Anda di halaman 1dari 19

1

Nama : Daniel Ramos Christian P Sidebang


NIM : 17.3191
Mata Kuliah : Seminar Biblika
Dosen Pengampu : Pdt. Dr. Hulman Sinaga / Pdt. Dr. Rospita Siahaan

IMAN DI TENGAH PENDERITAAN


(2 TIMOTIUS 3:10-17)

I. PENDAHULUAN

Salah satu pokok teologis yang hangat untuk diperbincangkan hingga saat ini adalah tentang
iman di tengah penderitaan. Iman yang teguh sekalipun sedang di dalam penderitaan pada dasarnya
merupakan impian setiap orang percaya di dalam hidupnya. Namun yang menjadi masalah saat ini,
apakah pemahaman kita tentang iman sudah relevan dengan apa yang dikatakan Alkitab? Atau iman
yang bagaimana yang sesungguhnya perlu untuk kita miliki?

Dalam sajian ini, penyaji mencoba menggali jawaban melalui hidup Paulus yang kehidupannya
sarat dengan penderitaan-penderitaan namun ia tetap teguh dalam iman untuk melanjutkan
pelayanannya. Paulus yang menggunakan dirinya sendiri sebagai ilustrasi tentang kesanggupan
Allah dalam menguatkan Paulus ketika ia berada di dalam situasi penderitaan.

Surat 2 Timotius ini ditulis oleh Paulus yang ditunjukkan kepada Timotius untuk
memberikan penghiburan dan penguatan di tengah pelayanan Timotius sehingga ia akan teguh
dalam mengajarkan kebenaran Kristus dan sebagai perpisahan mereka satu sama lain. Dalam 2
Timotius 1:2, Timotius disebut Paulus sebagai ἀγαπητῷ τέκνῳ (anak yang kekasih). Sedangkan
Timotius menurut Kisah Para Rasul 16:1, ia adalah anak seorang wanita Kristen Yahudi dan ayah
asal bukan Yahudi dari Listra yang kemungkinan ia menjadi Kristen karena pengaruh Paulus (1
Kor. 4:17)1

Paulus meminta Timotius supaya berada di Efesus untuk menggembalakan. Dan pada waktu
itu Timotius sendiri berusia kurang lebih 30 tahun yang dianggap masih sangat muda. Oleh karena
itu Paulus menuliskan surat ini untuk memberi semangat bagi Timotius agar tetap teguh dalam
iman. Surat ini ditulis pada tahun 65 masehi. Yang pada masa itu ada ancaman besar yang melanda
Kekristenan di Provinsi Asia, Yaitu provinsi romawi yang meliputi bagian barat Asia kecil (Turki
Barat). Dua ancaman yang muncul ialah ancaman dari luar dan ancaman dari dalam. Ancaman dari

1
Willi Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hlm. 243.
2

luar yaitu berbentuk penganiayaan kepada orang-orang yang mengikuti Yesus dan para murid-Nya.
Lalu ancaman dari dalam yaitu adanya ajaran sesat yang bisa menggoyahkan iman orang percaya.
Paulus menuliskan surat ini untuk memberikan penguatan kepada Timotius. Lalu pada akhir tahun
65 masehi, akhir tahun pemerintahan Kaisar Nero, Paulus ditangkap dan harus menjadi penghuni
penjara Roma. Dari Penjara Roma inilah Paulus menuliskan surat ini.2

Fokus penulis dalam sajian ini adalah pembahasan mengenai penderitaan yang dialami oleh
Paulus dan Timotius dalam mengerjakan pelayanan mereka. Paulus menekankan bahwa kesetiaan
terhadap Kristus, tidak membuat orang percaya menjadi terhindar dari penderitaan maupun
penganiayaan. Penganiayaan dengan bentuk apa pun itu tidak dapat dihindarkan oleh orang yang
mau menjalankan hidup saleh dalam Yesus (ay.12), namun dengan tetap berpegang teguh pada
ajaran (kitab suci) yang akan memberi memberi σοφίζω (sophizo, wise, bijak/ hikmat) dan
menuntun kepada σωτηρία (soteria, salvation, keselamatan) (ay.16).

II. ETIMOLOGI/ TERMINOLOGI

II. I. ETIMOLOGI/ TERMINOLOGI KATA IMAN

Kata ‘iman’ dalam Perjanjian Lama disebut dengan ֻ֥ ‫ מן ֵא‬, (emun). Istilah ini muncul beberapa
kali
yaitu pada Ulangan 32:20, Habakuk 2:4, Mazmur 37:3. Selain itu, kata ‫( בטח‬batach) dalam Mazmur
25:2 dan kata
ּ
ָ‫( סה ח‬chasah) dalam Mazmur 7:1. Sedangkan dalam Perjanjian Baru kata ‘iman’ disebut
dengan πίστις, (pistis).

II. I. I. ETIMOLOGI/ TERMINOLOGI KATA IMAN DALAM PERJANJIAN LAMA

Kata ֻ֥‫( מן א‬emun)

Dalam Mazmur 37:3, .ּ ָ ‫נה‬ ‫ ְּב _ ַ֣טח ועשה־ ֹ֑ ש ָּכן־ ’ ֶ֗֝א ֶרץ‬, :TUHAN kepada Percayalah (LAI
‫אּמו‬ ‫ּור ֵ ֻ֥עה‬ ‫˙טוב‬ ‫ _ביהוה‬.
dan lakukanlah yang baik, diamlah di negeri dan berlakulah setia). Kata ‫ָּ אּמו‬.‫( נה‬emunah)
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi ‘setia’. Maka, konteks penggunaan kata ‫ ֱאּמו‬.ָּ ‫נה‬
(emunah) mengindikasikan bahwa iman harus tertuju kepada Allah dengan keloyalitasan yang tinggi,
namun bukan dengan menggunakan kemampuan atau kekuatan manusia itu sendiri. Selain itu,
penggunaan kata ‫ אּמו‬.ָּ ‫( נה‬emunah) dalam Habakuk 2:4 juga dipakai dalam Perjanjian Baru (Rm. 1:17;
Gal. 3:1; Ibr. 10:36) memperlihatkan bahwa nabi Habakuk memakai istilah “emunah” untuk

2
Dr. R. Budiman, Surat-surat Pastoral I&II Timotius dan Titus, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
3

1997), hlm. 75.


