Anda di halaman 1dari 14

Nama : Erikson Tarigan

Kelas : Pasca Sarjana

Nim : 21. 07. 215

M. Kuliah : Pastoral

Dosen : Pdt. Dr. Erick Johnson Barus

GEREJA DAN POLITIK

(Peran Gereja/Petugas Gereja Dalam Mempersiapkan Warganya Dalam Bidang


Politik)

I. PENDAHULUAN

Tidak bisa dipungkiri, istilah “politik” sering dikonotasikan secara negatif, politik itu
kotor, politik itu bisa menghalalkan segala cara dan bidang politik sebaiknya tidak dimasuki
oleh orang baik-baik karena kalau tidak ikut arus cepat atau lambat akan tersingkir. Dan
bukankah ada pribahasa politik menyatakan “tidak ada kawan abadi, yang ada hanyalah
kepentingan abadi”. Dalam ranah politik sejauh mana gereja telah berperan? Ini yang menjadi
pertanyaan oleh masyarakat Kristen secara khusus dan lingkungan sekitar gereja pada
umumnya. Gereja tidak hanya mengurusi soal-soal rohani saja walaupun ini sangat penting
dan menjadi kewajiban, akan tetapi kebutuhan jasmani tidak boleh diabaikan, sehingga ketika
ada tawaran-tawaran politik kepada masyarakat tidak membuat dia tergoda tetapi punya
prinsip yang tepat walaupun ada godaan sekalipun. Dalam peper kali ini kita akan melihat
bagaimana gereja ikut berpartisipasi dalam bidang politik untuk mempersiapkan warganya
ikut berpartisivasi dalam bidang politik. Semoga peper ini menambahi pengetahuan dan
wawasan kita.

II. PEMBAHASAN
II.1. Pengertian Gereja

Kata “gereja” berasal dari bahasa Yunani: εκκλησια (ekkelesia) yang berarti
dipanggil keluar (ek: keluar; klesia dari kata kaleo: memanggil).1 Jadi, gereja adalah
kumpulan orang-orang yang dipanggil keluar dari kegelapan dunia kepada terang Kristus.
Untuk lebih memperjelas lagi pemahaman apa itu gereja, maka berikut adalah gambaran-
1
G. C. Van Niftrik & B. J. Boland. Dogmatika Masa Kini, (Jakarta: BPK-GM, 2005), 354

1
gamabaran gereja yang ada di alkitab, yaitu: satu: Gereja adalah tubuh Kristus (Efesus 1: 22-
23), dua: Gereja adalah bait Allah (1 Korintus 3:16), Ketiga: Gereja adalah Pengantin Kristus
(2 Korintus 11:2), keempat: Gereja adalah kawanan Domba Allah (Masmur 23 dan Yohanes
10:1-10) dan kelima:Gereja adalah Ranting dari pokok anggur (Yohanes 15:1-8).2

Menurut pokok-pokok Pengakuan Iman GBKP Gereja ialah:3

1. Gereja adalah persekutuan orang percaya yang dipanggil menjadi milik Allah dan
Yesus Kristus menjadi kepalanya (1 Petrus 2: 9, Efesus 1:22) terus menerus
diperbaharui oleh Roh Kudus menjadi garam dan terang dunia (matius 16:18)
2. Hakekat gereja adalah Kudus, Esa dan Am
3. Gereja di panggil untuk melakukan tri-tugas demi mewujudkan jemaat yang
misioner untuk memproklamasikan nilai-nilai kerajaan Allah ysng tampak dalam
kehidupan Yesus yaitu: cinta kasih, keberpihakan kepada yang miskin, lemah dan
yang terpinggirkan untuk menegakkan kebenaran, dan keadilan (Lukas 4:18-19)
serta mampu bersikap positif, kreatif dan realistis terhadap nilai-nilai dunia (roma
12:2)
4. Gereja berdialog dengan agama lain dan pemerintah untuk menyaksikan cinta
kasih Yesus
5. Gereja mengangkat pelayan-pelatan khusus: pendeta, penatua, diaken (efesus
4:22) dan menugaskan semua orang percaya untuk menyaksikan imannya agar
pelayanan gereja teratur.
6. Gereja sebagai persekutuan yang kelihatan terorganisasi dan struktur
membutuhkan pengurus-pengurus yang disebut majelis jemaat, majelis klasis, dan
majelis sinode.

