Anda di halaman 1dari 13

Nama : Ester Viantika Nababan

Semester/Tingkat : VII/IV

Mata Kuliah : Oikumenika

Dosen Pengampu : Bvr. Tiarma, M.Th.

GERAKAN OIKUMENE: DIAKONIA TRANSFORMATIF SEBAGAI AKTUALISASI


MISSIO DEI DALAM MEMBANGUN JEMAAT

I. Pendahuluan

Gereja menjalankan fungsinya sebagai representasi Allah yang dinyatakan secara


tegas oleh Rasul Paulus dalam 1 Korintus 12:1-31, bahwa gereja merupakan tubuh
Kristus; Gereja sebagai kumpulan orang-orang yang dipanggil keluar dari tatanan dunia
untuk dikuduskan menjadi umat Tuhan yang menjalankan fungsi bagi kemuliaan-Nya.
Gereja sepanjang segala zaman perlu terus berupaya menjaga dan meningkatkan kualitas
diri yaitu iman orang-orang yang bersekutu di dalamnya dan dalam pelayanan dengan
terus beradaptasi terhadap segala perkembangan zaman. Bagi jemaat kepenuhan iman
dalam Roh Kudus merupakan kebutuhan utama yang menjadi tanggung jawab gereja,
melalui keadaan tersebut umat Tuhan akan memiliki kekuatan dan kemampuan menjalani
kehidupan secara benar. Gereja bukan hanya bertanggung jawab terhadap kehidupan
jemaat tetapi juga memiliki panggilan untuk memainkan perannya dalam kehidupan
masyarakat.1

Di sisi lain, gereja bertanggung jawab pula dalam melayani masyarakat agar dapat
memiliki kehidupan yang layak sehingga melalui pelayanan tersebut. Namun saat ini,
gereja cenderung menjalankan pelayanan mengacu kepada kegiatannya semata, bukan
pada esensinya. Hal tersebut mengakibatkan gereja terjebak dalam rutinitas kegiatan
tanpa melakukan evaluasi dan lebih parah lagi terdapat gereja-gereja yang lebih fokus
kepada peningkatan jumlah jemat dan perluasan wilayah pelayanan. Hal tersebut bukan
tidak sesuai dengan prinsip kitab suci, tetapi menjadi sebuah pertanyaan besar ketika
iman jemaat dan kehidupannya di dunia tidak mengalami pertumbuhan dan
perkembangan. Sesuai dengan observasi dan wawancara yang penulis lakukan terhadap
beberapa jemaat dari beberapa denominasi gereja, jemaat menyatakan gereja hanya

1
Fibry Jati Nugroho, “Gereja Dan Kemiskinan: Diskursus Peran Gereja Di Tengah Kemiskinan,” Jurnal
Teologi Injili Dan Pembinaan Warga Jemaat 3 no. 1 (2019): 110–12.

1
sebagai penyedia tempat ibadah dan tempat melaksanakan aktivitas rohani semata. Ketika
jemaat membutuhkan pertolongan atas masalah yang dihadapi, gereja kurang peduli dan
tidak melakukan tindakan konkret, padahal gereja memiliki tanggung jawab yang
berkaitan dengan kesejahteraan hidup jemaat dan jaminan keselamatan kekal di kerejaan
Tuhan Allah. Gereja diharapkan agar mampu merepresentasikan, bahkan
mempresentasikan Kristus serta menyatakan kasih-Nya secara nyata di dalam dunia. 2
Karena itu penulis akan membahas sesuai dengan judul kajian “Gerakan Oikumene:
Diakonia Transformatif Sebagai Aktualisasi Missio Dei Dalam Membangun Jemaat”
dengan lebih mendalam dan rinci.

I.1. Rumusan Masalah


1. Apakah yang menjadi kebutuhan pelayanan masa kini melalui diakonia transformatif?
2. Bagaimana gereja mengaktualisasikan Missio Dei dalam membangun jemaat?
3. Bagaimana aktualisasi Missio Dei dalam membangun jemaat dan apa tanggapan
Konferensi Willingen 1952?
II. Pembahasan
II.1. Oikumenika

Oikumenika membahas usaha-usaha orang-orang Kristen dan gereja-gereja yang


berbeda-beda untuk menjadi satu atau esa. Dikatakan bahwa ada perbedaan antara orang-
orang Kristen dan gereja-gereja yang terlibat dalam oikumene, sebab kalau tidak ada
perbedaan, mereka tidak dapat menjadi satu atau esa. Mereka sudah satu. Jadi oikumene
bertolak dari perbedaan paham-paham teologis yang hendak diatasi. Kata Oikumene
diambil dari bahasa Yunani, oikumene yang berarti seluruh dunia atau dunia atau yang
dihuni. Dalam Perjanjian Baru, kata Ekumene yang berarti medan karya gereja, tempat
gereja hidup dan menjalankan tugasnya, mewartakan Injil-Nya. Terjadi perubahan setelah
gereja menjadi agama resmi kekaisaran Romawi dimana Ekumene mulai diartikan
sebagai gereja yang berlaku umum serta menyangkut semua orang. Serta Sinode yang
menyangkut semua orang disebut “Konsili Ekumenis.3

