Anda di halaman 1dari 2

Nama : Monika Lumbantoruan

Semester : VI B
Mata Kuliah : Teologi Feminis
Dosen Pengampu : Bvr. Tiarma Siahaan, M.Th
Laporan baca III
Perjanjian Lama dan Teologi Feminis

Hal yang sangat nyata bahwa Alkitab adalah produk dari budaya patriarki, sehingga
kisah-kisah dan aturan-aturan yang ada dalam Alkitab bersifat patriarkhis. Dari kitab Bilangan
kita boleh melihat bahwa laki-laki sangat mendominasi perempuan, di mana mereka membatasi
geraknya dan menentukan hidupnya. Bahkan dalam penghitungan bangsa Israel perempuan tidak
masuk hitungan. Walaupun demikian, tidak berarti perempuan tidak bisa melakukan apa-apa.
Justru perempuan melakukan banyak yang berarti.1 Ketika Tuhan berfirman “tidak baik kalau
manusia seorang diri saja”. Maka dalam tradisi tafsiran patriarkal, Allah membuat orang kedua
sebagai pembantu orang pertama. Namun tafsiran ini bertentangan dengan tafsiran aslinya yaitu
“Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia”. Makna kata sepadan disini
artinya berhadapan dengan tingkat yang sama. Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri,
maka dijadikan juga perempuan. Tujuan Allah adalah agar manusia tidak hidup sendiri, tetapi
hidup dalam hubungan yang sederajat dengan sesamanya. Daya tarik antara laki-laki dan
perempuan menuju persetubuhan, mereka mewujudkan persatuan dan kesatuan baru yang
disebut daging karena kefanaannya. Namun hal ini bertentangan dengan paham patriarkal, bahwa
laki-laki terutama bertanggungjawab pada ibu bapaknya, yaitu pada keluarga asal dan sang istri
baru dihormati setelah ia melahirkan anak laki-laki.2
Konteks patriarkal menimbulkan dehuminasi dan membuat wanita terpinggirkan. Dalam
konteks ini wanita berfungsi pada tingkatan kedua dan istimewa sebagai manusia kepada
tingkatan tindakan. Semua penafsiran feminisme berupaya untuk mengurangi sistem patriarkal
tidak hanya pada penafsiran teks Alkitab tetapi juga pada tradisi teologi yang menganut
patriarkal.3
Dalam masyarakat tradisional peran, wibawa, dan kedudukan orang ditandai oleh gaya
pakaian yang ditentukan dan menurut adat orang harus betindak sesuai dengan kedudukan dan
peran tersebut. namun apabila ditelusuri lagi, bahwa manusia pertama telanjang. Oleh sebab itu,
pada mulanya belum ada peran yang ditentukan. Manusia pertama bebas menentukan sendiri
kegiatan yang akan mereka lakukan. Mengingat kembali kejatuhan manusia ke dalam dosa,
kuasa laki-laki atas perempuan merupakan akibat dosa yang merusak persekutuan antar manusia
dan bukan hukum Allah.4
Perjanjian Lama dan Teologi Feminis dalam cerita Sarah dan Hagar menggambarkan
persaingan antara dua perempuan yaitu soal anak. Kehadiran seorang anak bagi perempuan
merupakan hal yang sangat penting, sehingga keduanya pada akhirnya bertentangan. Demikian
halnya dengan Hosea yang kiasannya mengibaratkan Allah sebagai suami dan orangtua umatNya
serta menyamakan Israel dengan istri yang tidak setia dan dengan anak-anak yang bandal. Kiasan
1
Asnath Niwa Natar, Ketika Perempuan Berteologi, (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2012), hlm.
2
Marie Claire, Hati Allah Bagaikan Hati seorang Ibu,(Jakarta: BPK Gunung mulia, 2006), hlm. 44-46.
3
A.A. Sitompul, Metode Penafsiran Alkitab (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998), hlm. 337-228.
4
Ibid., hlm. 47.
tersebut biasanya ditafsir secara patrialkal: wibawa suami dan ayah yang ditekankan, kehinaan
istri dan anak yang berdosa. Kiasan tersebut memunculkan bayangan ketakutan yang menghantui
kaum bapak. Itulah sebabnya Hosea dicurigai oleh kaum feminis bahkan perlu ditanyakan
bagaimana sikap nabi Hosea.5
Ada banyak perempuan lain dalam Alkitab yang dapat menjadi sumber inspirasi secara
khusus dalam kitab Perjanjian Lama. Dimana kaum perempuan melihat sosok seorang Tamar
yang berani memperjuangkan martabatnya sebagai ibu di Israel sekalipun ia harus memperalat
mertuanya memenuhi kewajiban adat. Begitu juga Rahab seorang perempuan tuna susila yang
menjadi nyoya rumah untuk kedua pengintai yang diutus Yosua ke Yeriko dan yang menaggung
resiko berat demi keselamatan mereka. Demikian halnya dengan Ester yang atas dorongan
Mordekhai menggunakan kasih yang ditimbulkannya dan hikmat yang ada padanya untuk
menyelamatkan umat Yahudi dari bahaya maut bila ia menghampiri Raja tanpa memikirkan
kepentingan dirinya. Inilah yang dapat dikatakan tentang bagaimana perempuan memahami
perjanjian lama itu sendiri.
Secara tidak langsung seorang ibu memiliki kedekatan kepada anaknya. Ribka yang
penuh kasih dan lemah lembut hadir menjadi seorang penolong sekaligus pendamping Ishak
dalam menghadapi masa sulit. Pada awalnya Ribka adalah seorang perempuan mandul namun
Allah mendengarkan doanya sehingga ia melahirkan dua orang anak laki-laki. Ketika anaknya
akan menerima berkat dari ayahnya, Ribka menipu suaminya untuk kebaikan anak-anaknya di
hari yang akan datang. Melalui kisah ini terkadandung sebuah makna positif bahwa seorang ibu
memiliki kemampuan untuk bertanggungjawab dan mengetahui yang terbaik untuk anak-
anaknya.6
Teologi feminisme ingin mengubah kebudayaan Kristen yang menganut sistem
patriarkat. Ketika dalam menafisrkan Alkitab harus kritis tidak menerimanya dengan mentah-
mentah. Oleh karena itu teologi feminisme mengusulkan menafsirkan Alkitab dengan kaca mata
perempuan atau dari sudut pandang Alkitab.

5
Ibid., hlm. 48-50.
6
Yonky Karman, Bunga Rampai Teologi Perjajian Lama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), hlm. 45.

Anda mungkin juga menyukai