4

menunjukkan iman.3 Lalu, kata lainnya yang merujuk ‘iman’ dalam Perjanjian Lama yaitu Yesaya
adalah ‫מּנו‬.ֵ ‫ָּ א‬
(he’emin) yang merupakan bentuk dasar dari kata _‫( מן‬aman). Kata ini berarti
‫ ת‬,7:9
‫א‬
“mendukung / meneguhkan.”4 Apabila kata ini diterapkan pada seseorang, maka akan berarti
“mendukung atau meneguhkan atau mempercayakan diri kepada seseorang”. Kata ini digunakan
dalam Kejadian 15:6, .ָּ ‫ ְּ ח ְּש קה‬. ‫ ֱא ֶה ְּוִ֖ ָּוה‬. ‫( מן‬LAI: Lalu percayalah Abram kepada TUHAN,
‫ָּד צ‬ ‫ ביה ֻ֥ב ָּה לו ו‬maka
‫_י‬
TUHAN memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran). Penjelasan menurut Walter C.
Kaiser, terjemahan harfiah dari Kejadian 15:6,
. ‫( ֱא‬wahe’emin baYHWH) berarti ia percaya
ּ
‫ִ֖מן ו‬
ָ‫וה ביה‬.
‫ֶה‬
kepada Tuhan. Menurutnya, objek dari iman itu sendiri ditemukan dalam isi janji Allah itu sendiri.
Jadi, iman Abram adalah tertuju kepada Tuhan, tetapi yang terutama kepada Tuhan yang telah
berjanji kepadanya.5

Kata ‫( בטח‬batach)

Kata ‫( בטח‬batach) berarti ‘mempercayai atau yakin akan, atau bersandar pada’.6 Penggunaan kata
ini terdapat dalam Mazmur 25:2,
‫_ע ְּלִּ֖צו ַ֣בי‬ ‫אל ־ ֵא‬ . ‫ְּח‬ ֣ ‫אֹל‬ (LAI: Allahku, kepada-Mu
‫לי‬.
_ ‫_י ְּי‬. ‫אל־‬ ‫ֹ֑˙ בושה‬ ‫תי‬ ‫ֶ֝֗הי ַך‬
‫א‬ ‫ב‬
‫ָב _ט‬
aku percaya; janganlah kiranya aku mendapat malu; janganlah musuh-musuhku beria-ria atas aku).
Di sini pemazrmur menunjukkan ketulusan hatinya, artinya ia bukan percaya terhadap dirinya atau
perbuatannya sendiri, namun ia percaya kepada Allah, dan ketulusan hatinya merupakan bukti
kepercayaannya terhadap Allah.7

Kata
ּ
ָ‫( סה ח‬chasah)

Kata ָּ‫( סה ח‬chasah) cukup jarang dipakai dalam Perjanjian Lama, kata ini memiliki arti ‘mencari
perlindungan’.8 Kata ini merujuk pernyataan seseorang yang bergantung atau membutuhkan
pertolongan maupun bantuan dari orang lain.9 Kata ini ditemukan dalam Mazmur 7:1 (7-2), ֱ‫ֹאלהי ַּֽ֭ ָּוה ְּיה‬
‫הושי ’ר ְּד ֶ֗֝ _פי ְּו _ה‬ ‫ח‬ ֣ (LAI: Ya TUHAN, Allahku, pada-Mu aku berlindung; selamatkanlah
‫ני מ‬. ‫צי ֵל‬. ‫ני‬. ‫ֻ֥ע‬ ‫ַך ִ֑סיתי‬
‫ב‬
‫ָכ ל ־‬

3
Louis Berkhof, Teologi Sistematika, (Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1997), hlm.
5

179.
4
Francis Brown, S. R. Driver dan Charles A. Briggs, “Heemin,” dalam The Brown-Driver-Briggs
Hebrew and English Lexicon, (Nashville: Hendrickson Publisher, 1996), hlm. 52.
5
Walter C. Kaiser, Teologi Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 2000), hlm. 126.
6
Millard J. Erickson, Christian Theology, (Grand Rapids: Baker Book House, 2000), hlm. 952.
7
Leon Morris, “Iman, Kepercayaan,” dalam Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, peny., H. A.
Oppusunggu dan yang lainnya, pen., M. H. Simanungkalit, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina
Kasih, 1999), hlm. 430.
8
Hoekema, Diselamatkan oleh Anugerah, pen., Irwan Tjulianto (Surabaya: Momentum, 2001),
hlm. 189.
9
Hebert L. Swartz, “Chasah,” dalam Theological Wordbook of the Old Testament, (Chicago:
Moody Press, 1988), hlm. 104.
6

aku dari semua orang yang mengejar aku dan lepaskanlah aku). Daud yang pada waktu itu dikejar
oleh musuhnya, Daud memohon kepada Allah agar menyelamatkannya. ’Pada-Mu aku berlindung’,
berarti Daud bukan percaya kepada manusia atau raja, namun kepada Allah. Hal ini berarti
bergantung pada pertolongan Allah adalah suatu tindakan yang unik bagi orang yang setia.10

Maka, kata ‘iman’ dalam Perjanjian Lama dapat merujuk pada suatu tindakan dalam menaruh
harapan, mempercayai, mencari perlindungan, bergantung dan bersandar sepenuhnya terhadap
Tuhan.

II. I. II. ETIMOLOGI/ TERMINOLOGI KATA IMAN DALAM PERJANJIAN BARU

Dalam Perjanjian Baru, kata ‘iman’ disebut dengan πίστις, (pistis), muncul pada ayat 10 πίστει
dengan bentuk kata benda datif tunggal feminin dan ayat 15 πίστεως dengan bentuk kata benda
genitif tunggal feminin. Namun, secara umum, kata πίστις muncul lebih dari 240 kali.11 Kata πίστις
memiliki dua arti dalam Yunani klasik. Pertama, berarti suatu kepercayaan atau pengakuan dalam
diri seseorang berdasarkan pengalaman pribadi atau penelitian yang telah dilakukan. Kedua, dapat
berarti suatu kepercayaan karena sudah terdapatnya praanggapan terlebih dahulu terhadap objek
yang dipercayainya.12

