Anda di halaman 1dari 6

Nama : Prayshe Sembang

Nim : 201941304
Mata Kuliah : Teologi Kontekstual
Dosen : Pdt HWB Sumakul Th.M , Ph.D
“MODEL BUDAYA TANDINGAN”
Darrel Whiteman, “ KONTEKSTUALISASI YANG BAIK itu menggerecok.” Dimana artikel
itu tentang makna dan tantangan dalam mengekontekstualisasikan komunikasi injil oleh gereja.
Dikatakan bahwa injil hanya menggerecok sedikit karena alasan tepat karena ia tidak
mengindahkan secara serius konteks khusus atau meremehkan pengalaman pribadi atau
kebiasaan sebuah adat atau juga ia menganggap sebuah konteks itu salah atau rusak. Sebaliknya,
injil menggerecok karena selalu ada sesuatu dalam pengkomunikasiannya yang menuntut
berbagai pengalaman dari berbagai sudut tertentu agar dapat dinilai. Begitupun dikatakan penulis
bagaimana disinyalir A.G.Hogg, injil senantiasa menyajikan suatu “ relevansi yang menantang”
atau Hendrik Kramer, ia mengungkapkan bahwa injil menawarkan kepada semua bangsa suatu “
pemenuhan subversif” atas situasi manusiawi, budaya serta historisnya mereka.
Model ini sangat serius mengindahkan konteks. Model ini mengakui bahwa manusia dan segala
pengungkapan teologisnya hanya bisa ada dalam situasi yang terkondisi secara historis dan
kultural namun juga di sampaikan dengan sungguh bahwa konteks itu perlu dihadapi dengan
semacam kecurigaan. Apabila injil ingin sungguh berakar di dalam konteks umat, maka ia harus
menantang dan memurnikan konteks tersebut. Seperti yang ditulis oleh Lesslie Newbigin dalam
konteks khusus kebudayaan inggris menjelang akhir abad 20- tatkala ia kembali ke Inggris pada
tahun 1974 setelah bertahun-tahun berkarya di india,pendaptnya begini ”maka hal itu akan secara
radikal mempertanyakan cara pemahaman yang terjelma dalam bahasa yang digunaknnya.
Apabila sungguh-sungguh terjadi pewahyuan, maka hal itu akan melibatkan kontradiksi, dan
menuntut pertobatan, satu metanoia radikal, suatu pembalikan budi secara radikal”. Model ini
didukung di antara para teolog yang mengakui hakikat anti Kristen mendalam dari semua
kebudayaan barat kontemporer di negara maju bagian pasifik selatan. Namun tidak dibatasi di
barat saja dan hal inilah yang menandai keterlibatan mendalam dengan kebudayaan Afrika
Selatan.
Model ini menyadari bagaimana sejumlah konteks merupakan antitesis terhadap injil, dan harus
di tantang oleh daya pembebasan dan penyembuhan injil. Model budaya tandingan menimba dari
sumber yang kaya dan tak habis-habisnya dalam kitab suci dan tradisi. Dari kitab suci, model ini
merujuk pada literatur kenabian yang snagat sarat budaya tandingan dari perjanjian lama; dari
makna ambigu istilah “dunia” yang terdapat dalam perjanjian baru. Dan dari teks-teks seperti
Roma 12:2, 1 Kor 1:23. Dari tradisi. Model budaya tandingan membangun wawasannya dari
berbagai pandangan tokoh, antara lain Tertulianus. Model ini mengakui bahwa injil mewakili
suatu cara pandang atas dunia yang mencakup segala sesuatu, yang secara radikal berbeda dan
membedakan injil itu secara mendasar dari pengalaman manusia tentang dunia dan kebudayaan
ciptaan manusia. dan model ini juga dapat terbukti menjadi cara paling mempan olehnya injil
dikomunikasikan dengan keterlibatan, yang penuh kesegaran dan kesejatian.
