Anda di halaman 1dari 11

Mata Kuliah : Dogmatika

Dosen : Manimpan Hutasoit, M.Th


Nama/NIM : Endang Zaluku/1910078, Jeriko Silalahi/1910086, Ribtina Perangin-
angin/1910099, Riski Purba/1910099, Srimelawati Panjaitan/1910107,
Alex Nardo Nababan/1710966

Augustinus Versus Pelagius: Tentang Dosa dan Anugerah


I. Pendahuluan
Pasal yang tersukar didalam dogmatika ialah yang membicarakan hal dosa. 1 Sejak
dahulu sudah muncul pertanyaan: darimanakah timbulnya dosa ? apakah yang menjadi
sebab dari dosa ? akan tetapi tidak ada jawaban yang jelas yang dapat di berikan. Kitab
sucipun tidak memberikan keterangan yang jelas untuk kita. Kitab suci menyatakan bahwa
Tuhan memberikan kemungkinan kepada dosa. Kemungkinan tersebut dilihat dari sejarah
jatuhnya manusia kedalam dosa:
a. Manusia dijadikan dengan kemungkinan untuk jatuh kedalam dosa.
b. Tuhan menanam pohon pengetahuan hal baik dan jahat yang akan menjadi alat
cobaan bagi manusia.
c. Tuhan mengijinkan manusia digoda oleh setan.
Anugrah adalah kasih karunia, sesuatu pemberian yang tidak harus di balas.
Kemurahan ilahi yang tidak seharusnya diterima dan bukan semacam balas jasa yang
diberikan kepada manusia.
II. Pembahasan
II.1. Pengertian Dosa
Pengertian dosa secara umum diartikan sebagai tindakan-tindakan manusia yang
melanggar perintah, norma dan aturan-aturan Tuhan dalam segala aspek kehidupan, baik
yang berhubungan dengan kehidupan dunia yang profan, maupun akhirat (kehidupan
sesudah kehidupan di dunia ini) yang sakral, terutama yang berkaitan dengan norma-norma
teologis, ibadah, moral, dan sebagainya.2 Dosa dilihat sebagai suatu kesalahan struktur
masyarakat yang dapat diperbaiki dan bukan sebagai kuasa transsubyektif yang
menghancurkan manusia. Menurut tradisi Kristen, seseorang disebut berdosa, bila dia tidak

1
R. Soedarmo, Ikhtisar Dogmatika, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), hlm. 129
2
Tarpin, Pandangan Kristen Tentang Dosa: Asal Muasal dan Cara Menebusnya, Jurnal USHULUDDIN
Vol. XVI No. 2, Juli 2010. hal. 221