Dalam Perjanjian Baru, kata ‘iman’ memiliki posisi yang signifikan karena berkaitan dengan
latar belakang karya penyelamatan Allah melalui Yesus, sebab inti dari Perjanjian Baru yaitu
mengenai iman percaya kepada-Nya dan kepada Firman-Nya, bahwa Ialah Tuhan dan Juruselamat.
Sebagai contoh, kata kerja πιστεύω (pisteuo) – percaya, menurut Vine’s kata ini merujuk pada
keyakinan dan pengakuan terhadap wahyu dan kebenaran Allah (2 Tes.2:11-12) dan suatu
kepercayaan atau penyerahan diri secara total (2 Kor.5:7).13

Maka, kata ‘iman’ dalam Perjanjian Baru merujuk pada rasa percaya, dan iman menjadi dasar
kepercayaan dari kekristenan itu sendiri. Iman menjadi persyaratan mutlak untuk berjumpa dengan
Allah (Ibr.11:6). Ketika Mesias datang ke dunia untuk menggenapi nubuat nabi Perjanjian Lama,
maka iman menjadi sarana bagi umat Allah untuk mendapat keselamatan. Istilah ‘iman’ dalam

10
Hebert L. Swartz, “Chasah,” dalam Theological Wordbook of the Old Testament, (Chicago:
Moody Press, 1988), hlm. 104.
11
J.D. Douglas, dkk, Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih,
2008), hlm. 431.
12
Louis Berkhof, Teologi Sistematika, (Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1997), hlm.
181.
13
Gleason Archer dan yang lainnya, ”Pisteuo,” dalam Vine’s Complete Expository Dictionary of
Old and New Testament Word, (Nashville: Thomas Nelson Publisher, 1985), hlm. 222.
7

Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru merupakan istilah yang sama, namun dengan perbedaan
kehendak Allah saat ini diungkapkan dalam tulisan yaitu Kitab Suci, seperti Bultman dalam
tulisannya yaitu:

“Orang benar dalam Perjanjian Lama percaya kepada Allah atas


tindakan Allah yang telah dibuktikan, namun orang benar dalam Perjanjian
Baru percaya kepada Allah melalui karya Keselamatan oleh Yesus Kristus
yang telah tertulis dalam Injil. Maka, Firman Allah itulah yang merupakan
tindakan Allah, karena Yesus sendiri merupakan firman Allah. Iman,
kemudian merupakan rasa percaya tindakan eskatologis Allah melalui
Yesus dan harapan untuk perwujudan karya yang telah dimulai oleh Allah
itu sendiri.”14
II. II. ETIMOLOGI/ TERMINOLOGI KATA PENDERITAAN

Kata ‘penderitaan’ dalam Perjanjian Lama disebut dengan ָּ‫( לה ח‬halah) (Amos 6:6), sedangkan
dalam Perjanjian Baru ada beberapa kata yang dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi
‘penderitaan. Kata tersebut ialah πάθημα (pathema) dalam 2Tim.3:11, πάςχω (pascho) yang muncul
sebanyak 12 kali sebagai kata kerja dalam 1Pet.2:19; 20, 21, 23; 3:14, 17, 18; 4:1(2x), 15, 19; 5:10;
dan muncul sebanyak 4 kali sebagai kata benda dalam 1Pet.1:11; 4:13; 5:1, 9. 15 Lalu kata θλῖψις
(thlipsis) yang diterjemahkan dalam Bahasa Inggris menjadi affliction dengan konteks penggunaan
kata untuk menyatakan penderitaan yang mendatangkan sukacita yang luar biasa. Lalu kata διώκω
(dioko) ditemukan dalam 2Tim.3:12, yang berarti menderita karena dianiaya sebagai konsekuensi
dari melakukan kebenaran.16

II. II. 1. ETIMOLOGI/ TERMINOLOGI KATA PENDERITAAN DALAM


PERJANJIAN LAMA

Dalam Perjanjian Lama, pada mulanya refleksi ‘iman’ bangsa Israel tentang Allah pencipta dan
maksud-Nya, sebagaimana terungkap dalam kisah Yahwis tentang Firdaus (Kej. 2-3) dan dalam
naskah para iman tentang penciptaan (Kej. 1), menekankan bahwa tidak ada tempat bagi
penderitaan dalam maksud Allah. Dalam Kejadian 1 dikatakan sebanyak enam kali “Allah melihat
bahwa itu baik” dan satu kali “sungguh amat baik”. Jelaslah melalui hal ini dalam kisah Firdaus
tidak ada penderitaan. Penderitaan pertama kali muncul akibat dari kejatuhan manusia dalam dosa
sehingga mengakibatkan putusnya hubungan dengan Allah. Manusia menjadi menderita karena
mendapat

14
R. Bultman, ”Faith ,” dalam Theological Dictionary of the New Testament, (Grand Rapids:
William B. Eerdmans Publishing Company, 2000), hlm. 636.
15
Carl R. Holladay, A Critical Introduction to the New Testament, (Nashville: Abingdon Press,
2005),hlm. 697.
16
Meldayanti Berutu, “Makna Penderitaan Yesus”. Jurnal Areopagus. Vol.18, No. 2, September
2020, hlm. 76.
8

kutuk yang berasal dari Allah (Kej 3:16-17). Hal ini dipandang sebagai suatu implikasi dari konsep
‘pembalasan di bumi’, di mana setiap perbuatan jahat maupun baik yang dilakukan oleh manusia
akan dibalaskan ketika ia masih hidup. Hal ini diandaikan harus terjadi karena belum adanya
pemikiran mengenai kehidupan setelah kematian pada masa Perjanjian Lama.17 Maka konsep
penderitaan yang pertama dalam Perjanjian Lama dipandang sebagai hukuman atas dosa yang telah
dilakukan manusia.

