Anda di halaman 1dari 6

MISI SEBAGAI INKULTURASI

Perubahan-perubahan Akomodasi dan Pempribumian

Inkulturasi mewakili suatu model teologi kontekstual penting kedua (bnd. Ukpung 1987) dan,
seperti teologi pembebasan, masih baru meskipun bukan tidak ada presedennya dalam sejarah
Kristen. Inkul turasi adalah pola-pola yang dengannya sifat yang ganda dari kekristen. tenan
masa kini menampakkan dirinya. Bahkan istilahnya sendiri baru. Pierre Charles
memperkenalkan konsep "enkulturasi", yang lazim dalam kalangan antropologi budaya, ke
dalam misiologi, tetapi J. Massonlah yang pertama kali menciptakan ungkapan Catholicisme
incluturé ("Katolisisme yang di-inkulturasikan") pada 1962. Istilah ini segera diterima luas di
kalangan Yesuit, dalam bentuk "inkulturasi" Pada 1977, jenderal superior Yesuit, P. Arrupe,
memperkenalkan isti lah itu kepada Sinode para Uskup; Imbauan Kerasulan, Catechesi
Trandendae (CT), yang dihasilkan dari sinode ini, mengambil alih isti lah ini dan membuatnya
diterima di seluruh dunia (bnd. Müller 1986: 134; 1987:178). Kata ini pun segera diterima di
kalangan Protestan dan kini merupakan salah satu konsep yang paling luas diperguna kan di
kalangan misiologis. Iman Kristen tidak pernah hadir kecuali sebagai sesuatu yang
"diterjemahkan" ke dalam sebuah budaya. Keadaan ini, yang meru pakan ciri yang terpadu dari
kekristenan sejak permulaannya sekali, mudah-mudahan telah dibuat sangat jelas dalam
perjalanan telaah ini. Lamin Sanneh dengan tepat mengatakan (bnd. Stackhouse 1988: 58) bahwa
gereja mula-mula, "dalam berpindah-pindah antara dunia Yahudi-non Yahudi, dilahirkan dalam
sebuah lingkungan lintas-bu daya dengan penerjemahan sebagai ciri kelahirannya" 20 Karenanya
tidak perlu mengherankan bahwa di kalangan gereja-gereja Paulin, orang-orang Yahudi, Yunani,
barbar, Trasia, Mesir, dan Romawi da pat merasa berada di rumah sendiri (bnd. Köster
1984:172). Hal yang sama juga berlaku bagi gereja pasca-rasuli. Iman itu diinkulturasikan dalam
demikian vak liturgi dan teks-Syria, Yunani, Romawi, Koptik, Armenia, Etiopia, Maronit dan
lain-lain. Selain itu, pada periode permulaan ini, tekanannya terletak pada gereja lokal dan bukan
pada gereja yang universal dalam bentuk monarkisnya. Setelah Konstantin, apa yang semula
merupakan religio illicita berubah menjadi agama kemapanan, gereja menjadi sang pengemban
kebudayaan. Dengan demikian, jangkauan misionernya berarti suatu gerakan dari yang beradab
kepada "bangsa-bangsa yang buas dan dari budaya yang "lebih unggul" pada budaya-budaya
yang lebih rendah" suatu proses di mana budaya-budaya yang belakangan itu harus ditaklukkan,
kalaupun tidak dihapuskan. Jadi, misi Kristen, sudah sepantasnya, mempradugakan disintegrasi
kebudayaan yang ia masuki. Bila disintegrasi semacam ini tidak terjadi, keberhasilan misi hanya
terbatas (seperti halnya dalam beberapa budaya Asia - bnd. Gensichen 1985:122; Pieris 1986).