1
mengasihi Allah dan sesamanya manusia. Dosa dimengerti sebagai pelanggaran terhadap
kesepuluh Firman Tuhan.3
Alkitab menggunakan beberapa istilah untuk dosa. Istilah paling lazim dalam
Perjanjian Lama (PL) adalah ‘khatta’t’, awon, pesya ‘ra’.4 Istilah ‘khatta’ berarti
[pelanggaran] (Keluaran 32:30). Kata ini muncul ratusan kali dalam Perjanjian Lama dan
mengungkapkan pikiran yang memilih jalan sesat. Istilah lain yang dipakai adalah pesya
(pemberontakan) yaitu memberontak terhadap kekuasaan yang sah (1 Raja 12:9; 2 Raja
8:20) atau pemberontakan terhadap hukum-hukum Tuhan (Hos. 8:1), dan awon [perbuatan
tidak senonoh] (1 Raja-Raja 17:18 ).5 Awon mengacu pada rasa bersalah yang dihasilkan
dosa. Secara umum dalam Perjanjian Lama, dosa itu dimengerti sebagai “ketidaktaatan”
umat Allah kepada Allah.
Istilah dosa dalam Perjanjian Baru (PB) ialah hamartia, hamartema, adikia,
parabasis, asebeia, dan ptaisee. Istilah ‘Hamartia’ (Matius 1:21) mempunyai makna tidak
kena sasaran dan meliputi gagasan kegagalan, salah dan perbuatan jahat. ‘Adikia’ (1
Korintus 6:8) mempunyai arti ketidakjujuran atau ketidakadilan. ‘Parabasis’ (Roma 4:15)
berarti mengenai pelanggaran hukum. “Asebeia” (Titus 2:12) mengandung arti kuat
mengenai tidak mengenal Allah, sedangkan “Ptaisee” lebih berarti tergelincir secara moral
(Yakobus 2:10).6 Di dalam Perjanjian Baru dosa disebut juga: pelanggaran hukum Allah
(Yohanes 3:4), bahasa aslinya “Anomia” yang berarti perbuatan yang tanpa kasih
(Yohanes 4:8) atau kejahatan (Yohanes 5:17) ungkapan-ungkapan yang lain ialah:
ketidaktaatan, ketidaksetiaan, dan ketidakpercayaan dan lain sebagainya.7 R. Soedarmo
dalam bukunya Ikhtisar Dogmatika mengartikan dosa sebagai kehilangan kelurusan,
pembelokan garis yang lurus atau meleset.8
II.1.1. Ajaran Tentang Dosa Augustinus
Augustinus berpendapat bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan dengan sempurna.
Saat itu Adam diberi kehendak yang bebas, sehingga ia dapat memilih sendiri jalan yang
mana yang akan diturutinya: taat dan patuh kepada Tuhan atau menuruti kesukaan hati dan

3
Dieter Becker, Pedoman Dogmatika: Suatu Kompendium Singkat, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991),
hal.107
4
_________ Ensiklopedia Alkitab Masa Kini Jilid 1 A-L, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1992),
hal. 256
5
Dieter Becker, Pedoman Dogmatika: Suatu Kompendium Singkat, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991),
hal.101
6
_________ Ensiklopedia Alkitab Masa Kini Jilid 1 A-L, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1992),
hlm. 257
7
Harus Hadiwijono, Iman Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), hlm. 235
8
R. Soedarmo, Ikhtisar Dogmatika, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), hlm. 153