Selain itu, penderitaan juga dapat dipandang sebagai suatu pengorbanan. Seperti yang dialami
oleh Nabi Yeremia. Ia mengalami penderitaan karena tugas kenabiannya. Mengapakah
penderitaanku tidak berkesudahan, dan lukaku sangat payah, sukar disembuhkan? Sungguh, Engkau
seperti sungai yang curang bagiku, air yang tidak dapat dipercayai.” (Yeremia 15:18). John J.
Collins menggambarkan penderitaan seperti ini seperti halnya orang benar yang diserahkan kepada
penderitaan dan dihitung sebagai orang jahat. Hidupnya diserahkan bagai korban bagi orang lain.18

Lalu, konsep penderitaan terakhir dalam Perjanjian Lama ialah penderitaan sebagai awal dari
kebaikan. Penderitaan dianggap sebagai pembuka jalan atas berkat Allah yang baru. Konsep ini
dapat dilihat melalui Yusuf maupun Ayub. Yusuf yang menderita karena dibenci dan dijual oleh
saudaranya, dan difitnah oleh istri Potifar, namun pada akhirnya Yusuf tetap diberkati Tuhan.
Sedangkan Ayub menerima ujian yang berat, ia kehilangan anak dan ternak serta menderita
penyakit kulit, namun ia tetap percaya kepada Allah dalam penderitaannya, dan Allah tetap
menyertainya bahkan mengembalikan apa yang sudah hilang daripada dirinya. Maka, melalui
konsep terakhir ini, pandangan Perjanjian Lama mengenai penderitaan semakin diperbarui, bahwa
ada suatu hal yang lebih bermakna akan adanya penderitaan, bukan sebagai suatu hukuman atas
dosa yang diperbuat, namun sebagai suatu ‘jalan’ kebaikan yang diberikan Allah di akhir bagi
manusia yang mengalami penderitaan itu, bahkan juga bagi orang di sekitarnya. Maka, penderitaan
bertujuan untuk memurnikan dan menumbuhkan iman seseorang.

Dalam Perjanjian Lama banyak diungkapkan tentang penderitaan yang dialami oleh manusia.
Bagian ini dapat ditemukan dalam Kitab Ayub, Yeremia, Ratapan, dan masih banyak terdapat
dalam syair seperti Mazmur. Sejarah Israel secara umum memang menceritakan tentang nasib baik
yang dialami oleh Bangsa Israel melalui pembebasan dari penindasan dan penderitaan, tetapi juga
dalam sisi lain mengungkapkan kemunduran dan penderitaan.19

17
C. Groenen, Pengantar ke dalam Perjanjian Lama, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm. 175.
18
Dianne Bergant dan Robert J. Karris (Ed.), Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, (Yogyakarta:
Kanisius, 2002), hlm. 543.
19
Douglas John Hall, God and Human Suffering,(U.S.A: Augsburg Publishing House, 1986). hlm.
32.
9

II. II. 1I. ETIMOLOGI/ TERMINOLOGI KATA PENDERITAAN DALAM


PERJANJIAN BARU

Kata ‘penderitaan’ dalam Perjanjian Baru berasal dari kata πάςχω (pascho) yang muncul
sebanyak 42 kali.20 Kata ini merujuk pada penderitaan yang dialami Kristus maupun, penderitaan
sebagai partisipasi orang percaya dalam konsekuensi mengikut Yesus. Dalam Perjanjian Baru,
penderitaan diawali oleh Yesus yang menerapkan peranan sebagai Hamba Tuhan (Kis. 3:13; 4:27).
Yesus adalah gembala yang menyerahkan nyawa-Nya bagi domba-domba (Yoh. 10:11-15), satu
orang yang mati untuk bangsa (Yoh. 11:50-52), memberikan nyawa-Nya bagi tebusan orang banyak
(Mat. 20:28; Mrk. 10:45). Penderitaan yang dialami Yesus sampai mati di kayu salib menjadi sarana
penyelamatan bagi seluruh umat manusia (2 Kor. 5:1). Paulus juga mengalami banyak penderitaan
dalam pekerjaan pelayanannya. Maka, penderitaan dapat merujuk pada suatu pengaruh yang datang
ke dalam diri seseorang untuk memberikan pengaruh baik bagi orang tersebut. 21 Seperti nabi dalam
Perjanjian Lama, Yesus mengalami penderitaan dalam rangka melaksanakan karya keselamatan
Allah (Luk.24:26). Yesus menggambarkan penderitaan yang dialami-Nya sebagai wujud kepada
kasih terhadap yang disebut-Nya sebagai sahabat.

Penderitaan yang paling terlihat ketika pada zaman Kekaisaran Romawi, di mana pada saat itu
banyak hukum mati yang diberikan kepada pengikut Kristus. Penderitaan orang Kristen pada masa
itu menjadi suatu kesempatan dalam memberikan kesaksian mengenai imannya terhadap Yesus.22
Seiring dengan perkembangannya, Morna D. Hocker berpendapat bahwa penderitaan dimaknai
sebagai awal dari kemuliaan manusia, atau dalam arti sebagai proses untuk membentuk nilai-nilai
Kristus dalam diri seseorang.23

III. POKOK-POKOK TEOLOGI

20
Everret F. Harrison, Baker's Dictionary of Theology, (Michigan: Baker Book House, 1988), hlm.
505.
21
D. Douglas, New Bible Dictionary, (England: Inter-Varsity Press, t.th.), hlm. 182.
22
G. W. H. Lampe, “Martyrdom and Inspiration” dalam William Horbury and Brian Mc Neil (Ed.),
Suffering and Martyrdom in the New Testament, (Cambridge: Cambridge University Press, 1981),
hlm. 119.
23
Morna D. Hooker, “Interchange and Suffering” dalam William Horbury and Brian Mc Neil (Ed.),
Suffering and Martyrdom in the New Testament, (Cambridge: Cambridge University Press, 1981),
hlm. 74.
10

Secara umum, teologi Paulus memberi perhatian khusus pada manusia baru dalam Kristus.
Penjelasannya mengenai anugerah Allah melibatkan perubahan dalam etika pribadi, karena manusia
baru itu mutlak harus mengembangkan tata nilai baru yang serasi dengan kedudukan baru mereka.24
Paulus tahu bahwa kematiannya sudah dekat (2Tim.4:6). Dia akan menanggung kematian dalam
pengakuannya terhadap Kristus sebagai persembahan anggur yang dicurahkan atas nama
menghormati Tuhan. Maka, surat 2 Timotius ini ditulis oleh Paulus ketika ia dipenjara di Roma
pada masa tahanan kedua pada tahun 65. Surat ini diantar oleh Tikhikus (4:12). Paulus merasa
bahwa keadaan di tempat tahanan kedua ini lebih berat daripada masa tahanan yang pertama,
karena ketika di tempat tahanan pertama, Paulus diperkenankan untuk tinggal di tempat tinggalnya
sendiri karena statusnya sebagai tahanan rumah. Namun, dimasa tahanannya yang kedua ini, ia
dibelenggu (1:16) dan diperlakukan sebagai orang jahat (2:9). Paulus dalam rasa kesepian dan
firasat atas kematiannya yang semakin dekat, ia amat merindukan kedatangan Timotius pada saat-
saat terakhir kehidupannya. Kerinduannya akan Timotius dan nasihatnya kepadanya untuk tetap
setia dalam pelayanannyalah menjadi motif-motif dari penulisan Surat 2 Timotius ini, maka dapat
terlihat bahwa gaya bahasa 2
Timotius terlihat lebih mesra daripada 1 Timotius.
Pengejaran yang teguh akan kebajikan terletak di pusat kehidupan Kristen, dengan semua
penyangkalan diri yang diperlukan dan dengan penderitaan yang pasti datang. Kitab Suci menjadi
pengingat bagi pengikut Kristus agar tidak boleh dikalahkan oleh kelemahan namun harus kuat
dalam hikmat Kristus. Dengan demikian, orang Kristen akan bertahan dalam ajaran yang
menyesatkan.

