Anda di halaman 1dari 6

Judul Buku : Teologi Kontemporer

Penulis : Erwin W. Lutzer


Penerbit : Gandum Mas
Tahun : 2005
Halaman : 239 Hal.

Buku Teologi Kontemporer karya Erwin W. Lutzer sangatlah menarik


untuk dibaca para teolog masa kini. Dalam buku ini dipaparkan dengan baik
ulasan teologi yang berkaitan dengan persoalan-persoalan atau pertentangan yang
terjadi di dalam kekristenan. Lutzer memaparkan dengan jelas perbandingan-
perbandingan yang terjadi secara umum di kalangna para teolog. Tapi tidak hanya
mengulas namun membuat kita yang membaca buku ini memperoleh pandangan
yang baru akan berbagai persoalan teologi yang terjadi dan memperluas
pandangan para pembaca mengapa harus ada persoalan bahkan perpecahan
diantara kekristenan.

Perpecahan terjadi menurut Lutzer yang terjadi pada saat ini adalah karena
terlalu sibuk membicarakan persatuan namun dibalik itu sambil meremehkan
perbedaan-perbedaan doktrin sehingga mengorbankan kebenaran di atas mezbah
impian khayal. Jika tidak didasari oleh persetujuan mengenai isi Injil, maka
persatuan tidaklah berharga. Sehingga Lutzer memandang bahwa setiap orang
percaya yang benar adalah anggota tubuh Kristus, yang tak dapat dibagi-bagi.
Paulus mendorong kita untuk “memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai
sejahtera’ (Efesus 4:3), tetapi bukan kesatuan organisasi yang ia maksudkan.
Kesatuan Roh terjadi diantara orang-orang percaya meskipun terdapat perbedaan-
perbedaan doktrin. Permohonan Paulus adalah supaya kita memeliharanya, bukan
menciptakannya. Inilah kesatuan yang sejati itu.

Adakah Kristus itu Allah sejati? Ya, Kristus adalah Allah sejati seperti
yang dipaparkan oleh Athanasius yang merupakan seorang teolog dan penulis
apologi yang besar. Ia menegaskan bahwa Yesus Kristus adalah sepenuhnya Allah
yang memiliki hakikat yang sama dengan Bapa. Khusunya Ia mendukung doktrin

1
Trinitas bahwa Allah adalah suatu tritunggal. Ia menegaskan bahwa proposisi-
prosposisi beriktu tanpa kontradiksi: (1) Baik kristus maupun Roh Kudus adalah
sepenuhnya Allah (2) keduanya adalah dalam beberapa hal, berbeda satu dari
yang laindab berbeda dari Bapa dan (3) Allah adalah esa. Athanasius percaya
bahwa ketiga oknum ini tidak terpisah karena ini akan mengarah pada politeisme.

Benarkah Kristus itu manusia sejati? Ya, saya percaya dan itu benar bahwa
Kristus adalah manusia sejati. Walaupun banyak perdebatan akan hal ini seperti
Apolinarius menyatakan Kristus mempunyai tubuh manusia tetapi aspek-aspek
rohani dari tabiatNya adalah ilahi. Yang kedua dari Nestorius menyatakan di
dalam kristus, seorang manusia dan Allah dihubungkan bersama tanpa terjadi
percampuran sehingga Kristus sesungguhnya adalah dua pribadi yang berbeda.
Yang ketiga oleh Cyrilus menyatakan sifat manusiawi dan sifat ilahi dilebur,
sehingga kemanusiaan berpatisipasi dalam keilahian. Semua pandangan ini
akhirnya gugur oleh Leo Agung dimana pandangannya ini menjadi dasar berpijak
kaum injili yaitu Kristus adalah Allah sejati. Tetapi Ia adalah oknum dengan dua
tabiat yang berbeda. Dengan menyatakan bahwa sifat-sifat khusus dari kedua
tabiat itu dapat ditegaskan mengenai satu oknum, maka pengakuan iman ini
berusaha menolong kita untuk melihat sekilas maksud Yohanes ketika ia
mengatakan “Firman itu telah menjadi manusia.” Jadi, jika Kristus bukan manusia
sejati, Ia tak akan memenuhi syarat sebagai juruselamat manusia.

Perbedaan pendapat mengenai Yesus pun berlanjut ke perdebatan


mengenai apakah Petrus merupakan paus yang pertama. Melalui perkataan Yesus
kepada Petrus “Engkau adalah Petrus dan diatas batu karang ini Aku akan
mendirikan jemaatKu”. Gereja Katolik Roma menyatakan bahwa kata-kata ini
membuktikan bahwa Petrus itu lebih unggul dari rasul yang lain dan
penghormatan ini diserahkan kepada Paus-paus gereja katolik Roma lainnya,
sehingga ini menyebabkan bahwa paus memiliki kuasa yang lebih terhadap
gereja, sehingga tak ada yurisdiksi yang memiliki kekuasaan yang lebih besar atau
sama besar. Namun di dalam Alkitab jelas dikatakan bahwa bagi umat Kristen
satu-satunya kepala gereja adalah Kristus dan kesatuan harus didasarkan pada

2
doktrin kitab suci saja. Tulisan-tulisan Perjanjian Baru berbicara dengan paling
jelas tentang kepemimpinan Kristus dan wewenang yang sejajar dari semua orang
percaya dihadapan Allah yang telah ditulis oleh petrus. Ia memperkenalkan
Kristus sebagai Batu Penjuru (1Pet 2:6). Hanya Kristus yang mempunyai
wewenang atas semua gereja.