2
kehendaknya sendiri. Tuhan mengajak dia berbuat yang baik saja, serta mengaruniakan
kepadanya pertolongan rahmat-Nya. Itulah sebabnya Adam dapat tidak berdosa.
Akan tetapi Adam tidak mempergunakan kemungkinan ini. Ia jatuh ke dalam dosa
oleh salahnya sendiri. Akibat atau dampaknya sangat mengerikan, sekarang ia dikuasai
oleh dosa; persekutuannya dengan Tuhan terputus; pertolongan rahmat Tuhan telah hilang;
ia menjadi hamba keinginan badannya dan harus mati. Tak dapat ia berbuat baik lagi,
malahan mulai saat itu ia tidak dapat tidak berdosa, Di dalam Adam segala keturunannya
berdosa juga (Rm. 5:12). Tubuh dan jiwa tiap-tiap manusia telah diracuni oleh dosa
turunan, yang turun-temurun dari orangtua kepada anak-anaknya. 9 Menurut Augustinus,
tidak seorang pun, dengan kemauannya sendiri dapat melepaskan diri dari rentetan dosa
dan berbuat dosa, sehingga dengan status keberdosaan ini manusia hanya bisa
diselamatkan dengan anugerah, anugerah yang didasarkan atas pemilihan Allah.10
Augustinus menggambarkan dosa sebagai yang hakiki melekat pada keberadaan
manusia. Dosa merupakan suatu aspek yang integral, bukan opsional, dari keberadaan kita.
Manusia dengan cara dan kemampuannya sendiri tidak pernah dapat masuk ke dalam suatu
hubungan dengan Allah. Tak satu pun perbuatan manusia yang dapat mematahkan
belenggu dosa. Karenanya Allah turut campur dalam dilema manusia.11 Augustinus
mengajarkan bahwa manusia setelah Adam jatuh ke dalam dosa telah menjadi “kaum
kebinasaan”, artinya: ia sudah menjadi budak dosa dan tidak dapat berbuat baik lagi.12
II.1.2. Ajaran Tentang Dosa Pelagius
Pelagius13 mengajarkan, bahwa setelah Adam jatuh ke dalam dosa tabiat manusia
masih tetap baik. Tidak ada dosa turunan. 14 Ia mengatakan bahwa dosa Adam hanya
mempengaruhi Adam. Tidak ada manusia dilahirkan dengan bakat alami untuk berdosa. 15
Sehingga ia menolak pendapat yang dipahami sebagai dosa warisan (dosa yang diturunkan
dari Adam).16 Ia berpendapat bahwa manusia itu dilahirkan seperti kertas putih yang masih
belum ditulisi. Dosa tidak terletak pada tabiat manusia, tetapi pada kehendaknya.
Kenyataannya manusia berdosa karena disebabkan meniru contoh-contoh yang tidak baik
9
Berkhof, H., & I.H.Enklaar, Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992), hlm. 68
10
Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), hlm. 142
11
Alister E.McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), hlm.93.
12
L. Berkhof. 1953. The History of Christian Doctrines, (Grand Rapids, Michigan: Wm.B.Eerdmans
Publishing Company. 1953), hlm. 139
13
Pelagius sebelumnya memiliki karir duniawi, namun dia meninggalkan karir duniawinya dan hidup
sebagai seorang asket yang ketat. Asketis ini berpegang kepada kepercayaan tentang kesanggupan
manusia untuk hidup secara benar dan tanpa berdosa di hadapan Allah.
14
Harun Hadiwijono, Iman Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), hlm. 289
15
Ronald H. Nash, Keselamatan di Balik Kematian Bayi, (Surabaya: Momentum 2003), hlm. 6
16
R. Sudarmo, Kamus Istilah Teologi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), hlm. 64

3
dari dunia sekitarnya. Oleh karena itu manusia dengan amal-amal dan kebajikannya tentu
dapat mendapatkan keselamatan. Kasih karunia Allah kepada manusia terdiri dari hal ini,
bahwa Ia memberikan kehendak yang bebas kepada manusia, dan memberikan pengajaran
P.L (hukum Taurat), serta ajaran dan teladan Tuhan Yesus Kristus.17
Pandangan Pelagius pada abad ke-4 mengatakan bahwa Adam terkena hukuman
untuk dirinya sendiri, tidak ada sedikitpun mengenai orang lain. Adam memberi teladan
kepada turunannya di dalam berbuat dosa. Turunan berbuat dosa oleh sebab meniru Adam.
Bagi Pelagius, dosa itu adalah tindakan perseorangan; maka akibat dari dosa tentu hanya
kepada orang itu sendiri akibatnya dan hukuman juga tentu hanya kepada orang itu
sendiri.18 Dosa yang diperoleh seseorang tidak mungkin ditanggungkan kepada orang lain.
Pelagius menunjuk bahwa Adam sebagai pemberi pengaruh buruk kepada generasi
selanjutnya. Pelagius menunjuk bahwa Adam yang sudah memberi contoh buruk sehingga
ditiru oleh banyak orang.19
Pelagius memulai dari kemampuan alamiah manusia yang mampu melakukan
kebaikan.20 Dengan singkat dapat dikatakan bahwa dari sudut Pelagius sebenarnya tidak
ada orang berdosa, tetapi hanyalah tindakan-tindakan dosa karena meniru atau mencontoh
dosa adam.21
II.2. Pengertian Anugerah
Alister E. McGrath dalam bukunya “Sejarah Pemikiran Reformasi” mengartikan
anugerah adalah kemurahan ilahi yang tidak seharusnya diterima dan bukan semacam
balas jasa yang diberikan kepada manusia. 22 Di dalam Perjanjian Lama kata “anugerah”
atau “kasih karunia” dipergunakan dalam pengertian “perkenanan” atau “kebaikan.”
Misalnya, dalam Kejadian 6:8 mencatat: “Tetapi Nuh mendapat kasih karunia (diperkenan)
di mata TUHAN.”23
Dalam Perjanjian Baru, kata anugerah berasal dari istilah “kharis” pada hakikatnya
merupakan pemberian yang tidak harus dibalas. Kata “kharis” dipakai secara sinonim
dengan kata “dorean” (Cuma-Cuma/Rm. 3:24). Kata “dorean” adalah terjemahan yang
cocok dengan kata ibraninya “khinnam” yang berasal dari kata “khen”, yang artinya