Dalam bab 9 buku ini, dan juga di bagian-bagian lain, saya telah menekankan pengaruh yang
menentukan dari kolonialisme Barat, perasaan-perasaan keunggulan budaya, dan "takdir yang
jelas" yang dilaksanakan pada usaha misi Barat dan sejauh mana semua ini mengkompromikan
Injil. Tanpa mengulangi apa yang telah dika takan sebelumnya, izinkan saya menyebutkan saja
beberapa cara bagaimana keadaan-keadaan ini telah mempengaruhi pokok yang dipercakapkan
di sini.
Pada saat ekspansi kolonial Barat besar-besaran dimulai, orang orang Kristen Barat tidak
menyadari akan kenyataan bahwa teologi mereka dikondisikan secara budaya; mereka begitu
saja mengasum sikan bahwa teologi mereka itu supra-budaya dan sahih secara uni versal. Dan
karena kebudayaan Barat secara implisit dianggap Kris ten, dengan sendirinya pula terbukti
bahwa kebudayaan ini harus diekspor bersama-sama dengan iman Kristen. Namun, segera disa
dari bahwa, untuk mempercepat proses pergantian kepercayaan, be berapa penyesuaian perlu
dilakukan. Strategi yang dengannya semua ini diberlakukan disebut dengan berbagai istilah:
adaptasi atau ako modasi (dalam Katolisisme) atau pempribumian (Protestanisme). Namun, hal
ini sering kali terbatas pada masalah-masalah yang ter batas, seperti misalnya pakaian liturgis,
ritus-ritus non-sakramental, seni, literatur, arsitektur dan musik (bnd. Thauren 1927:37-46).
Akibatnya banyak. Pertama, akomodasi tidak pernah mencakup modifikasi terhadap teologi
Barat yang telah "dicetak sebelumnya". Kedua, sesungguhnya hal ini diakui sebagai konsesi
bahwa orang orang Kristen Dunia Ketiga akan diizinkan untuk menggunakan be berapa unsur
dari kebudayaan mereka untuk mengungkapkan iman mereka yang baru. Ketiga, hanya unsur-
unsur kebudayaan yang jelas "netral" dan sudah tentu baik, artinya, tidak "teracuni" oleh nilai-
nilai keagamaan kafir, yang dapat dimanfaatkan (bnd. Thauren 1927: 25-33; Luzbetak 1988:67).
Keempat, kata "unsur-unsur” lebih lanjut menyirat kan bahwa kebudayaan-kebudayaan tidak
dianggap sebagai kesatuan utuh yang tidak dapat dipisah-pisahkan tetapi, dalam cara Pencerah
an, sebagai unsur-unsur yang terpisah yang dapat dipersatukan atau dipecah-pecah sesuka hati;
karenanya sangat wajar bila orang meng isolasikan beberapa unsur dan menggunakannya untuk
pelayanan gereja Kristen. Kelima, tidak perlu dikatakan lagi bahwa pempribu mian atau
akomodasi menjadi masalah-masalah hanya bagi gereja gereja "muda". Di kalangan gereja Barat
pempribumian selama ber. abad-abad telah menjadi fait accompli; Injil sepenuhnya betah di
Baral tetapi masih asing di tempat-tempat lainnya (bnd. Song 1977: 2). Ke enam, istilah seperti
"adaptasi" mau tak mau memberikan ide tentang suatu aktivitas yang bersifat tepian dan
karenanya tidak hakiki, dan bahkan superfisial, sejauh menyangkut hakikat misi Kristen; ini ada
lah sesuatu yang bersifat manasuka (optional) dan, dalam banyak hal, hanya merupakan masalah
metode, masalah bentuk dan bukan isi (bnd. Shorter 1977:150). Filsafat di balik semua ini ialah
filsafat ten tang pembagian antara "biji" dan "kulit". Iman, sebagaimana dipa hami dan
dikanonkan di gereja Barat, dengan kata lain, depositum fidei - adalah biji yang murni, kulit
kebudayaan bangsa-bangsa yang didatangi para misionaris adalah kulit yang dapat dibuang.
Dalam proses akomodasi, biji ini harus tetap utuh tetapi disesuaikan dengan bentuk-bentuk
kebudayaan baru; pada saat yang sama, budaya-budaya ini harus diadaptasikan dengan "biji"-nya
(bnd. Fries 1986:760). Ketu juh, keseluruhan proyek ini, secara implisit tetapi juga secara ekspli
sit, bermaksud mengatakan, bahwa gereja-gereja muda membutuhkan gereja-gereja yang lebih
tua, tetapi bahwa gereja-gereja yang lebih tua itu sama sekali tidak tergantung pada apa yang
mungkin mereka te rima dari gereja-gereja muda; lalu-lintasnya jelas satu arah. Terakhir, sering
kali inisiatif dalam pempribumian tidak datang dari para mua. laf baru tetapi dari para misionaris
yang mempunyai minat sentimen. tal terhadap budaya-budaya yang eksotis, yang menekankan
"keber. bedaan" gereja-gereja muda dan yang memperlakukan mereka sebagai
sesuatu yang harus dilestarikan dalam bentuknya yang primitif. Namun, para misionaris Katolik,
khususnya para Yesuit yang mula-mula seperti de Nobili dan Ricci, berusaha melangkah lebih
jauh daripada model biji-kulit ini dalam akomodasi mereka atas iman bangsa-bangsa India dan
Tiongkok. Demikian pula, pada kenyataan nya, Propaganda Fidei (didirikan pada 1622). Dalam
suatu pernyataan kebijaksanaan yang luar biasa pada 1659 lembaga ini menasihati pa
misionarisnya agar tidak memaksa orang mengubah kebiasaan-ke biasaan mereka, sejauh bahwa
semua itu tidak bertentangan dengan ra agama atau moralitas. Pernyataan tersebut selanjutnya
mengatakan