Berbicara tentang Gereja pun tidak akan ada habisnya terutama mengenai
doktrin yang ada didalamnya. Layaknya mengenai pembenaran oleh Iman atau
sakramen, dimana yang menjadi kebenaran yang pasti. Ada yang menganggap
bahwa sakramen ini sangat penting bagi pembenaran seseorang akan hidupnya
terutama bagi keselamatannya. Konstantinus muncul sehingga sakramentalisme
semakin berkembang dengan pesat. Sehingga ada kesimpulan bahwa keselamatan
tidak lagi dianggap sebagai hubungan pribadi dengan Allah, tetapi hubungan yang
tepat dengan gereja. Perlulah dianalisis dengan terperinci mengenai sakramen ini.
Implikasi dasar mereka adalah bahwa setiap sakramen menyalurkan kasih karunia,
tetapi tak satupun sakramen memiliki kasih karunia yang cukup untuk
menyelamatkan orang berdosa. Melalui hal ini berkembanglah indulgensia.yang
bukan sakramen tetapi berupa penghapusan hukuman sementara terhadap dosa-
dosanya. Sehingga perlu lagi untuk ditinjau ulang secara alkitabiah bahwa
keselamatan itu bukan hanya meliputi pengampunan dos, tetapi juga mujizat
kelahiran baru. Kelahiran baru tiada lain daripada penciptaan hati yang baru
dalam kehidupan orang berdosa. Jika hanya berpaut pada sakramen saja maka kita
akan terjebak pada legalitas gereja saja, peran Roh Kudus tidak ada dan
keselamatan bukan berada ditangan Allah tapi di manusia. Sehingga iman yang
menyelamatkan itu adalah yang ditujukan pada Kristus saja.

Pengajaran Sakramen ini pun berlanjut dengan perdebatan tentang


perjamuan Tuhan (perjamuan kudus). Philip Melancton menyatakan “adakah
sesuatu yang lebih menyedihkan, lebih patut ditangisi daripada kenyataan bahwa
hal itu (perjamuan Tuhan) harus dipergunakan sebagai pokok perselisihan dan
perpecahan.” Berkembanglah pengajaran mengenai Transubtansiasi yang
menekankan bahwa dalam roti dan anggur dalam perjamuan tersebut ketika

3
diberkati berubah substansinya menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Namun lebih
sengit lagi perdebatan antara Martin Luther dengan Zwingli dimana Luther
menekankan pengajaran Konsubstansiasi dan Zwingli menganggap hanya sebagi
peringatan. Dan Calvin pun menawarkan suatu kompromi diantara kedua
pandangan ini dengan menyebutnya kehadiran rohani. Namun yang penting bagi
kita adalah memaknai dan kepentingan perjamuan ini untuk apa? Apakah hanya
sekedar sakramen atau ini merupakan hal yang sangat penting bagi diri kita.

Tidak berhenti sampai disitu saja, perdebatan mengenai sakramen baptisan


pun diangkat. Dimana para teolog ada menyatakan bahwa baptisan itu harus
memakai air, sejak kecil seorang anak harus dibabtis, atau orang yang dibaptis
hanya orang orang sudah percaya kepada Yesus. Lalu ada yang mengatakan
bahwa babptisan itu menyelamatkan dan kemudian menyatakan bahwa baptisan
itu hanya merupakan simbol. Apakah ketika baptisan ini dilaksanakan harus
baptisan selam atau hanya percik sudah sah. Dab sangat banyak yang diajukan
pertanyaan dan sampai sekarang pun tidak ada titik temu dalam masalah baptisan
ini. Sehingga kita yang sebagai seorang teolog pun harus mau menghargai
berbagai macam pandangan seseorang mengenai baptisan. Kita sebagai seorang
teolog pun harus mampu mengambil sikap, dimana kita harus berpijak mengenai
salah satu pandangan akan baptisan ini. Tetapi yang perlu kita tekankan adalah
harus mengerti bahwa setiap sakramen yang dilangsungkan pada setiap gereja itu
merupakan hal yang sakral namun semua itu tidak membawa keselamatan bagi
seseorang. Semua sakramen itu menjadi efektif ketika kita sebagai orang kristen
memiliki keyakinan yang teguh di dalam Kristus yaitu iman kepada kristus
sebagai satu-satunya juruselamat. Keselamatan itu berasal dari Allah, bukan
gereja. Keselamatan itu diberikan atas kasih karunia Allah bagi kita manusia yang
kita terima melalui iman.