17
Harun Hadiwijono, Iman Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), hlm. 289
18
R. Soedarmo, Ikhtisar Dogmatika, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), hlm. 154-155
19
Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), hlm. 137-
138
20
Louis Berkhof, Teologi Sistematika …, hlm. 118-119.
21
Louis Berkhof, Teologi Sistematika, Teologi Sistematika. (Surabaya: Momentum), hlm. 119.
22
Alister E. McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hlm. 113
23
Daniel Lucas Lukito, Kekeliruan Pengartian Konsep Anugerah Dalam Teologi dan Pelayanan Praktis,
Jurnal Veritas Teologi dan Pelayanan 3/2, Oktober 2002, hlm. 150

4
anugerah. Dengan demikian dalam Perjanjian Lama, anugerah atau kasih karunia
merupakan pemberian yang tidak harus dibalas. Menurut Pelagianisme (penganut ajaran
Pelagius) mengatakan bahwa manusia dapat memperoleh keselamatan berdasarkan
kekuatan sendiri. Sedangkan, menurut Augustinus, bahwa anugerah harus dianggap
sebagai pemberian Allah, Augustinus mengatakan bahwa manusia memperoleh
keselamatan hanya oleh anugerah. Anugerah merupakan kekuatan yang mengubahkan
mereka yang ditarik ke luar dari orang-orang yang terkutuk. Ajaran tentang keselamatan
Augustinus bersifat monergistis tetapi Semi-Pelagianisme melukiskan ajaran tentang
keselamatan bersifat sinergistis, yaitu: keselamatan dimengerti sebagai usaha bersama di
antara kemauan bebas manusia dan anugerah ilahi.24
II.2.1. Ajaran Tentang Anugerah Augustinus
Diselamatkan oleh anugerah adalah suatu konsep dalam teologi Kristen yang
menyatakan bahwa keselamatan manusia adalah pemberian Allah. Dalam konsep ini,
keselamatan manusia tidak ditentukan oleh perbuatan yang dilakukannya, melainkan
berdasarkan anugerah dari Allah.25 Ajaran Augustinus pertama dan terutama adalah
penekanan terhadap kenyataan, bahwa anugerah Allah diberikan secara cuma-cuma, murni
sebagai pemberian kasih-Nya. Tidak ada kemungkinan bagi manusia untuk mendapatkan
anugerah ini sebagai pahala. Ia berpendapat bahwa tidak mungkin bagi manusia menembus
atau meninggalkan lingkaran setan kejahatan dimana ia terperangkap di dalamnya. Hanya
Allah saja yang dapat meluputkan dia dari ketidaktenteraman sebagai akibat orientasi yang
keliru dari kehendaknya. Dari sini Agustinus menyimpulkan bahwa dalam hubungan
kepada anugerah tidak ada kehendak bebas.
Secara mendetail Augustinus berkata-kata tentang anugerah yang bersifat
mendahului: “Anugerah yang mempengaruhi seseorang sebelum ia sendiri berkehendak,
mendorong kehendaknya. Melalui anugerah ini, dapat disamakan dengan pemilihan, maka
kehendak manusia dipersiapkan. Dari anugerah yang bersifat mendahului ini Augustinus
membedakan anugerah yang bersifat menyertai. Di sini ia mengarahkan perhatiannya
kepada penyucian, mengenai pertumbuhan dalam iman, dalam pengetahuan dan dalam
kasih, hingga seseorang menjadi ciptaan baru. Dalam area ini kehendak manusia tidak lagi
dikucilkan. Sebaliknya, sekarang kehendak dibebaskan dan karena itu dapat berbuat
bersama-sama dengan anugerah; ia bahkan dapat menghasilkan pahala. Pada akhirnya
terdapatlah kerja anugerah yang mempunyai sangkut paut dengan ketekunan. Tanpa

