Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Komunikasi merupakan suatu hal yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia.
Dan bahkan komunikasi telah menjadi fenomena fenomena bagi terbentuknya suatu
masyarakat atau komunitas yang terintegritas oleh informasi, di mana masing-masing
individu dalam masyarakat itu sendiri saling berbagi informasi (information sharing)
untuk mencapai tujuan bersama. Secara sederhana komunikasi dapat terjadi apabila ada
kesamaan antara penyampai pesan dan orang yang menerima pesan. Senada dengan hal
ini bahwa komunikasi atau communication berasal dari bahasa Latin “communis”.
Communis atau dalam bahasa Inggrisnya “commun” yang artinya sama. Apabila kita
berkomunikasi (to communicate) ini berarti bahwa kita berada keadaan berusaha untuk
menimbulkan kesamaan (Suwardi 1986:13).

Definisi lain tentang komunikasi seperti yang dikemukakan Moor (1993:78) adalah
penyampaian pengertian antarindividu. Dikatakannya semua manusia dilandasi kapasitas
untuk menyampaikan maksud, hasrat perasaan, pengetahuan dan pengalaman dari orang
yang satu kepada orang yang lain. Pada pokoknya komunikasi adalah pusat minat dan
situasi perilaku dimana suatu sumber menyampaikan pesan kepada seorang penerima
dengan berupaya mempengaruhi perilaku penerima tersebut.

Komunikasi juga dipahami sebagai suatu bentuk komunikasi interaksi, yaitu


komunikasi dengan proses sebab-akibat atau aksi-reaksi yang arahnya bergantian.
(Mulyana, 2006:65). Dalam konteks ini komunikasi melibatkan komunikastor yang
menyampaikan pesan, baik verbal maupun nonverbal kepada komunikan yang langsung
memberikan respons berupa verbal maupun nonverbal secara aktif. Theodorson (1969)
selanjutnya mengemukakan pula bahwa, komunikasi adalah proses pengalihan informasi
dari satu orang atau sekelompok orang dengan menggunakan symbol-simbol tertentu
kepada satu orang atau kelompok lain. Proses pengalihan informasi tersebut selalu
mengandung pengaruh tertentu. Komunikasi yang efektif ditandai dengan hubungan
interpersonal yang baik.

1
Budaya adalah bentuk jamak dari kata budi dan daya yang berarti cinta, karsa, dan
rasa. Kata budaya sebenarnya berasal dari kata Sansekerta budhayah yaitu bentuk jamak
kata budhi yang berarti budi dan akal.

Budaya berkenan dengan cara manusia hidup. menusia belajar berpikir, merasa,
mempercayai, dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa,
persahabatan, kebiasaan makan, praktik komunikasi, tindakan-tindakan sosial, kegiatan-
kegiatan ekonomi dan politik, dan teknologi, semua itu berdasarkan pola-pola budaya.
Ada orang-orang yang berbicara bahasa Tagalog, memakan ular, menghindari minuman
keras terbuat dari anggur, menguburkan orang-orang yang mati, berbicara melalui
telepon, atau meluncurkan roket ke bulan, ini semua karena mereka telah dilahirkan atau
sekurang-kurangnya dibesarkan dalam suatu budaya yang mangandung unsure-unsur
tersebut. Apa yang orang-orang lakukan, bagaimana mereka bertindak, bagaiman mereka
hidup dan berkomunikasi, merupakan respons-respons terhadap dan fungsi-fungsi dari
budaya mereka.

Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya
didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna,
hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek
materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi
melalui usaha individu dan kelompok. Budaya menampakkan diri dalam pola-pola bahasa
dan dalam bentuk-bentuk kegiatan dan perilaku yang berfungsi sebagai model-model
tindakan-tindakan penyesuaian diri dan gaya komunikasi yang memungkinkan orang-
orang tinggal dalam suatu masyarakat di suatu lingkungan geografis tertentu pada suatu
tingkat perkembangan teknis tertentu dan pada suatu saat tertentu.