Jadi dapat disimpulkan gereja terpanggil untuk memberitakan berita kesukaan dari Allah
bagi semua orang, agar percaya dan diselamatkan. Oleh sebab itu semua kegiatan gereja
harus berhubungan dengan karya penyelamatan Tuhan bagi dunia ini. Artinya melibatkan
secara langsung warganya pada kehidupan sehari-hari. Gereja harus terbuka, dinamis,
dialogis pada situasi perkembangan di masyarakat dengan sikap positif, kritis, kreatif dan
realitis.

2
https://myhomecenterarcadia.wixsite.com/myhome/single-post/apa-itu-gereja, dikases sabtu, 23 Oktober
2021, pukul 09.00 Wib
3
Moderamen GBKP, Pokok-Pokok Pengakuan Iman GBKP, (Kabanjahe: 2015), 14

2
II.2. Politik
II.2.1. Pengertian Politik Secara Umum

Politik berasal dari kata Yunani polis yang berarti kota atau negara. Kemudian arti itu
berkembang menjadi polites yang berarti warganegara, politeia yang berarti semua yang
berhubungan dengan negara, politika yang berarti pemerintah negara dan politikos yang
berarti kewarganegaraan.4

Dari perkembangan kata politik maka rumusan politik merupakan seni dan ilmu untuk
meraih kekuasaan secara konstitusional atau seni mempengaruhi kebijakan publik. Lebih
luasnya pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda
mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik. Politik adalah seni dan ilmu untuk
meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Di samping itu politik
juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain: politik adalah usaha yang
ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles).
politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara. politik
merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di
masyarakat. politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan
kebijakan publik.5 Dari asal kata dan perkembangan makna kata politik adalah positif. Tetapi
di dalam kehidupan sehari-hari kita menemukan bahwa belum menyatu antara defenisi dan
realita.

Dalam pokok-pokok Pengakuan Iman GBKP, politik ialah:6

1. Politik merupakan upaya untuk menata kehidupan masyarakat demi kesejahteraan


bersama
2. Politik menjadi sarana kesaksian dan alat untuk menghadirkan Kerajaan Allah di
tengah masyarakat
3. Gereja menolak setiap upaya partai politik, sekelompok orang atau perorangan
yang menjadikan gereja sebagai kendaraan politik
4. Dalam pentas politik, gereja hadir sebagai garam dan terang baik dalam proses
pencerahan masyarakat, mengkritisi kebijakan dan memberikan pertimbangan
dalam pengambilan keputusan-keputusan politik
5. Gereja dipanggil mempersiapkan warganya untuk diutus dalam politik.
4
M. Fadhilah Harnawansyah, Sistem Politik Indonesia (Surabaya: Scopindo Media Pustaka, 2019), 4-5.
5
Sirait Saut Hamonangan, Politik Kristen di Indonesia, (Jakarta: BPK-GM, 2001), 137
6
Moderamen GBKP, Pokok-Pokok Pengakuan Iman GBKP, Op.Cit. 13

3
II.2.2. Pandangan Alkitab Tentang Politik
Klaim teologis Paulus bahwa pemerintah itu “berasal, ditetapkan dan hamba”
Allah sesungguhnya mengandung konsepsi politik yang luar biasa. Justru disitulah
totalitas dan inti makna politik Teokrasi tetap merupakan garis konsisten para rasul.
Teokrasi yang dimaksud adalah Pemerintahan yang dipimpin oleh Allah. Teologi
Paulus Tentang Ketaatan terhadap pemerintah (Rm 13:1-7) sering menjadi acuan
banyak kalangan saat adanya ketegangan antara Gereja dan Negara bahkan dapat
dijadikan doktrin yang menuntut kepatuhan, tanpa daya kritis. Keyakinan Paulus
bahwa pemerintah itu hakekatnya berasal dari Allah, untuk itu ia harus didengar dan
ditaati. Pernyataan ini tentunya sangat sulit untuk diterima oleh umat Kristen yang
saat itu sedang mengalami perhambaan oleh kekaisaran Romawi. Namun maksud
Paulus di sini ingin menegaskan agar umat tidak mengabaikan dunia ini dengan
kondisi tersulit yang dialami, tetapi tetaplah berusaha untuk menciptakan tatanan
dunia yang adil dan damai, termasuk menciptakan suasana politik yang bersih dan
egaliter. Teologi Paulus tentang Ketaatan Terhadap Pemerintah, tidak terlepas dari
konteks masyarakat Roma saat itu. Paulus memberitakan tentang ketaatan dalam
konteks imperium romawi yang kafir (Pemerintah dan aparatnya) sebagai hamba
Allah. Rasul Paulus dalam Roma 13: 1-7 menjelaskan bagaimana hidup sebagai
warga negara. Gereja yang ada di Roma diperintahkan rasul Paulus mematuhi
pemerintahan Romawi. Kepatuhan kepada pemerintah yang berkuasa merupakan
suatu keharusan bagi orang Kristen, sebab orang Kristen bergantung dan terikat
kepada pemerintah secara hukum. Setiap warga negara yang melakukan
pembangkangan atau pelanggaran terhadap peraturan atau hukum akan dikenakan
sanksi atau hukuman oleh pemerintah yang berkuasa.7