Apa yang bisa lebih konyol daripada membawa Perancis, Spanyol, atau Italia, atau bagian mana
pun dari Eropa ke Tiongkok? Bukan hal-hal se perti inilah yang harus anda bawa melainkan
Iman, yang tidak menolak ataupun merusakkan ritus-ritus dan kebiasaan-kebiasaan mana pun
dari rakyat, asalkan semuanya itu tidak jahat Meskipun ada instruksi ini (yang ternyata sangat
mirip dengan sebuah petunjuk dari Paus Gregorius Agung lebih dari seribu tahun sebelumnya -
bnd. Markus 1970), para Yesuit segera mengalami ke sulitan-kesulitan, khususnya karena apa
yang kemudian dikenal se bagai "Pertikaian Ritus", baik di Tiongkok maupun India. Pada 1704.
utusan paus, T.M. de Tournon, mengeluarkan sebuah dekrit yang di dalamnya ia mengutuk
praksis Yesuit dalam enam belas butir. Paus berpihak pada de Tournon - dua dekrit kepausan
(1707 dan 1715) menyahkan peraturan de Tournon. Pertikaian ini berlanjut sampai 1742, ketika
sebuah dekrit yang lain, Ex quo singulari, mengesahkan aturan-aturan sebelumnya. Sebuah bula
kepausan pada 1744, Omni um sollicitudinum, melarang semua konsesi, kecuali yang paling re
meh, terhadap kebiasaan setempat dan memerintahkan sumpah ke taatan, yang harus diambil
oleh semua misionaris; yang juga dilarang adalah percakapan lebih lanjut tentang masalahnya
(bnd. Thauren 1927:131-145; Shorter 1988:157-160). Pada 1773 Serikat Yesus ditindas. Tak
lama kemudian, semua misionaris Yesuit dipanggil pulang. Baru pada 1814 mereka dipulihkan
oleh dekrit kepausan. Sumpah yang diperkenalkan pada 1744 baru dicabut pada 1938.

