Anda di halaman 1dari 10

Sejarah Teologi Pastoral Dan Refleksi Terhadapnya

Hendra Paulinus Simbolon, 19013

1. Pengantar:
Perjalanan Teologi pastoral memiliki sejarah yang panjang dan berliku. Sejak dari awal
mula Gereja, praksis Gereja telah ada dalam bentuk Teologi Pastoral yang sederhana atau bisa
dikatakan sebagai berpastoral yakni pastor sebagai gembala yang menggembalakan dan
membimbing umatnya. Selanjutnya. Dalam konteks eklesiologi, teologi pastoral ini berfokus
pada usaha meumuskan ajaran sistematis mengenai jabatan pastoral.
Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk mencoba meringkas sejarah perjalan pastoral
dari Gereja Perdana hingga pasca Konsili Vatikan II serta refleksi terhadap perjalan sejarah
teologi pastoral tersebut.

2. Teologi Pastoral pada Gereja Perdana dan Perjanjian Baru


Bentuk teologi pastoral yang elementer sudah ada dalam Perjanjian Baru. Hal ini dimulai
daro peristiwa pentakosta yang dapat ditemukan dalam Kisah Para Rasul. Setelah itu, bentuk
pastoral merupakan kelanjutan dari karya Roh kudus yang terwujug dalam perilaku manusia.
Dalam hal ini Manusia memperoleh karunia (karismata) untuk mewartakan Injil (kerygma),
untuk saling membangun menjadi persekutuan yang kokoh (koinonia), dan untuk melayani
kerajaan Allah di dunia ini (diakonia). 1 Hal ini diwujudkan dalam bentuk patokan-patokan
tertentu dalam surat-surat Paulus. Misalnya: Jemaat sebagai ‘tubuh Kristus” (1 Kor 12-14),
maksudnya adalah persekutuan karismatis yg memiliki spektrum karunia yg berwarna-warni…
bahasa lidah, karunia penyembuhan, pelayanan. Selain itu, pastoral dalam gereja perdana juga
bersifat lebih struktural yakni sebagai nabi, pemberita Injil, gembala dan pengajar. Oleh karena
itu, pastoral pada masa Gereja perdana memiliki gambaran persekutuan yg demokratis, “jemaat
dari bawah”. Hal ini dikaenakan seluruh kegiatan masih dilakukan secara diam-diam bahkan
diawasi dan disiksa serta dibunuh oleh pemerintahan romawi.
Bentuk teologi pastoral dalam surat-surat pastoral (Timotius dan Titus) mendapat gambaran
lain. Dalam hal ini, majelis tua-tua dan pengawas-pengawas sebagai pihak yang berwibawa
terhadap jemaat. Penatua disebut presbyteros (mungkin istilah Yahudi-Kristiani), dalam Gereja
Katolik istilah ini berkembang menjadi imam. Selain itu, Pengawas diistilahkan sebagai
episkopos yang mirip dengan Uskup.
Dalam perkembagannya, Pada abad ke-2 episkopos (uskup) menjadi kepala para presbyteroi
(imam). Selain itu, karena perkembangan para jemaat maka diperlukan peran serta jemaat yang
lebih. Oleh jarena itu dipililah tujuh orang dari mereka untuk menjadi diakon. Para diakon
dilibatkan dalam berbagai pelayanan (Kis 6). Dalam hirarki yang berkembang mereka menjadi
asisten Uskup. Demikianlah terjadi struktur dalam praksis yang semula beraneka warna. Dalam

1
Gerben Heitink, Fred. Heselaars Hartono –ed-, Teologi Praktis: Pastoral dalam Era modernitas-Postmodernitas,
1999
hal ini, struktur diperlukan untuk menjamin kesinambungan dalam jemaat. Struktur inilah yang
nantinya membentuk suatu hierarki dalam Gereja.

