Anda di halaman 1dari 7

Tugas Teologi Kontekstual II

“Natural Disasters and Christian Theology – David Chester”

Oleh:

Kelompok 4 (VII/B)

Meickjevon Taaek
Meo Simon Petrus Asbanu
Mutiara Anastasya Doek
Ningsih Diliyanti Benu
Try S. P. R. Tarully
Yeli C. M. Wadu

FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN ARTHA WACANA
KUPANG
2019
PENDAHULUAN

Isu penderitaan dan hakekat Tuhan sering dipertanyakan oleh banyak orang. Apakah
benar Tuhan itu maha kuasa, pemurah dan maha kasih? Lalu kalau memang begitu mengapa
Tuhan membiarkan terjadinya bencana dan adanya penderitaan. Pertanyaan-pertanyaan ini selalu
dilontarkan manusia ketika mengalami penderitaan. Respon ini pun diberikan oleh para ahli dan
filsuf yang mencoba untuk menjawab berbagai persoalan ini, baik menurut ilmu pengetahuan
maupun dari segi keagamaan. David Hume dalam buku Dialogues Concerning Natural Religion
mengutip argumen Epikourous yang menyatakan, Apakah Tuhan berniat mencegah kejahatan,
namun tidak dapat? Apa Ia dapat, tapi tidak berniat. Apa Ia dapat dan niat? Maka dari manakah
datangnya kejahatan?

David Chester, seorang Profesor ilmu lingkungan pun turut memberi pikirannya tentang
isu ini. Ia telah menangani masalah bencana alam dan respon terhadapnya, termasuk respon
agama selama ± tiga puluh lima tahun, khususnya terkait dengan gempa bumi dan letusan
gunung berapi di Italia dan Portugal. Pada bagian ini kami akan membahas tentang bencana alam
dan tanggapan teologi Kristen, dari tulisan David Chester: “Natural disasters and Christian
Theology” Pertanyaan retoris untuk dipikirkan adalah “Jika Tuhan ada, maka mengapa ada
kejahatan?”
PEMBAHASAN

Penderitaan yang dialami oleh orang-orang yang dianggap tidak bersalah menjadi suatu
isu utama yang dibahas oleh agama-agama di dunia. Khususnya terkait dengan konsep Allah
yang Maha kasih dan Maha Tahu di tengah-tengah penderitaan. Gottfried Wilhem Leibniz pada
tahun 1710 memperkenalkan istilah “Teodice” sebagai suatu upaya memahami alasan mengapa
orang-orang yang tak berdosa menderita. Teodice berasal dari bahasa Yunani Theos yang artinya
Tuhan, dan dike artinya keadilan. Jadi, Teodice adalah keadilan, kebenaran atau pembenaran
Allah, atau suatu usaha yang membenarkan tindakan-tindakan Allah. Upaya untuk memahami
isu penderitaan ini pun dilakukan oleh para filsuf dan teolog, seperti Augustine, Irenaeus dan
beberapa penulis terbesar dari sejarah Kristen kemudian, seperti Immanuel Kant, David Hume,
Feodor Dostoievsky, Karl Barth, CS Lewis, John Hick, Jürgen Moltmann, Alvin Plantinga,
James Crenshaw, Dorothee Sölle dan Jon Sobrino. Diskusi tentang teodice akhir-akhir ini tidak
hanya terkait dengan bencana alam, penyakit, dan kehilangan, tetapi mengenai penderitaan yang
disebabkan oleh perbuatan manusia kepada sesamanya.