II.2. Diakonia dalam Perspektif Alkitab

Diaken berarti pelayan. Diakonia dengan istilah yang digunakan untuk diaken, yaitu
diakonos, yang artinya "pelayan". Istilah yang lain adalah diakonia yang berarti

2
Kosma Manurung, “Efektivitas Misi Penginjilan Dalam Meningkatkan Pertumbuhan Gereja,” DUNAMIS:
Jurnal Teologi Dan Pendidikan Kristiani 4 no. 2 (2020): 225–33.
3
Kirchberger Georg, Gerakan Okumene: Suatu Panduan (Flores: Ledalero, 2010), 1–2.

2
"pelayanan diaken". Diakonia, kata kerjanya adalah "diakonein" melayani. Diakonos =
pelayanan. Diaken = pelayan. Dalam Kisah Para Rasul, kata diakonia mendapat arti yang
spesifik. Kisah Para Rasul 6:1-4 disebut tentang "perjamuan" (makan dan minum)
bersama seperti yang disebut dalam Kisah Para Rasul 2:46. Di sini, perjamuan bersama
itu disebut pelayanan sehari-hari (Kis. 6:1) dan pelayanan meja (Kis. 6:2) untuk
membedakannya dengan pelayanan Firman (Kis. 6:4). Artinya, bentuk pelayanan ada dua
bagian, yaitu pelayanan meja dan pelayanan Firman. Keduanya adalah sama pentingnya.
Orang menganggap bahwa bentuk pelayanan meja itu adalah sosial. Namun, kedua hal ini
harus saling melengkapi agar tidak terjadi ketimpangan. Ketimpangan terjadi ketika salah
satu bentuk diutamakan dan bentuk lainnya diabaikan.4

II.3. Missio Dei dalam Perspektif Alkitab

Istilah misi (mission) berasal dari bahasa latin “missio” yang diangkat dari kata dasar
“mittere”, yang berkaitan dengan kata “missum”, yang artinya “to send” (mengirim/
mengutus). Padanan dari kata Yunani ialah “apostello”. Mission adalah misi Allah
(mission Dei) dan misi merupakan tugas dari misi Allah (yang dipercayakan oleh Allah
kepada umat- Nya). Menurut artinya, dapat dikatakan bahwa “mission” adalah
pengutusan Tuhan, dimana mission beranjak dari hati Allah ke dalam semua ciptaan-
Nya.5 Missio Dei "misi Tuhan" tidak dimulai dari gereja atau badan-badan Misi, tetapi
mulai dari Allah. Allah adalah sumber keselamatan dan sekaligus sumber Misi dan Pusat
Misi; maksudnya bahwa tanpa Allah, tidak ada Misi (Kej. 3:7-10). Jadi Allah adalah
sumber, inisiator, dinamisator, pelaksana, dan penggenap misiNya. Misi beranjak dari hati
Allah, Allah yang berinisiatif untuk melaksanakan misiNya, ditunjang oleh dinamikanya
kuasa dalam melaksanakan dan mencapai misiNya. Panggilan misi berasal dari Allah
yang menjadikan diri kita sebagai Saksi-Nya, Alat-Nya, Pelayan-Nya, Utusan-Nya. serta
sebagai garam dan terang dunia. Matius 20:19-20: Kita diutus untuk memberitakan Injil
dan menjadikan sekalian bangsa murid-Nya.6

Ada alasan bagi Allah sebagai pelopor Misi yaitu karena:

1. Allah Bapa ada sebelum segala sesuatu ada.

4
Jonar Situmorang, Kamus Alkitab Dan Theologi: Memahami Istilah-Istilah Sulit (Yogyakarta: Penerbit ANDI,
2021), 97.
5
Tomatala Yakob, Teologi Misi Pengantar Misiologi: Suatu Dogmatika Alkitabiah Tentang Misi, Penginjilan
Dan Pertumbuhan Gereja (Jakarta: YT Leadership Foundation, 2003), 16–18.
6
Darsono Ambarita, Perspektif Misi Dalam Perjanjian Lama Dan Perjanjian Baru (Medan: Pelita Kebenaran
Press, 2018), 4.