3. Teologi Pastoral Jaman Bapa Gereja


Gagasan pastoral pada Perjanjian Baru dan Gereja Perdana diteruskan dalam tulisan awal
pastoral-teologis dari para Bapa Gereja, yang didasarkan dan berkisar pada refleksi atas tindakan
jabatan dan pelayanan mereka. Tulisan-tulisan itu merupakan dukungan kepada para penerus
jabatan yang sedang berkembang dalam Gereja. Dimana para penerus yang merupakan jemaat
dari para Bapa Gereja umumnya kurang mendapat persiapan. Teologi pastoral dalam konsep
Gereja yang hierarkis merupakan refleksi atas jabatan serya mengambil tempat sentral dalam
teologi-pastoral kuno, terutama untuk jabatan uskup.
Jabatan itu merupakan sebuah sebuah tanggungjawab yang besar. Hal ini dapat ditemui
dalam beberpa dokumen bapa Gereja yakni :
- Cyprianus (abad ke-3) menyebut ecclesia est in episcopo (Gereja berada dlm uskup); orang
yang bergantung pada Gereja berarti bergantung pada uskup. Menurutnya pula berlaku extra
ecclesiam nulla salus (di luar Gereja tdk ada keselamatan).
- Gregorius dari Nazianze (± 365) menulis tentang peri phuges (mengenai pelarian: mereka
yang dipanggil melarikan diri seperti nabi2 PL – Musa, Yunus, Yehezkiel).
- Yohannes Chrysostomus (± 385) menulis peri hierosunes (tentang imam).
- Agustinus (354-430) menulis Confessiones yg sangat terkenal, dan De Catechizandis
Rudibus (utk pengajaran bagi calon baptis) serta Katekese Mistagogis (Cyrillus dari
Yerusalem). Keduanya merupakan buku pegangan katekese yang sangat penting dalam
Gereja kuno.
- Paus Gregorius Agung (540-604) menulis Liber regulae pastoralis (buku tentang tata
pastoral) yang sangat terkenal dan menandai peralihan Gereja ke abad pertengahan.

Catatan penting dalam refleksi yang ditulis oleh para Bapa Gereja adalah sejak semula
jabatan itu dihubungkan dengan askese, pengingkaran terhadap dunia, dan selibat. Jemaat
adalah mereka yang merupakan manusia yang penuh Roh Kudus. Para pemangku jabatan itu
dipisahkan dari kaum awam. Oleh karena itu, para Bapa Gereja mempunyai fokus pelaksanaan
terhadap jabatan yang mereka miliki adalah kegembalaan akan umat yang dipercayakan kepada
mereka. Dalam perkembangannya Gereja mengalami situasi baru dengan bertobatnya Kaisar
Konstantinus (284-337). Selanjutnya, pada tahun 380 Gereja menjadi Gereja-negara, dan
dengan demikian tugas dan tanggung jawab pejabat bertambah banyak.
Oleh karena Gereja telah menjadi Gereja negara pada saat itu, maka terjadilah perkembangan
jemaat yang begitu pesat yang mengakibatkan munculnya kebutuhan akan organisasi lebih ketat
serta organisasi yang dapat dipantau di seluruh wilayah kerajaan. Selain itu, dampak dari Gereja
negara ini, Gereja mendapat keuskupannya (dioses). Dalam hal ini, diosesnya
(dioikein=mengatur rumah tangga), yaitu pembagian dalam distrik. Dioses menggantikan nama
paroikia (jemaat orang asing) dalam arti eskatologis.
Perkembangan selanjutnya terjadi pada abad 9. Dalam hal ini Karel Agung memberi
pengaruh atas terjadinya model dasar pastoral yang menyebar (desentralisasi) - menjadi jaringan
jemaat-jemaat yg meliputi Eropa Barat. Hal ini bertujuan agar umat yang menyebar dan berada
di seantero negeri dapat mencapai gereja, bersatu, bersekutu, dilayani serta digembalakan oleh
imam. Model ini disebut: “satu orang, satu gedung, satu wilayah”. Rumusan dn model ini
ternyata memiliki dampak dan pengaruh yang kuat sekali, sehingga sampai hari ini pelayanan
yang sentral dikhususkan bagi para pemangku jabatan. Akan tetapi, dampak negatif dari model
dan rumusan ini adalah jarak klerus dan awam makin lebar.