Garis Besar Model Budaya Tandingan
Terminologi
Model ini bukan anti budaya, salah satu contoh bentuk ekstrem, gambaran H.Richard Niebuhr
tentang “Kristus Melawan Budaya” dalam karya klasiknya. Mungkin menunjukan arah anti
budaya dari model itu. Akan tetapi, istilah itu berikhtiar mengungkapkan fungsi krits yang
diperankan model ini berhadap-hadapan dengan konteks manusiawi. Walaupun para model
budaya tandingan mengakui bahwa apabila injil hendak dikomunikasikan secara tepat, maka hal
itu harus dilakukan dan bahwa “kebudayaan itu sendiri bukanlah suatu keburukan atau
kejahatan” namun bagiamnapun juga harus diakui bahwa sebagai hasil karya manusia”
kebudayaan itu menyandang kecenderungan manusia untuk melawan dan melecehkan aturan
pencipta dunia”. Menurut mereka teologi kontekstual dipraktikan secara paling baik melalui
suatu analisis atau konteks namun tetap menghargai konteks itu, dan membiarkan injil menuntun
seluruh proses agar ditata oleh realitas injil. Konteks, kata Lamin Sanneth, harus diberi suatu
“status kedua dari belakang” karena konteks itu “sekaligus merupakan sekutu alami dan musuh
alami dari injil”.
Sungguh-sungguh menjumpai dan melibatkan konteks itu melalui analisis kritis namun dengan
sikap hormat, serta memaklumkan injil yang sejayi dalam kata dan perbuatan, maka kita dapat
menyebut model ini sebagai model perjumpaan atau keterlibatan.
Pengandaian-pengandaian model budaya tandingan
Pengandaian pertama dari model budaya tandingan adalah kemenduaan radikal dan tak
memadainya konteks manusiawi. Namun kontekstualisasi yang benar memberikan keutamaan
yang memang sepatutnya disandang injil, dayanya untuk menerobos setiap kebudayaan dan
berbicara dalam setiap kebudayaan, dalam bahasa dan simbolnya sendiri, sabda yang serentak
berfirman ya dan tidak hukuman dan rahmat. Namun injil perlu dialami sebagai sesuatu yang
sangat berseberangan dengan kondisi manusia, seraya menuntut darinya pembalikan radikal
dalam pertobatan. Hanya dengan itu kemanusiaan memperoleh kesembuhan dan mencapai
kepenuhannya. Penekanan yang kuat menyangkut fungsi kritis dan menentang dari injil
menampilkan pengandaian kedua dari model budaya tandingan ini, yakni hakikat pewahyuan
atau, dengan kata lain, hakikat injil. Sekali lagi, newbeginlah yang mengungkapkan gagasan
yang sangat berpengaruh ini : pewahyuan, yang berintikan injil, pada dasarnya bukanlah
“penyingkapan mengenai kebenaran abadi” melainkan “ kenyataan total tentang Kristus”.
Menurut penulis, yang dibanyangkan disini berasal muasal dari kesadaran bahwa kekristenan di
barat berada dalam konteks yang sangat tidak kristen dalam semangatnya yang utama. Namun
prinsip utamanya yakni, makna historis dari seorang pribadi bagi semua orang, peran penting
yang dimilki tradisi dan komunitas, prioritas yang diakodrati di atas yang sekedar kodrati.
Gambar 8 yang ada di buku ini melukiskan dinamika umum dari model budaya tandingan.
Langkah utama ialah mengakui keabsahan narasi Kristen, yang terjelma dalam kitab suci dan
tradisi, sebagai petunjuk tentang makna sejarah manusia dan sejarah kosmis. Dalam perspektif
“sosiologis adikodrati” ini maka narasi kristen itu digunakan sebagai lensa melaluinya kita
menafsir, melibatkan diri, menyingkapkan dan menentang pengalaman masa kini, yakni konteks
pengalaman individual dan sosial, kebudayaan sekular dan atau religius, lokasi sosial serta
perubahan sosial. Penting untuk dicamkan agar proses ini tidak dipahami sebagai sutau kegiatan
sederhana dan sekali jalan, tetapi sesuatu yang berkesinambungan, suatu habitus dan satu yang
sekaligus bersifat individual dan komunal. Penting pula ditekankan bahwa proses pemindaina
dan kritik mela;ui lensa injil adalah sesuatu yang senantiasa berlangsung, baik di dalam diri
orang kristen secara individu dan jemaat Kristen secara keseluruhan, maupun ketika ia melihat
“keluar” dari sisi tilik seorang pelaku ynag bertobat atau jemaat kontras.