3
2. Allah Bapa menciptakan segala sesuatu dalam keadaan amat baik adanya.
3. Allah Bapa menyediakan kerajaan sorga bagi manusia sejak dunia dijadikan.
4. Allah Bapa langsung mencari hubungan dengan manusia yang baru jatuh dalam dosa.
5. Allah Bapa langsung menolong manusia yang telah berdosa.
6. Allah Bapa langsung menjanjikan keselamatan kepada manusia yang berdosa.
7. Allah Bapa yang adil dan suci menghukum manusia dengan jujur.
8. Allah Bapa memilih suatu bangsa supaya mereka menjadi saluran keselamatan bagi
manusia.
9. Allah Bapa mengutus AnakNya yang Tunggal sebagai juruselamat manusia7

Barth dapat disebut sebagai eksponen pertama tentang paradigma teologis baru yang
secara radikal meninggalkan pendekatan pencerahan terhadap teologi. Pengaruhnya
terhadap pemikiran misi sebagai puncaknya pada waktu Konferensi IMC di Willingen
(1952), gagasan missio Dei pertama kali muncul dengan jelas. Misi dipahami berasal dari
hakikat Allah sendiri. Dengan demikian misi diletakkan dalam konteks doktrin
Tritunggal. Doktrin klasik tentang missio Dei sebagai Allah Bapa yang mengutus Anak-
Nya, dan Allah Bapa dan Anak mengutus Roh, diperluas hingga mencakup sebuah
Gerakan: Bapa, Anak, dan Roh Kudus mengutus gereja ke dalam dunia. Gambaran
Willengen tentang misi sebagai partisipasi di dalam pengutusan Allah. Dalam hal ini
hubungan yang erat antara missio Dei dan misi sebagai solidaritas dengan Kristus yang
menjelma dan disalibkan.8

Misi dipandang sebagai sebuah gerakan dari Allah kepada dunia; gereja dipandang
sebagai sebuah alat untuk misi tersebut, gereja ada karena misi. Ikut serta di dalam misi
berarti ikut serta di dalam gerakan kasih Allah kepada manusia, karena Allah adalah
sumber dari kasih yang mengutus. Maksud dari missiones ecclesiae adalah pelayanan
kepada missio Dei, yang mewakili Allah di dalam dunia dan dalam berhadap- hadapan
dengan dunia, menunjuk kepada Allah, menjungjung Allah Anak di hadapan mata seluruh
dunia. Misi adalah tindakan Allah yang berpaling kepada dunia sehubungan dengan
ciptaan, pemeliharaan dan penebusan dan penggenapan. Missio Dei adalah kegiatan
Allah, yang merangkul baik gereja maupun dunia, dan di dalamnya gereja dapat
memperoleh hak istimewa untuk berperan serta. Missio Dei berarti bahwa Allah
mengartikulasikan diri- Nya, tanpa kebutuhan apapun untuk menolong-Nya melalui

7
Ambarita, 6–7.
8
David J. Bosch, Tranformasi Misi Kristen (Jakarta: Gunung Mulia, 2018), 297–98.

4
usaha- usaha misioner. Asal - usul misi adalah di dalam hati Allah. Allah adalah sumber
kasih yang mengutus.9

II.4. Diakonia Transformatif sebagai Missio Dei

Bentuk diakonia terdiri dari diakonia karitatif, reformatif, dan transformatif. Biasanya
dalam sejarah, diakonia karitatif paling banyak disukai oleh gereja. Diakonia karitatif
merupakan diakonia warisan tradisi zending yang ditularkan pada gereja hasil pekabaran
Injil di tanah jajahan. Bentuk kedua adalah diakonia reformatif. Diakonia ini timbul
sebagai jawaban gereja di era pembangunan. Diakonia ini, walaupun jauh lebih baik
daripada diakonia karitatif, dalam banyak hal memiliki kelemahan karena tidak
melakukan perubahan sosial yang mendasar. Sementara itu, diakonia transformatif
mengacu pada kegiatan gereja ketika merespons gerakan pembangunan di seluruh dunia
yang menciptakan jurang kaya dan miskin. Untuk menjalankan diakonia transformatif,
seseorang memerlukan keberanian, wawasan, kemampuan analisis sosial dan teknik
mengorganisasi masyarakat. Bentuk diakonia transformatif ini dirintis dan dipraktikkan
oleh gerakan urban industrial mission, yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan
pelayanan masyarakat kota dan industri. Kemudian namanya berubah menjadi urban
rural mission (URM).10