4. Teologi Pastoral pada Zaman Abad Pertengahan


Teologi-pastoral semakin menjadi bagian dari pendidikan teologi. Hal ini dimulai dari
Konsili Lateran IV (1215) mewajibkan kepada Gereja induk di ibukota propinsi harus
mengangkat seorang magister dengan tugas mendidik para presbiter dan kaum awam dalam cura
animarum (reksa pastoral), dan dihubungkan dengan pengakuan dosa lisan. Kebijakan dan
keputusan ini dikemudian hari juga ada hak asketik (khusus untuk pembentukan rohani calon
imam), meliputi meditasi, orasi, dan tentasi (menangani percobaan). Praktek pastoral selanjutnya
adalah dengan dimulainya praktek pengakuan dosa berasal dari tradisi. Tradisi iman yang
kemudian oleh Keltik dikembangkan sebagai disiplin untuk saling mengoreksi kesalahan
(sebelumnya, abad 7, secara publik dalam gereja).
Selanjutnya perkembangan teologi pastorl berlanjut pada konsili Trente (1545-1563). Dalam
hal ini teologi pastoral katolik menghadapi periode kontra reformasi-, teologi-pastoral memulai
babak baru: “teologi-pastoral” dipahami sebagi pekerjaan jabatan dalam Gereja. Dalam hal ini,
Gambaran pastor masih terikat pada figur seorang uskup/pemimpin. Oleh karena itu, gambaran
pastor mempengaruhi dasar teologis pemikirannya, konsep tentang pelayanan dan prakteknya.
Teologi Pastoral merupakan pemikiran/refleksi tentang kemampuan kerja yang layak dari
seorang pastor/uskup. Juga ada pembaharuan dari Trente: misalnya dalam pemilihan uskup:
tanggungjawab, tingkah laku ideal, tugas-tugas parokial, tempat tinggal uskup/pastor paroki…
Kemudian hal-hal tentang teritorial, pembinaan, pengenalan dan pelayanan umat: uskup: visitatio
pastoralis; pastor: perayaan ekaristi yg pantas. Pada akhirnya disadari bahwa perlunya
pembinaan-pendidikan khusus dan memadai bagi para calon imam/uskup di seminari.