Budaya dan komunikasi tak dapat dipisahkan oleh karena budaya tidak hanya
menentukan siapa yang bicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang menyandi
pesan, makna yang ia miliki untuk pesan, dan kondisi-kondisinya untuk mengirim,
memperhatikan dan menafsirkan pesan. Sebenarnya seluruh perbendaharaan perilaku kita
sangat bergantung pada budaya dan tempat kita dibesarkan. Konsekuensinya, budaya
merupakan landasan komunikasi. Bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam
pula praktik-praktik komunikasi.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana manusia dan kebudayaannya?

2
2. Apa saja sifat-sifat budaya?
3. Bagaimana komunikasi injil dalam etika yang berbeda?
4. Apa yang dimaksud gegar budaya?

C. Tujuan
1. Mengetahui manusia dengan kebudayaannya.
2. Mengetahui sifat-sifat budaya.
3. Mengetahui tentang komunikasi injil dalam etnik yang berbeda.
4. Mengetahui tentang gegar budaya.

3
BAB II

KOMUNIKASI INJIL PADA BUDAYA DAN ETNIK YANG


BERBEDA
A. Manusia dan Kebudayaan
a. Perwujudan Kebudayaan
Beberapa ilmuwan seperti Talcott Parson (Sosiologi) dan Al Kroeber
(Antropolog) menganjurkan untuk membedakan wujud kebudayaan secara tajam
sebagai suatu sistem. Dimana wujud kebudayaan itu adalah sebagai suatu rangkaian
tindakan dan aktivitas manusia yang berpola. Demikian pula J.J. Honigmann dalam
bukunya The World of Man (1959) membagi budaya dalam tiga wujud yaitu: ideas,
activities, and artifact. Sejalan dengan pikiran para ahli tersebut, Koentjaraningrat
mengemukakan bahwa kebuyaan itu digolongkan dalam tiga wujud yaitu:
1. Wujud sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan
peraturan.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari
manusia dalam masyarakat.
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
b. Substansi (Isi) Utama Budaya
Substansi atau (Isi) utama kebudayaan merupakan wujud abstrak dari segala
macam ide dan gagasan manusia yang bermunculan di dalam masyarakat yang
memberi jiwa kepada masyarakat itu sendiri, baik dalam bentuk atau berupa sistem
pengetahuan, nilai, pandangan hidup, kepercayaan, persepsi, dan etos kebudayaan.

B. Sifat-Sifat Budaya
Kendati kebudayaan yang dimiliki oleh setiap masyarakat itu tidak sama, seperti di
Indonesia yang terdiri dari berbabagai suku bangsa yang berbeda, tetapi setiap
kebudayaan mempunyai ciri atau sifat yang sama. Sifat tersebut bukan diartikan secara
spesifik, melainkan bersifat universal. Di mana sifat-sifat budaya itu akan memiliki cirri-
ciri yang sama bagi semua kebudayaan manusia tanpa membedakan faktor ras,
lingkungan alam, atau pendidikan. Yaitu sifat hakiki yang berlaku umum bagi semua
budaya di mana pun. Sifat hakiki dari kebudayaan tersebut antara lain:
1. Budaya terwujud dan tersalurkan dari perilaku manusia.

4
2. Budaya telah ada terlebih dahulu daripada lahirnya suatu generasi tertentu dan tidak
akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan.
3. Budaya diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya.
4. Budaya mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban-kewajiban, tindakan-
tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan-tindakan yang dilarang, dan tindakan-
tindakan yang diizinkan.