Ada hubungan yang erat antara diakonia dan misi. Saat ini pemahaman misi tidak lagi
dipahami sebagai upaya untuk mencari jiwa tetapi lebih luas daripada itu. Misi Allah
bukan sekadar membawa manusia dibaptis dalam gereja tetapi mewujudnyatakan tanda-
tanda kedatangan pemerintahan Allah atau Basilea di tengah dunia. Dalam Injil (Lukas
5:17-26), Yesus berkata kepada seorang lumpuh yang diusung di hadapan-Nya dengan
disaksikan orang Farisi dan ahli Taurat: "Manakah lebih mudah, mengatakan: Dosamu
sudah diampuni, atau mengatakan: Bangunlah, dan berjalanlah?" Yesus tidak hanya
memberitakan pengampunan Allah, tetapi memberdayakan orang lumpuh agar si lumpuh
bangkit dan berjalan. Pelayanan pemberdayaan bagi yang lemah merupakan ciri
pelayanan Yesus yang berbeda dengan perilaku orang Farisi yang mengutamakan
pelaksanaan hukum agama. Sama hal nya juga dilakukan oleh Petrus (Kis. 3) ketika orang
lumpuh yang tidak diberinya uang justru mengalami menjadi manusia dan dunia baru
dengan memampukannya untuk berjalan. Diakonia bukanlah sekadar persoalan memberi

9
Bosch, 299–300.
10
Josef P. Widyatmadja, Yesus Dan Wong Cilik (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 5.

5
uang saja. Diakonia merupakan sebuah panggilan hidup untuk berbagi
hidup dan solidaritas dengan yang miskin dan tertindas.11

Tujuan diakonia adalah untuk mewujudkan manusia dan dunia baru. Diakonia tidak
dimaksudkan sekadar untuk menciptakan hubungan antara pemberi dan penerima.
Diakonia harus dijalankan dalam rangka Missio Dei yaitu kehadiran pemerintahan Allah
di dunia. Wilayah yang di dalamnya gereja berdiakonia adalah dunia yang penuh
kontradiksi dan kompleks. Lingkup diakonia tidak dibatasi oleh tembok dinding gereja
tetapi mencakup setiap sudut kehidupan, baik sosial ekonomi maupun politik. Dalam
Alkitab, orang yang melakukan diakonia dan memberikan perhatian pada orang miskin
tidak akan menyebabkan mereka kekurangan. Seperti cerita janda di Sarfat tidak
mengalami kekurangan di masa paceklik ketika ia memberikan rotinya yang terakhir pada
Nabi Elia. Pelayanan pemberdayaan orang rentan dipandang sebagai tindakan kepada
Allah dan Allah akan membalasnya (Mat. 25:31-16, Ams. 19:17, Ayb. 29:12-15). Dalam
Alkitab, manusia yang tersingkir tidak sekadar membutuhkan uang tetapi lebih
membutuhkan berkat dan pemberdayaan dari Allah. Jeritan mereka yang menderita
menjadi perhatian Allah dalam karya-Nya. Allah berkarya melalui pelayanan umat-Nya
dalam mewujudnyatakan Kerajaan Allah.12

II.5. Dampak Perkembangan Zaman dalam Kehidupan Berjemaat

Dampak dari pesatnya teknologi informasi menjadi bahan pembahasan menarik pada
masa-masa saat ini. Disrupsi kehidupan yang terjadi, perubahan perilaku dan gaya hidup,
bergesenya cara atau pola berpikir membentuk format baru kehidupan masyarakat dunia.
Masa kini, corak kehidupan manusia telah diwarnai oleh prinsip keduniawian karena
pengadopsian prinsip-prinsip dunia seperti materilisme, konsumerisme dan hedonisme.
Keadaan tersebut pada akhirnya menimbulkan kesenjangan keadaan ekonomi masyarakat
yang semakin nyata. Situasi berat ini menjadi semakin terasa terlebih dengan adanya
pandemi Covid-19 yang mengakibatkan banyak orang termasuk umat percaya mengalami
keterpurukan di bidang ekonomi. Perubahan pola berpikir serta gaya hidup masyarakat di
era teknologi ini diakibatkan oleh terbukanya arus informasi yang tanpa batas. Manusia
menyerap dan mengadopsi pelbagai informasi tanpa melakukan penyaringan terhadapnya.
Pada akhirnya, terjadi degradasi moral dan etika sebab pada dasarnya manusia lebih

11
Widyatmadja, 10.
12
Widyatmadja, 11.

6
mudah menyerap hal-hal negatif. Pengaruh kemajuan teknologi ini tidak dapat
dihindarkan antara lain perubahan etika dan perilaku manusia.13