Misi-misi Protestan hanya kelihatannya berbeda; bukannya mele takkan ungkapan iman pada
kekuasaan dewan tertinggi seperti da lam Katolisisme, orang-orang Protestan secara tidak sadar
menyerah. kannya pada praduga-praduga kebudayaan Eropa-Amerika. Secara keseluruhan
orang-orang Protestan bahkan lebih curiga terhadap bu daya-budaya "non-Kristen" dibandingkan
orang-orang Katolik, khusus nya karena penekanan mereka pada kejahatan total umat manusia
(Müller 1987:177). Mereka memungkinkan kemerdekaan tertentu tetapi pada umumnya
mengembangkan reproduksi yang persis dari model-model Eropa. Hal ini bahkan dapat dilihat
dalam kasus-kasus di mana mereka secara sengaja berusaha menggalakkan pempribumi an,
seperti dalam kasus yang terkenal tentang "Tiga Swa" sebagai tu juan misi (swa-praja, swa-dana,
dan swa-kembang), yang dirumuskan secara klasik oleh Rufus Anderson dan Henry Venn
hampir satu sete ngah abad yang lalu. Notae ecclesiae ini diambil dari gagasan Barat tentang
sebuah paguyuban yang hidup, yang dapat mendukung, memperluas, dan mengelola dirinya
sendiri; jadi, inilah kriteria yang digunakan untuk menilai gereja-gereja muda. Gereja-gereja
Barat, yang telah lama mencapai tujuan-tujuan ini, mewakili bentuk "yang lebih tinggi, yang
lain-lainnya, yang berjuang untuk bangkit menca. pai harapan-harapan ini, adalah bentuk "yang
lebih rendah". Jadi, baik dalam Katolisisme maupun Protestanisme, gambaran yang umum
berlaku adalah gambaran pedagogis - dalam suatu waktu yang pan jang dan sepanjang jalan yang
berat gereja-gereja muda harus dididik dan dilatih untuk mencapai kediriannya atau
"kedewasaan", yang diukur dalam bentuk "tiga swa". Namun, pada praktiknya, gereja-ge. reja
muda, seperti Peter Pan, tidak pernah "menjadi dewasa", seku rang-kurangnya di mata gereja-
gereja yang lebih tua. Kebanyakan dari mereka hanya bisa bertahan, dan dengan demikian juga
memu askan para pendirinya, kalau mereka dengan gigih memisahkan diri dari kebudayaan
sekitar dan hadir sebagai badan-badan asing.

Perkembangan-perkembangan di Abad ke-20

"Sistem yang kaku" dari akomodasi (Thauren 1927:130) tidak dapat bertahan tanpa batas.
Kekuatan-kekuatan yang menyumbang bagi kehancuran model ini termasuk munculnya, yang
sudah dimulai se jak abad ke-19, nasionalisme di Dunia Ketiga; bangkitnya pemikiran
antropologis; yang perlahan-lahan menyingkapkan relativitas dan kontekstualitas dari semua
kebudayaan (termasuk kebudayaan-ke budayaan Barat); dan yang khususnya penting bagi
maksud kita - kedewasaan gereja-gereja muda, yang sering kali terjadi berbarengan dengan
pendirian gereja-gereja independen yang bebas dari kendali misionaris apa pun. Meskipun
terdapat cacat-cacat yang terkandung dalam model "tiga swa" itu, model itu menolong dalam
mengilhami orang-orang yang ditindas untuk mencari kemerdekaan juga dalam bidang-bidang
lain selain melulu bidang gerejawi. Bahkan seseorang yang sangat kritis terhadap seluruh usaha
misioner Barat seperti Hoekendijk, harus mengakui bahwa, dalam hal ini, gereja sungguh
sungguh lebih maju daripada dunia (1967a:321). Sekitar 1860, otono mi gereja-gereja muda
dapat dilihat dalam huruf besar dalam setiap program misi yang berakal sehat, jauh sebelum
siapa pun di Barat bahkan memimpikan jenis-jenis otonomi lain untuk negara-negara jajahan.
Jelas ada kepekaan yang lebih tinggi dalam hal ini di kalang an-kalangan misionaris Barat
ketimbang di berbagai kantor kolonial. Paus Benedictus XV, khususnya dalam ensikliknya
Maximum