Leibniz membagi teodice dalam tiga model. Pertama, berasal dari pemikiran Agustinus
bahwa manusia memiliki kehendak bebas untuk melakukan segala sesuatu, jadi penderitaan yang
dihadapi oleh manusia itu berasal dari manusia itu sendiri. Penderitaan merupakan hasil dari
aktivitas manusia dan mencerminkan keberdosaan manusia. Kedua, berasal dari pemikiran
Irenaeus, yakni terlepas dari penderitaan yang disebabkan oleh bencana, bumi adalah Dunia
Kemungkinan Terbaik (Best Possible World) yang dapat diciptakan. Jadi, penderitaan itu terjadi
untuk mencapai kebaikan yang lebih besar (misalnya tanpa gempa bumi, aktivitas tektonik tidak
akan mungkin terjadi dan tanpa aktivitas vulkanik, tidak ada atmosfer yang akan terbentuk).
Ketiga, penderitaan terjadi karena penghukuman Allah.

Narasi-narasi Alkitab menggambarkan keadaan Timur Tengah yang sering sekali


mengalami bencana-bencana alam, seperti kekeringan, badai, banjir, gempa dan aktivitas
vulkanik. Efek dari aktifitas bencana alam ini yang membuat para penulis Alkitab mendukung
teodisme, yakni bahwa bencana alam merupakan hukuman atas keberdosaan manusia oleh Tuhan
yang seringkali murka. Penulis Perjanjian Lama juga sering menggunakan citra bencana untuk
menggambarkan teofani. Teofani berarti Allah yang menyatakan diri. Teofani ini disoroti sebab
peristiwa bencana yang terjadi juga hendak menunjukkan bahwa Tuhan sedang sementara
menyatakan diriNya. Bencana-bencana alam yang dahsyat seperti gempa bumi, menunjukkan
bahwa kita hampir tiba pada akhir zaman. Pandangan in disebut teofani eskatologis.

Agama Kristen pada abad ke-19 mulai berkembang menjadi salah satu agama terbesar di
dunia. Pada saat yang sama terjadi bencana-bencana besar yang membawa pengaruh pada
pemahaman bahwa fenomena alam merupakan wujud dari kekuatan Ilahi yang dikirim sebagai
upah dari dosa manusia dan akhir dari hidup manusia di dunia. Kedua pemahaman ini
berkembang di kalangan Kekristenan sebagai pemahaman manusia tentang bahaya alam.
Penyebaran agama Kristen melampaui penjelasan yang natural tentang bencana alam.

Abad pencerahan (abad ke-18) ketika berkembang, penjelasan agama tentang bencana
alam kurang menonjol, tetapi lebih dilihat dari sudut pandang rasio. Pada masa itu penjelasan
agama tentang bencana alam menjadi kurang menonjol. Banyak orang bertanya apakah bencana-
bencana itu disebabkan oleh hukuman Tuhan ataukah ada penjelasan yang lebih ilmiah. Bencana
alam menimbulkan debat antara mereka yang melihat karya Tuhan dalam setiap bencana yang
terjadi. Para akademis mengusulkan penjelasan yang natural. Bencana alam yang terus terjadi
menimbulkan banyak komentar. Sehingga ada anggapan bahwa gempa bumi sebagai bentuk
kemarahan Ilahi atas orang-orang yang berdosa. Ada beberapa ahli yang memberikan
pendapatnya mengenai apa itu bencana. Pastor Gabriel Malagrida, seorang Jesuit, mengklaim
bahwa gempa bumi merupakan hukuman untuk menghadapi pengadilan. Sementara John Wesley
menyatakan bahwa bencana terjadi pada peristiwa pengadilan (Inkuisisi). Pada akhir abad ke-18,
Jean Rousseau menyatakan memberikan suatu pemahaman yang baru mengenai bencana, yakni
bencana merupakan konstruksi sosial: melibatkan interaksi antara gempa bumi dan semua orang
yang rentan, tanpa keterlibatan ilahi. Jika gempa bumi menghancurkan sebuah kota, maka
muncul persoalan praktis yang mendesak yaitu bagaimana cara menyelamatkan, memberi
makan, menampung, dan menghibur para korban merehabilitasi yang terluka dan memuji yang
mati demi rahmat Allah. Namun kurang memberi konstruksi tentang cara meminimalkan efek
dari bencana.