II.3. Gereja Dan Politik

Politik pada hakikatnya menawarkan berbagai pilihan kebijkan untuk


mengurus negara dan hal-hal lain yang berkaitan dengannya. Bahwa terdapat banyak
penyimpangan dalam pelaksanaannya, tidak bisa kita pungkiri, tapi yang jelas politik

7
Tom Jacobs, Paulus: Hidup, Karya dan Teologinya (Jakarta: BPK Gunung Mulia 1983), 93-94

4
bertujuan agar pemerintahan suatu negara terselenggara dengan baik. Dengan defenisi
tersebut, maka warga gereja seharusnya tidak perlu merasa “tabu” berbicara tentang
politik atau mencemarkan kekudusan gereja. Ketika tinggal di bumi, Yesus sendiri
tidak menghindari dari kegiatan politik. Ia pernah ditanya oleh orang-orang Farisi dan
Herodian tentang pajak, “Katakanlah kepada kami pendapat-Mu: apakah
diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?” (Matius 22:17). Apa
tanggapan-Nya? “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada
Kaisar dan kepada Allah yang wajib kamu berikan kepada Allah” (Matius 22:21).
Bukanlah membayar pajak kepada negara merupkan bagian dari aktivitas politik? Kita
bisa pula mengambil pengalaman Nabi Yeremia pada masa perjanjian Lama tentang
kegiatan politik. Allah berpesan melalui Yeremia agar disampaikan kepada orang-
orang Israel yang tinggal di pengasingan: “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana
kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan, sebab
kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu” (Yeremia 29:7)

Gereja harus turut bertanggung jawab terhadap kegiatan politik. Gereja tidak
bisa berpangku tangan terhadap keputusan politik yang menindas rakyat. Sejarah
mencatat, gereja berperan besar atas tubangnya kediktatoran Marcos di Filipina
(1986). Namun dicatat bahwa tewasnya jutaan orang di Jerman akibat membisunya
gereja terhadap kebijakan penjahat perang Adolf Hitler. Sukses atau pemilihan
kepemimpinan adalah salah satu bagian penting dari kegiatan politik. Sebagai warga
negara terlebih warga gereja, kita harus ikut bertanggung jawab untuk
mensukseskannya. Ketidaan pemimpin atau memilih pemimpin yang buruk akan
membuat negeri di mana kita tinggal, semakin tidak sejahtera. Bukanlah Allah
meminta orang-orang Israel yang tinggal di perasingan agar tutur mengambil bagian
dalam menyejahterakan negeri musuh (Babel) sekali pun? Adalah suatu keharusan
kalau kita pun berdoa dan ikut ambil bagian dalam menyejahterakan negeri sendiri.8
Patut kita perhatikan, biasanya sebelum pemilihan diadakan, sejumlah calon
akan mengunjungi rumah-rumah ibadah secara intensif, menebar pesona. Membuat
sejumlah janji, tentu saja tidak ada yang salah dengan kegiatan-kegiatan itu. semakin
mereka mendekatkan diri kepada kita (Konstituen) bukankah merupakan suatu
kesempatan bagi kita untuk lebih jauh mengenal karakter mereka? namun,
pertanyaaan kita adalah di antara calon-calon, siapakah yang kelak akan kita pilih?