Illud (1919), adalah orang pertama yang mempromosikan hak "gereja gereja misi" untuk berhenti
menjadi koloni-koloni gerejawi di bawah kekuasaan asing dan untuk mengangkat imam dan
uskup-uskup sendiri. Rerum Ecclesiae (Pius XI, 1926) dan Evangelii Praecones (Pius XII, 1951)
menguraikan lebih lanjut berdasarkan garis-garis yang serupa (bnd. Shorter 1988:179-186).
Sejak itu, hierarkhi-hierarkhi se tempat telah diperkenalkan di mana-mana. Bühlmann (1977)
meng gambarkan perkembangan baru ini sebagai "munculnya gereja yang ketiga", suatu realitas
yang di tempat lain disebutnya sebagai "peris tiwa terpenting yang menciptakan sejarah dalam
sejarah gereja masa kini" (dikutip dalam Anderson 1988:114). Realitas baru ini juga terung kap
dalam kenyataan bahwa pada masa kini (menurut perhitungan perhitungan Barrett 1990:27) jauh
lebih banyak orang Kristen di luar daripada di dalam negara-negara yang secara tradisional
mengutus misionaris - 914 juta dibandingkan dengan 597 juta - dan banyak dari gereja-gereja
muda ini sendiri telah mulai mengutus misionaris.

Dalam periode segera sesudah Perang Dunia II, setumpukan pe nyesuaian harus dilakukan baik
di kalangan Katolik maupun Protes tan. Untuk maksud kita, ada dua yang khususnya penting.
Pertama, ada peristiwa-peristiwa di Tiongkok, yang berpuncak pada keme nangan kaum
Komunis pada 1949 - suatu peristiwa yang melam bangkan, dalam suatu cara yang khusus,
keterputusan dengan selu ruh tatanan misi yang lama. Kemudian ada keadaan bahwa - mes kipun
selama perang mereka menjadi "yatim" - banyak gereja baru di Dunia Ketiga yang tidak hanya
bertahan, tetapi sebagian malah telah bertumbuh secara menakjubkan pada tahun-tahun
ketidakhadiran para misionaris. Slogan Whitby (1947) "Kemitraan dalam Ketaatan" dan
pembentukan DGD sebagai sebuah dewan gereja-gereja yang otonom dari segala penjuru dunia,
adalah dua cara untuk memberi kan pengakuan terhadap realitas baru ini dan terhadap kebutuhan
akan suatu hubungan yang baru. Hal ini diungkapkan dalam gagas an tentang "misi sebagai
bantuan yang berbalasan" dan dalam pro yek-proyek oikumenis semacam itu seperti "Bantuan
Antar-Gereja", "Berbagi Personalia Oikumenis" dan "Aksi Bersama untuk Misi" (bnd Jansen
Schoonhoven 1977; untuk Gereja Katolik, bnd, van Winsen 1973).
Namun demikian, misi sebagai bantuan antar-gereja, adalah se buah fenomenon transisi (bnd.
van Engelen 1975:294). Pada akhir 1960-an menjadi jelas bahwa suatu pergeseran yang
menentukan telah terjadi, bahkan dalam pikiran-pikiran orang-orang Barat, dari sebuah dunia
yang berpusat pada Eropa, kepada suatu dunia yang berpusat kepada seluruh umat manusia.
Sejak itu, gereja-gereja d Barat akan semakin mengakui pandangan-pandangan tentang dan
perkembangan-perkembangan di gereja-gereja muda. Tetapi, bahkan pada Konsili Vatican II,
suara-suara dari para pemimpin gereja Dunia Ketiga masih dibungkam, seperti halnya dalam
pertemuan-pertemu an oikumenis Protestan pada masa itu. Hanya semenjak Sinode para Uskup
Katolik dan, dalam Protestantisme, sejak pertemuan CWME di Bangkok (1973), telah menjadi
jelas bahwa kepemimpinan gerejawi di seluruh dunia secara pasti sedang beralih ke orang-orang
Kristen Dunia Ketiga. "Penemuan kembali" gereja lokal, sewaktu dan sesudah Vatican II,
memberikan sumbangan yang sangat besar terhadap pera saan baru tentang hubungan yang
semakin dewasa ini. Kelahiran pa guyuban-paguyuban dasar Kristen, pertama-tama di Amerika
Latin dan kemudian di tempat-tempat lain, berarti banyak bagi citra diri paguyuban-paguyuban
Kristen setempat di Dunia Ketiga, sedemikian rupa sehingga Leonardo Boff (1986) menyebutnya
sebagai "ecclesioge. nesis", atau sebagai "penciptaan kembali" gereja.