Narasi Alkitab banyak menjelaskan tentang tema penderitaan yang bertujuan moral.
Misalnya, Ibrani 12 yang menyebutkan istilah Yunani Paideia yang diterjemahkan sebagai
disiplin, yang mengandung teguran atau hukuman yang digunakan untuk mendukung sebuah
teori, tetapi paideia memiliki pengajaran positif dan pelatihan yang diberikan orang tua untuk
anaknya; Begitu pula 1 Petrus 4: 12-19 menyatakan penderitaan untuk membuktikan realitas
iman, untuk berbagi penderitaan Kristus dan untuk memuliakan Tuhan. Contohnya, para biksu
dan pertapa berpendapat bahwa penderitaan yang terjadi pada diri mereka merupakan sarana
disiplin spiritual.

Beberapa ahli turut memberi pendapat, seperti John Hick yang berpendapat bahwa
penderitaan adalah pengalaman belajar dan proses 'membuat jiwa', yang juga melibatkan dan
menunjukkan 'kemuliaan Tuhan' dalam cinta kasih dan pemberian diri untuk orang lain dan ini
merupakan nilai tertinggi dari semuanya. Austin Farrer pun berpendapat bahwa akibat dari
bencana alam membawa penderitaan akibat dari kelalaian manusia sendiri. Tidak saja
memikirkan bencana itu terjadi disebabkan karena apa? Namun, lebih pada langkah praktis untuk
meminimalisir dampak dari bencana alam. Bagaimana cara mereka mengobati yang terluka,
memberi tumpangan serta menguatkan para korban.

Bencana alam menunjukkan bahwa karya kreatif Allah tidak pernah berhenti. Selalu ada
sesuatu yang dilakukan untuk menyelamatkan dengan cara yang tak dapat dijangkau oleh akal
manusia. Tanggapan dari golongan rohaniawan Kristen dan umat awam terhadapkan gempa
bumi dan letusan gunung berapi, ialah mencerminkan makna ganda. Pertama, mengenali
peristiwa alam itu sebagai hasil dari proses alami. Kedua, pada saat yang sama melihat bencana
alam sebagai panggilan untuk doa syafaat bagi para korban dan juga aksi sosial Kristen.

Pada awal abad 20 penelitian tentang bencana dilakukan dengan penekanan pada campur
tangan ilmiah dan teknologi dalam mengurangi dampak bencana alam. Pendekatan ini
diperkenalkan oleh Gilbert Fowler White, serta didukung oleh Chester. Dengan sebuah studi
teologi tentang bahaya alam yang berfokus secara khusus dimana, model terbaik dari semua yang
terjadi pada dua abad sebelumnya. Studinya berpusat pada pergeseran pikiran pada bidang
akademik.

Pendekatan yang dipakai untuk menanggapi berbagai bencana ini dipengaruhi oleh
berbagai faktor, seperti sistem kepercayaan, harta kekayaan, pengalaman hidup dan faktor
psikologis, serta manusia yang rentan. Sementara di beberapa negara berkembang, faktor-faktor
seperti kemiskinan, marginalisasi, kurangnya kesiapan terhadap datangnya bencana, seperti
gempa bumi pun turut berpengaruh. Sehingga dampak dari terjadinya bencana biasanya terbagi
atas dua, yakni penderitaan bahkan kematian bagi kaum miskin dan kerugian finansial bagi orang
kaya.

Kemudian terjadi pergeseran paradigma tentang Teodice. Sejak tahun 1980 para teolog
menemukan konsep baru mengenai teodice dengan kebijakan-kebijakan yang baru yang dikenal
dengan teodice pasca-Leibnitzian. Pertama Lukas 13:4-5 menggambarkan peristiwa kematian
orang-orang yang tertimpa menara dekat Siloam. Yesus berhadapan dengan pandangan umum
orang Yahudi yang memandang orang yang mati dalam suatu bencana disebabkan oleh dosa yang
besar. Namun, Yesus memperkenalkan gagasan tentang kesadaran atau rasa bersalah yang
bersifat kolektif dan bukan pribadi sehingga menjadi tanggung jawab bersama.

