Anda di halaman 1dari 14

Nama : Emelia Apriana Br Meliala

Judika O. Lumbantoruan

Miduk P. Simanjuntak

Ting./ Prodi : IV-D/Theologia

Mata Kuliah : Misiologi II

Dosen : Dr. Mehamad Wijaya Tarigan Kelompok 2

MISI DAN PIETISME

I. Pendahuluan
Dalam kegiatan bermisi sudah sangat berkembang. Dan itu merupakan salah satu
bentuk cara menyampaikan firman kepada orang yang belum mengenal Tuhan, dan
menjadi semakin banyak orang yang akan diselamatkan. Berbeda halnya kaum pietisme
melakukan kegiatan misi. Saat proses bermisi, mereka lebih menekankan perubahan
hidup, pertobatan, dan kehidupan saleh. Hal itu sesuai dengan pola pengajaran mereka,
yang mendominasi kesalehan. Itu sebabnya, pada pemberitaannya, misi yang dijalankan
pietisme mengajari orang dengan nilai-nilai kehidupan sebagaimana yang Alkitab
katakan. Pietisme menjalankan tugas misi ini oleh karena kerinduan mereka untuk
hidup suci/ saleh. Makanya, kaum pietisme memperbanyak membangun persekutuan-
persekutuann (Collegia Pietatis). Karena bagi mereka, hidup saleh yang terpenting dari
pada doktrin gereja. Jadi, misi bagi pietisme lebih menekankan cara hidup yang dituntut
Alkitab, dan menghindarkan hidup dari keduniawian yang berlebihan. Makanya,
bermisi bagi pietisme menjaga kesucian diri dari pengaruh-pengaruh dunia.

II. Pembahasan
II.1. Pengertian Misi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, misi merupakan tugas yang
dirasakan orang sebagai suatu kewajiban untuk melakukannya demi agama,
ideologi dan patriotisme.1 Kata misi adalah istilah bahasa Indonesia untuk kata
latin mission yang berarti perutusan. Kata mission adalah bentuk substantif dari
kata kerja mittere (mitto, missi, missum) yang mempunyai beberapa pengertian

1
W. J. S. Poerwadarminta, KBBI, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), 542.

1
dasar: 1) membuang, menembak, membentur, 2) mengutus, mengirim, 3)
membiarkan, melepaskan pergi. Jadi, kalangan gereja pada dasarnya
menggunakan kata mittere dalam pengertian mengutus dan mengirim.2
Dalam bahasa Jerman dan Perancis memakai kata “Mission”, dalam bahasa
Belanda “Missie”. Pengertian di atas umumnya dipakai gereja Katolik dan dalam
Protestan disebut Zending. Tekanan penting dari “misi atau pengutusan Allah”
berbicara tentang Allah sebagai pengutus, di mana Dia adalah ‘sumber’,
‘inisiator’, ‘dinamisator’ yang ‘menjadikan’, pelaksana, dan penggenap misi-
Nya.3 Jadi, Misiologi adalah refleksi dan pertanggung jawaban ilmiah atas
dimensi iman gereja (kepada Allah), yakni aspek keterbukaan kepada dunia.
Gereja mengalami bahwa dirinya dipanggil untuk bersekutu dalam iman dan
diutus untuk mewartakan Kabar Sukacita tentang pengalaman penyelamatannya,
pengalaman dalam suasana Kerajaan Allah yang akan disebar-luaskan dan hal
demikian merupakan kegiatan gerejawi.4
Mission berarti perutusan dengan pesan atau message khusus untuk
disampaikan atau tugas khusus untuk dilaksanakan. Logos berarti ilmu atau studi,
kata atau wacana, yang dari beberapa pengertian itu kita bisa mengambil
kesimpulan bahwa misiologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang
perutusan. Berangkat dari segi etimologis dari kata itu, missiologi kurang lebih
bisa diartikan sebagai tugas atau pesan khusus yang harus disampaikan dengan
cara yang khusus pula.5
David J. Bosch mengartikan kata misi memiliki pengertian yang cukup
luas, sebagai umat Kristen bermisi merupakan kewajiban untuk mengabarkan
berita kebenaran terhadap segala bangsa. Kata misi dapat juga diartikan sebagai
pengutusan para misionaris ke suatu daerah demi melakukan kegiatan
penginjilan. Secara teologis misi juga mengandung arti penyebaran dan perluasan
firman Allah kepada orang-orang yang belum mengenal Allah. Pengertian yang
sangat luas, istilah misi adalah Allah yang Maha Kuasa sebagai pengutus dan
orang-orang yang diutus diberi tugas untuk melaksanakan kehendak-Nya.6
II.2. Pietisme