Allah Menyelamatkan Umat-Nya Yang Menderita Dalam Iman

 Penderitaan Sebagai Konsekuensi Orang Beriman

Paulus menyebut penderitaan dan sengsara yang dialaminya pada ayat 11 yaitu ketika ia dalam
perjalanan melakukan Pekabaran Injil yang pertama di mana ia dirajam hingga hampir mati
(Kis.13:50; 15:5). Kemungkinan atas peristiwa ini membuat Timotius berkesan kepada Paulus
karena ia telah melihat secara langsung ajaran Paulus yang sesuai dengan perilaku Paulus seperti
yang dikatakan oleh Paulus sendiri dalam ayat 10, yang dikatakan oleh Coffman, Paulus di sini
telah mencantumkan tujuh aspek kehidupannya yang menjadi contoh bagi Timotius untuk ditiru,
walau Timotius sendiri mungkin sepenuhnya telah mengenai Paulus yang memiliki tujuan hidup
yang jelas untuk memberitakan Injil.25 Donald Guthrie berpandangan di sini Paulus bukan bersikap
tidak sopan

24
Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 3, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hlm. 271.
11

25
John C. Sewell, Godlessness in the Last Days Paul’s Charge to Timothy – 2 Timothy 3:1-17,
(Nashville: Landmark Punlications), hlm. 17.
12

atau sombong terhadap Timotius karena sudah menceritakan kasih karunia Kristennya sendiri,
namun di sini Paulus mencoba untuk mengingatkan bahwa ia seseorang yang sebentar lagi mungkin
akan meninggal (bnd. 2 Tim.4:6) dan ingin mengambil pelajaran utama dari pengalamannya untuk
kepentingan regenerasi dari calon pekabar Injil yang lebih muda, yaitu Timotius. 26 Kemudian sejak
Pekabaran Injil kedua Timotius mulai ikut dengan Paulus dengan berangkat mulai dari Antiokhia 27
sebagai pembantunya yang setia (Kis.16:1-3). Paulus pun lalu menghibur Timotius dengan ‘semua
penganiayaan itu ku derita dan Tuhan telah melepaskan aku dari padanya’, yang dapat dimaknai
bahwa sama seperti Tuhan yang telah melepaskan Paulus, Ia pun juga akan melakukannya terhadap
Timotius.28

Kata ‘penderitaan’ pada ayat 11, kata παθήμασιν (pathemasin, sufferings, penderitaan)
merupakan bentuk kata benda yang ditunjukkan kepada Paulus yang menggambarkan bahwa ada
suatu tekanan/ penderitaan yang dialami oleh Paulus yang mengakibatkan kesengsaraan ketika ia
menjalani misi pelayanannya, namun hal ini justru membuat diri Paulus semakin kuat karena ia tahu
kepada siapa ia bersandar ketika melayani dan melakukan misi pemberitaan Injil.

Namun, dalam melakukan pelayanannya Paulus tidak menjadi tawar hati atau lelah dalam
menjalani berbagai penderitaan hingga bahkan hampir mati. Kata διωχθήσονται (diochthesontai,
will be persecuted, akan dianiaya) pada ayat 12, berarti menderita karena dianiaya sebagai
konsekuensi dari melakukan kebenaran. Chales Simeon mengatakan dalam bukunya yaitu
Expository Outline On the Whole Bible, bahwa untuk apa memiliki seluruh dunia dan semua
kebahagiaannya tetapi tanpa memiliki makna yang terkandung. Namun, memiliki kebahagiaan yang
terdapat dalam iman. Kebahagiaan sejati yang berada dalam jiwanya. Meskipun Paulus mengalami
penderitaan dan dianggap miskin, namun ia telah memperkaya orang banyak dengan iman melalui
pelayanannya.29

Maka, penderitaan bukan lagi sebagai bukti bahwa Allah tidak mengasihi manusia, namun
dibalik adanya penderitaan, manusia dapat berkesempatan mengenali kasih dan kesetiaan Allah

26
Donald Guthrie, The Pastoral Epistles – An Introduction And Commentary, (Leicester: Inter-
Varsity Press, 1989), hlm. 161.
27
Willi Marxen, Pengantar Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hlm. 7.
28
Dr. R. Budiman, Tafsiran Alkitab Surat-surat Pastoral I&II Timotius Dan Titus, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1997), hlm. 105-106.
29
Charles Simeon, Expository Outlines On the Whole Bible Vol 16, (Michigan: Baker Book House,
1988), hlm. 511.
13

terhadap manusia. Apabila melihat penderitaan dari perspektif Paulus, maka penderitaan dapat
menjadi bagian dari wujud kasih Allah kepada manusia.30

Kitab Suci Sebagai Penuntun Orang Beriman

Paulus juga menyebut ‘orang jahat dan penipu akan bertambah jahat’ pada ayat 13. Konteks
pada masa itu terdapat adanya ancaman terhadap ajaran Paulus yaitu adanya bidat atau ajaran sesat
yang berpotensi menggoyahkan iman jemaat. Tampaknya bidat Kristen ini bermacam-macam yang
dikatakan oleh Martin Dibelius dan Hans Conzelmann bahwa bidat yang diperangi oleh penulis ini
adalah sejenis Gnotisisme Yudais (Judaizing Gnoticism) yang hampir pasti muncul setelah masa
Paulus.31 Sehingga tidak cukup Timotius hanya mengikuti contoh yang diajarkan oleh Paulus (ayat
10 dan 11). Paulus menekankan kepada Timotius agar tetap berpegang teguh pada ajaran yang telah
ia terima, apalagi ia telah yakini ajaran tersebut kebenarannya. Lalu ditambahkan Paulus, ‘dengan
selalu mengingat orang yang telah mengajarkannya kepadamu’, orang-orang yang telah
mengajarkan ajaran tersebut yang dimaksudkan oleh Paulus ialah bukan orang yang sembarangan,
melainkan orang yang dipercayai oleh Timotius sepenuhnya, yaitu neneknya Lois, ibunya Eunika,
dan bapak rohaninya Paulus. Mereka semua adalah orang yang dikasihi oleh Timotius, maka, ia
akan selalu mengingat ajaran-ajaran yang telah diterima dan tidak mudah untuk meragukan atau
bahkan melepaskan ajaran tersebut.32