5. TEOLOGI PASTORAL MENJADI TEOLOGI YANG BERDIRI SENDIRI DI


KALANGAN KATOLIK
Perkembangan dan sejarah Teologi Pastoral mendapat tantangan tersendiri sesudah abad
pertengahan. Hal ini ditandai dengan terjadinya tiga peristiwa penting dalam sejarah yakni
Renaisance, gerakan protestanisme oleh Marthin Luther dkk serta diadakannya Konsili Trente
sebagai tanggapan akan gerakan protestanisme tersebut. Hal yang menaik terjadi sesudah Konsili
Trente, dimana dimulailah periode baru bagi “pastoral” dan terus berkembang sampai pada
Konsili Vatikan II yang memberi label terhadap Teologi Pastoral dan praktek pastoral.
Dalam hal ini, perhatian utama Teologi Pastoral diarahkan kepada struktur dan tugas
pastoral. Sebagai contoh dimana liturgi dan perayaan sakramen-sakramen, kewajiban mengajar,
dan membangun kehidupan Gereja. Tugas itu kemudian dilihat dalam hubungannya dengan
tugas Kristus sendiri (aspek kristologis), yakni triplex munus. Dimana kristus bertugas sebagai
nabi, sebagai imam dan sebagai raja. Tugas-tugas itulah nantinya menjadi pola pelayanan para
imam. Tugas ini diperoleh dan ditandai lewat tahbisan dan missio canonica. Sementara itu,
sebagai tanggapan terhadap teologi terhadap firman dari Gerakan reformasi dengan sola
scripturanya dibentuk dan dimulailah suatu progran yang bernama katekese dan kotbah.
Pada masa inilah, istilahTeologi Pastoral dipakai dan didegungkan pertama kalinya oleh
Petrus Canisius. Sesudah itu, barulah pada tahun 1591 muncul buku Enchiridion Theologiae
Pastorale oleh Peter Binsfeld, Uskup Trier. Buku inilah kemudian menjadi manuale bagi pastor
paroki yg dianjurkan oleh Konsili Trente. Adapaun buku ini berisikan doktrin mcura animarum
para imam, dimana iman pertama-tama sebagai perawat jiwa umatnya. Pada waktu yang hampir
bersamaan serta Dalam kerangka yang sama terbit juga Manuale Parochorum oleh Lugwig
Engel (1661), sebagai manuale resmi yangg dipakai abad 18, serta tidak ketinggalan manuale
Pastor Bonus oleh Yohanes Opstreat (1698) yg muncul kemuadian.
Manuale-manuale inilah yang memberi gagasan bahwa imam secara individual dianggap
sebagai pelaku utama dari aksi pastoral. Dalam hal ini. imam menjadi fokus teologi dan tidak
jarang sebagai pelaku utama dalam pastoral. Oleh karena itu peranan dan fungsi imam dalam
kegiatan pastoral sedemikian kuat, sehingga konsep bahwa pelayanan gereja berpusat pada
klerus makin diperteguh. Dampak dari pada itu mengakibatkan pada gilirannya individu klerus
dianggap sebagai penerus historis pribadi dan fungsi Kristus (alter Christus) yg adalah penyalur
segala rahmat dan gembala domba. Sementara itu umat berdiri dengan pasif di belakangnya
sebagai yang diatur, dipimpin dan dikuduskan oleh klerus. Contoh nyata dari tindakan ini adalah
Misa Tredentin. Dimana imam memimpin misa sendiri dengan membelakangi umat, serta umat
seolah-olah pasif dalam mengikuti misa tersebut. Bahkan tidak jarang selama misa berlangsung
umat melakukan doa devosi hingga diberi komuni kudus. Dampak terbesar dalam hal ini adalah
kewenangan imam semakin besar serta muncullah gerakan Devotio Moderna sebagai tanggapan
akan kewenangan tersebut.
Selain itu, Terjadi reorganisasi studi-studi di perguruan tinggi di Austria. Uniknya untuk
pertama kali di universitas – universitas inilah Teologi Pastoral menjadi mata pelajaran yang
penting dan berdiri sendiri (1774). Dengan demikian, Teologi Pastoral diakui otonominya di
universitas-universitas. Dengan diakui dan diakomodirnya program studi tersebut,
memperlihatkan dengan jelas bagaimana mata pelajaran baru itu akan digarap. Selanjutnya hal
Itu tampak dari materi studi ini. Dalam hal ini Teologi Pastoral dibagi menjadi tiga bagian yg
sesuai dengan tiga tujuan utama ini. Ketiga bagian tersebut adalah
- Tugas mengajar, dimana berisikan kewajiban pastor untuk mengajar umatnya baik berupa
katekese, khotbah maupun dalam pelayanan pastoral.
- Tugas tugas pelayanan sakramen, dimana berisikan tentang tugas pengurusan dan pelayanan
sakramen Gereja kepada umat.
- Tugas pembangunan kehidupan Gereja, dimana berisikan tentang kewajiban bagi seorang
pastor untuk memberi kesaksian, teladan yang baik tentang hidup Kristiani, secara pribadi, dalam
paroki dan dalam masyarakat.
Selain itu, Stefan Rautenstrauch (1734-1785) mempelopori sebuah gagasan baru studi
Teologi Pastoral sebagai sebuah disiplin universiter ini. Dasar pandangannya adalah mau
menunjukkan segi ilmiah dan teologis Teologi Pastoral. Hal itu sebagai reaksi atas praktek
pastoral pada jamannya yg dipandang dan dinilai hanya bersifat praktis-pragmatis serta kurang
teologis. Oleh karena itu sebagai jalan keluar, Rautenstrauch menganjurkan reorganisasi
mendasar kurikulum teologi. Pada akhirnya Teologi Pastoral baginya adalah suatu ajaran atau
studi organis tentang tugas dan kewajiban para petugas pastoral. Dalam hal ini cara
perwujudannya adalah dengan penggunaan teori-teori teologi demi pelayanan jiwa-jiwa.
Kemudian, muncul sebuah tendensi baru terhadap Teologi Pastoral yg lebih berorientasi
kepada biblis-teologis. Kemunculan ini dimulai oleh kehadiran seorang Johan Michael Sailer
(1751-1832). Beliau memiliki Ciri pandangan kepada Teologi pastoral agar berusaha
memberikan dasar biblis pada praktek kegiatan pastoral. Sebagai dampak dan akibar dari
pandangan itu, beliau juga mencoba menunjukkan karakter teologis dari studi pastoral (lebih dari
pada hanya suatu sintese ajaran tentang pelayanan jiwa-jiwa). Selain daripada itu, Pandangan
Sailer terhadap hidup kristiani adalah hidup yang pada dasarnya merupakan hidup biblis. Hal ini
berarti hidup kristiani merupakan suatu rentetan peristiwa keselamatan yang terlukis mulai dari
Kitab Kejadian hingga Kitab Wahyu. Adapun sebagai pusat dari rentetan peristiwa tersebut
adalah realitas kasih Allah dalam Kristus penebus. Oleh karena itulah sudah menjadi suatu
keharusan setiap orang kristiani khususnya kaum klerus perlu mempelajari Kitab Suci.
Adapun dampak dari pandangan biblis ini adalah ditemukan dan dicetuskanlah sebuah
Konsep Gereja sebagai Tubuh Kristus. Pandangan ini hendak mengatakan di dalam Gereja umat
menghayati dan menyatakan persatuan Allah dan manusia dalam diri Kristus. Dimana dalam
kerangka tersebut, pastoral sebagai fungsi klerus menjadi bukan hanya kewajiban oleh para
petugas Gereja, pelayan/petugas moral, melainkan mereka yg dipanggil dan dibentuk dalam Roh
Kudus. Oleh karena itu setiap orang yang telah dipanggil dan dibentuk oleh Roh Kudus menjadi
petugas karya penebusan dan rahmat dalam Gereja. Oleh karena itulah Sailer hendrak
menunjukkan perlawanannya thd pandangan yg terlalu antroposentris dari manuale-manuale
sebelumnya melalui penekanan lebih pada aspek teosentris,