24
Theol. Dieter. Becker, Pedoman Dogmatika, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), hlm. 139
25
https://www.wikiwand.com/id/Diselamatkan_oleh_anugerah

5
anugerah ini aksi anugerah ilahi tidak akan tiba pada tujuannya. Tanpa anugerah ketekunan
seseorang akan dikutuk, walaupun ia kelihatannya sudah terpilih melalui anugerah yang
bersifat mendahului itu. Hal yang perlu adalah ketekunan dalam anugerah hingga ke
akhirnya. Dengan demikian Augustinus tidak memandang karya anugerah ilahi dari titik
pandang pengampunan dosa-dosa, tetapi dari titik pandang pemulihan manusia, atau
penyembuhannya. Jadi pembenaran adalah suatu proses dalam arah mana seseorang
dibenarkan. Anugerah bekerja sedemikian rupa, sehingga anugerah itu menggerakkan
kehendak manusia ke arah aksi.26
II.2.2. Ajaran Tentang Anugerah Pelagius
Anugerah yang dipahami Pelagius berbeda dengan yang dipahami oleh Augustinus.
Bagi Pelagius, anugerah berarti pertama, manusia diberikan akal, dan kedua, manusia
diberikan hukum. Menurutnya, adalah suatu anugerah bila manusia sanggup dengan
dirinya sendiri (secara alamiah) menggenapi hukum Allah. Jadi menurut Pelagius, apabila
manusia sanggup dari dirinya sendiri (secara alamiah) menggenapi hukum Allah, itulah
yang disebut sebagai anugerah. Pelagius memahami, bahwa anugerah sebagai sarana
pengampunan dosa yang diberikan Allah dengan perantaraan Kristus kepada manusia, dan
Kristus juga menginstruksikan agar manusia menghindari kesalahan yang diperbuat oleh
daging dan bertumbuh dalam kebijaksanaan. Walaupun pada zaman Pelagius, pendapat
yang berkembang bahwa baptisan menghapuskan dosa, dan orang Kristen diwajibkan
untuk tidak lagi melakukan dosa-dosa baru. Bagi Pelagius seorang Kristen adalah
seseorang yang tidak hanya dikenal dalam gelarnya sebagai Kristen, tetapi dalam setiap
perbuatan-perbuatannya yang di dalam segala sesuatu meniru dan mengikuti Kristus.27
II.3. Kontroversi Pelagius
Augustinus tetap berusaha agar ajarannya mendapatkan pengakuan dalam gereja.
Pusat teologi Pelagius adalah pandangannya megenai kemaha-hadiran dan kebenaran
Allah.28 Bertahun-tahun, baik Pelagius maupun Coelestius dengan leluasa mengajarkan
ajaran-ajaran mereka di Roma tanpa pernah ditentang oleh hirarki. Masalah baru mulai
muncul ketika invasi oleh orang Goths yang memaksa kedua orang ini untuk lari
ke  AfrikaUatar. Di Timur Pelagius melamar menjadi iman namun dakwaan sebagai bidat
dilancarkan kepadanya dihadapan frimat Afrika Utara dan permintaanya ditolak dan
diekskomunikasikan (dikucilkan dari gereja tahun 411). Pusat teologi Pelagius adalah

26
Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), hlm. 146-
148
27
Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen…, hlm. 138
28
http://salitsimalem.blogspot.com/2016/03/dogmatika-kontraversi-ajaran.html