Kedua, menekankan pada sosok Allah yang imanen di tengah persoalan manusia.
Terrence Tilley berpendapat bahwa pendekatan Leibnitzian membuat tanggung jawab manusia
atas penderitaan yang dialami menjadi berkurang dan memusatkannya kepada tanggung jawab
Tuhan. Argumen ini pun terlihat dalam karya Jesuit Raymund Schwager (1987), yang
menunjukkan adanya kecenderungan dalam Kekristenan untuk menjadikan Allah kambing hitam
untuk segala macam kegagalan manusia. Akhirnya kehendak bebas 'klasik' Leibnitzian, dengan
kebebasan manusia tidak hanya diekspresikan pada tingkat individu tetapi juga secara kolektif
menjadi apa yang disebut dengan dosa struktural yang akhirnya membuat orang tunduk dengan
penderitaan yang dialami.

Ketiga, teodice pasca-Leibnizian menekankan imanensi Allah terhadap transendensi ilahi,


dengan penyaliban Yesus dan doktrin Trinitas dipandang sebagai sangat penting. Menurut
theodicy liberasionis, ‘Yesus Kristus yang disalibkan' menunjukkan bagaimana Allah menderita
mewakili dunia. Jürgen Moltmann menganggap “Tuhan tidak mungkin tidak akan berarti Tuhan
yang diungkapkan dalam Yesus Kristus. Apabila Tuhan yang penuh kasih itu berpartisipasi dalam
penderitaan makhluk-makhluknya dan mungkin adalah penderita terbesar dari semuanya”
(Macquarrie, 2003 hlm. 46). Doktrin Tritunggal digunakan untuk menunjukkan bagaimana Allah
berbagi, tidak hanya dalam penderitaan putra-Nya di salib kalvari, tetapi juga dengan semua
umat manusia yang menderita. Teodice liberasionis pada akhirnya disebut pula teodice parsial,
karena kemungkinan kerugian akibat bencana tidak dapat sepenuhnya dihilangkan. Bahkan
dalam masyarakat yang paling terencana pun orang masih menderita.
PENUTUP
Teodice adalah suatu upaya untuk menjawab pertanyaan mengapa Allah yang baik
mengijinkan terjadinya kejahatan. Teodice merupakan usaha untuk mempertahankan eksistensi
Allah di tengah-tengah penderitaan yang dialami manusia. Berbagai pandangan para filsuf dan
teolog menyatakan tentang hakekat Allah yang selalu benar.

Kami berefleksi bahwa teodice merupakan suatu cara menyatakan kebenaran Allah, di
mana Allah tidak pernah bersalah, bahkan di tengah bencana sekalipun. Pengertian teodice secara
teori disetujui oleh kami, tetapi apabila melihat dari realita masa kini, maka kami pun bertanya
“Adilkah Allah ketika bencana terjadi pada orang-orang yang tak bersalah?” Bebicara tentang
Teodice atau “Keadilan Allah” secara teori memang menarik dan dibenarkan. Namun, bagi kami
sulit untuk memahami dan menerima kenyataan ketika menghadapi bencana dan hal itu
merupakan hal yang wajar, lalu dengan serta merta menyatakan bahwa itulah keadilan Allah.

Kejahatan yang ada di dunia ini merupakan akibat dari perilaku manusia. Jika kita
mengatakan bahwa Allah tidak bertanggung jawab terhadap kejahatan, maka kita telah salah
memahami Allah, sebab kejahatan bukan hasil perbuatan Allah. Allah yang Maha Kuasa justru
menuntut pertanggung jawaban dari manusia yang melakukan kejahatan dengan cara
menyatakan keadilan.

Anda mungkin juga menyukai