Anda di halaman 1dari 5

Model Terjemahan

Model terjemahan merupakan model yang paling sering digunakan dalam berteologi
kontekstual. Model ini yang paling tua yang mengindahkan konteks berteologi secara sungguh-
sungguh, dan model itu juga ditemukan dalam kitab Suci. Contohnya mengenai khotbah Paulus
tentang kesatuan orang-orang Kristen dengan Kristus merupakan contoh utama tentang bagaiman
proses berteologi kita harus dilaksanakan dewasa ini. Model terjemahan ialah penekanannya
kepada pewartaan Injil sebagai sebuah pewartaan yang tidak berubah.
Garis Besar Model Terjemahan
Terminologi
Terjemahan yang dimaksud bukan terjemahan yang harfiah, kata demi kata. Karena
terjemahan kata demi kata dan konsistensi prinsip merupakan hasil salah paham atas hakikat
bahasa dan proses penerjemahan itu sendiri. Setiap terjemahan harus menjadi terjemahan atas
makna, bukan melalui kata-kata dan tata bahasa. Terjemahan harus bersifat idiomatik, atau
seperti Kraft, terjemahan itu mesti dilakukan dengan keadaan fungsional atau dinamis. Yang
mana juga dikatakan oleh Eungene Nida dan Charles Taber, “sebuah terjemahan Alkitab mesti
tidak hanya memberi informasi yang bisa dipahami orang, tetapi juga harus menampilkan
pewartaan itu sedemikian rupa sehingga orang dapat merasakan relevansinya dan kemudian bisa
menanggapinya dalam tindakan nyata. Jadi dengan model terjemahan kita tidak memasukkan
persesuaian kata demi kata, melainkan berusaha untuk memasukkan makna terjemahan doktrin
ke dalam konteks kebudayaan yang lain.
Pengandaian-Pengandaian Model Terjemahan
Pengandaian terjemahan yang ada di sini ialah bahwa pewartaan hakiki agama Kristen
bersifat adi-budaya atau adi-kontekstual. Langkah pertama dalam kontekstualisasi sebuah doktrin
atau praktik Kristen tertentu ialah melucutinya dari bungkusan-bungkusan budayanya. Dalam
rangka menemukan bernas Injil. Maksudnya adalah ketika budaya dalam injil itu berhasil dibuka,
lalu melakukan pencarian istilah, tindakan dan cerita yang cocok untuk budaya penerima,
kemudian pewartaanya dikemas kembali. Secara metodologis pentinglah dicatat bahwa titik
tolak dalam proses ini adalah selalu doktrin yang bersifat adi-budaya dan adi-kontekstual.
Perlu dicatat bahwa tentu saja pengalaman, kebudayaan, lokasi sosial dan perubahan
sosial diakui sebagai sesuatu yang penting, namun kebudayaan itu tidak pernah sama pentingnya
dengan pewartaan injil yang bersifat adi-budaya dan tidak pernah berubah. Dengan begitu