C. Komunikasi Injil Dalam Etnik yang Berbeda


Betapapun pentingnya pembebasan sosial, politik, dan ekonomi, misi jemaat tidaklah
dimaksudkan terutama untuk hal itu. Tentu kesadaran orang Kristen terhadap masalah
sosial, politik, dan ekonomi menjadi celik dan bangkit oleh ajaran dan pemberitaan Injil,
sehingga mereka peka terhadap situasi nasional dan internasional (Matius 5:13). Garam
berfungsi mencegah pembusukan. Kita juga, sebagai murid Kristus, harus bersikap tegas
menentang kejahatan perseorangan, kejahatan sosial, dan struktural. Kita tidak dapat
tinggal diam menyaksikan kejahatan dan ketidakadilan.
Tapi hal ini sekali-kali tidak berarti bahwa jemaat lokal harus mengorganisir dirinya
menjadi organisasi massa yang terlibat dalam gerakan sosio-politik praktis. Kendati
Tuhan Yesus sendiri mengajar para murid-Nya menentang kejahatan dalam bentuk apa
pun, Ia tidak pernah mengarahkan atau merekayasa mereka untuk terjun ke dalam
gerakan praktis politik pembebasan untuk menentang pemerintah Roma, atau ke dalam
gerakan sosial melawan para tokoh agama Yahudi. Menjadi garam dunia adalah bagian
dari pemuridan Kristen yang dituntut dari setiap warga jemaat lokal. Namun menggarami
dunia bukan merupakan bagian dari Amanat Agung yang Kristus berikan kepada seluruh
gereja-Nya.
a. Injil melalui keprihatinan sosial.
Jemaat harus peka terhadap masalah kelaparan, kemiskinan, dan penderitaan di
dunia ini. Dan jemaat wajib terlibat berkorban untuk melayani masyarakat yang
membutuhkan pertolongan. Tuhan Yesus berkata, 'Kasihilah sesamamu manusia
seperti dirimu sendiri' (Matius 22:39). Untuk mematuhi perintah ini, setiap warga
jemaat lokal wajib memperhatikan kebutuhan jasmani masyarakat sekitarnya. Jemaat
sebagai satu kesatuan yang utuh wajib terlibat dalam upaya mencukupi kebutuhan
mereka. Hanya melalui pelayanan nyata dan dengan kerendahan hati, kesaksian verbal
dari jemaat memperoleh pengakuan. Namun pelayanan demikian pada dirinya

5
bukanlah penggenapan misi jemaat lokal. Jemaat lokal harus memberikan kesaksian
verbal, yakni memberitakan Injil kepada masyarakat sekitarnya.
Penginjilan bukanlah kegiatan yang setara dengan keprihatinan sosial. Memang
ada penginjil yang menyatakan bahwa penginjilan dan keprihatinan sosial adalah
sama. Hal itu tidak benar dan tidak alkitabiah. Alkitab mengajarkan betapa hal yang
rohani jauh lebih penting daripada yang jasmani dan yang sosial. Keselamatan yang
Yesus berikan kepada manusia seperti yang dibicarakan dalam Alkitab adalah
keselamatan rohani. Keselamatan dari dosa dan yang menuntut kita kepada hidup
persekutuan dengan Allah dan taat kepada kehendak- Nya. Justru kewajiban
memberitakan Injil untuk menghimbau orang supaya percaya kepada Kristus, menjadi
murid-Nya dan bergabung dalam jemaat-Nya adalah yang terpenting. Hal itu sekali-
kali tidak dapat dianggap sama dengan bantuan dana dan pembangunan atau
pelayanan sosial.
b. Injil melebihi keterlibatan lokal.
Pendapat umum mengatakan, bahwa tuntas sudah kewajiban seorang Kristen bila
ia aktif terlibat dalam kegiatan penginjilan terhadap masyarakat di sekitarnya. Tidak
perlu lagi terlibat dalam upaya penginjilan terhadap masyarakat yang berbeda budaya,
bahasa dan negeri. Konsep pemikiran demikian adalah keliru.
Mengamati Amanat Agung Kristus, kita temukan ungkapan-ungkapan: 'semua
bangsa' (Matius 28:19); 'segala makhluk' (Markus 16:15); 'segala bangsa' (Lukas
24:47); 'ke dalam dunia' (Yohanes 17:18); 'ke ujung bumi' (Kisah 1:8). Tuhan Yesus
tidak mengatakan bahwa murid-murid-Nya harus menuntaskan dulu penginjilan di
Yerusalem baru kemudian bergerak ke Yudea, Samaria, dan sampai ke ujung bumi.
Kata penghubung 'dan' menunjukkan bahwa kesaksian Kristen itu harus serentak
dilakukan di Yerusalem, Yudea, Samaria, dan di ujung bumi. Jemaat yang punya
kemampuan tapi tidak melibatkan diri dalam upaya penginjilan lintas budaya (setidak-
tidaknya melalui dukungan doa), belum menggenapi misinya sebagaimana mestinya.
Konstitusi Gereja India Selatan mengemukakan hal ini dengan tepat sekali. 'Setiap
warga jemaat Allah wajib menunaikan misinya di lingkungannya, bahkan sampai ke
ujung bumi'.
c. Injil bisa masuk melalui Politik
Warga yang ideal dari suatu jemaat lokal peka terhadap isu politik, ketidakadilan
sosial-ekonomi, dan penindasan. Mereka bangkit menentang sekaligus memperbaiki
kebobrokan demikian, sesuai tanggung jawab moral kristianinya. Jemaat wajib