Perubahan pola berpikir dan gaya hidup masyarakat di era teknologi ini diakibatkan
oleh terbukanya arus informasi yang tanpa batas dan bebas tanpa melakukan penyaringan
terhadapnya. Akhirnya, terjadi degradasi moral dan etika sebab pada dasarnya manusia
lebih mudah menyerap hal-hal negatif. Pengaruh kemajuan teknologi tidak dapat
dihindarkan antara lain perubahan etika dan perilaku manusia. Dampak negatif yang
ditimbulkan oleh pesatnya teknologi adalah merosotnya nilai-nilai kehidupan yang dianut
masyarakat. Terjadi penyimpangan perilaku karena contoh-contoh buruk lebih mudah
terlihat. Bentuk interaksi-komunikasi di ruang maya saat ini semakin mengarah pada
paham-paham yang tidak sesuai dengan prinsip kebenaran Firman Tuhan. Untuk
menghadapi kondisi demikian, gereja tentunya memiliki tantangan dan tuntutan yang
semakin tinggi dan berat mengingat keberadaan gereja adalah sebagai “pelayan” dan
gembala umat. Jika Tuhan Allah menyatakan diri sebagai penolong (Yes. 41:10; Mzm.
54:4), maka gereja pun juga sebagai penolong umat. Di masa yang semakin sulit ini,
keberadaan gereja sebagai penolong sangat dibutuhkan terutama di era saat ini di mana
disrupsi kehidupan sebagai efek akselerasi kemajuan di bidang teknologi dan informasi.
Saat ini gereja berfungsi sebagai jembatan agar keadilan terjadi. Hal ini mengacu pada
keadaan gereja mula-mula dimana pola kehidupan jemaat yang saling mendukung satu
sama lain, saling berkorban sehingga tercipta keadilan dan rasa sepenanggungan.
Kontribusi itu dibutuhkan di era teknologi ini misalnya, karena terdapat daerah-daerah
yang tertinggal-terpencil dan terdepan yang belum memiliki infrastruktur sehingga belum
dapat menikmati kecanggihan, kenyamanan dan kemudahan hidup sebagai dampak
kemajuan teknologi.14

II.6. Kebutuhan Pelayanan Masa Kini: Diakonia Transformatif

Dalam konteks kehidupan masa kini, diakonia yang dibutuhkan adalah secara
transformatif sebab persoalan hidup jemaat telah sampai pada tingkatan yang mendasar
dan krusial. Kehidupan manusia di era sekarang menjadi semakin sulit dan kompleks
untuk dijalani karena unsur keduniawian sudah semakin kuat memengaruhi. Hal tersebut
menjadi tantangan gereja bagaimana dapat membangun umat Tuhan sehingga dapat
13
Yohannes Marryono Jamun, “Dampak Teknologi Terhadap Pendidikan,” Jurnal Pendidikan Dan
Kebudayaan Missio 10 no. 1 (2018): 48–52.
14
Yessy Kenny Jacob, “Diakonia Transformatif Sebagai Aktualisasi Missio Dei Dalam Membangun Jemaat,”
Jurnal Teologi Dan Pendidikan Agama Kristen 8 no. 2 (2022): 579.

7
memiliki kehidupan yang mandiri namun terutama memiliki kodrat Ilahi. Di sinilah
diakonia transformatif dibutuhkan, gereja perlu berperan aktif dalam mengatasi pelbagai
persoalan hidup jemaat dan masyarakat umum. Jadi, missio Dei mutlak diteruskan oleh
umat percaya melalui gereja untuk mengatasi persoalan dan melakukan tindakan preventif
demi menjaga kualitas hidup jemaat dan masyarakat serta alam semesta agar
mengembalikan manusia kepada hubungan yang benar dengan Tuhan Allah dan
membawa kepada keselamatan kekal. Selain itu, diakonia juga dibutuhkan oleh gereja
untuk memenuhi hakikatnya. Diakonia adalah jantung gereja, karena tanpa diakonia
gereja tidak akan hidup.15

Diakonia merupakan jantung atau nadi dari penginjilan. Dalam memenuhi hakikatnya,
gereja membutuhkan diakonia sebab tanpa diakonia sebuah gereja tidak dapat disebut
sebagai gereja Tuhan yang sesuai dengan iman Kristen. Gereja sebagai pelaksana missio
Dei dituntut untuk berdiakonia yang dapat menghasilkan atau melahirkan jemaat
berkodrat Ilahi atau yang memungkinkan masyarakat umum mengenal dan mengalami
Tuhan yang benar. Oleh karenanya kesadaran bahwa gereja adalah pelaksana missio Dei
perlu dibangun dan dimiliki oleh setiap gereja di dunia ini. Yang dibutuhkan adalah
diakonia transformatif karena pelayanan ini bersifat fundamental, holistik dan dapat
membawa pada pengenalan akan Allah. Diakonia menjadi identitas gereja sebab diakonia
bukan sebatas pada program pelayanan kesejahteraan, namun sebagai jati diri atau hakikat
gereja itu sendiri. Oleh karenanya, pada konteks masa kini, berdiakonia tidak cukup
hanya dengan bantuan finansial atau materi bagi yang berkekurangan, namun lebih
kompleks dan bersifat holistik yang mencakup keseluruhan aspek manusia, baik fisikal,
intelektual, emosional, sosial, dan spiritual.16