1
pemahaman tentang wahyu ilahi yang serentak bersifat proposional dan kuantitatif. Satu
pengandaian akhir yang patut dipertimbangkan berkenaan dengan model terjemahan ialah
keyakinan walaupun secara tersirat dan tidak ditandaskan secara jelas, bahwa semua kebudayaan
memiliki struktur dasar yang serupa. Memang pengandaian selalu bersifat mutlak, dan bahwa
Injil atau sabda sifatnya kekal. Namun perlu kita ketahui bahwa konteks dunia akan selalu
berubah.
Tinjauan atas Model Terjemahan
Pewartaan dari kesaksian orang Kristen yang disampaikan kepada orang-orang haruslah
relevan dan dapat diterima atau dapat juga diartikan menjadikan kabar gembira itu relevan. Maka
dari itu ciri dalam model terjemahan ini menekankan bahwa tidak semua hal patut dipertahankan
dalam sebuah gereja. Begitu pula seorang penerjemah menyadari bahwa banyak hal dalam kitab
Suci dan rumusan-rumusan tradisi berasal dari kebudayaan.Namun, pewartaan perlu dibenahi
untuk kembali pada injil yang asasi. Karena seperti telah dibahas sebelumnya bahwa konteks
dunia akan senantiasa berubah. Demikian juga pandangan orang mengenai keadaan di Afrika
tentunya berbeda dengan di Asia.
Salah satu yang menjadi pusat terjemahan ini adalah penggunaan model terjemahan yang
cenderung ekslusif (terpisah) dan bahkan sering diutamakan. Hal ini masalnya mengenai
poligami yang tentunya secara eksplisit ditentang oleh Yesus, namun belakangan ini menjadi
budaya di Afrika dan Eropa. Maka dari itu hal ini perlu ditafsirkan sebagai sesuatu yang bersifat
kristiani dan kebudayaan tersebut perlu disingkapkan. Krtirik kedua terletak pada gagasan kunci
dalam model terjemahan : ciri adi-budaya atau adi-kontekstual dari pewartaan Kristen. Dan
ketiga mengkritik gagasan implisit dari model terjemahan menyangkut pewahyuan yang dilihat
sebagai yang bersifat perumusan. Pewahyuan yang dimaksud adalah penyataan kehadiran Allah
dalam kehidupan manusia yang digambarakan dalam kitab Suci dalam masyarakat tertentu
(Yahudi). Yang ditekannkan di sini bukan persoalan tentang bagaimana menemukan bernas
dalam pewartaan yang baru, melainkan bagaimana para teologi mencari dan memperlihatkan
kehadiran Allah dalam bahasa tradisi yang lebih tua dan lebih luas. Dengan begitu model
terjemahan ini tidak dapat ditolak atau diterima tanpa sikap kritis.
Contoh-contoh Model Terjemahan
David J. Hesselgrave

2
Dia adalah seorang misionari di Jepang dan menyumbangkan rupa-rupa tulisan dalam
berbagai jurnal misiologi. Dia menyajikan sebuah pendekatan yang bersifat agak konservatif
terhadap upaya kontenstualisasi teologi dan cenderung dibatasi pada upaya kontekstualisasi
teologi dan cenderung dibatasi pada perjumpaan perdana agama Kristen dengan sebuah
kebudayan bukan Kristen, dengan begitu dalam hal ini kontekstualisasi berupaya menjadikannya
tetap relevan bagi orang-orang yang memiliki pandangan budaya yang berbeda. Sikap
Hesselgrave terhadap kontekstualisasi : kontekstualisasi itu bukan soal pilihan atau selera;
kontekstualisasi merupakan suatu keniscayaan misiologis dan teologis. Sebuah komunikasi
tentunya sangat penting dalam sebuah misi. Agar komunikasi dalam sebuah Injil ini ampuh,
maka Hesselgrave mengembangkan model komunikasi tri-bahasa Eugene ke dalam model tri-
budaya.
Dalam seluruh karyanya Hesselgrave menyajikan rupa-rupa contoh konkret tentang apa
yang dipandangnya sebagai kontekstualisasi yang “autentik dan relevan”, namun dalam bagian
keempat karya Contextualization-nya itu ia (bersama Edward Rommen) menyajikan beberapa
anjuran yang masih tetap berlaku hingga saat ini. Dua anjuran yang ada di sini merupakan contoh
jelas dari apa yang dimaksud Hesselgrave tentang kontekstualisasi. Karyanya yang berjudul A
Contextualization of the New Birth Message : An Evangelist Tract for Chinese People
menjelaskan bahwa versi bahasa Cina dari traktat itu merupakan contoh paling penting
menyangkut sebuah terjemahan yang sungguh-sungguh tidak kontekstual; ia merupakan contoh
mengutip istilah Nida dan Kraft, “korespondensi formal”. Contoh kedua tentang pendekatan
Hesselgrave (dan juga Rommen) terhadap teologi kontekstual berjudul The Doctrine of
Justification by Faith Contextualixzed: Commentaries of Galatians 2 for Sixteenth-Century
India. Sasaran dari kedua pengarang ini ini mengikuti anjuran dari Bruce J. Nicholss bahwa
“India kontemporer membutuhkan membutuhkan kebenaran dari ajaran tentang pembenaran oleh
rahmat melalui iman seperti hal itu terjadi di Eropa abad ke enam belas, namun suatu komentar
kontemporer harus dikontekstualisasikan secara berbeda daripada komentar Martin Luther
tentang Galatia 2.

