Anda di halaman 1dari 5

INKLUSIVISME

Gloria Vincentia Riyadi (170241608556)

Pengertian Inklusivisme
“Three Models”

Menurut Carl E. Braaten dalam bukunya pada tahun 2008 yang berjudul “That All May
Believe: A Theology of the Gospel and the Mission of The Church” memaparkan bahwa, mengalami
fenomena pluralisme agama dan memikirkannya adalah dua hal yang berbeda. Dorongan untuk
memikirkan tentang agama Kristen dan agama dunia dalam cara yang kritis datang dari Paul Tillich,
seorang Doktor di Harvard Divinity School pada 1950-an. Tidak sampai bertahun-tahun kemudian
pencarian teologi agama Kristen menjadi tema populer dalam ruang diskusi teologis. Ini telah
menjadi masalah terpenting dalam identitas Kristen. Dimana pertanyaan utamanya adalah
bagaimana kekristenan membela diri dari positivisme ilmiah barat, humanisme sekuler, nihilisme
ateistik, dan ideologi anti-Kristen. Sekarang tugas apologetik telah melebar ke proporsi global untuk
mendefinisikan iman Kristen dalam kaitannya dengan klaim kebenaran dari agama-agama besar
lainnya, tradisi dan pandangan dunia.

Banyak pandangan yang kompleks tentang kekristenan dengan korelasinya dengan agama
lain sudah banyak berkembang. Salah satunya adalah pandangan Inklusivisme merupakan salah
satu dari tiga pandangan teologi “Three Models” yang dipaparkan oleh seorang Rector, Revd. Dr.
Alan Race, gereja St Margaret’s Church di London, Inggris. Alan Race menyederhanakan banyaknya
pandangan menjadi Three Models atau tiga model, yaitu ekslusivisme, inklusivisme, dan pluralism
(Alan Race, Christians and Religious Pluralism, Maryknoll, NY: Orbis Books, 1982). Klasifikasi ini
telah berhasil untuk mempermudah kita dalam memahami pandangan-pandangan kekristenan
dengan korelasinya dengan agama lain. Tetapi seperti halnya dengan setiap tipologi, klasifikasi
yang satu ini memiliki jebakannya tersendiri. Ini menjadi sangat tidak nyaman ketika seseorang
menemukan dirinya sendiri atau teolog favoritnya dalam cara perdagangan karikatur dan slogan-
slogan sederhana yang sangat dangkal. Contohnya, dalam tipologi “Three Models” ini Karl Barth
(seorang teolog Reformed Swiss) menjadi seorang yang eksklusif yang membuatnya terdengar
seperti Jerry Falwell (pendeta pendiri gereja Thomas Road Baptist Church di Lynchburg, Virginia,
Amerika Serikat), dan Paul Johannes Tillich (filsuf Kristen Jerman-Amerika dan teolog Litheran
Protestan) menjadi seorang pluralis yang membuatnya terdengar seperti Matthew Fox (pendeta dan
teolog Amerika). Dan semua jenis orang dimasukkan ke dalam kategori inklusivist tanpa
memperhitungkan komitmen teologis mereka yang nyatanya sangat berbeda. Maka dari itu
pemahaman yang benar dan secara keseluruhan baik di ketahui bagi mahasiswa Kristen, khususnya
dalam makalah ini akan membahas lebih dalam terkait “Three Models”.

Gavin D’Costa menjelaskan bahwa adanya keterbatasan dalam klasifikasi paham menjadi
tiga model ini. Pada dasarnya tiga model ini mewakili garis besar beberapa pengandaian guna
pendekatan yang berbeda-beda dari upaya Kristen untuk memahami agama-agama yang lain.
Model-model ini terbatas dan terkadang berbahaya dalam konteks yang salah, namun bermanfaat
untuk memberi penjelasan dan mengarahkan pemahaman. Prespektif Kristen dalam pandangannya
kepada agama-agama lain diklasifikasikan menjadi tiga kelompok umum, yaitu ekslusivisme,
inklusivisme, dan pluralism:

model Pandangan Kristen

Konservatif evangelical

Protestan arus utama (Mainline Protestant)


ekslusivisme
Eklesiosentris

Kristus bertentangan dengan agama-agama

Protestan arus utama

Katolik Roma

inklusivisme Kristosentris

Kristus dalam agama-agama

Kristus di atas agama-agama

Teosentris
pluralisme
Kristus Bersama agama-agama

(Paul F. Knitter, “Satu Bumi Banyak Agama”, 1995)