8
Robert Sinuhaji, Gereja dan Politik (Kabanjahe, 2009), 60-62

5
Sebagai warga yang takut akan Tuhan, tentu saja kita memilih calon pemimpin bukan
karena diiming-imingi oleh uang (money politics) atau faktor lain (suka, agama,
hubungan keluarga). Namun ingatlah, ketika kita memilih pasangan calon setelah
menerima sesuatu dan mengabaikan karakter kepemimpinan, maka kita turut
membuat bangsa ini selalu kerdil dalam berpolitik.
Bolehkah gereja berpolitik? Dalam konteks kenegaraan Indonesia menjadi
suatu pertanyaan yang harus dijawab secara hati-hati. Jawaban yang berbeda adalah
salah satu hal yang lumrah. Namun jawaban harus tetap diberikan, boleh atau tidak
yang didukung dengan suatu alasan berdasarkan kajian yang ilmiah dan bertanggung
jawab. Kajian dapat dimulai dengan mendefinisikan kata “gereja” secara konseptual-
teologis. Gereja adalah institusi rohani karena beranggotakan orang-orang percaya,
yang dipanggil keluar dari kegelapan dan menerima terang Kristus dan diutus
Kembali ke dunia yang gelap untuk menerangi kegelapan itu. Gereja adalah institusi
rohani yang didirikan oleh Kristus di atas pengakuan akan kebenaran bahwa Yesus
Kristus adalah Tuhan dan juruselamat (matius 16:16-18). Gereja berada di bumi
(earthly) tetapi tidak bersifat duniawi (worldly). Gereja adalah Lembaga Allah yang
sacral (kudus) yang tidak boleh dikotori oleh nafsu dan ambisi-ambisi duniawi.
Kegiatan politik dapat dipisahkan dari partai politik. Maka partai politik
disebut sebagai kendaraan politik. Melalui partai politik inilah, golongan atau
sekelompok orang menyampaikan aspirasi politiknya yang tidak jarang juga sering
sebagai alat untuk memaksakan kehendak. Partai politik akan mengutamakan
kepentingan partainya, sekalipun dengan embel-embel untuk kepentingan negara.
Namun partai politik adalah sah dalam sebuah negara yang demokratis di mana
warganya bebas menyampaikan opini. Kecendrungan setiap partai politik untuk
mencari kekuasaan dengan cara apa pun sesuai dengan situasi dan kondisi yang
sedang dihadapinya, dan demi tujuan dan eksisnya partai, partai politik sering
melakukan kesalahan yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan itu.
Gereja harus dipisahkan dengan politik praktis, gereja sepatutnya
menggembalakan yang berpolitik praktis sekaligus menyadari posisinya sebagai
pelayan di gereja. Gereja tidak boleh dikotori oleh nafsu-nafsu duniawi yang
bertopeng partai politik Kristen atau sejenisnya dengan alasan membela hak-hak
Kristen atau mewujudkan Indonesia baru berdasarkan prinsip-prinsip atau ajaran
Kristen. Tetapi gereja seharusnya menunjukkan jati diri yang benar (integritas) sesuai

6
dengan prinsip-prinsip Alkitab dan mengakui bahwa Indonesia dibangun di atas dasar
Pancasila yang “berbhineka Tunggal Ika”.
Gereja seharusnya hadir memberikan sumbangsih yang tidak ternilai
harganya, yakni:
1. Mendukung reformasi kebangsaan yang sudah terpuruk
2. Menghargai Pancasila, konstitusi dan Lembaga pemerintah
3. Meningkatkan pelayanan sosial
4. Meningkatkan pelayanan pendamaian
5. Turut serta meningkatkan mutu Pendidikan nasional
6. Turut serta meningkatkan stabilitas nasional
7. Bersatu sebagai teladan bagi persatuan nasional
8. Turut meningkatkan demokrasi.9

Jadi Gereja tidak perlu perpolitik praktis, tetapi gereja mendukung umatnya dan
mengembalakan mereka secara benar, yakni orang-orang yang kompeten di dalamnya,
sehingga tidak menyimpang dari esensinya, yakni menjadi garam dan terang Kristus dalam
dunia ini. Dengan demikian gereja mendatangkan sesuatu yang berarti bagi bangsa dan
negara Indonesia tercinta ini.

II.4. Landasan Alkitab Tentang Keterlibatan Pendeta Dalam Politik Praktis

Dasar Alkitab bagi signifikansi keterlibatan Pendeta dalam Politik Praktis memiliki
dasar teologi yang sangat kuat di dalam Alkitab. Dalam konteks Alkitab para pendeta
disamakan dengan para imam dan nabi dalam zaman Perjanjian Lama (PL) dan para rasul dan
para penatua dalam zaman Perjanjian Baru (PB). Para nabi, imam, rasul dan penatua dalam
Alkitab juga terlibat dengan masalah politik praktis pada zaman pelayanan mereka. Sebut
saja seperti Musa yang hidup di Kota Mesir, yang sekalipun di besarkan di dalam istana
Firaun, namun Musa juga memikirkan bagaiana menolong umat Israel dari penindasan yang
dilakukan oleh Faraun. Dalam konteks ini, Musa melalukan upaya pertolongan untuk
memberbaskan umat Israel dari penindasan yang dilakukan oleh Firaun. Apabila
dihubungkan dengan definisi politik praktis yang disebutkan di atas maka apa yang dilakukan
oleh Musa pada zamannya di Mesir adalah sebuah upaya melakukan kegiatan politik praktis
bagi umat Israel, yang tujuan utamanya ialah untuk membebaskan umat Israel dari
penindasan.
9
https://binus.ac.id/character-building/2021/02/bolehkah-gereja-berpolitik/, diakses Sabtu, 23 Oktober 2021,
pukul 10.00 Wib