Selanjutnya, Paulus menasihati Timotius agar setia kepada ajaran yang benar. Terlebih Paulus
mengerti mengenai kebiasaan Yahudi yaitu anak-anak Yahudi sejak umur 5 tahun sudah diajarkan
pengetahuan kitab suci di sinagoge. Pengenalan kitab suci sejak kecil pasti akan berakar dalam dan
tidak mudah goyah oleh karena adanya ajaran sesat. Kata ‘kitab suci’ pada ayat 15, yaitu kata
γράμματα diterjemahkan dalam bahasa Inggris writings dan dalam bahasa Indonesia berarti tulisan
atau kitab suci. Namun yang dimaksud dengan kitab suci di sini adalah Perjanjian Lama. Hal ini
karena Perjanjian Baru sama sekali belum ada, karena Injil sendiri baru ditulis setelah surat-surat
Paulus. Mungkin ada beberapa catatan tentang perbuatan dan perkataan Yesus, namun pengetahuan
tersebut kebanyakan berasal dari tradisi lisan saja.33

30
Leon Morris, Teologi Perjanjian Baru, (Malang: Yayasan Penerbit Gandum Mas, 1996), hlm.
115.
31
David L. Bartlett, Pelayanan dalam Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), hlm.
196.
32
Dr. R. Budiman, Tafsiran Alkitab Surat-surat Pastoral I&II Timotius Dan Titus, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1997), hlm. 107.
33
Drs. M.E. Duyverman, Pembimbing Ke Dalam Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1992), hlm. 92.
14

Pada ayat 15, πίστεως τῆς ἐν Χριστῷ Ἰησοῦ, menunjukkan bahwa iman dalam Yesus berarti
percaya bahwa Injil tentang-Nya adalah kebenaran dengan komitmen kesetiaan terhadap Yesus.
Konteks penggunaan kata πίστις dalam Perjanjian Baru dapat memiliki arti yang berbeda. Sebagai
contoh, dalam Roma 12:6, “Jika karunia itu adalah untuk bernubuat baiklah kita melakukannya
sesuai dengan iman kita.” Maka, kata πίστις di sini merujuk pada sifat kesanggupan. Sedangkan
dalam 2 Tim.3:15, “Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat
memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus
Yesus.”, kata ‘iman’ dapat merujuk pada doktrin maupun ajaran yang diteruskan generasi ke
generasi, maupun ajaran untuk menerima karya penebusan yang dilakukan oleh-Nya.

Dilanjutkan oleh Paulus bahwa kitab suci memberi σοφίζω (sophizo, wise, bijak/ hikmat) dan
menuntun kepada σωτηρία (soteria, salvation, keselamatan). Namun, bukan berarti setiap orang
yang membaca Perjanjian Lama memperoleh keselamatan, melainkan jalan dalam Perjanjian Lama
yang menuju keselamatan, hanya terbuka oleh iman kepada Yesus Kristus. Artinya, ketika
seseorang menerima Yesus dalam imannya, maka ajaran dalam Perjanjian Lama yang menuju
kepada Yesus akan menjadi jelas dan menghasilkan perilaku yang tidak bercacat (ay16-17).34

Hal ini dapat terjadi karena dikatakan pada ayat 16, “segala tulisan yang diilhamkan Allah”,
kata ‘diilhamkan’ dalam bahasa Yunani yaitu θεόπνευστος (theopneustos, God breathed, Tuhan
menghembuskan (nafas)), secara lebih harfiah, “Semua Kitab Suci dihembuskan oleh Allah.”
Ketika kita berbicara, kata-kata itu adalah “nafas”—nafas yang dikondisikan oleh pikiran yang
berkata-kata tersebut, tercurah dalam ucapan. Begitu juga dengan tulisan kitab suci, Allah
menghembuskan kata- kata-Nya. Keyakinan bahwa Kitab Suci “dihembuskan oleh Allah” dengan
sempurna mengungkapkan pandangan orang-orang Yahudi abad pertama tentang tulisan-tulisan
Perjanjian Lama.35 Maka Allah mengembuskan Roh-Nya ke dalam penulis agar Roh Allah lah yang
berkuasa dan memakai penulis untuk menyampaikan Firman Tuhan, dan Firman Tuhan itu
bermanfaat bagi manusia. Dan manfaat itu diterangkan dengan dua segi, yaitu segi ajaran dan
kelakuan. Segi ajaran terlihat dalam kata διδασκαλία (didaskalia, instruction, ajaran), yaitu ajaran
mengenai keselamatan dan untuk menyatakan kesalahan. Segi kelakuan terlihat dalam kata
ἐπανόρθωσις (epanorthosis, correction, memperbaiki (kelakuan)) dan παιδείαν τὴν ἐν δικαιοσύνῃ
(paideian ten en dikaiosune, training in righteousness, melatih/ mendidik dalam kebenaran),
supaya kelakuan orang tersebut

34
Dr. R. Budiman, Tafsiran Alkitab Surat-surat Pastoral I&II Timotius Dan Titus, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1997), hlm. 107.
35
R. Kent Hughes, 1-2 Timothy and Titus, (USA: Crooway, 2001), hlm. 287.
15

berjalan di jalan yang sesuai dengan kehendak Tuhan.36 Ayat 16 ini juga terlihat paralel dengan
Efesus 6:4 mengenai Tuhan yang sesungguhnya mendidik secara langsung terhadap anak-anak
melalui perkataan oleh orang tua. Dan kitab suci juga melakukan peran tersebut, yaitu untuk
mengajar, memperbaiki kelakuan, serta untuk mendidik orang dalam kebenaran dari Allah.37