6
terlibat melayani kebutuhan masyarakat. Dalam rangka pemuridan yang bertanggung
jawab dan pelayanan, jemaat memproklamirkan Injil kepada lingkungannya dan
terlibat dalam penyebaran Injil kepada segala bangsa di bumi.
Kita tidak menganggap keprihatinan sosial berbeda dan terpisah sama sekali dari
penginjilan. Penginjilan yang efektif dan yang mendampakkan kemuliaan bagi
Kristus, dapat terjadi hanya di tengah-tengah pelayanan sosial yang tulus. Kendati
demikian keprihatinan sosial dan penginjilan tidaklah setara dan sama. Dalam misi
jemaat lokal, penginjilan (yakni penginjilan pada masyarakat sekitar) adalah yang
utama. 'Pelayanan penginjilan adalah misi utama jemaat yang penuh pengorbanan.
Penginjilan dunia menuntut seluruh gereja untuk memberitakan Injil seutuhnya
kepada dunia. Gereja adalah pusat tujuan Allah dan sarana yang dipilih Allah untuk
menyebar-luaskan Injil' (Lausanne Covenant).
d. Hasil dari pada pemberitaan Injil yaitu mendirikan jemaat.
Misi jemaat lokal tidaklah melulu pemberitaan Injil. Dalam misi itu tentu
termasuk rencana mendirikan jemaat-jemaat di tengah-tengah permukiman
masyarakat, kepada siapa Injil itu diberitakan. Misi jemat lokal ialah penginjilan
dengan rencana mendirikan jemaat-jemaat di wilayah sekelilingnya dan di dunia.
Jemaat lokal menghadirkan dirinya di wilayah sekelilingnya dan di lapangan misinya.
Tokoh-tokoh jemaat Yerusalem berpencar akibat penganiayaan. Beberapa di antara
mereka berasal dari Kirene dan Siprus. Mereka ke Antiokhia, mengabarkan Injil dan
mendirikan jemaat di sana. Inilah pola misi yang alkitabiah. Tujuan misi ialah
mendirikan jemaat Yesus Kristus di tempat-tempat di mana belum ada jemaat. Jemaat
adalah pusat tujuan misi Allah. 'Supaya sekarang oleh jemaat diberitahukan pelbagai
ragam hikmat Allah kepada pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa di sorga.'
(Efesus 3:10)
Jemaat adalah tanda dan 'panjar rasa' dari Kerajaan Allah, yang menjadi tujuan
akhir dan harapan kita. Kerajaan Allah bukanlah kerajaan utopia yang didirikan oleh
kemelut pertarungan manusia melawan pemerintah-pemerintah yang lalim. Kerajaan
Allah adalah Kerajaan rohani, yang bertumbuh bila jemaat didirikan di antara bangsa-
bangsa di dunia ini, dan bangsa-bangsa serta suku-suku bangsa tunduk di bawah
kedaulatan pemerintahan Allah. Selanjutnya, melalui campur tangan Allah yang
supra-alami, Kerajaan Allah dalam ujudnya yang terpadu seutuhnya akan dinyatakan
di dunia ini.