7
Salah satu kegiatan politik praktis yang dilakukan oleh politikus Kristen ialah
membebaskan warga jemaat dan masyarakat pada umumnya dari penindasan yang dilakukan
oleh siapa saja, termasuk kalau itu dilakukan oleh pemerintah atau penguasa dalam
pemerintahan. Sebab inti dari politik adalah mencipta kebahagiaan untuk masyarakat. Dan itu
dilakukan oleh Yesus. Dalam zaman raja Salomo, Salomo melakukan kerjasama dengan raja-
raja dari negara yang lain, agar secara politik kerajaan Israel mendapatkan Damai Sejahtera.
Dan ini sangat terbukti di dalam Alkitab. Selama kepemimpinan Salomo selama 40 tahun
(bdk. 1 Raj. 11:42), tidak pernah dilaporkan bahwa terjadi peperangan Israel dengan bangsa-
bangsa yang lain dan kekurangan makanan pada Israel. Selama kepemimpinan Salomo 40
tahun, Israel mengalami masa kedamaian yang luar biasa. Bahkan Salomo berkuasa dari
sungai Efrat sampai negeri orang Filistin dan sampai ke tapal batas Mesir (bdk 1 Raj. 4:21,
24). Berkuasanya Salomo dari sungai Efrat sampai ke tapal batas Mesir adalah penggenapan
perjanjian Tuhan kepada Abram dalam Kejadian 15:18-21.10 Secara politik Salomo memiliki
kemampuan politis yang luar bisa. Yang harus diakui bahwa ini berasal dari hikmat yang
Tuhan berikan kepada-nya. Dalam konteks itu, ratu Syeba sudah membuktikan hikmat
Salomo dengan cara berkunjung ke Yerusalem untuk melihat dari dekat hikmat Salomo (1
Raj. 10:1-13).

Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) mengimbau agar para pendeta tidak


terjun ke politik praktis. Hal ini lantaran belakangan ada pendeta yang terjun ke politik
praktis jelang pencoblosan Pilkada Serentak pada 27 Juni 2018. Sekretaris Umum (Sekum)
PGI, Pdt Gomar Gultom menyayangkan turunnya pendeta ikut serta dalam politik praktis.
Apalagi, kata dia, para pemuka agama itu secara terang-terangan mendukung dan mendoakan
salah satu calon agar menang."Boleh saja pendeta ikut (politik praktis), tapi tanggalkan dulu
fungsi-fungsi kependetaan dalam memimpin umat," ujar Gomar di Kantor PGI, Jakarta Pusat,
Kamis (21/6). Dia menilai, turunnya para pendeta ke politik praktis justru bisa menimbulkan
kegaduhan baru dan memecah umat."Karena umat belum tentu pilihan politiknya sama
dengan pendeta. Kami sangat sayangkan itu," ucapnya. Hal ini, lanjut Gomar, berlaku bagi
seluruh pasangan yang maju dalam Pilkada Serentak 2018 untuk tidak melibatkan para
pendeta. Karena, belum lama, seorang pendeta di Sumatera Utara mendoakan dan
mendukung calon Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi, agar menang."Ini bukan karena si A, si
B. Mungkin dalam kasus Sumut, ada pendeta mendoakan Edy Rahmayadi atau mendoakan
Djarot sekalipun. Yang kami minta adalah, kalau gereja mau mendoakan, sebaiknya undang

10
Paskalinus Busthan, Teologi Kontekstual Asia (Pontianak: STT Pontianak, 2016), 25

8
semua kontestan dan diberangkat semua kontestan," paparnya."Bukan didoakan siapa yang
menang, tapi didoakan semua pihak agar ada berkat untuk bangsa," sambung Gomar.Meski
begitu, dirinya tak menampik jika syahwat atau nafsu politik para pendeta banyak yang tak
bisa dibendung."Kami hanya mengimbau agar ada keutuhan jangka panjang. Jika ada pendeta
yang mengajak atau menjadikan rumah ibadah sebagai politik praktis, itu menciderai
demokrasi. Karena rumah ibadah tak dibenarkan jadi arena politik," tegas
Gomar.Sebelumnya, sempat beredar viral video Calon Gubernur Sumatera Utara Edy
Rahmayadi didoakan oleh para pendeta. Video tersebut berdurasi 30 detik. Para pendeta
tersebut tergabung dalam Komunitas Pendeta Internasional Indonesia Sumatera Utara.11