Kata θεόπνευστος juga menyiratkan bahwa Paulus menekankan kebutuhan kita akan Roh untuk
interpretasi yang benar dari kitab suci (bnd. 1Kor.3:6) dan mengatakan dalam Roma 15:4 bahwa
'apa yang telah ditulis sebelumnya' ditulis untuk mengajar kita dan untuk memperkuat harapan kita
akan keselamatan oleh Yesus (karena kita melihat tulisan suci sudah digenapi dengan tepat di dalam
Kristus).38

IV. HUBUNGAN DENGAN PERJANJIAN LAMA

Paulus sangat berpegang pada Perjanjian Lama39, hal ini terlihat dari seringnya Paulus
mengutip dari Perjanjian Lama, dan selain itu juga karena latar belakangnya Yahudinya yang cukup
kuat, sehingga ia sependapat dengan orang-orang Yahudi mengenai otoritas serta pengilhaman
Perjanjian Lama dan hal ini terlihat dalam surat-surat yang ditulisnya. Rumusan Paulus mengenai
‘segala tulisan’ dalam kalimat di ayat 16, secara jelas dia menyamakan Perjanjian Lama dengan
suara Tuhan (bnd. 2Kor.6:2 dengan Yes.49:8).40

Pengalaman penderitaannya bukan hanya terjadi dalam masa Perjanjian Baru, namun juga
dalam Perjanjian Lama. Secara umum ada dua macam penderitaan yang dikenal dalam Alkitab,
yaitu penderitaan karena kemanusiaan, dan yang didatangkan atas umat Allah, karena iman orang
Yahudi dan Kristen. Yang pertama, penderitaan karena kemanusiaan mencakup derita sakit, derita
kehilangan, derita kekhawatiran dan depresi. Yang kedua, derita yang didatangkan atas umat Allah,
disebabkan oleh penganiayaan atau pengekangan diri. Beberapa bagian Perjanjian Lama
menyatakan bahwa sebagian penderitaan manusia disebabkan oleh dosa (Kej.3:14-19). Seperti
misalnya pembuangan bangsa Israel diartikan sebagai hukuman atas dosa bangsa tersebut (2
Raj.17). Ada lagi penderitaan yang diterima demi kebaikan, yaitu Ayub yang harus menderita,
namun dalam

36
Dr. R. Budiman, Tafsiran Alkitab Surat-surat Pastoral I&II Timotius Dan Titus, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1997), hlm. 108.
37
Geoffrey W. Bromiley, Theological Dictionary of The New Testament, (Grand Rapids: The
Paternoster Press, 1985), hlm. 679.
38
A. R. C. Leaney, The Epistle To Timothy, Titus, Filemon – Introduction and Commentary, (Great
Britain: Northumberland Press, 1960), hlm. 99.
39
Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 1, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), hlm. 131.
40
Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 3, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hlm. 333-334.
16

penderitaannya ia mendapat jawaban dari Allah sendiri, dan Ayub harus tenang dan
menyerahkannya pada hikmat Allah.41

Selain itu, dalam Mazmur 73, penyair menceritakan penderitaannya yang tanpa sebab
sedangkan orang yang hidup dalam dosa malah memiliki hidup tanpa kesusahan. Pada saat itulah
Allah mulai menuntun si penyair masuk dalam keintiman dengan-Nya, dan di situlah pemazmur
menjadi tenang (ay. 21-28). Pemazmur tidak lagi mempersoalkan keadilan dan kasih-Nya sebab
kedekatan dengan Tuhan akan menghilangkan segala keragu-raguan mengenai cara Allah dalam
bertindak. Begitu juga dengan Yeremia yang mengalami hal yang sama, di mana ia berpegang
dalam keteguhan dan janji kepada Allah (15:20-21); keyakinan akan kedaulatan Tuhan (1:7)
sehingga menuntun dalam ketenangan yang akan dapat bertahan dalam penderitaan dan dalam
menghadapi krisis (29:11-14).

Selain mengenai penderitaan, hal yang dapat dihubungkan dengan Perjanjian Lama ialah misi
pekabaran Injil Paulus mengenai keselamatan oleh iman kepada Yesus Kristus yang kaitannya
dalam Perjanjian Lama dikatakan bahwa kurban merupakan sarana yang memampukan manusia
untuk menghampiri Allah. Kurban tersebut dikatakan dalam sistem imamat Lewi terdapat lima jenis
yang berbeda-beda, yaitu kurban bakaran, kurban keselamatan, kurban sajian, kurban penghapus
dosa, dan kurban penebus kesalahan. Yang semuanya dimaksudkan untuk memudahkan manusia
dalam berhubungan dengan Allah.42 Kurban dalam Perjanjian Lama kemudian berganti menjadi
Kurban oleh Allah sendiri melalui kematian Yesus Kristus. Maka setiap orang yang beriman kepada
Yesus Kristus, ia akan dapat menerima keselamatan Allah. Selain itu, kata θεόπνευστος
(theopneustos, God breathed, Tuhan menghembuskan (nafas)) menggambarkan tulisan-tulisan
Perjanjian Lama yang memiliki kuasa ilahi. Dalam Yudaisme, Allah menuliskan titah pada loh batu
(Kel.24:12) dan mengilhami para nabi (Bil.24:2). Hukum yang berasal dari Tuhan yang dikatakan
dan ditulis langsung oleh Tuhan memiliki otoritas ilahi tertinggi, sedangkan yang ditulis oleh orang
yang diilhami Tuhan, memiliki otoritas sekunder.43

V. PENUTUP

Surat 2 Timotius 3:10-17 membahas mengenai penderitaan yang dialami oleh Paulus ketika ia
melakukan misi pelayanannya. Paulus menekankan kepada Timotius bahwa kesetiaan terhadap

41
W.R.F. Browning, Kamus Alkitab, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), hlm. 80.
42
Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 2, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), hlm. 48.
43
Geoffrey W. Bromiley, Theological Dictionary of The New Testament, (Grand Rapids: The
Paternoster Press, 1985), hlm. 806.
17

Kristus, tidak membuat orang percaya menjadi terhindar dari penderitaan maupun penganiayaan.
Penderitaan dengan bentuk apa pun itu tidak dapat dihindarkan sekalipun oleh orang yang beriman
kepada Yesus Kristus. Kata ‘iman’, merujuk pada keyakinan dan pengakuan terhadap wahyu dan
kebenaran Allah (2 Tes.2:11-12) dan suatu kepercayaan atau penyerahan diri secara total (2
Kor.5:7).44 Seperti penderitaan yang dialami oleh Paulus, kata διωχθήσονται (diochthesontai, will be
persecuted, akan dianiaya) pada ayat 12, berarti menderita karena dianiaya sebagai konsekuensi dari
melakukan kebenaran. Namun, dalam melakukan pelayanannya Paulus tidak menjadi tawar hati
atau lelah, ia tetap bahagia walau mengalami penderitaan dan dianggap miskin, tetapi ia telah
memperkaya orang banyak dengan iman melalui pelayanannya. Maka, penderitaan bukan lagi
sebagai bukti bahwa Allah tidak mengasihi manusia, namun dibalik adanya penderitaan, manusia
dapat berkesempatan mengenali kasih dan kesetiaan Allah terhadap manusia.