6
pandangannya megenai kemaha-hadiran dan kebenaran Allah. Inilah sebagai konsep yang
kurang ia temukan dari Alkitab dan lebih pada filsafat atau, apabila dikatakan secara luas,
dari akal manusia. Sesungguhnya, Pelagius memandang kebenaran Allah sebagai suatu
kebenara yang menuntut dan mengadili. Tetapi pada permulaan teologinya ia
mempertahankan dalil mengenai Allah yang bersifat Rasionalistik, yaitu bahwa Allah tidak
mungkin menuntut apa yang pada akhirnya tidak dapat dipenuhi oleh manusia itu sendiri.
Allah  adalah Hakim yang adil bagi seluruh manusia. Tak seorangpun manusia yang tak
benar yang luput dari padan-Nya. Karena itu, secara prinsipal, manusia berada dalam
kedudukan untuk hidub menurut sesuai dengan hokum-hukum Allah. Kalau ini tidak
benar, maka tidak akan ada penghukuman terhadap orang yang tidak benar; dan dengan
demikian tuntutan Allah kepada manusia tidak dapat dibenarkan 29 Dan di Afrika Utara
Pelagius juga berkenalan dengan Agustinus30 dalil dalih yang dianggap berasal dari dia dan
yang menjadi dakwaan terhadapnya : bahwa Adam memang diciptakan dengan bersifat
fana dan kalaupun ia tidak berdosa, ia akan tetap mati; bahwa dosa Adam hanya mengenai
Adam saja, bukan seluruh umat manusia; bahwa anak-anak yang baru lahir mepunyai
status yang sama dengan Adam sebelum ia jatuh kedalam dosa, bahkan seluruh umat
manusia tidaklah mati sebagai akibat kematian Adam, bahkan kalaupun melalui
kebangkitan Kristus seluruh umat manusia tidak lagi dibangkitkan kembali. Bahwa anak
yang dibaptiskan akana diberikan kehidupan yang kekal; bahwa manusia bisa hidup tanpa
dosa; bahwa gampang bagi manusia untuk memenuhi hukum-hukum Allah, karena bahkan
sebelum Kristus pun ada orang-orang hidup tanpa dosa, dan karena hukum adalah cukup
untuk mencapai Kerajaan Sorga sama seperti injil juga. 31 Setelah Adam jatuh kedalam dosa
tabiat manusia tetap baik dan tidak ada dosa turuna. Manusia dilahirkan seperti kertas putih
yang masih belum ditulisi.32 Memang benar bahwa Pelagius juga menunjuk Adam sebagai
yang memberi pengaruh buruk kepada generasi selanjudnya. Tetapi ia merasa bahwa hal
ini bukanlah merupakan perkara dari mewarisi dosa, tetapi hanyalah akibat dari contoh
buruk yang diberikan oleh Adam dan yang ditiru oleh banyak orang. 33 Kematian bukanlah
akibat dosa atau hukuman dari Tuhan, tetapi termasuk hukum Alam.Keselamatan yang
kekal itu diperoleh manusia selaku pahala karena amal dan kebajikanya yang dilakukan

29
Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen…, hlm. 150
30
H. Berkhof dan H. Enklaar, Sejarah Gereja, (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1967), hlm.
68
31
Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen…, hlm. 150
32
Harun Hadiwijono, Iman Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), hlm. 289
33
Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen…, hlm. 139