Inilah yang menjadi dasar kita bahwa bukan gereja yang menyelamatkan,
bukan gereja yang menggantikan posisi Allah di dunia ini. Namun tetaplah
Kristus sebagai kepala, dan hanya melalui Dia saja keselamatan itu ada.

4
Setelah perdebatan mengenai sakramen yang ada dalam gereja. Muncullah
perdebatan juga yang sangat menarik untuk dibahas namun inipun belum
menemukan titik temu. Yaitu antara predestinasi versus kehendak bebas.

Pernyataan mengenai predestinasi dimulai dari seorang Bapa gereja yang


bernama Augustinus. Yang kemudian ditentang oleh seorang yang bernama
pelagius. Augustinus mendasari pemikirannya akan predestinasi oleh karena dia
menyadari bahwa keadaannya amat berdosa dan ia yakin bahwa ia sangat berdaya
dihadapan Allah. Sedangkan batu penjuru dari pelagius adalah kebebasan
kehendak ketika dihadapkan dengan pilihan untuk berbuat dosaatau tidak berbuat
dosa, manusia dapat memilih salah satu jurusan. Maksud Pelagius adalah manusia
bebas untuk menaati perintah-perintah Allah. Ia bukannya tidak berdaya karena
terbelenggu oleh dosa. Apapun yang Allah perintahkan supaya kita lakukan, kita
dapat melakukannya. Pelagius mendefinisikan kehendak bebas sebagai
kemampuan untuk memilih antara yang baik dan yang salah, dan ia percaya
manusia memiliki kemampuan ini, namun Augustinus tidak sependapat, karena ia
percaya bahwa kehendak manusia terbelenggu karena dosa. Baginya kehendak
bebas berarti bahwa orang yang telah selamat memiliki kemampuan untuk
melakukan hal yang baik.

Dari dua aliran teologi ini meresap ke dalam doktrin abad-abad


berikutnya. Para reformator sangat dipengaruhi oleh teologi Augustinus yang
dimulai lagi oleh Luther, John Calvin, dan Whitefield. Sedangkan para penganut
kehendak bebas yang bermula dari Pelagius berlanjut kepada Erasmus, Arminius
dan John Wesley.

Titik berangkat doktrin ini sudah berbeda dari awalnya. Yang satu
beranjak dari kedaulatan Allah sehingga manusia tidak ada andil didalamnya
sedangkan doktrin yang satu beranjak dari pemikiran humanis yaitu manusia juga
memiliki andil didalam rencana Allah, dan manusia mampu menolak atau
mengikuti Allah. Memang menurut Luther persoalan ini menyangkut inti Injil.
Kedua persoalan ini merupakan “engsel” dan segala sesuatu berputar pada

5
“engsel” tersebut. Menurut Luther mengiakan kehendak bebas berarti menodai
kasih karunia.

Memang dalam kedua doktrin yang berbeda ini sangat sulit untuk
dikatakan mana yang benar dan yang salah. Lutzer menyatakan terkadang sikap
toleransi jauh lebih utama daripada ketepatan doktrin. Barangkali inilah alasan
kita melihat kemunduran yang begitu nyata dalam penyerahan diri orang-orang
yang “mengaku percaya kepada Kristus”. Kita telah menggantikan pengajaran
doktrin yang baik dengan aliran kepercayaan yang mudah dan populer. Orang-
orang percaya kepada Kristus tetapi hampir tidak mengerti apa arti keselamatan.
Sehingga menjadikan sasaran empuk bai banyak aliran sesat dan penyajian
doktrin secara keliru yang populer sekarang ini. Keunikan agama Kristen nyaris
hilang seluruhnya karena orang tanpa berpikir mencari pengalaman keagamaan
tanpa menghiraukan sumbernya.

Sehingga Lutzer memberikan beberapa nasihat bagi para teolog yang akan
menjadi tiang-tiang gereja yaitu yang pertama, kita harus mengajar jemaat
mengenai sifat-sifat khas agama kristen dari Alkitab dan memberi mereka
pengertian untuk menghargai orang-orang yang telah mendahului mereka dalam
sejarah gereja. Kedua, kita harus kembali pada kaidah logika yang sederhana
bahwa tidak mungkin suatu hal ada dan juga tidak ada pada waktu yang sama.
Dan akhirnya, kita harus memberikan contoh-contoh autentik tentang cara hidup
kristen. Kita sendiri harus menunjukkan integrasi dari gaya hidup dan doktrin
kristen.

Permohonan Lutzer adalah agar teologi dikembalikan sebagai ratu ilmu


pengetahuan. Dengan kata lain, kita hendaknya tidak pernah bosan membahas
persoalan-persoalan utama. Nasib kekal kita serta nasib dunia bergantung kepada
pengertian yang benar tentang soal-soal yang dibahas dalam buku ini.

Anda mungkin juga menyukai