Dari pengalaman Paulus, Paulus lalu mengingatkan kepada Timotius bahwa ‘orang jahat dan
penipu akan bertambah jahat’ pada ayat 13, maka Timotius perlu untuk tetap berpegang teguh pada
ajaran yang telah ia terima baik secara lisan maupun tulisan (dari kitab suci, orang tua maupun dari
Paulus sendiri- sosok yang dihormati Timotius), apalagi ia telah yakini ajaran tersebut
kebenarannya. Dilanjutkan oleh Paulus bahwa ajaran tersebut (kitab suci) memberi σοφίζω
(sophizo, wise, bijak/ hikmat) dan menuntun kepada σωτηρία (soteria, salvation, keselamatan).

Seperti penderitaan yang dialami oleh Paulus, maka penderitaan perlu dimaknai secara positif
dengan tetap teguh dalam iman atas apa pun yang terjadi dalam hidup.45 Hal ini perlu dilakukan
karena manusia yang terbatas tidak akan bisa memahami kesempurnaan Allah yang tidak terbatas.
Karena manusia ciptaan tidak tahu apa pun mengenai tentang segala sesuatu yang telah diciptakan
daripada Allah itu sendiri yang telah ia ciptakan dan nyatakan dalam Firman-Nya.46

44
Gleason Archer dan yang lainnya, ”Pisteuo,” dalam Vine’s Complete Expository Dictionary of
Old and New Testament Word, (Nashville: Thomas Nelson Publisher, 1985), hlm. 222.
45
Dr.Hadiwijono Harun, Iman Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), hlm. 227.
46
David L. Baker, Mari Mengenal Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2013), hal 94-
95.
18

DAFTAR PUSTAKA

Archer, Gleason dan yang lainnya, ”Pisteuo,” dalam Vine’s Complete Expository Dictionary
of Old and New Testament Word, Nashville: Thomas Nelson Publisher, 1985.
Baker, David L., Mari Mengenal Perjanjian Lama, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2013.

Bartlett, David L., Pelayanan dalam Perjanjian Baru, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011.

Bergant, Dianne, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Berkhof, Louis, Teologi Sistematika, Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1997.

Berutu, Meldayanti, “Makna Penderitaan Yesus”. Jurnal Areopagus. Vol.18, No. 2, September
2020.
Bromiley, Geoffrey W., Theological Dictionary of The New Testament, Grand Rapids: The
Paternoster Press, 1985).
Brown, S. R., Francis, “Heemin,” dalam The Brown-Driver-Briggs Hebrew and English
Lexicon, Nashville: Hendrickson Publisher, 1996.
Browning, W.R.F., Kamus Alkitab, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007.

Budiman, Dr. R., Surat-surat Pastoral I&II Timotius dan Titus, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1997.
Tafsiran Alkitab Surat-surat Pastoral I&II Timotius Dan Titus, Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1997.
”Faith ,” dalam Theological Dictionary of the New Testament, Grand Rapids:
William B. Eerdmans Publishing Company, 2000.
Douglas, D., New Bible Dictionary, England: Inter-Varsity Press.
God and Human Suffering, U.S.A: Augsburg Publishing House, 1986.
Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2008.
Duyverman, Drs. M.E., Pembimbing Ke Dalam Perjanjian Baru, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1992.
Erickson, Millard J., Christian Theology, Grand Rapids: Baker Book House, 2000.

Guthrie, Donald, Teologi Perjanjian Baru 1, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.
Teologi Perjanjian Baru 2, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.
Teologi Perjanjian Baru 3, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.
19

The Pastoral Epistles – An Introduction And Commentary, Leicester: Inter-


Varsity Press, 1989.
Groenen, C., Pengantar ke dalam Perjanjian Lama, Yogyakarta: Kanisius, 1980.

H. Lampe, G. W., “Martyrdom and Inspiration” dalam William Horbury and Brian Mc Neil
(Ed.), Suffering and Martyrdom in the New Testament, Cambridge: Cambridge
University Press, 1981.
Harrison, Everret F., Baker's Dictionary of Theology, Michigan: Baker Book House, 1988.

Harun, Dr. Hadwijono, Iman Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007.

Hoekema, Diselamatkan oleh Anugerah, Surabaya: Momentum, 2001.

Holladay, Carl R., A Critical Introduction to the New Testament, Nashville: Abingdon Press,
2005.
Hooker, Morna D. , “Interchange and Suffering” dalam William Horbury and Brian Mc Neil
(Ed.), Suffering and Martyrdom in the New Testament, Cambridge: Cambridge
University Press, 1981.
Hughes, R. Kent, 1-2 Timothy and Titus, USA: Crooway, 2001.

Kaiser, Walter C., Teologi Perjanjian Lama, Malang: Gandum Mas, 2000.

Leaney, A. R. C., The Epistle To Timothy, Titus, Filemon – Introduction and Commentary,
Great Britain: Northumberland Press, 1960.
Marxen, Willi, Pengantar Perjanjian Baru, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.

Morris, Leon, “Iman, Kepercayaan,” dalam Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, Jakarta:
Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1999.
Teologi Perjanjian Baru, Malang: Yayasan Penerbit Gandum Mas, 1996.
Sewell, John C., Godlessness in the Last Days Paul’s Charge to Timothy – 2 Timothy 3:1-17,
Nashville: Landmark Punlications.
Simeon, Charles, Expository Outlines On the Whole Bible Vol 16, Michigan: Baker Book
House, 1988.
Swartz, Hebert L., “Chasah,” dalam Theological Wordbook of the Old Testament, Chicago:
Moody Press, 1988.

Anda mungkin juga menyukai