6. Teologi Pastoral Dalam Manuale Katolik Abad 19


Teologi pastoral dalam bentuk Manuale-manuale itu tampak terutama penjabaran yg bersifat
pragmatis tentang tugas seorang pastor baik dari seorang tokoh maupun dari pandangan para
praktis evangelis.
a. Michael Banger (1822-1870)
Michael barber berperan dalam menolak Graf, dan memberi definisi Teologi Pastoral
sebagai pengantar ilmiah bagi para pastor utk melaksanakan tugas jabatannya. Dalam hal ini
Ekklesiologi yg mendasarinya adalah pertemuan antara Gembala dengan Kawanannya. Oleh
karena itu, Pastor adalah tokoh utama sementara kawanan umat bersandar padanya dan
menerima aneka pelayannanya. Adapun Problem pastoralnya adalah problem gembala-kawanan.
Dalam pandangannya, hirarki memiliki previlegi rahmat Roh Kudus yg menghasilkan formulasi
hukum dan harus ditaati. Oleh karena itu, Teologi Pastoral merupakan petunjuk utk
melaksanakan dan memelihara hukum-hukum tersebut. Kemudian, peran pastor dilihat sebagai
petugas hukum. Ini ide dasar manuale-2 itu.
Dalam pandangan ini, hakikat jabatan pastoral yakni sebagai cura animarum, berkisar pd
pelayanan spiritual yg terkait dg kondisi jiwa. Tujuan dari progam ini agar dalam pelayanan
perorangan terjadi suatu perkembangan yang seimbang antara pelayanan terhadap fisik dan
tubuh. Dalam hal ini Pelayanan jiwa-jiwa dilihat sebagai penyampaian kemampuan supranatural
yang membawa kesatuan dengan Allah. Hal ini Berdasarkan pada pengalaman ilahi itu manusia
yang dibawa kepada pelayanan lahiriah dan sosial. Selain itu, Ruang Lingkup Refleksi Teologis:
berkisar pada figur petugas pastoral. Hal ini menyangkut karakteristik ilahinya (panggilan,
tahbisan, ..) maupun kondisi-kondisi yang dihadapi sang pastor dilapangan untuk efektifitas
pelayanannya (ketaatan, pengetahuan, kesucian, kebijaksanaan,..).
Oleh karena itu tugas pastoral hanya menyangkut 3 tugas utama Gereja: imam, nabi, raja.
Dimana Teologi Pastoral sebagai metode yang dipakai dan ilmu yg menerapkan prinsip, hukum
kebenaran, dan praksis dalam kehidupan manusia. Dalam hal ini Sumber-sumber Teologi
Pastoral terletetak dan ditemukan dalam Kitab Suci, akta konsili/sinode, hukum Gereja, tulisan
para tokoh Gereja. Adapun untuk pelaksanaannya dapat memanfaatkan hubungan interdisipliner
yakni dengan merujuk kepada ilmu-ilmu lain seperti psikologi, pedagogi, medis, dll. Selain itu,
hubungan Teologi Pastoral dengan teologi lain adalah Kitab Suci dan sejarah Gereja sebagai
dasar utk merefleksi, dogmatik sebagai pengetahuan dasar untuk aplikasi, Hukum Gereja
sebagai pengetahuan tata hidup Gereja, serta moral untuk petunjuk pastoral praksis.