Tinjauan terhadap model budaya tandingan
Ada empat peringatan yang perlu disinggung. Pertama, walaupun sebagian terbesar praktisis
model ini mengakui perlunya “budaya tandingan dan bukannya budaya anti, namun bahaya itu
tetap ada. Yang kedua berkaitan dengan yang pertama. Meskipun penting untuk menekankan “
relevansi yang menentang” dari jemaat tadingan selaku pendatang-pendatang asing sebagai cara
untuk terlibat secara autentik dalam konteks dewasa ini, namun bahaya sekratarianisme selalu
ada. Ketiga, berkaitan dengan warnanya relatif monokultural, paling kurang dalam kaitan dengan
para praktisinya dalam konteks barat dewasa ini. Akhirnya, ada bahaya eksklusivisme kristen
atas agama-agama lain. Di satu pihak, salah satu kekuatan utama model budaya tandingan adalah
sikapnya yang jelas, tegas dan berani di tengah apa yang kerap kali merupakan pluralisme
“malas” dari keyakinan religius, yang menyempitkan iman religius kepada sekedar pendapat atau
cita rasa.

Contoh – Contoh Model Budaya Tandingan


 Gerakan The Gospel And Our Culture Network (GOCN)
Newbigin bersama hunsberger menghadiri sebuah konfrensi di amerika serikat yang membahas
ihwal kesaksian bersama orang- orang kristen dalam misioner dan apada suatu kesempatan
newbigin menantang kelompok tersebut untuk melakukan sesuatu yang mirip program “injil dan
kebudayaan “ di negeri mereka. Hunsberger menerima tantangan itu dan bersama sejumlah
sejawatnya mulai menerbitkan buletin “ gospel and our culture “, sebagai langkah awal dalam
menjangkarkan gerakan yang disebut “ gospel and our culture network” (GOCN) itu.
Papar para anggota GOCN, bhawa marginalisasi yang tengah terjadi dalam konteks amerika
utara adalah hal yang baik, mengapa dikatakan mereka baik karena hal itu membantu mereka
untuk menyadari bahwa gereja tidak pernah boleh merasa betah dalam satu konteks tertent.
Gereja pada hakekatnya “misioner” demikian dikatakan oleh konsili vatikan II; ia mesti
senantiasa berada sebagai umat yang berziarah, jemaat “pendatang-pendatang asing”. Tugasnya
bukan untuk menjadi kapelan masyarakat, melainkan saksi-saksi kerajaan Allah yang sudah
hadir sekaligus baru terwujud sepenuhnya di masa depan, para mitra kerja melalui rahmat
kepilihan dalam misi keselamatan Allah di dunia ini. Missional church adalah kerja sama antara
6 pakar yang masing-masing membuat draf atas sebuah bab dan di kritik dan ditulis kembali
oleh mereka.
Bab pertama menjadi landas pijak bagi apa yang menyusul : gereja tidak memiliki misi, gereja
adalah misi karena jati dirinya yang terdalam adalah bahwa ia dipilih untuk bekerja bersama misi
Allah sendiri di tengah dunia. Setiap refleksi mengenai gereja harus mengakui karakter ilahi dan
insaninya, hakikatnya yang kelihatan dan tak kelihatannya, serta jati dirinya ebagai jemaat rohani
di satu pihak dan lembaga yang benar-benar insani di lain pihak. Gereja dipanggil untuk menata
konteks sebagai tanda dan sarana Allah;namun ia juga dibentuk secara salah dengan konteks
yang sama. Jadi, interaksi dengan konteks adalah bagian tak terpisahkan dari hidup dan misi
gereja .
Bab 2 serta bab 3 berusaha untuk melakukan hal ini dalam bingkai kebudayan kontemporer dan
sejarah gereja di amerika utara. Bab 4 mencoba untuk menguraikan hakikat gereja sebagai umat
Allah, yang dipilih Allah untuk ambil bagian dalam misi ilahi di tengah dunia. Bab 5 meneliti
bagaimana gereja hidup “ di dalam namun bukan dari dunia” sebagai suatu jemaat tandingan.