J. Philip menyatakan bahwa gereja harus didorong untuk aktif mempengaruhi


kebijakan pemerintah. Namun peran aktif politik gereja juga punya batasan. Dalam kondisi
normal gereja secara institusi hanya boleh menggunakan tiga peran politiknya yaitu:

1. influence the ethos (mempengaruhi etika), tugas gereja menegakkan etika atau moral
(termasuk ethika politik), menyuarakan kebenaran dan mengkritisi yang tidak benar.
2. educating the church’s own membership about particular issues (Pendidikan politik
warga gereja tentang issu-issu penting)
3. church lobbying (Lobi Gereja, melakukan lobi terhadap para pengambil keputusan
guna kepentingan rakyat).

Jika merujuk pada Prof. J. Philip Wogaman, maka gereja bahkan tidak bisa melakukan
politik praktis seperti contohnya mempromosikan salah satu kandidat. 12 Gereja bisa
mendoakan dan menekankan tanggung jawab moral. Gereja harus tegas, namun mesti
konstruktif dan inovatif dalam mendidik warga dalam menggunakan hak politiknya.

II.5. Peran Pendeta Dalam Politik

Benar bahwa kehadiran seorang pendeta sebagai pewarta injil tidak dapat dibatasi
cuma dalam ruang kebaktian pada hari minggu saja, tetapi bisa di mana saja dan kapan saja
termasuk dalam bidang politik. Namun yang menjadi persoalan adalah kehadiran sang
pendeta di sana adalah “atas nama gereja” atau atas nama dirinya sendiri. Kalau kehadirannya

11
Eddy Paimoen, Kerajaan Allah dan Gereja, (Bandyng: Agia Media, 1999), 65-66
12
J. Philip Wogaman, Christian Perspective on Politics, Westminster John Knox Press, 2000.) 17

9
“atas nama gereja” maka pertanyaan selanjutnya adalah apakah ada gereja yang “mengutus”
pendetanya untuk terlibat dan melibatkan dirinya dalam politik (praktis)?

Dalam konteks GBKP belum ada satu keputusan pada aras sinodal untuk mengutus
pendeta-nya menjadi politikus profesional. Kalau toh ada pendeta yang mengambil keputusan
untuk menjadi “calon” legislatif atau eksekutif itu adalah keputusan pribadinya dan
keputusan kekuatan (partai) politik yang mengusungnya. Namun demikian, pendeta sebagai
seorang warga masyarakat dan warga negara patut menjalankan hak dan kewajiban
politiknya, tentu berdasarkan nilai-nilai kristiani dan hakekat jabatan kependetaan yang
disandangnya.

Untuk melakukan hal-hal ini ada banyak cara yang bisa dilakukan, tidak cuma harus
menjadi anggota legislatif atau berpolitik praktis. Mengapa ? Karena untuk menjadi seorang
politikus mesti memiliki persyaratan (kualifikasi) tertentu, paling kurang kokoh integritas
kepribadiannya (supaya jangan jadi koruptor), mempunyai visi pilitik dan komitmen politik
yang jelas (supaya tidak menjadi oportunis)  dan memahami cara kerja dalam dunia politik
secara profesional (supaya tidak mengecewakan para pendukungnya). Oleh sebab itu
kehadiran seorang pendeta dalam dunia politik praktis bukan terutama masalah doktrin
jabatan menyangkut salah atau benar ; melainkan masalah etika, boleh atau tidak boleh dan
motivasinya.

Jadi, apakah seorang pendeta yang sedang aktif melayani jemaat boleh masuk dalam
politik praktis misalnya dengan menjadi caleg salah satu partai politik? Menurut saya,
sebaiknya tidak boleh. Tetapi dalam praktek “kasus” seperti ini ditentukan oleh keputusan
sang pendeta dan pengaturan “lembaga” gerejanya. Ada gereja yang memperbolehkan
pendetanya merangkap sebagai  pelayan jemaat sambil berpolitik. Ada yang mengatur supaya
selama menjadi politikus status kependetaannya “digantung” dan dapat dipakai lagi kalau
sudah berhenti dari aktivitas politik praktis. Ada pula gereja yang mencabutnya sama sekali,
silahkan berpolitik tapi tanggalkan kependetaan.