Diakonia transformatif yang dijalankan secara benar sesuai dengan ajaran iman
Kristen tentu akan membawa perubahan secara holistik pada setiap orang yang dibangun.
Perubahan dalam penghidupan di dunia yaitu mandiri secara ekonomi atau finansial,
perubahan dalam pola pikiran, pola hidup dan mengalami pertumbuhan iman yang terus
menerus di dalam Tuhan. Diakonia transformatif tidak hanya bagi umat Kristen namun
juga dijalankan bagi masyarakat umum atau sekitar agar dalam penghidupan di dunia
dapat hidup secara mandiri dan dalam aspek jiwa-spiritual akan berkesempatan mengenal
dan mengalami Tuhan Allah. Aktualisasi diakonia transformatif memperjuangkan
15
Andrias Pujiono, “Diakonia Gereja Saat Pandemi Covid-19 Di Indonesia,” TE DEUM: Jurnal Teologi Dan
Pengembangan Pelayanan 10 no.2 (2021): 217–20.
16
Agustinus Manfred Habur, “Diakonia Jantung Katekese,” Diakonia Gereja 113 (2020): 113.

8
kelayakan atau hak hidup, membangun kesadaran dan panggilan sebagai ciptaan Allah,
yang pada ujungnya melahirkan orang-orang yang segambar dengan Tuhan. Diakonia
transformatif adalah “alat” atau implementasi dari missio Dei, yaitu misi Tuhan Allah
membawa kepada kehidupan kekal bersama-Nya. Dengan demikian fokus diakonia
transformatif adalah mencakup dua dimensi manusia yaitu: satu, dimensi fisikal-material:
kemandirian secara ekonomi dan penghidupan yang cukup atau layak. Dua, dimensi
spiritual: proses pengenalan Tuhan yang terus menerus sehingga membentuk pribadi yang
berpola pikir dan bergaya hidup baik dan benar.17

Salah satu contoh yang dapat dilakukan oleh gereja, di masa yang sulit ini sebagai
perwujudan diakonia transformatif mencakup dua dimensi: fisikal-material dan spiritual.
Dari dimensi fisikal-material yaitu mendampingi jemaat yang menderita ketepurukan atau
masalah finansial melalui bantuan dari aspek ekonomi-finansial dan mentoring.
Kemandirian aspek ekonomi dapat pula dibantu oleh gereja melalui diakonia dengan
memberikan pelatihan, dukungan akses dan relasi agar memberikan penghidupan yang
lebih baik atau peningkatan kualitas hidup. Dari dimensi spiritual, diakonia transformatif
diberikan melalui konseling dan mentoring secara intens dan kontinyu pada setiap pribadi
maupun keluarga. Jemaat membutuhkan pendampingan dan dukungan agar kehidupan
spiritual menjadi semakin berkualitas sehingga kekokohan iman akan terbentuk. Dengan
demikian setiap pribadi dan keluarga pada akhirnya akan mampu “menggarami” dan
“menerangi” lingkungan sekitar di mana berada.18

Bagi gereja, melaksanakan diakonia transformatif berarti mengaktualisasikan missio


Dei yang pada ujungnya mengarahkan manusia kepada keselamatan kekal. Dalam
melaksanakannya, gereja perlu memenuhi prinsip “knife” atau pisau. Gereja adalah pisau
yang seharusnya memenuhi fungsinya sebagai “alat penolong” seperti halnya pisau yang
dapat memberikan manfaat bagi kehidupan umat, bukan justru sebaliknya seperti pisau
yang berada di tangan yang salah akan dapat berbalik menjadi alat membahayakan
sehingga dapat mengancam atau bahkan menghancurkan kehidupan. Langkah awal yang
perlu gereja masa kini lakukan dalam menjalankan diakonia transformatif adalah fokus
kepada pertumbuhan iman jemaat dan melakukan evaluasi pelayanan yang terus menerus
agar tujuan pertumbuhan iman, kekudusan umat dan penghidupan jemaat dapat
terjamin.19
17
Habur, 94.
18
Jontha Freshly Sembiring, “Gereja Dan Diakonia,” Jurnal Teologi Pondok Daud 6 no.1 (2020): 35–40.
19
Sembiring, 41–42.