Bab 6 berbicara tentang sejumlah praktik yang mebnatu pembentukan dan pembaruan gereja
misonal agar gereja itu masing-masing anggota di dalamnya dapat menjadi wakil-wakil kerajaan
budaya tandingan Allah yang andal dan terlibat. Bab 7, menajuhkan dirinya dari gambaran
tradisional tentang kepemimpinan gereja sebagai “imam”.”pendidik” dan juga gambaran-
gambaran kontemporer , misalnya sebagai konselor, manager dan teknisi. Dan bab terakhir
berbicara tentang gereja universal sebagai “ persekutuan jemaat-jemaat dalam misi”. Sebagai
hasil studi atas jemaat-jemaat ini para penulis menyaring selapan pola yang membuat maju satu
langkah:
1. cita rasa akan kenyataan telah dipanggol atau dipilih untuk menjadi gereja bagi dunia
2. komitmen kepada pembentukan dan kemuridan alkitabiah
3. komitmen untuk menanggung resiko sebagai jemaat kontras
4. pembudidayaan praktik-praktik tradisional konkret
5. suatu keyakinan bahwa kebaktian lebih dari sekedar sesuatu yang dilakukan untuk jemaat
sendiri bahwa sebenarnya kebaktian itu bersifat publik
6. ketergantungan kepada Roh Kudus
7. kerpusatan kepada kerajaan Allah
8. pengembagna kepemimpinan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan misional jemaat, bukan
kepemimpinan demi kepemimnpinan itu sendiri.

Michael J. Baxter
Dalam bukunya tentang orang-orang Katolik dan kebudayaan Amerika Serikat yang terbit tahun
1999, Mark S. Mass memper lihatkan bahwa Dorothy Day, meski jati diri Katoliknya terbilang
kokoh dan agak tradisional, dan meski posisi budaya tandingan yang banyak bertentangan
dengan apa yang dibela oleh Amerika Serikat, namun ironisnya adalah bahwa ia merupakan
pemikir Katolik yang bersifat paling khas Amerika dari semua pemikir Katolik yang dihasilkan
Amerika Serikat. Dengan berpijak pada tradisi puritan yang paling awal mengenai pemikiran
bebas dan independen, Day mampu mempertalikan secara kreatif butir-butir keyakinan dan nilai-
nilai Amerika Serikat dengan prinsip-prinsip radikal injili yang berjangkar dalam Sabda Bahagia.
Dorothy Day, dengan kata lain, adalah seorang teolog kontekstual yang cemerlang, dan ia
berteologi (meski secara tak sadar, saya yakin) menurut apa yang telah saya lukiskan sebagai
model budaya tandingan.

Baxter memulai cerita tentang pengembangan tradisi Amerikanis itu dengan sepucuk surat dari
Kardinal James Gibbons pada tahun 1917, yang ditulis atas nama seluruh hierarki Katolik
Amerika Serikat kepada Presiden Woodrow Wilson selang beberapa minggu setelah
pemakluman Perang Dunia I. Dalam suratnya Gibbon menandaskan loyalitas umat Katolik
kepada negara Amerika Serikat dan perjuang annya untuk berperang, dan menjamin kerja sama
penuh Gereja ke pada Wilson. Sikap itu, ujar Baxter, adalah "loyalitas yang tidak kritis kepada
negara kebangsaan," dan menyiratkan kesediaan dan keinginan untuk takluk kepada negara.
Meskipun kenyataan bahwa Umat Katolik Amerika Serikat adalah keturunan Irlandia yang tidak
menyukai orang-orang Inggris, atau orang-orang Jerman yang baru saja beremi grasi dari tanah
air mereka, namun Gibbons mengatakan bahwa umat Katolik adalah warga negara Amerika
Serikat yang loyal.