2
Edmund Woga, Dasar-dasar Misiologi, (Yogyakarta: KANISIUS, 2002), 13.
3
Yakob Tomatala, Teologi Misi, (Jakarta: YT Leadership Foundation, 2003), 16.
4
Edmund Woga, Dasar-dasar Misiologi, 14-15.
5
Wilhem Djulei Conterius, Misiologi dan Misi Gereja Milenium Baru, (Flores : Nusa Indah, 2001), 13.
6
David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 13-14.

2
II.2.1. Pengertian Pietisme
Kata “pietis” artinya kesalehan.7 Pietisme adalah gerakan kesalehan
dalam gereja protestan di Jerman abad ke 17 yang dipelopori oleh Jacop
Spener.8 Saleh digunakan untuk menunjuk kepada seseorang yang
menyatakan imannya dengan kelakuan hidup, khusunya dalam kehidupan
beragama. Kalau ia dengan rajin menghadiri ibadah-ibadah gereja, hidup
sesuai nilai-nilai Agama Kristen dan menyatakan kasih terhadap sesama
manusia melalui perbuatan baik, ia adalah orang saleh.9
Maksud Pietisme adalah untuk menyelesaikan reformasi abad ke-16,
supaya tidak hanya ajaran di reformasikan, tetapi juga seluruh kehidupan
baik pribadi maupun dalam persekutuan Kristen (Gereja bahkan
masyarakat), mencerminkan iman Kristen.10 Ada juga yang mengartikan
pietisme adalah suatu reaksi terhadap suasana Gereja yang suram itu dan
terhadap semangat dunia yang sudah merajalela di dalam masyarakat
Kristen.11 Kata Pietisme dipergunakan sebagai ejekan terhadap kelompok-
kelompok orang yang hidup saleh (Collegia Pietatis), yang pada waktu itu
tumbuh menjamur dalam gereja-gereja Lutheran. Menurut penilaian pada
waktu itu, kesalehan mereka terlalu berlebihan dan dituduh farisi oleh
masyarakat. Tetapi lama kelamaan konotasi negatif dari kata itu mulai
hilang, bahkan pietisme lalu menjadi tanda pengenal atau nama aliran
itu.12
II.2.2. Latar Belakang Pietisme
Reformasi Luther (1489-1546) membawa pembaharuan di dalam
gereja dan menimbulkan banyak perdebatan-perdebatan dogmatis. Akal
(rasio) mendapat tempat utama dan perasaan disingkirkan. Imamat am
orang percaya ditasfsirkan sebagai hak setiap orang untuk memperbaharui
gereja menurut pemahamannya sendiri.13 Sehingga terjadilah hal-hal yang
7
Pietas, kata latin ini sejajar dengan kata inggris, Piety, kindness yang memiliki beberapa pengertian
antara lain adalah: a. Perasaan belas kasih atas penderitaan orang lain b. Perasaan sedih atau sukacita, c.
Perasaan kasihhan, d. Perasaan simpati, pietisi sebagai daya dorong untuk melaksanakan tingkah laku moral.
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: PT. Gramedia, 1996), 841.
8
F.D.Wellem, Kamus Sejarah Gereja, (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2009), 365.
9
Christian de Jonge, Apa itu Calvinisme, (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2008), 316.
10
Christian de Jong, Gereja Mencari Jawab , (Jakarta: BPK Gunung Mulia,1993), 34.
11
H. Berkhof, I. H. Enklaar, Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulis, 2010), 244.
12
Leonardo Hale, Jujur Terhadap Pietisme, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996) , 4.
13
Jan Aritonang dan chr de Jonge, Apa dan Bagaimana Gereja, (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2009),
32.

