’ tersebut terbuka lebar
of action), atau dialog agama-agama dan buku ‘I Come from a Pancasila Family’ telah
(dialogues of religions) di mana agama- berhasil menjadi sebuah awal dari wacana
agama saling berbagi dan belajar. Ikatan dalam ‘ruang ketiga’ untuk memandang
kebangsaan, ikatan sosial kemasyarakatan undangan etis dari kehadiran yang-lain (the
other).

219

Anda mungkin juga menyukai