7
manusia menurut kehendaknya yang bebas itu. Namun ajaran Pelagius ini ditolak oleh
Gereja, pertama kalinya di Cartago pada tahhun 418.34
Makna keputusan Kartago sebaiknya dinilai dengan membandingkannya pada satu
pihak dengan pihak lain dengan ajaran Augustinus. Keputusan itu menyatakan bahwa yang
paling penting adalah bahwa konsepsi mengenai bantuan oleh anugerah ilahi, yang
mempunyai sangkut paut bukan saja dengan dosa-dosa yang dibuat pada masa lampau
tetapi juga dengan seluruh arah kehidupan Kristen. Menurut konsep ini, orang Kristen
senantiasa tergantung pada bantuan anugerah Ilahi, dan bantuan itu terdiri dari bukan
sekedar instruksi mengenai tuntutan-tuntutan yang dibuat oleh manusia. Pada pihak lain,
tidak ada keraguan bahwa Augustinus tidaklah berhasil pada saat itu mengemukakan
ajarannya mengenai dosa dan anugerah sebagai suatu kesatuan. Keputusan Kartago
tersebut tidak saja kekurangan definisi yang teliti mengenai hakikat dosa, tetapi yang lebih
penting lagi, bahwa pernyataan-pernyataan mengenai anugerah memberi peluang bagi
timbulnya penafsiran yang berbeda. Sementara dikatakan bahwa kehendak bebas saja
tidaklah cukup untuk mencapai keselamatan, maka tidak ada dikatakan apa-apa mengenai
anugerah yang mendahuluinya, mengenai pemberian ketekunan, mengenai hubungan
antara karya anugerah dan kemauan manusia sendiri atau, pada akhirnya mengenai
predestinasi ilahi. Ajaran Augustinus mengenai dosa dan anugerah sama sekali tidak diberi
status dogmatik di Kartago.35
2.3 Kontroversi Semi-Pelagianisme
Ajaran Pelagius ditolak oleh Gereja. Pertama kalinya di Chartago pada tahun 418 dan
akhirnya oleh konsili di Efesus (431). Walaupun demikian banyak juga orang dalam gereja
berkeberatan terhadap teologi Augustinus. Jikalau keselamatan hanya beralaskan
pemilihan dan rahmat, dimanakah penawaran keselamatan itu kepada segenap umat
manusia dan dimanakah tanggung jawab manusia? Telah satu abad lamanya (429-529)
perselisihan ini memanaskan hati ahli-ahli teologia di barat. Kemudian di Gallia-Selatan
timbul ajaran dari orang semi (setengah) pelagian, yang mencari suatu jalan kompromi
agar moralisme Kristen dapat dipertahankan. Kata mereka: “Oleh jatuhnya Adam
kehendak manusia hanya dilemahkan saja, sehingga manusia dapat berbuat baik lagi. Ia
tidak mati (seperti Augustinus ajarkan), dan tidak pula sehat (seperti Pelagius ajarkan),
melainkan sakit. Oleh karena itu kekuatan manusia sendiri tidak dapat berbuat baik lagi. Ia
memerlukan bantuan rahmat Tuhan. Kehendak manusia yang bebas itu harus menerima

34
H. Berkhof dan H. Enklaar, Sedjarah Geredja, (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1967), hlm. 69
35
Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen…, hlm. 152-155