3
tidak diinginkan, mimbar-mimbar gereja dijadikan sebagai media untuk
menyampaikan keinginan raja. Pendeta tidak saja melayani Tuhan tetapi
juga melayani raja. Mereka sewaktu-waktu bisa saja menjadi pegawai
pemerintahan atau polisisi rahasia. Kenyataan ini sebenarnya turut
dimungkinkan oleh keadaan ekonomi yang rusak, penghasilan Pendeta
yang sangat kecil membuat mereka mencari jalan keluar dengan bersedia
diperalat oleh raja. Akibatnya gereja kehilangan suara dan tidak beraksi
terhadap kemelaratan yang terjadi.
Sejak tahun 1669 kelompok pietisme muncul pertama kali yang
didirikan oleh Spener. Pietisme lahir sebagai reaksi dari suasana gereja
yang suam dan dari semangat dunia yang merajalela di dalam masyarakat
Kristen. Orang pietis sangat menyesalkan sifat intelektualitas watak
khotbah-khotbah yang diperdengarkan di mimbar-mimbar gereja Lutheran
di Jerman, maupun di gereja Calvinis di Belanda. Menurut Pietisme,
belum cukup jika ajaran murni dan dogmatika ortodoks saja.
II.2.3. Ciri-ciri Pietisme
Ternyata ada bermacam-macam aliran pietisme yang masing-masing
mempunyai kekhasan tersendiri, dan juga ada perbedaan-perbedaan dan
persamaannya. Persamaan yang paling mirip adalah kesalehan. Minat
utama pietisme bukanlah teologi, tetapi kesalehan. Oleh karena minat
kesalehan inilah menjadikan mereka pietisme. Adapun ciri-ciri pietisme
adalah sebagai berikut:
1. Natura Pietatis
Sifat dasar manusia atau hakikat manusia dapat menjadi sumber
kehidupan Kristen yang baik. Itulah pandangan Johan Arndt yang
sangat mempengaruhi Spener. Di sini mulai dirasakan pergeseran
teologi dari teosentrisme ke arah anthroposentrisme. Itulah sebabnya,
hakikat manusia perlu dibenahi. Dengan demikian, jelas kalau pietisme
sangat menekankan manusia baru atau regenerasi (lahir baru). Spener
dan Francke, misalnya dalam Ordo Salutis sangat menekankan
manusia baru ini. Umumnya, aliran-aliran pietisme itu dipengaruhi
oleh reformasi. Mereka berpendapat, bahwa kelahiran baru merupakan
anugerah Allah semata-mata, namun anugerah Allah itu bukanlah
diserap manusia lama. Pergumulan antara manusia lama dan manusia

4
baru itu terus berlangsung, sebab kelahiran baru bukan sekali untuk
selama-lamanya, tetapi kelahiran baru adalah sebuah proses. Atas
pertimbangan itulah, ditemukan di dalam pietisme dominannya
peranan manusia. Demikian juga ditemukan kegigihan orang-orang
pietisme unttuk memutuskan secara total dengan kehidupan manusia
lama
Sebenarnya dalam sikap yang demikian, tersembunyi idealisme
religious dari orang-orang pietisme. Aliran ini menolak sikap yang
setenngah-setengah dalam hubungan dengan Tuhan. Itulah sebabnya,
mereka selalu mengkehendaki perubahan total dari yang lama menuju
yang baru. Setiap orang harus melibatkan diri dalam latihan-latihan
deposional sebaagai jawaban terhadap kehendak Allah.
2. Collegia Pietatis
Collegia pietisme adalah sebuah persekutuan yang menjalankan
kesalehan, atau merupakan sebuah persekutuan saleh. Pietisme
berpendapat, “Hakikat kekristenan dapat ditemukan dalam hubungan
pribadi antara sikap individu dengan Allah.” Ungkapan lainnya,
“Kristus di dalam aku, di mana ditekankan hubungan yang organis
yang hidp antara setiap indvidu dengan Kristus yang tubuh mistiknya
adalah gereja”. Jelaslah betapa pentingnya induvidu dalam pietisme,
tetapi sebenarnya bagi kaum pietisme, manusia baru bukanlah manusia
yang terpisah dari persekutuan. Pada pietisme secara umum, individu-
individu hidup dalam jaringan reaksi atau komunikasi dengan individu
lainnya. Hubungan itu bukanlah merupakan pilihan, tetapi hasil
persekutuan manusia. Persekutuan itulah yang dinamakan Collegia
Pietatis (kesalehan yang tepat).
3. Praksis Pietatis
Orang-orang pietisme berpendapat, bahwa teologi tidak
pertama-tama menyangkut tuntutan atau ajaran tentang Allah, tetapi
justru menekankan pengetahuan tentang bagaimana hidup untuk Allah.
Pietisme menekankan juga hal-hal yang praktis dalam kehidupan
sehari-hari. Pietisme tidak mementingkan kemurnian doktrin, tetapi
diutamakan adalah kebenaran hidup orang-orang Kristen. Praksis
pietatis dapat diwujudkan dalam kehidupan secara pribadi, dan juga di