Pada suatu kesempatan konferensi pers di Kupang seusai pembukaan Sidang MPL
PGI (2013) Ketua Umum PGI mengatakan bahwa “Gereja jangan terjebak dalam politik
praktis, para pendeta di seluruh Indonesia agar tidak terlibat dalam politik praktis. Karena itu
(lanjutnya) jika ditemukan adanya pendeta yang terlibat maka pendeta itu mengatasnamakan
dirinya, ia tidak mewakili gereja”. Gereja lebih besar dari diri seorang pendeta.

10
II.6. Peran Gereja/Petugas Gereja Mempersiapkan Warganya Dalam Bidang
Politik

Sesuai dengan konfesi (pokok pengakuan) GBKP BAB VIII tentang politik
ditegaskan bahwa “politik merupakan upaya untuk menata kehidupan masyarakat demi
kesejahteraan bersama”. Politik menjadi sarana kesaksian dan alat untuk menghadirkan
tanda-tanda Kerajaan Allah di tengah masyarakat. Gereja menolak setiap upaya partai politik,
sekelompok orang atau perorangan yang menjadikan gereja sebagai kenderaan politik. Dalam
pentas politik, gereja hadir sebagai “garam” dan “terang” baik dalam proses pencerahan
masyarakat, mengkritisi kebijakan dan memberikan pertimbangan dalam pengambilan
keputusan-keputusan politik. Gereja dipanggil mempersiapkan warganya untuk diutus dalam
politik. Dari konfesi GBKP mengenai politik maka jelas GBKP harus ikut terlibat dalam
politik. Politik merupakan panggilan gereja untuk mewujudkan tanda-tanda kerajaan Allah di
dunia. Sebagai institusi GBKP tidak terlibat secara langsung untuk politik praktis serta masuk
dalam partai politik. Peran GBKP adalah dunia politik yakni menuntun dan memoyivasi
warga gereja dan masyrakat agar:

1. Tepat dalam pertimbangan dan pengambilan pilihan


2. Tidak menyalahgunakan kekuasaan yang diterimanya
3. Tidak melanggar nilai-nilai, ketentuan dan hukum yang berlaku namun
menghormati dan mematuhinya
4. Menghindari konflik horizontal, kekerasan serta perpecahan oleh karena pilihan
yang berbeda.13

Peran gereja/petugas gereja harus tetap nyata sebagai Pembina, pengawal, serta
pengontrol warga gereja/masyarakat (politikus) serta kebijakan yang diambilnya. Gereja
secara prinsip harus tetap mengawal serta mengevaluasi secara kritis pelbagai aktivitas politik
bagi local, regional, nasional, serta internasional. Warga gereja didorong sebanyak mungkin
lebih berperan secara praksis dan langsung sebagai politikus, eksekutif, dan birokrat.
Gereja/petugas gereja senantiasa mengingatkan keterlibatan warganya dalam politik hanya
untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat serta perwujutan dari iman percayanya. Demikian
juga gereja perlu mengingatkan kepada para “politikus kotor” agar bertobat dan masyarakat
tidak usah ragu untuk tidak memilih mereka lagi sebagai politikus.

13
Moderamen GBKP, Buku Saku Pendidikan Kewarganegaraan (Tentang Politik), (Kabanjahe, 2018), 35-36

11
II.7. Refleksi Teologis

Matius 5:13-16 mengatakan: kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar,
dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan di injak orang. Kamu
adalah terang dunia. Kota yang terletak diatas gunung tidak mungkin tersembunyi. Lagipula
orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya dibawah gantang, melainkan di atas kaki
dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu. Demikianlah hendaknya terangmu
bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan
Bapamu yang di sorga. Demikianlah seharusnya peran gereja menjadi tercecap dan terlihat.
Dalam menjalankan panggilan iman (menjadi garam dan terang) di dalam membangun politik
yang menjadi berkat adalah cara hidup yang benar menurut kehendak Tuhan. Memang
menjalankan tugas panggilan iman mengenai keterlibatan dalam politik sangat membutuhkan
perjuangan, pengorbanan dan penuh resiko. Karena peran dosa dalam politik banyak
mengakibatkan adanya kecendrungan; terutama manipulasi dan ketidakadilan dalam setiap
politik, penindasan terhadap sesama, dan belenggu bagi banyak orang. Di sinilah peran gereja
seharunya menjadi “garam” dan “terang” dunia. Gereja di utus Allah sehingga mampu
memberi pengaruh dan warna positif, menjadi saksi Kristus di tengah-tengah dunia. Gereja
yang hidup adalah gereja yang hadir untuk memberi jawab atas pergumulan konteks di mana
ia berada. Konteks tersebut meliputi konteks sosial, budaya, ekonomi, politik, keadilan,
lingkungan hidup, kemiskinan dan sebagainya. Kehadiran gereja dalam semua realita hidup
itu adalah dengan memperlihatkan tanda-tanda kehadiran Kerajaan Allah di bumi. Untuk itu
gereja harus memiliki landasan yang kuat dalam melaksanakan misinya di dunia ini yang
bersumber dari Alkitab.