8
pertolongan ini, supaya dengan demikian manusia dan Allah boleh bekerja bersama-sama
sampai keselamatan itu diperoleh (sinergisme).36
Perdebatan-perdebatan mengenai Semi-Pelagius itu berakhir dalam tahun 529 dalam
Sinode di Orange, dimana Caesarius dari Arles (meninggal 542) berhasil melaksanakan
dogmatisasi dari sejumlah dalil-dalil terhadap semi-Pelagians. Tetapi dengan melakukan
itu, sinode tidak menerima keseluruhan ajaran Augustinus mengenai anugerah. Keputusan-
keputusanya yang paling penting adalah sebagai berikut: “Melalui dosa Adam, ia sendiri
maupun anak cucunya telah dirusakan, baik tubuh maupun jiwa”. Dosa dan kematian
berasal dari ketidaktaatan Adam atas perintah Ilahi. Sebagai akibatnya, kehendak bebas
itu dilemahkan begitu rupa, sehingga tidak mungkin lagi atas inisiatif sendiri seseorang
dapat mengasihi atau percaya kepada Allah sebagaimana seharusnya. Dari dirinya
sendiri manusia tidak mendapat anugerah Allah. Dalam cara yang sama anugerah
melaksanakan iman dan kehendak ke arah kemurnian. Dalam konteks ini “Anugerah”
mengacu pada infusi Roh Kudus dan karya-Nya. “Kehendak disiapkan oleh Tuhan”,
demikian dikatakan “Iman” berarti mengiakan pemberitaan Injili. Iman yang diinspirasikan
oleh Allah dalam cara yang sangat khusus yang mengarahkan kita untuk datang pada
baptisan, yang sebaliknya, memulihkan kehendak bebas. Karena orang yang dibaptis juga
senantiasa berada dalam situasi membutuhkan bantuan terus-menerus dari anugerah Ilahi.
Tanpa bantuan itu, orang yang dibaptiskan itu tidak dapat bertekun dalam karya-karya
yang baik atau mencapai akhir yang dikehendaki. Segala sesuatu yang dikatakan
predestinasi hendak menekankan, bahwa tidak ada predeterminasi kearah pengutukan
kekal.37
III. Kesimpulan
Dari makalah ini dapat di simpulkan bahwa ajaran Pelagius dan Augustinus
menampilkan tentang dua pandangan yang berbeda antara dosa dan anugerah.
Yang dapat di simpulkan bahwa:
1. Augustinus memnyatakan tidak seorang pun, dengan kemauannya sendiri dapat
melepaskan diri dari rentetan dosa dan berbuat dosa, sehingga dengan status
keberdosaan ini manusia hanya bisa diselamatkan dengan anugerah, anugerah yang
didasarkan atas pemilihan Allah.
2. Sedangkan Pelagius berpendapat bahwa manusia itu dilahirkan seperti kertas putih
yang masih belum ditulisi. Dosa tidak terletak pada tabiat manusia, tetapi pada

36
H. Berkhof dan H. Enklaar, Sedjarah Geredja, hlm. 77
37
Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen…, hlm. 161-162

9
kehendaknya. Kenyataannya manusia berdosa karena disebabkan meniru contoh-
contoh yang tidak baik dari dunia sekitarnya. Oleh karena itu manusia dengan amal-
amal dan kebajikannya tentu dapat mendapatkan keselamatan. Kasih karunia Allah
kepada manusia terdiri dari hal ini, bahwa Ia memberikan kehendak yang bebas
kepada manusia, dan memberikan pengajaran P.L (hukum Taurat), serta ajaran dan
teladan Tuhan Yesus Kristus.

10
DAFTAR PUSTAKA
_________. 1992. Ensiklopedia Alkitab Masa Kini Jilid 1 A-L. Jakarta: Yayasan
Komunikasi Bina Kasih.
Becker, Dieter. 1991. Pedoman Dogmatika: Suatu Kompendium Singkat. Jakarta: BPK
Gunung Mulia.
Berkhof, L. 1953. The History of Christian Doctrines, Grand Rapids, Michigan:
Wm.B.Eerdmans Publishing Company.
Berkhof, H., & I.H.Enklaar. 1992. Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Berkhof, Louis. Teologi Sistematika. (Surabaya: Momentum).
Hadiwijono, Harun. 2007. Iman Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Lohse, Bernhard. 2008. Pengantar Sejarah Dogma Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
McGrath, Alister E. 2002. Sejarah Pemikiran Reformasi. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Nash, Ronald H. 2003. Keselamatan di Balik Kematian Bayi. Surabaya: Momentum.
Soedarmo, R. 2001. Ikhtisar Dogmatika. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Sudarmo, R. 2010. Kamus Istilah Teologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Sumber Lain (Jurnal):


Tarpin, Pandangan Kristen Tentang Dosa: Asal Muasal dan Cara Menebusnya, Jurnal
USHULUDDIN Vol. XVI No. 2, Juli 2010.
Daniel Lucas Lukito, Kekeliruan Pengartian Konsep Anugerah Dalam Teologi dan
Pelayanan Praktis, Jurnal Veritas Teologi dan Pelayanan 3/2, Oktober 2002.

Sumber Lain (Internet):


http://salitsimalem.blogspot.com/2016/03/dogmatika-kontraversi-ajaran.html
https://www.wikiwand.com/id/Diselamatkan_oleh_anugerah

11

Anda mungkin juga menyukai