5
dalam masyarakat. Salah seorang tokoh Pietisme Puritan yang sangat
menekankan unsur praksis pietatis ialah Lewis Bayly, dia memberi
petunjuk-petunjuk seperti bagaimana memasuki pagi hari dengan doa
dan meditasi. Misalnya: meditasi, bagaimana membaca Alkitab yang
praktis dan berguna.
4. Reformatio Pietatis
Menurut orang-orang pietisme, Reformasi pertma yang dibuat
oleh Luther sebelumnya belum selesai, sebab tidak menyangkut segala
bidang kehidupan. Oleh karena itu, perlu reformasi yang kedua, yaitu
pembaharuan kehidupan. Untuk itulah, Spener menulis Pia Desideria,
yaitu semacam kerangka yang harus diikuti dalam Reformation
Pietatis. Pembaharuan itu sebenarnya tidak saja terjadi dalam gereja,
tetapi dampak pembaharuan itu mencakup dunia. Pembaharuan itu di
mulai dari bidang moral, karena dunia kurang bermoral, kurang
disiplin dan kurang kebahagiaan. Kemungkinan pembaharuan ini
ditonjolkan oleh Pietisme, dalam Pia Desideria, ditemukan sebuah
nada yang optimis.
Optismisme itu muncul berdasarkan janji Allah dalam kitab suci
dan berdasarkan fakta, bahwa pembaharuan itu telah terjadi pada
jemaat mula-mula. Keyakinan Spener, bahwa sebuah masa yang baru
akan datang di dalam gereja ternyata sangat membekas di hati murid-
muridnya. Itulah sebabnya, antara lain Francke membangun lembaga
Halle, untuk dijadikan alat dalam memujudkan harapan itu. Menurut
Pietisme, Allah telah memberikan janji-Nya dengan melihat kepada
janji Allah itu, sekarang bukan masanya untuk bersantai, akan tetapi
orang Pietisme harus bertindak bertindak dan berkarya menyongsong
masa depan itu. Dengan perkataan lain, kemungkinan itu ada di dalam
tangan Allah, tetapi arus direalisir oleh Gereja.14
II.2.4. Ajaran Pokok Pietisme
Kaum Pietis sangat menekankan:
1. Iman yang berpusat pada Alkitab (bukan pada ajaran gereja)
2. Rasa berdosa, pengampunan, pertobatan, kesucian hidup, dan
persekutuan sebagai sesuatu yang khas dalam kehidupan kristiani.
14
Leonardo Hale, Jujur Terhadap Pietisme, 12-16.