III. KESIMPULAN
1. Gereja hidup di dalam dan di tengah-tengah dunia. Gereja hidup dan berkembang
dalam berbagai realita kehidupan sosial yang mengitarinya. Gereja tidak adapat
dipisahkan dari pergumulan konteks dimana ia berada. Gereja adalah sebuah
komunitas orang percaya yang dipanggil dari dunia untuk masuk dalam persekutuan
dengan Allah dan diutus kembali ke dalam dunia menjadi “garam” dan “terang” dunia
(Matius 5:13-16).
2. Gereja perlu membekali warganya agar memiliki pondasi yang kuat dalam politik
yakni landasan teologis (panggilan orang percaya), karakter dalam berpolitik (nilai-
nilai kristiani), serta tujuan utama yakni untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

12
Idealisme dalam politik hendaknya terus disuarakan oleh gereja melalui warganya.
Gereja juga terus harus menyuarakan suara kenabian dengan mengkritisi segala
praktek politik yang menyimpang dari tujuan hakekatnya yang merugikan
masyarakat.
3. Politik adalah mulia sebab tujuannya adalah untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat, keharmonisan, perdamaian, persekutuan yang lahir dari bati setiap warga.
Gerja hendaknya mengapresiasi anggota jemaat kita yang mau melayani dari dunia
politik sebagai manifestasi iman serta panggilan orang percaya kepadanya. Namun
kita harus tetap mengingatkan godaan dalam bidang politik agar tidak jauh pada
politik transaksional yang mengutamakan kekuasaan dan materi untuk kepentingan
pribadi dan kelompoknya.
4. Politik dalam kehidupan masayarakat memiliki banyak sekali manfaat, jika politik itu
dijalankan sebagaimana mestinya. Karena di dalam ilmu politik tersebut telah
diajarkan mengenai bagaimana cara untuk mendapatkan sesuatu yang kita inginkan,
tentunya dengan cara yang baik dan tidak menimbulkan negative di dalam
masyarakat. Politik telah banyak memberikan jalan dan juga konsep-konsep yang
sangat apik untuk diterapkan oleh manusia dalam setiap langkah yang ditempuhnya
untuk meraih sebuah prestise dalam masyarakat dengan maksud dan itikad yang
luhur.

IV. Daftar Pustaka


IV.1. Buku-Buku

Busthan, Paskalinus, Teologi Kontekstual Asia (Pontianak: STT Pontianak, 2016)


Hamonangan, Sirait Saut, Politik Kristen di Indonesia, (Jakarta: BPK-GM, 2001)
Harnawansyah, M. Fadhilah, Sistem Politik Indonesia (Surabaya: Scopindo Media Pustaka,
2019)
Jacobs, Tom, Paulus: Hidup, Karya dan Teologinya (Jakarta: BPK Gunung Mulia 1983)
Moderamen GBKP, Buku Saku Pendidikan Kewarganegaraan (Tentang Politik), (Kabanjahe,
2018)
Moderamen GBKP, Pokok-Pokok Pengakuan Iman GBKP, (Kabanjahe: 2015)
Niftrik, G. C. Van & B. J. Boland. Dogmatika Masa Kini, (Jakarta: BPK-GM, 2005)
Paimoen, Eddy, Kerajaan Allah dan Gereja, (Bandyng: Agia Media, 1999)
Sinuhaji, Robert, Gereja dan Politik (Kabanjahe, 2009)

13
Wogaman, J. Philip, Christian Perspective on Politics, Westminster John Knox Press, 2000.)
IV.2. Internet

https://myhomecenterarcadia.wixsite.com/myhome/single-post/apa-itu-gereja
https://binus.ac.id/character-building/2021/02/bolehkah-gereja-berpolitik/

14

Anda mungkin juga menyukai