7
Dalam hal ini kita hanya membicarakan penginjilan lintas budaya, dan
menyebutnya 'misi'. Misi ini selalu menghadapi kendala-kendala baru. Sekelompok
masyarakat dengan bahasa, budaya, etnis atau sosial yang berbeda, bukan saja ada di
daerah pegunungan, hutan dan lembah terpencil, tapi juga di kota-kota besar dan
kecil. Misalnya, orang Sindhis di kota-kota India. Mereka masyarakat minoritas yang
erat ikatan kekeluargaannya, dan umumnya hidup berdagang. Memang, beberapa
orang Sindhi telah menjadi Kristen, tapi sampai sekarang, di manapun di dunia ini,
belum ditemukan satu pun jemaat Kristen Sindhi. Hal yang sama terjadi pula di
Indonesia. Masyarakat Suku Sakai, Suku Sasak, misalnya, masih belum terjangkau
Injil. Demikian juga pedagang Cina di kota-kota di Riau kepulauan dan di pulau-
pulau lain di Indonesia Timur. Padahal di kota-kota itu ada gereja.
Pengertian yang benar dan alkitabiah akan menolong kita mengerti misi
alkitabiah. Jemaat lokal merupakan sarana untuk memasuki misi lintas budaya.
Tujuan seluruh tugas misi adalah untuk mendirikan dan membina jemaat. Tugas misi
lahir dari keprihatinan orang percaya akan pertumbuhan dan kesempurnaan gereja
universal milik Kristus. Untuk mencapai pelayanan misi yang efektif, maka misi
harus berpusat pada jemaat. Tujuan utama misi adalah untuk membangun jemaat.
Tujuan akhir pelayanan misi harus mengarah pada pembangunan dan penyempurnaan
masyarakat sorgawi yang baru, warga baru Kerajaan Allah yang mandiri.

8
BAB III

GEGAR BUDAYA DAN MASALAH PENYESUAIAN DIRI DALAM


LINGKUNGAN BUDAYA BARU

A. Defenisi Gegar Budaya


Gegar budaya (culture shock) adalah suatu penyakit yang berhubungan dengan
pekerjaan atau jabatan yang diderita orang-orang yang secara tiba-tiba berpindah atau
dipindahkan keluar negeri. Sebagaimana kebanyakan penyakit lainnya, gegar budaya juga
mempunyai gejala-gejala dan pengobatannya tersendiri.
Gegar budaya ditimbulkan oleh kecemasan yang disebabkan oleh kehilangan tanda-
tanda dan lambang-lambang dalam pergaulan sosial. Tanda-tanda tersebut meliputi seribu
satu cara yang kita lakukan dalam mengendalikan diri sindiri dalam menghadapi situasi
sehari-hari: kapan berjabatan tangan dan apa yang harus kita katakana bila kita bertemu
dengan orang, kapan dan bagaiman memberikan tip, bagaimana berbelanja, kapan
menerima dan kapan menolak undangan, kapan membuat pernyataan-pernyataan dengan
sungguh-sungguh dan kapan sebaliknya. Petunjuk-petunjuk ini yang mungkin dalam
bentuk kata-kata, isyarat-isyarat, ekspresi wajah, kebiasaan-kebiasaan, atau norma-norma,
kita peroleh sepanjang perjalan hidup kita sejak kecil, begitu pula aspek-aspek budaya
kita lainnya seperti bahasa kita dan kepercayaan yang kita anut. Demi ketentraman hidup,
kita semua bergantung pada berates-ratus petunjuk ini, petunjuk ini yang kebanyakannya
tidak kita bawa dengan sadar.
Bila seseorang memasuki suatu budaya asing, semua atau hampir semua petunjuk ini
lenyap. Ia bagaikan ikan yang keluar dari air. Meskipun anda berpikiran luas dan
beritikad baik, anda akan kehilangan pegangan, lalu anda akan mengalami frustrasi
kecemasan. Biasanya orang-orang menghadapi frustrasi dengan cara yang hampir sama.
Pertama-tama, mereka menolak lingkungan yang menyebabkan ketidaknyamanan. “Adat
kebiasaan negeri pribumi itu buruk, karena adat kebiasaan tersebut menyebabkan kita
merasa tidak nyaman.” Bila orang-orang asing disuatu negeri berkumpul bersama
mengomeli negeri pribumi dan penduduk pribuminya, anda boleh percaya bahwa orang-
orang tersebut sedang menderita gegar budaya.