6
3. Pengungkapan iman secara bebas melalui nyanyian, kesaksian dan
semangat menginjili.
II.2.5. Tokoh-tokoh Pietisme
1. Philip Jacob Spener
Spener lahir di Elzas pada tahun 1635. Ia di didik untuk takut
kepada Tuhan dan menjadi Pendeta. Ia menjadi pendeta senior di
Frankfurt pada tahun 1666 dan sewaktu disana ia menjadi leluhur atau
pendiri utama Pietisme. Ia meninggalkan Frankfurt pada tahun 1686,
ketika menjadi pendeta istana di Dresden. Dari sana ia pindahan ke
Berlin dan menjadi pendeta di sana pada tahun 1691. Ia meninggal
pada tahun 1705.15
Menjelang akhir abad ke-17, Gereja Lutheran telah menjauh dari
pandangannya sendiri akan iman pribadinya dan dalam keinginan
mencari doktrin yang benar. Ketika belajar di Universitas Strasbourg.
Spener telah mempelajari bahasa-bahasa, doktrin dan sejarah Alkitab
yang umumnya adalah bagian dari pelajaran pelayanan. Tetapi, para
profesornya mengingatkan dia tentang kelahiran kembali secara
spiritual dan Etika Kristen. Spener mengadakan berbagai persekutuan
doa, yang dikenal sebagai Collegia Pietatis, yang kemudian menjadi
dasar gerakan Pietisme.16 Setelah dia menjadi pendeta, Spener mulai
tidak puas dengan mutu kekristenan. Ia mulai memperkuat katekisasi
bagi anak-anak dam mendesak anggota jemaat yang sudah naik sidi
sungguh-sungguh melakukan imamat am-nya. Kaum awam
dilibatkannya dalam pekerjaan pelayanan gereja. Spener kini
menekankan agar diadakan penelitian Alkitab. Dalam khotbah-
khotbahnya dia mengajak umat berbuat baik. Ia menghimbau agar
para pendeta hidup lebih saleh. Atas permintaan jemaatnya, Spener
mencetus gerakan Pietisme. Akar kebejatan gereja menurut dia
terletak pada diri pendeta-pendeta sendiri yang tidak memberi contoh
yang baik. Ia sendiri mengajukan enam usul untuk memperbaiki
gereja, yaitu:
15
Tony Lane, Runtut Pijar. Tokoh dan Pemikiran Kristen Dari Masa ke Masa, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2016), 142.
16
A. Kenneth Curtis, dkk., 100 Peristiwa Penting Dalam Sejarah Kristen, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2015), 99.

7
1. Harus disediakan waktu yang lebih banyak mendengarkan firman
Allah
2. Harus mengajak anggota jemaat untuk mempraktikkan imamat
am-Nya
3. Iman Kristen harus dipraktikkan
4. Para teolog tidak boleh memakai kata-kata pahit terhadap
lawannya
5. Lembaga pendidikan teologi haruslah menjadi bengkel-bengkel
Roh Kudus
6. Khotbah-khotbah haruslah disusun dengan tujuan
membangkitkan iman pendengarnya supaya imannya
menunjukkan buah-buah Roh.17
2. Nicholaus Luwding Von Zinzendrof
Nicholaus ialah keturunan bangsawan di daerah Saksen.
Zinzendrof dilahirkan di kota Dresden 26 Mei 1700, ayahnya
meninggal ketika dia masih bayi kemudian ibunya menikah lagi dan
Zinzendrof di asuh oleh neneknya.18 Nicholaus pemuka pietis yang
terpenting, bahkan merupakan penganjur terutama untuk Gereja
Kristen pada abad ke-XVIII, adalah Nicolaus Ludwig Graf von
Zinzendorf (1700-1760). Ia dididik di dalam asrama Franckle di Halle,
sehingga sejak mudahnya ia bernapas dalam suasana Pietis yang
sejati.19
3. August Herman Francke (1663-1727)
Francke adalah seorang tokoh gerakan pietisme Jerman yang
terkemuka pada abad pertengahan abad ke-17 dan permulaan abad ke-
18. Ia dilahirkan pada tanggal 22 Maret 1663 Lubeck, 60 Kilometer
sebelah utara kota Hamburg. Pada umur 16 tahun ia memasuki
perguruan tinggi , yaitu Universitas Erfurt.20
Dalam penyelaman kehidupan yang mendalam Francke merasa,
bahwa kehidupan yang nampaknya berhasil itu, sebenarnya kosong
saja, karena ia belum mempunyai iman yang hidup. Dan diapun
17
F. D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh Dalam Sejarah Gereja, 172-173.
18
Ibid, 198-199.
19
H. Berkhof I. H. Enklaar, Sejarah Gereja, 249.
20
F. D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh Dalam Sejarah Gereja, 9.