Paus Yohanes Paulus II

3
Tidak diragukan lagi bahwa gereja Katolik pada zaman kita sekarang ini menyaksikan
dan mengalami semakin meningkatnya peran dan kedudukan kebudayaan bangsa manusia demi
eksistensi kristiani serta bentuk ungkapan teologis yang sejati. Maka dari itu juga Paus yang
sekarang ini Yohanes Paulus II, juga telah menunjukkan “suatu minat yang rill dan tak kunjung
hilang akan kebudayaan”. Sejak ia menjabat sebagai paus, persoalan tentang kebudayaan
khususnya dialog antar iman dan kebudayaan senantiasa menjadi pokok pembahasan yang tetap
dalam berjilid-jilid tulisannya. Namun disamping itu ada sifat keragu-raguan terhadap
kebudayaan yang mewarnai gagasan Yohanes Paulus II tentang kontekstualisasi atau
sebagaimana disebutnya, inkulturasi. Dengan kata lain, inkultursi dilaksanakan sedemikian rupa,
sehingga “persoalan utamanya ialah bagaimana suatu tradisi dan pranata yang pada umumnya
sudah lebih dahulu ditata bisa mempunyai dampak yang sebesar-besarnya terhadap suatu situasi
budaya tertentu seraya melestarikan apa yang baik di dalam kebudayaan bersangkutan”.
Sri paus telah mengangkat beberapa contoh mengenai interaksi yang tepat antara iman
dan kebudayaan. Dalam amanatnya pada tahun 1980 kepada para uskup Zaire, Sri paus
mengangkat sebuah contoh tentang inkulturasi yang autentik dari negerinya sendiri Polandia, di
mana setelah berabad-abad suatu keselarasan yang amat mendasar antara agama Katolik dan pola
pikir serta pola tindak yang menjadi ciri khas bangsa ini. Kebudayaan dan cara hidup bangsa
Polandia telah diresapi seluruhnya oleh nilai-nilai kristiani sedemikian rupa sehingga selama
paruh terakhir abad ini orang-orang Polandia menemukan sumber daya di dalam kebudayaan
mereka untuk menentang budaya tandingan komunisme. Inkulturasi tingkat tinggi ini perlu
berabad-abad dikembangkan, dan telah melibatkan sejumlah besar kejernihan teologis, pindai
spiritual, kebijaksanaan serta kearifan, kepada tradisi Gereja dan benar-benar Polandia sejati
sampai ke intinya yang terdalam.

Kesimpulan
Model terjemahan merupakan model tertua dalam kontekstualisasi yang mana apa yang
kita terjemahkan ini menekankan apa makna dari pewartaan Injil tersebut untuk konteks saat ini.
Injil yang diwartakan harus relevan dan dapat diterima sebagai kabar gembira bagi orang-orang
dalam konteks saat ini. Para penerjemah model ini juga menyadari hal-hal yang ada dalam
Alkitab juga berasal dari kebudayaan (Yahudi) waktu itu. Namun saat ini perlu dilakukan
pembenahan dalam rangka menyesuaikan dengan konteks kebudayaan saat ini karena Injil

4
memang tidak berubah. Namun yang berubah adalah konteks budaya yang ada di dunia. Ada dua
model terjemahan yang diangkat oleh David J. Hesselgrave dengan konteks keadaan di Cina dan
di India, dan Paus Yohanes Paulus II, dengan konteks di Polandia.

Literatur :
Bevans B, Stephen., Model-Model Teologi Kontekstual, Maumere : Ledalero, 2013.

Anda mungkin juga menyukai