9
II.7. Missio Dei di Konferensi Willingen 1952

Konferensi Willingen (jerman) yang berlangsung pada tanggal 5-12 juli 1952, dengan
tema “The Missionary Obligation of The Church” (kewajiban gereja untuk mengabarkan
inji). Dalam hal ini pekabaran injil ini ditempatkan dalam terang eskatologis. Dalam
konferensi ini, yang dibicarakan adalah soal nasionalisme yang dihadapi oleh gereja-
gereja yang terjadi di negara-negara yang baru merdeka atau yang sedang
memperjuangkan kemerdekaan.20 Pertemuan IMC berikutnya adalah diadakan di
Willingen, Jerman, pada tahun 1952. Dalam hal ini, para delegasi menemukan kembali
bahwa misi pertama-tama dan terutama bergantung pada aktivitas Tuhan sendiri. Misi
adalah tujuan dan tindakan Allah Tritunggal. Gagasan missio Dei, yang diambil setelah
konferensi di Willingen, terbukti paling kreatif. Dalam hal ini konferensi Willingen
(1952) ini adalah konferensi yang menekankan bahwa missio dei ini adalah yang menjadi
konsep dasar paling penting pada saat itu. Sebab gereja berubah dari kedudukannya
sebagai pengutus menjadi yang diutus dalam rangka Missio Dei ini.21

Dalam konferensi Willingen IMC (International Missionary Council) yang


mengatakan bahwa Allah sedang memanggil gereja untuk mengekspresikan msiinya yaitu
dengan tidak hanya meallui misionaris-misionaris asing yang diutus oleh dewan
pekabaran Injil, akan tetapi juga melalui suatu aliran yang semakin meningkat dari orang-
orang Kristen awam yang pergi keluar melintasi dunia dalam bidang bisnis, industri dan
pemerintahan, dan yang melakukannya dengan suatu keyakinan yang mendalam bahwa
Allah itu memanggil mereka untuk bersaksi dalam semua bidang kehidupan.22

Gambaran Willingen tentang misi adalah misi yang sebagai partisipasi di dalam
pengutusan oleh Allah, dimana hal tersebut merupakan hanya berasal dari Allah saja.
Allah adalah misi itu sendiri sehingga hanya dari Allah saja misi itu dan pengutusan itu
hanya di dalam tanganNya saja. Wilingen mengakui hubungan yang erat antara Missio
Dei dan misi sebagai solidaritas dengan Kristus yang turun ke dunia lalu mati di kayu
salib untuk menebus dosa umat manusia. Semenjak Wilingen, pemahaman tentang misi
sebagai Missio Dei telah dirangkul praktis oleh semua aliran Kristen seperti
Protestanisme, Ortodoks Yunani dan Injili. Setelah menyatakan bahwa sifat gereja itu
sendiri adalah missioner karena ia berasal dari misi Sang Anak dan Roh Kudus. Dekrit
20
Christiaan de Jonge, Menuju Keesaan Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 16.
21
Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner Dalam Konteks Indonesia (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen,
2008), 56.
22
Andar Ismail, Awam Dan Pendeta Mitra Membina Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), 75.

10
tentang misi dari Konsili tersebut mendefenisikan aktivitas missioner yang tak lan lain
dari perwujudan rencana Allah, penampakan dan realisasinya di dalam dunia dan di
dalam sejarah. Setelah Wilingen konsep Missio Dei perlahan-lahan mengalami modifikasi
sebuah proses yang ditelusuri dengan sangat terinci oleh Rosin (1972). Oleh karena belas
kasihan yang dari Allah kepada seluruh dunia, maka seluruh dunia pun seharusnya
menjadi cakupan Missio Dei. Misi adalah tindakan Allah yang berpaling kepada dunia
sehubungan dengan ciptaan, pemeliharaan, penebusan dan penggenapan. Missio Dei
adalah kegiatan Allah yang merangkul baik gereja maupun dunia dan didalamnya gereja
dapat memperoleh hak istimewa untuk ikut berperan serta.23

III. Penutup
III.1. Analisa

Tantangan globalisasi yang semakin berat dan kompleks membutuhkan pelayanan


gereja yang transformatif agar jemaat mampu bertumbuh dan berkembang secara baik
sebagai umat pilihan-Nya. Kajian ini menguraikan tentang prinsip diakonia transformatif
bagi gereja agar dapat berhasil menunaikan tugas panggilan sesuai ajaran Alkitab. Hasil
kajian menemukan bahwa pada era teknologi saat ini, diakonia transformatif menjadi
suatu kemutlakan untuk dilakukan gereja sebagai aktualisasi dari missio Dei. Prinsip
dasar diakonia transformatif adalah memenuhi dua dimensi utama, yakni fisikal-material
dan dimensi spiritual. Dalam implementasinya, gereja dituntut dapat memenuhi fungsinya
sebagai eksekutor missio Dei yang dapat menjadi pendukung dan solusi bagi kehidupan
jemaat dan mayarakat sekitar gereja. Konferensi Willingen 1952 adalah konferensi yang
menekankan bahwa missio Dei ini adalah yang menjadi konsep dasar paling penting pada
saat itu. Sebab gereja berubah dari kedudukannya sebagai pengutus menjadi yang diutus
dalam rangka missio Dei bahwa Allah itu memanggil mereka untuk bersaksi dalam semua
bidang kehidupan atau secara holistik yang mencakup pelayanan diakonia transformatif.