8
bertobat. Kemudian, banyak penganutpenganut Pietisme memandang
suatu pertobatan itu sebagai sesuatu yang harus dialami oleh seorang
Kristen sebelum ia benar-benar dianggap sebagai Kristen.21
Menurutnya, teologi harus melayani perubahan hidup, pembaharuan
gereja, pembaharuan bangsa dan penginjilan dunia. Francke tidak
menekankan doktrin yang benar, tetapi yang terpenting ialah
perwujudan ajaran itu di dalam kehidupan sehari-hari.22 Pertobatannya
menjadi dasar sistem teologia yang dikembangkannya dikemudian
hari. Sejak pertobatannya hingga tahun 1690, Francke berkecimpung
dalam lingkungan Spener. Spener memberikan pengaruh besar ketika
dia berdiam diri di Hamburg. Pada tanggal 7 Januari 1962, ia tiba di
Halle, pokok penting dalam pengajaran teologinya adalah hubungan
pribadi yang baru dengan Allah. Iman yang benar adalah karya Allah
dalam kita. Oleh sebab itulah, di Halle, Francke mendirikan sekolah-
sekolah berdasarkan strata sosialnya pada masa itu, yakni:
1. Paedagogium Regium
2. Sekolah Latin
3. Sekolah Jerman
4. Sekolah untuk Orang Miskin.23
II.3. Hubungan Misi dan Pietisme
Semangat untuk mengabarkan Injil menjadi corak utama untuk golongan
Pietis di Jerman. Sebab orang-orang pietisme adalah orang-orang yang pertama
sekali menyadari pentingnya tugas pekabaran Injil. Hal tersebut terlihat dari
Francke yang sangat rajin dalam usaha-usaha pekabaran Injil. Salah satu tokoh
pietisme yang sangat semangat untuk mengabarkan injil adalah Zinzerdorf kaum
Pietis Moravia.24
Ketika Zinzerdorf meninggal, jemaat kecil mengutus 200 orang untuk
utusan Injil ke seberang.25 Nyatalah di sini hubungan erat antara pietisme dan
pekabaran Injil (Misi). Pietisme dalam sejarah gereja telah mempengaruhi banyak
lembaga-lembaga pekabaran Injil dan melahirkan tokoh-tokoh zending yang

21
Th. Van den End, Harta Dalam Bejana, (Jakarta : Gunung Mulia, 2009), 236.
22
Leonard Hale, Jujur Terhadap Pietisme,28.
23
F. D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh Dalam Sejarah Gereja, 80.
24
Leonard Hale, Jujur Terhadap Pietisme, 47-48.
25
Christiaan de Jonge, Gereja Mencari Jawab, 41.

9
dengan penuh kesabaran dan ketabahan mengajarkan Injil kepada bangsa-bangsa
yang belum mengenal Kristus.26
Dalam waktu dua puluh tahun lebih, dari tahun 1792 sampai tahun 1815
telah didirikan lima lembaga pekabaran Injil yang besar di Inggris, Belanda dan
Jerman. Gereja di Indonesia juga adalah hasil dari pekabaran Injil yang diutus
dari luar negeri. Dalam hal ini lembaga pekabaran Injil tersebut kebanyakan telah
dipengaruhi oleh Pietisme. Badan pekabaran Injil tersebut bersifat antar
denominasi antara lain Nederlandsche Zending Genootsschap (NZG),
Gereformeerde Zebdingsbond (GZB), Rheinische Mission Gesselchap (RMG),
dan beberapa badan pekabar Injil lainnya.27
II.3.1. Pietisme dan Lahirnya Lembaga Misi
Dengan adanya Pietisme ini, yang adalah mengutamakan hasrat
kesalehan dalam memberitakan Injil, maka pengaruhnya sangat besar
pula dalam mengabarkan Injil ke seluruh dunia, melalui beberapa
lembaga yang terpengaruh terhadap Pietisme ini, yaitu sebagai berikut:
1. NZG (Nederlandsche Zending Genootschap)
Didirikan di Rotterdam pada tahun 1897. Badan ini bekerja
ditempat-tempat yang terbesar diseluruh indonesia, oleh karena itu
pengaruhnya diperhitungkan. NZG tidak bertujuan menanam dan
membentuk gereja dalam pengakabaran injil. Suatu lembaga yang
bersifat antar-denominasi, NZG tidak mementingkan berdiriya
gereja. NZG lebih menekankan menanam agama Kristen yang benar
dan aktif dalam hati manusia, tanpa penambahan pikiran-pikiran
manusiawi.
Dengan perkataan lain mereka tidak mengajarkan perbedaan-
perbedaan pikiran tentang kebenaran iman, tetapi mereka
menanamkan agama Kristen yang sejati dalam hati manusia. Di sini
terlihat dengan jelas pengaruh Pietisme dalam NZG. Penekanan
jatuh pada hati manusia, dan bukan otak. Pekabar-pekabar Injil
dalam NZG ini harus memiliki cinta kasih terhadap manusia yang
benar-benar murni. Anggota-anggota NZG yang berasal dari
bermacam-macam denominasi, tidak terpengaruh oleh ajaran-ajaran