Dalam tradisi "Amerikanisme" inilah kedua surat gembala Para Uskup Amerika Serikat tentang
perdamaian (The Challenge of Peace [1983]) dan tentang ekonomi (Economic Justice for All
[1986]) mesti dilihat. The Challenge of Peace misalnya, memiliki bagian peng antar tentang
pentingnya iman, dan juga sebuah bagian uraian yang panjang tentang ajaran alkitabiah dan
gerejani menyangkut perdamaian. tika sosial alternatif dan berciri budaya tandingan semacam
itu, menurut Baxter, memiliki dua keuntungan. Pada tempat pertama, etika itu menciptakan jarak
antara orang-orang Kristen dan loyalitas kepada negara, dan dengan demikian memungkinkan
mereka untuk mengembangkan suatu perspektif kritis. Demikianlah, deklarasi pasifis me dari
Dorothy Day selama Perang Dunia II (kita akan mengutip Sabda Bahagia, kata Day, kita akan
mengutip St. Fransiskus dan ajaran para Paus) memberinya kesanggupan untuk mengecam
tindakan peng gunaan bom atom oleh Amerika Serikat pada tahun 1945, dan secara aktif
menentang persenjataan nuklir selama Perang Dingin. Jarak yang sama memungkinkan gerakan
Catholic Worker untuk mengutuk "serangan udara terbesar dalam sejarah dunia" selama Perang
Teluk -ketika para uskup Amerika, hanya tiga tahun setelah penerbitan The Challenge of Peace,
nyaris tak bersuara dan tak berdaya sama sekali, padahal mereka mengklaim bahwa dirinya
berada dalam "pusaran utamna" Pentagon. Seandainya para uskup itu dahulu menulis bahwa
Amerika Serikat adalah bangsa penyulut perang, bahwa bangsa itu menyembah seorang Allah
yang gemar berperang, maka mungkin orang setidak-tidaknya tahu bahwa Gereja Katolik telah
mengambil suatu sikap.
Keuntungan kedua untuk sikap tandingan ini, ungkap Baxter, ialah bahwa etika sosial semacam
ini tidak diperuntukkan khusus bagi para ahli, tetapi sesuatu yang bisa dipraktikkan oleh orang-
orang Kristen biasa. Yang paling mendasar dari empat aksi konkret yang diajukan Baxter ialah
pembentukan suatu jemaat "guna menopang kehidupan di dalam Kristus". Hanya dalam suatu
"jemaat alternatif' vital, sebagai mana yang dikatakan oleh para anggota gerakan GOCN, maka
orang orang Kristen dapat menemukan ilham, pembentukan, tantangan serta dukungan untuk
mengamalkan suatu gaya hidup yang lebih radikal. Pertama di antara aksi-aksi itu yang bisa
dilakukan orang-orang Kristen dalam mengamalkan etika sosial Kristen ialah memperhatikan
para gelandangan. Baxter mengutip Peter Maurin: "Rumah paroki, bukan candi paroki." Orang-
orang Kristen perlu membangun jemaat yang memberi tumpangan bagi para gelandangan. Setiap
keuskupan hendaknya menyiapkan "rumah singgah" untuk para gelandangan, setiap paroki, dan
dalam impian Peter Maurin, setiap rumah hendaknya memiliki "kamar Kristus". Aksi kedua yang
dapat diambil oleh jemaat Kristen ialah memelihara para jompo. Perkembangan penting adalah
bertambahnya paroki yang menawarkan perawatan medis yang ber basis paroki. Pada tempat
ketiga, Baxter menyerukan dukungan bagi keluarga petani, dan keempat dan yang terakhir ia
mengimbau untuk memelihara aturan Sabat dengan setia. Kalau kita mengabaikan Sabat, tandas
Baxter, maka kita kehilangan tujuan. Meskipun ia memiliki pengalaman luas dalam karya
menegakkan keadilan seturut budaya tandingan Catholic Worker, Baxter relatif merupakan tokoh
baru dalam dunia akademis. Namun ia sedang naik daun sebagai pembicara; salah satu dari
kursusnya di Notre Dame, disebut "Iman Petaruh Nyawa," sangat popular di antara para maha
siswa di kawasan yang menjadi benteng kaum muda Katolik yang kaya dan konservatif; dan ia
memiliki reputasi sebagai seorang pengajar yang sangat cemerlang. Tulisan-tulisannya sejauh ini
menimba dari para pendukung utama dari apa yang ia sebut sebagai tradisi "Amerikanis" -
Charles Curran, Himes bersaudara, John Tracy Ellis dan Jay Dollan, sekadar menyebut beberapa
nama. Teologi kontekstual Amerika Serikat boleh mendambakan pengembangan yang jauh lebih
banyak lagi atas sudut pandangnya yang menantang, kadang kala meng gerecok, dan berciri
budaya tandingan.

Anda mungkin juga menyukai