III.2. Kesimpulan

Diakonia harus dijalankan dalam rangka Missio Dei, yaitu kehadiran pemerintahan
Allah di dunia. Wilayah yang di dalamnya gereja berdiakonia adalah dunia yang penuh
kontradiksi dan kompleks. Lingkup diakonia tidak dibatasi oleh tembok dinding gereja
tetapi mencakup setiap sudut kehidupan, baik sosial ekonomi maupun politik. Bagi
23
Bosch, Tranformasi Misi Kristen, 598.

11
gereja, melaksanakan diakonia transformatif berarti mengaktualisasikan missio Dei yang
pada ujungnya mengarahkan manusia kepada keselamatan kekal. Pengaruh kemajuan
teknologi tidak dapat dihindarkan antara lain perubahan etika dan perilaku manusia.
Dampak negatif yang ditimbulkan oleh pesatnya teknologi adalah merosotnya nilai-nilai
kehidupan yang dianut masyarakat. Terjadi penyimpangan perilaku karena contoh-contoh
buruk lebih mudah terlihat. Bentuk interaksi-komunikasi di ruang maya saat ini semakin
mengarah pada paham-paham yang tidak sesuai dengan prinsip kebenaran Firman Tuhan.
Untuk menghadapi kondisi demikian, gereja tentunya memiliki tantangan dan tuntutan
yang semakin tinggi dan berat mengingat keberadaan gereja adalah sebagai “pelayan” dan
gembala umat. Diakonia transformatif yang dijalankan secara benar sesuai dengan ajaran
iman Kristen tentu akan membawa perubahan secara holistik pada setiap orang yang
dibangun. Perubahan dalam penghidupan di dunia yaitu mandiri secara ekonomi atau
finansial, perubahan dalam pola pikiran, pola hidup dan mengalami pertumbuhan iman
yang terus menerus di dalam Tuhan.

DAFTAR PUSTAKA

Ambarita, Darsono. Perspektif Misi Dalam Perjanjian Lama Dan Perjanjian Baru. Medan:
Pelita Kebenaran Press, 2018.
Artanto, Widi. Menjadi Gereja Misioner Dalam Konteks Indonesia. Yogyakarta: Taman
Pustaka Kristen, 2008.
Bosch, David J. Tranformasi Misi Kristen. Jakarta: Gunung Mulia, 2018.
Georg, Kirchberger. Gerakan Okumene: Suatu Panduan. Flores: Ledalero, 2010.

12
Habur, Agustinus Manfred. “Diakonia Jantung Katekese.” Diakonia Gereja 113 (2020).
Ismail, Andar. Awam Dan Pendeta Mitra Membina Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2005.
Jacob, Yessy Kenny. “Diakonia Transformatif Sebagai Aktualisasi Missio Dei Dalam
Membangun Jemaat.” Jurnal Teologi Dan Pendidikan Agama Kristen 8 no. 2 (2022).
Jamun, Yohannes Marryono. “Dampak Teknologi Terhadap Pendidikan.” Jurnal Pendidikan
Dan Kebudayaan Missio 10 no. 1 (2018).
Jonge, Christiaan de. Menuju Keesaan Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.
Manurung, Kosma. “Efektivitas Misi Penginjilan Dalam Meningkatkan Pertumbuhan
Gereja.” DUNAMIS: Jurnal Teologi Dan Pendidikan Kristiani 4 no. 2 (2020).
Nugroho, Fibry Jati. “Gereja Dan Kemiskinan: Diskursus Peran Gereja Di Tengah
Kemiskinan.” Jurnal Teologi Injili Dan Pembinaan Warga Jemaat 3 no. 1 (2019).
Pujiono, Andrias. “Diakonia Gereja Saat Pandemi Covid-19 Di Indonesia.” TE DEUM:
Jurnal Teologi Dan Pengembangan Pelayanan 10 no.2 (2021).
Sembiring, Jontha Freshly. “Gereja Dan Diakonia.” Jurnal Teologi Pondok Daud 6 no.1
(2020).
Situmorang, Jonar. Kamus Alkitab Dan Theologi: Memahami Istilah-Istilah Sulit.
Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2021.
Widyatmadja, Josef P. Yesus Dan Wong Cilik. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.
Yakob, Tomatala. Teologi Misi Pengantar Misiologi: Suatu Dogmatika Alkitabiah Tentang
Misi, Penginjilan Dan Pertumbuhan Gereja. Jakarta: YT Leadership Foundation,
2003.

13

Anda mungkin juga menyukai