26
H. Berkhof dan I.H. Enklaar, Sejarah Gereja, 250.
27
Th. Van den End, Harta Dalam Bejana, 239-240.

10
yang berbeda, sebab mereka telah dipersatukan oleh tujuan yang
sama, yaitu pekabaran Injil kepada orag kafir. Demikian juga pada
materai NZG itu tertulis: “Damai oleh darah Salib”. Satu tema yang
sangat disenangi oleh Pietisme.
2. NZV ( Nederlandsche Zendingsvereeniging)
NZV lahir pada tahun 1858, sebagaai protes terhadap aliran
modern yang muncul dalaam NZG. Lembaga ini lahir dari golongan
ortodoks. Yang dapat menjadi anggota NZV, hanyalah mereka yang
mengaku bahwa Yesus Kristus adalah Juruslamat mereka, dan
menyatakan bahwa mereka tidak akan bekerjasama dengan orang-
orang yang menyangkal keilahian Kristus.
Namun kita tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan bahwa
lembaga-lembaga pekabaran Injil yang muncul di Belanda,
dipengaruhi oleh semangat pekabaran Injil Pietisme. Hal itu bisa
dilihat dalam pendidikan calon pekabar Injil selama tiga tahun.
Sikap ini didasarkan pada pole berpikir bahwa kesalehan dan
spontanitas lebih penting daripada ilmu pengetahuan dan persiapan
yang matang.
3. UZV (Utrechtche Zendingsvereeniging)
Badan ini dibentuk oleh sekelompok orang yang tidak setuju
dengan golongan Modern. Mereka lebih terbuka tehadap
perkembangan ilmu pengetahuan. Menurut UZV kebenaran harus
dinyatakan dalam seluruh perbuatan dan kepribadian. Seperti NZV,
UZV juga menekankan pada mulanya bahwa spontanitas jauh lebih
penting dari ilmu pengetahuan dan persiapan yang matang. Itulah
sebabnya calon pekabar Injil hanya dididik selama tiga tahun. Itulah
sebabnya UZV pada mulanya harus mengutus pekabar Injil yang
berusia antara 25 sampai 30 tahun. Jelas dari syarat-syarat yang
diajukan ini, UZV juga dipengaruhi oleh Pietisme.
II.3.2. Ketetapan Pietisme dalam Bermisi
Menurut bapak Pietisme, Spener mengatakan bahwa setidaknya ada
bebeerapa usaha/ketetapan untuk bermisi dan sekaligus memperbaiki
keadaan gereja yang sudah suam itu, yaitu sebagai berikut:

11
1. Harus disediakan waktu lebih banyak untuk mendengarkan
firman Allah. Tidak cukup hanya mendengar khotbah digereja.
Dirumah masing-masing Alkitab harus dibacakan untuk
masing-masing setiap keluarga.
2. Harus mengajak anggota jemaat untuk mempraktikan imamat
imamat-nya
3. Iman Kristen harus dipraktikan. Tidak hanya cukup hanya
mengetahui tentang iman
4. Para teolog tidak boleh memakai kata-kata pahit terhadap
lawanya.
5. Lembaga pendidkan teologi haruslah menjadi bengkel-bengkel
Roh kudus. Mahasiswa harus dibina menuju pada kesalehan.
Guru-gurunya menjadi contoh kesalehan bagi muridnya.
Khotbah-khotbah harus disusun dengan tujuan membangkitkan iman
pendengaranya supaya imanya menunjukan buah-buah roh. Khotbah
bukanlah alat untuk memamerkan pengetahuan pengkhotbahnya.28
II.3.3. Kehadiran Pietisme Sebagai Kebangkitan Kekristenan
Gerakan pietisme merupakan gerakan yang menekankan pertobatan
pribadi dan kesalehan hidup, Meskipun gerakan ini tidak diterima oleh
gereja-gereja resmi, tetapi gerakan ini terus menunjukan intensitanya
yang semakin berpengaruh yang terjadi pada akhir abad ke-17 hingga
pertengahan abad ke-18. Gerakan ini kemudian dikenal sebagai
bangkitnya kekristenan yang bercorak kesalehan. Dalam buku Christian
de Jonge menyatakan bahwa maksud dari kehadiran Pietisme adalah
untuk menyelesaikan Reformasi abad ke-16, supaya tidak hanya ajaran
direformasikan, tetapi juga seluruh kehidupan, baik pribadi maupun
dalam persekutuan Kristen (gereja, bahkan masyarakat ) mencerminkan
iman Kristen.29