B. Pengalaman Lintas Budaya


a. Teori Utama

9
Setiap orang mempunyai suatu sistem pengetahuan dari budayanya berupa realitas
yang tak pernah dipersoalkan lagi (Schutz, 1970). Realitas ini menyediakan skema
interpreatif bagi seseorang untuk menafsirkan tindakannya dan tindakan orang lain.
Sistem makna cultural antara lain merupakan aturan budaya (cultural rules) dan tema
nilai (value themes).
Aturan budaya memiliki tiga ciri. Pertama, aturan adalah proposisi-proposisi yang
membimbing tindakan ((Herre dan Scored, 1972). Aturan itu memberi resep budaya
bagi tindakan.
b. Hasil Pertemuan Antarbudaya
Hasil pertemuan lintas budaya bisa positif atau negatif. Segi positifnya, setiap
pertemuan menyediakan kemungkinan untuk meningkatkan pemahaman dan
kesadaran budaya. Segi negatifnya, pertemuan itu bisa memperteguh stereotip-
stereotip budaya yang negative dan bisa menimbulkan pengalaman gegar budaya.
Kadang-kadang akibatnya bisa lebih serius, bila mahasiswa Indonesia tidak
menguasain aturan-aturan belajar di universitas, kemungkinan gagal dalam ujian lebih
besar lagi (Neosjirwan, 1970).
Pertemuan lintas budaya mungkin sulit dilakukan karena perbedaan dalam
struktur makna budaya, namun ia bukan tidak dapat diatasi. Pertemuan lintas budaya
juga mungkin menimbulkan lebih banyak problem lagi karena masing-masing peserta
bereaksi terhadap akibat pertemuan itu. Pertemuan mungkin menimbulkan suatu
lingkaran umpanbalik negatif, sejenis lingkaran setan. Ia sangat bergantung pada
bagaimana masing-masing pemain bereaksi terhadap stres.

10
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam penulisan makalah ini sangat banyak yang harus kita perhatikan baik dari
pengertian komunikasi, dan budaya. Dan bagaimana injil itu diberitakan kepada orang
yang akan di Injili meskipun dalam budaya dan etnik yang berbeda. Tetapi dengan cara-
cara diatas kita dapat melakukan pemberitaan Injil itu kepada orang lain meskipun di
daerah baru sekalipun. Kendati kebudayaan yang dimiliki oleh setiap masyarakat itu tidak
sama, seperti di Indonesia yang terdiri dari berbabagai suku bangsa yang berbeda, tetapi
setiap kebudayaan mempunyai ciri atau sifat yang sama. Sifat tersebut bukan diartikan
secara spesifik, melainkan bersifat universal. Di mana sifat-sifat budaya itu akan memiliki
cirri-ciri yang sama bagi semua kebudayaan manusia tanpa membedakan faktor ras,
lingkungan alam, atau pendidikan. Yaitu sifat hakiki yang berlaku umum bagi semua
budaya di mana pun.
Kendati kebudayaan yang dimiliki oleh setiap masyarakat itu tidak sama, seperti di
Indonesia yang terdiri dari berbabagai suku bangsa yang berbeda, tetapi setiap
kebudayaan mempunyai ciri atau sifat yang sama. Sifat tersebut bukan diartikan secara
spesifik, melainkan bersifat universal. Di mana sifat-sifat budaya itu akan memiliki ciri-
ciri yang sama bagi semua kebudayaan manusia tanpa membedakan faktor ras,
lingkungan alam, atau pendidikan. Yaitu sifat hakiki yang berlaku umum bagi semua
budaya di mana pun.

B. Saran
Dalam makalah ini, penulis memberi saran kepada para pembaca supaya dengan cara-
cara yang telah penulis cantumkan di dalam makalah ini, bisa dipahami dan dimengerti
oleh setiap mereka yang telah membaca. Dan juga meminta supaya dengan makalah ini,
kita sebagai murid-murid Kristus dapat melaksanakan amanat agung itu. Dan dengan
cara-cara penginjilan yang telah dibahas dalam penulisan ini. Kita dapat memenangkan
banyak jiwa untuk Kristus, dan membentuk suatu komunitas kecil atau perkumpulan
dalam hal membahas kebenaran Firman Allah yang terdapat dalam Alkitab. Tuhan Yesus
Memberkati.

11
DAFTAR PUSTAKA

H. Syaiful Rohim, Teori Komunikasi. Perspektif, Ragam, dan Aplikasi. (Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2009) hal. 8-11.

Elly M. Setiadi, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2006) Hal.27.

Deddy Mulyana, Komunikasi Antarbudaya (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006). Hal


18-19.

Elly M. Setiadi, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2006) hal 27-33.

Theodore Williams, Misi dan Jemaat Lokal. Jakarta :Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF,
1998) hal. 8-14.

Ibid, Komunikasi Antarbudaya. Hal 174.

12

Anda mungkin juga menyukai