Sekarang pula saat yang tepat bahwa "mandiri keempat" ditam bahkan kepada "tiga mandiri"
yang klasik -mandiri berteologi, suatu aspek yang tidak pernah terpikirkan oleh para teoretikus
misi abad ke-19 (bnd. Hiebert 1985b:16). Sudah tentu kemandirian dalam ber teologi telah
banyak yang berlangsung, sering kali tanpa disadari atau di bawah tanah, lebih sering lagi terjadi
di luar "gereja-gereja misi" dan dengan demikian di luar wawasan para misionaris - yang banyak
di antaranya sama sekali tidak dapat menerimanya karena dianggap sinkretistik. 21 Namun, sejak
tahun 1930-an, para teolog Asia
(khususnya India) dari "gereja-gereja misi" telah mulai secara sadar dan terbuka merintis jalan-
jalan baru secara teologis. Di Afrika, perkembangan-perkembangan seperti itu hanya muncul ke
permuka an sejak Perang Dunia II. Pada 1956, sekelompok imam Afrika dari negara-negara yang
berbahasa Perancis menerbitkan Des prêtres noirs sinterrogent, sebuah buku yang kemudian
mempunyai pengaruh luas di kalangan Katolik. Tak lama kemudian, Tharcisse Tshibangu, se
orang mahasiswa pada Fakultas Teologi Katolik di Kinshasa, mulai menantang gagasan-gagasan
para mentor Belgianya tentang teologi yang sah secara universal. Pada 1965 ia menerbitkan
bukunya Théo logie positive et théologie speculative. Perkembangan-perkembangan ini dan yang
lain-lainnya merupakan langkah-langkah pertama ke arah perbaikan terhadap suatu situasi yang
pernah digambarkan oleh John Mbiti sebagai berikut: "[Gereja di Afrika] adalah sebuah gereja
tanpa teologi, tanpa teolog, dan tanpa suatu keprihatinan teologis" (1972:51). Panggungnya telah
siap untuk perkembangan kuat teologi Afrika yang pribumi.

Menuju Inkulturasi

Perkembangan-perkembangan yang diuraikan di atas merintis jalan bagi apa yang kemudian
dikenal sebagai "inkulturasi". Pada akhirnya diakui bahwa pluralitas kebudayaan
mempradugakan pluralitas teologi dan karenanya, bagi gereja-gereja Dunia Ketiga, ucapan se
lamat tinggal kepada pendekatan yang Eropa-sentris (bnd. Fries 1986:760; Waldenfels 1987:227
dyb.). Iman Kristen harus dipikirkan kembali, dirumuskan ulang, dan dihayati secara baru dalam
masing masing budaya manusia (Memorandum 1982:465), dan hal ini harus dilakukan dalam
sebuah cara yang hidup, dalam kedalaman dan te pat pada akar-akar kebudayaan (EN 20).
Proyek semacam itu bahkan semakin dibutuhkan mengingat cara bagaimana Barat telah memper
kosa kebudayaan-kebudayaan Dunia Ketiga, menyebabkan kepada mereka apa yang telah
disebut sebagai "kemiskinan antropologis (bnd. Frostin 1988:15).
Mulanya, pimpinan gereja Barat merangkul perkembangan baru ini dengan bagaimana Paus
Paulus VI, misalnya, terombang-ambing antara me nerima dan menolak gagasan inkulturasi
persis seperti seorang rasa enggan. Snijders (1977:173 dyb.) telah menunjukkan paus
sebelumnya, Gregorius Agung, terombang-ambing sehubungan dengan akomodasi misionaris
pada abad ke-16 (bnd. Markus 1970).

Anda mungkin juga menyukai