Inklusivisme

2
Inklusivisme telah menjadi semakin populer sejak pertengahan abad kedua puluh. Dimana
gereja Protestan akhirnya mulai mengakui dan bahkan turut merayakan kehadiran Allah yang
adalah sang Penyelamat sepanjang sejarah, dan hal itu di dalam agama-agama lain juga. Kalau
kasih Allah merangkul semua orang tak terkecuali secara nyata dan hadir. Ada dua bentuk makna
inklusivisme: (1) sebagaimana seseorang akhirnya bisa selamat selain secara eksplisit mengakui
Kristus; (2) sebagaimana agama-agama non-Kristen dapat dikatakan memiliki unsur keselamatan,
sejauh diakui bahwa non-Kristen dapat diselamatkan sebagai non-Kristen (Gavin D’Costa,
“Christianity and World Religions: Disputed Questions in the Theology of Religion” 2009). Dari
penjelasan lainnya, menurut Clark H. Pinnock (dalam artikel majalah Reformata Edisi 79 tahun 2008
oleh Pdt. Mangapul Sagala, D.Th) menjelaskan bahwa ada tiga pandangan inklusivisme melihat
agama lain: (1) jika ada orang lain yang diselamatkan itu sepenuhnya karena pengorbanan dan
kematian Tuhan Yesus di kayu salib, (2) Agama lain tidak menawarkan keselamatan sebagaimana
ditemukan di dalam Kristen, (3) namun keselamatan yang ditawarkan Allah sedemikian luas dan
besar hingga tidak semua orang secara eksplisit percaya dan menerima keselamatan dari Yesus.
C.S. Lewis menekankan bahwa inklusivisme adalah bahwa orang-orang di dalam agama lain
dipimpin oleh Allah tanpa mereka sadari, yang sebenarnya dan ada persamaan dan unsur Kristen
dalam agamanya masing-masing tanpa mereka ketahui atau ketahui (Ibid, 188).

Menurut yang di paparkan D’Costa, Inklusivisme dibagi menjadi dua jenis. (a) Structural
inclusivism berpendapat bahwa Kristus adalah wahyu normatif dari Allah, meskipun keselamatan
dimungkinkan di luar gereja Kristen secara eksplisit. keselamatan tersedia, atau mungkin, tersedia
melalui agama lain, tetapi keselamatan ini selalu dari Kristus. Jenis inklusivisme ini mengandung
legitimasi pluralis dari agama lain sebagai struktur penyelamat sementara juga berpegang pada
klaim eksklusif tentang rahmat penyelamatan Kristus semata-mata saja. (b) Restrictivist inclusivist
berpendapat bahwa Kristus adalah wahyu normatif dari Allah, meskipun keselamatan dimungkinkan
di luar gereja Kristen secara eksplisit, tetapi ini tidak memberikan legitimasi kepada agama lain
sebagai jalan atau struktur penyelamatan yang sebenarnya. Para teolog mencoba berhati-hati
untuk membatasi rasa inklusivisme Allah kepada orang-orang dan elemen budaya mereka, tetapi
tidak pada agama mereka semata. Dalam keduanya, Kristus secara ontologis dan kausal eksklusif
untuk keselamatan umat manusia, tetapi tidak harus secara epistemologis.

Di dalam posisi inklusivisme menurut D’Costa, agama-agama lain di luar kekristenan,


terlepas dari penyimpangannya, karen ada unsur buah-buah Roh dalam ajaran merekadan nyata
antara mereka, maka itulah sarana kasih dan kehadiran Allah dalam agama-agama lain. Dalam
kekristenan buah-buah roh terdiri dari Kasih, Sukacita, Damai, Sejahtera, Kesabaran, Kemurahan,
Kebaikan, Kesetian, Kelemahlembutan, Penguasaan Diri. Contohnya, dalam ajaran Buddha ada
delapan jalan kebenaran (astavida) salah satuny adalah Pandangan Benar yang artinya melihat
dunia melalui mata Sang Buddha dengan Kasih dan Kelemahlembutan (unsur buah-buah Roh).
Kemudian dalam agama Hindu (menurut kitab Veda) hubungan manusia dengan sesama manusia

3
mengarah kepada kerukunan dengan tujuan kebahagiaan dan perdamaian yang kekal (unsur buah-
buah Roh yaitu Damai dan Sukacita).

Dasar teologis dari model inklusivis menurut Paul F. Knitter terdapat pada kristologinya,
bagaimana cara komunitas Kristen ini memahami Yesus. Beberapa di antara mereka berpendapat
bahwa dilihat dari kesaksian Perjanjian Baru (PB), apa pun kebenaran dan kehadiran Roh dalam
agama-agama lain adalah “secara anonym bersifat Kristen” atau Kristen tanpa nama. Para inklusivis
lainnya melihat Yesus sebagai wakil atau representative kasih dan kebenaran Allah yang
menyelamatkan secara menyeluruh dalam lingkup hidup manusiawi.