III. Kesimpulan

28
F. D. Wellem, Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja, 172-173.
29
Dapat dibaca dalam buku Berkhof, Sejarah Gereja, 26; Juga dalam buku Tony Lane, Runtut Pijar,
142.

12
Pada masa perkembangan misi yang beredar dan memuncak pada abad ke-17
dan ke-18 yang dibawakan oleh kelompok pietisme memberikan pengaruh besar bagi
gereja-gereja denominasi hasil dari pada Reformasi. Karena bagi Spener (Penggerak
pertama Pietisme), Luther mereformasi belum sempurna. Spener menilai Luther
hanya berfokus pada ajaran gereja saja, tanpa memperhatikan reformasi kehidupan.
Totalitas reformasi dapat terlihat dari perubahan hidup setiap orang sebagaimanan
yang Alkitab ajarkan. Makanya, Spener dan kelompok pietisme lainnya membangun
sekolah-sekolah supaya ada tempat untuk mendidik semua pengikut Protestan agar
hidup saleh. Oleh karena itu, pietisme di sini pengekspansian (penyebaran firman)
pengajaran mereka menekankan perubahan hidup menuju hidup baru dan
membentengi diri dari pengaruh duniawi. Sekalipun gereja denominasi menolak
pengajaran pietisme ini, mereka tetap menjalankan dan menyebarkan ajaran pietisme
itu. Dengan serta merta kelompok ini, mengajak pengikutnya untuk menjauhi diri
mereka dengan hal-hal yang tidak berguna (misal menjudi, menonton), sebab mereka
mengajarkan supaya waktu yang ada dipergunakan untuk mendengar firman Tuhan.
Kehadiran pietisme untuk bermisi menyelesaikan reformasi pada abad ke-16. Karena
corak kekristenan menjadi berubah. Mereka mengedepankan hidup saleh tanpa
intervensi doktrin-doktrin gereja seperti gereja hasil reformasi lainnya.

IV. Daftar Pustaka


Aritonang, Jan dan chr de Jonge, Apa dan Bagaimana Gereja, Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2009.
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: PT. Gramedia, 1996.
Berkhof, H., I. H. Enklaar, Sejarah Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.
Bosch, David J., Transformasi Misi Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2001.
Conterius, Wilhem Djulei, Misiologi dan Misi Gereja Milenium Baru,  Flores :
Nusa Indah, 2001.
Curtis, A. Kenneth, dkk., 100 Peristiwa Penting Dalam Sejarah Kristen,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015.
de Jong, Christian, Gereja Mencari Jawab , (Jakarta: BPK Gunung Mulia,1993.
de Jonge, Christian, Apa itu Calvinisme, Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2008.
den End, Th. Van, Harta Dalam Bejana, Jakarta : Gunung Mulia, 2009.
Hale, Leonardo, Jujur Terhadap Pietisme, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.

13
Lane, Tony, Runtut Pijar. Tokoh dan Pemikiran Kristen Dari Masa ke Masa,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016.
Poerwadarminta, W. J. S., KBBI, Jakarta: Balai Pustaka, 1985.
Tomatala, Yakob, Teologi Misi, Jakarta: YT Leadership Foundation, 2003.
Wellem, F.D., Kamus Sejarah Gereja, Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2009.
Woga, Edmund, Dasar-dasar Misiologi, Yogyakarta: KANISIUS, 2002.

14

Anda mungkin juga menyukai