Inklusivisme lewat sudut pandang Iman KRISTEN


 Menurut Ronald H. Nash dalam bukunya “Is Jesus the Only Savior?”, 1994.

Pada tingkatan apa pun kaum evangelis merasa inklusivisme mengecewakan atau
bermasalah. Ronald H. Nash menyatakan penolakan kepada inklusivisme tersebut. Bahkan
menurutnya, pluralism dan inklusivisme adalah ancaman bagi kekristenan. Penolakan pertama
muncul dalam penegasan Yesus pada Yohanes 14: 6 “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup.
Tidak ada seorang pun yang dating kepada Bapa, kalau tidak melaui Aku.”, dari ayat tersebut
dapat kita simpulkan dengan jelas dan tegas bahwa Yesus menegaskan bahwa Dialah satu-
satunya jalan kepada keselamatan.

 Menurut Pdt. Mangapul Sagala, D.Th. Staf Senior Perkantas Jakarta dalam artikel “Sekilas
tentang Inklusivisme”, 2008.

Beliau menyetujui bahwa allah mengasihi semua orang, dan Dia memiliki kedaulatan
penuh untuk menyelematan siapa saja yang dikehendakai-Nya. Namun demikian, hal itu tidak
dapat dilepaskan dari sikap percaya dan menerima-Nya. Dengan perkataan lain, keselamatan
tidak terjadi secara otomatis. Hal itu sangat jelas ditegaskan oleh Yohanes, bahkan sejak pasal
pertama: “… tetapi setiap orang yang menerimaNya” (Yoh. 1: 12; Yoh 3: 16). Selanjutnya, saya
juga menyetujui kemungkinan bahwa Allah dapat bekerja di dalam agama lain. Namun
demikian, perlu diketahui bahwa adanya kemungkinan masih tetap merupakan kemungkinan,
tidak sam adengan kepastian. Dengan perkataan lain, apa yang dianggap sebagai kemungkinan
tidak menjamin adanya kenyataan.

 Menurut Zondervan, “Four Views on Salvation in a Pluralistic World”.

Premis inklusivisme tampaknya beralasan secara teologis. Allah hadir sebagai Pencipta
Tritunggal dan Penebus di mana-mana karena Allah telah menciptakan seluruh dunia, karena
Yesus Kristus mati untuk semua umat manusia, karena Roh memberi kehidupan kepada

4
ciptaan. Yang paling khusus dan terpenting, para inklusif percaya bahwa Roh di mana-mana
bekerja sebelum misi untuk mempersiapkan jalan bagi Yesus Kristus. Kami menolak untuk
mengizinkan disjungsi antara sifat dan kasih karunia atau antara kasih karunia yang umum dan
yang menyelamatkan, pada anggapan bahwa, jika Allah Tritunggal hadir, kasih karunia harus
hadir juga.

Kesimpulannya lebih kontroversial, meskipun itu hanya menarik keluar apa yang melekat
pada premis. Sampai sekarang jarang diusulkan bahwa Roh dapat hadir dalam lingkungan
religius kehidupan manusia. Para teolog mungkin rela mengatakan bahwa anugerah Allah
beroperasi di luar gereja - tetapi tidak mengatakan bahwa anugerah dapat ditemukan dalam
konteks agama-agama non-Kristen. Inklusivisme memiliki risiko kecurigaan dalam
menyarankan bahwa agama-agama non-Kristen mungkin bukan hanya sarana pengetahuan
alam tentang Tuhan, tetapi juga lokasi rahmat Tuhan yang diberikan kepada dunia karena
Kristus. Seperti model-model lainnya, inklusivisme bukanlah posisi tunggal yang didefinisikan
secara ketat. Pendekatan ini terbuka untuk melihat Allah bekerja di orang-orang non-Kristen
dan di lembaga-lembaga keagamaan non-Kristen.

Daftar Pustaka
Alan Race, “Christians and Religious Pluralism, Maryknoll, NY: Orbis Books”, 1982

Carl E. Braaten, “That All May Believe: A Theology of the Gospel and the Mission of The Church”,
2008

Paul F. Knitter, “Satu Bumi Banyak Agama”, 2008

Gavin D’Costa, “Christianity and World Religions: Disputed Questions in the Theology of Religion”,
2009

Zondervan, “Four Views on Salvation in a Pluralistic World”

Majalah Reformata edisi 79 Tahun VI 16-31 Maret 2008 (Pft Mangapul Sagala, D.Th, “Sekilas
Tentang Inklusivisme”)

Anda mungkin juga menyukai