b. Menurut Pandangan Praktis Evangelis (pertengahan abad 16 – pertengahan abad 19)


Terdapat juga manuale-manuale di kalangan Protestan dengan tendensi empiri yakni pada
bidang historis, psikologis, sosiologis. Dalam hal ini Refleksi teologis disertai pendalaman dari
bidang psikologi eksperimental dan sosiologi untuk menganalisa keadaan psikhe manusia.
Sementara itu pandangan tentang Gereja dilihat sebagai forma ideal dan aktualisasi realnya.
Dalam hal ini manuale tersebut mempunyai Pandangan dasar tentang Teologi Praktis pada sabda
yg diwahyukan. Dalam hal ini dua tema Iman dan Teologi menjadi dasar utamanya. Adapun titik
tolaknya adalah iman sebagai pengalaman yakni sebuah peristiwa yang selalu menjadi
pengarah/koreksi terhadap teologi. Dimana hal yang penting dalam teologi adalah peristiwa
Allah-manusia yg membuka pengalaman bagi manusia.
Hal kedua adalah Pewartaan (predicatio) dan Teologi Praktis. Dalam hal ini, predicatio
sebagai sebuah pengalaman iman mendapat bentuknya yg paling lengkap. Hal ini dikarenakan
semua disiplin teologi seharusnya terarah kepada pewartaan karena di dlmnya tercakup seluruh
isi wahyu. Sementara tugas Teologi Praktika adalah mentransformasikan seluruh isi wahyu
kepada pewartaan. Maka sebuah homiletika adalah sebagai moment penting.
Sementara itu, Refleksi hubungan Gereja terhadap dunia merupakan sebuah hubungan
dimana tak ada satupun yang indifferent untuk teologi. Oleh karena itu dunia-manusia harus
diselidiki untuk menunjukkan aspeknya dlm Kerajaan Allah. Sementara itu Teologi Praktika
dilihat sebagai moment dalam fungsi Gereja untuk mewujudkan Kerajaan Allah di dunia. Dalam
hal ini Gereja dipanggil untuk menunjukkan arti terdalam dari setiap kultur manusia. Oleh
karena itu diperlukanlah suatu sikap kritis dari Gereja. Hal inilah yang diistilahkan dengan
kegiatan berteologi.
Di lain pihak, Erich Hertzh mengatakan dan mencetuskan suatu pemikiran bahwa Hubungan
Gereja yang real di dunia dengan Gereja dalam kepenuhannya (Tubuh Mistik Kristus) yaitu
tampak di dalam perbedaan dan ketegangan antara keduanya. Hal ini dikarenakan bahwa Tubuh
Mistik Kristus merupakan sebagai tujuan dari Gereja yg real di dunia. Dalam hal ini Secara
sosiologis, Gereja merupakan lembaga yang memiliki dimensi sosial, kultural & ekonomis.
Sementara itu, secara teologis, Gereja adalah pembawa wahyu Allah. Oleh karena itu, Teologi
Praktika bertugas mendekatkan keduanya (bantuan bantuan inderdisipliner yakni ilmu-ilmu lain
seperti katekese, homiletik, psikologi, pedagogi, psikologi,…). Pada akhirnya terbentuklah
gambaran Gereja seperti gagasan Paulus dimana hubunan antara kepala dan anggota memakai
istilah-istilah psikologi: anatomi Gereja, patologi Gereja, dsb. Pada alkhirnya semua bertujuan
untuk menjelaskan kenyataan Gereja sebagai Tubuh Mistik Kristus.

c. Gereja dan ateisme kontemporer:


Gerakan pemikiran ini dimulai oleh seorang Tokoh bernama Otto Haendler. Pendapat dan
pandangannnya didasarkan kepada satu pihak, dimana Gereja dilihat dari sisi teologisnya takni
merupakan suatu hubungannya dengan Tuhan, sementara di pihak lain dilihat sebagai suatu
hubungan dengan dunia. Oleh karena ini Struktur Gereja dilihatnya dalam relasinya terhadap
kenyataan dunia. Dalam hal ini, sebagai sebuah struktur, Gereja adalah suatu totalitas hukum atas
pola hidup kristiani.Perkembangan dan pertumbuhan Gereja mrpk perkembangan struktur oleh
karya Roh dlm tiga seginya: tindakan ilahi, karya/hidup manusia, dan keterlibatan dunia. Di lain
sisi, Teologi Praktika berfungsi menunjukkan fungsi kritis dlm melaksanakan pembangunan
Gereja dgn bantuan ilmu-ilmu lain.

7. Pembaharuan Di Kalangan Katolik sebelum dan Pasca Konsili Vatikan II (1920 -


1965)
Pembaharuan ini didasarkan terhadap situasi dimana manuale – manuale ada ada tidak
menjawab semua kebutuhan di bidang pastoral. Hal ini dilatarbelakangi timbulnya situasi-situasi
baru baik itu perubahan dalam bidang sosial dan religius. Perubahan ini juga merupakan akibat
dari Perang Dunia I dimana menimbulkan gerakan sosial dan urbanisasi serta aktualitas lainnya.
Oleh karena itu diperlukan suatu pembaharuan pastoral demi pelayanan yg semakin mengarah
kpd kebutuhan umat.
Menaggapi hal ini, Teologi Pastoral hadir dengan penekanan baru dari segi psikologis.
Dalam hal ini pastoral bukan lagi hanya berdasar pada katekese atau liturgi tetapi berdasarkan
pada praksis cura animarum (Linus Bopp) dan pembinaan (C. Noppel). Hal ini dimaksudkan
dengan penekanan itu, Bopp (kesatuan menyeluruh dengan Gereja) dan Noppel (kerjasama
semua anggota Gereja) berusaha untuk menggarisbawahi pastoral sebagai karya pembangunan
tubuh Gereja. Dalam hal ini, subyek pelaksana tetap klerus tetapi juga ditegaskan perlunya
kerjasama dan relasi mendalam dengan umat. Selain itu, Diperlukan juga ilmu-ilmu lain yang
berhubungan dengan hidup manusia. salah satu dari penekanan itu adalah munculnya Aliran
bertendensi Ketygmatis.
Aliran bertendensi kerygmatis ini muncul di masa gencarnya karya misioner Gereja. Hal ini
dikarenakan, Gereja dirasa perlu menjelaskan kembali posisi teologi dogmatik dalam misi
evangelisasi Gereja seluruhnya. Hal ini terutama dalam dimensi yang menyangkut terhadap
dimensi pastoralnya, yakni dimensi yang berhubungan dengan pelayanan dan pewartaan iman.
Dalam hal ini, Teologi dogmatik merupakan sebuah hal yang mendasari karya pastoral, yakni
dengan menunjukkan pemahaman hidup kristen dan persoalan-persoalan yg ilahi atau iman.
Maka Teologi Pastoral bagi pastor merupakan suatu hal yang penting untuk pelaksanaan
bimbingan dan pelayanan spiritual umatnya.
Berkaitan dengan itu, tendensi merupakan suatu hal yang saling berhubungan satu dengan
yang yang lain. Dalam hal ini, di satu pihak menekankan hal kebenaran iman yang harus
disampaikan, dan di pihak lain berhubungan dengan keadaan manusia konkrit. Oleh karena itu,
Tendensi yang menekankan status ilmiah, teologis dan praktis ini obyek materialnya adalah
Gereja sendiri, sedangkan obyek formalnya adalah menyangkut fungsi pastoral. Maka pada
akhirnya tendensi Teologi Pastoral bukan hanya tertuju kepada yang telah dibaptis, melainkan
terarah secara luas bagi semua orang. Maka dogmatik memberi prinsip-prinsip hidup kristiani
dan Teologi Pastoral menunjukkan penerapannya.

8. Usaha formulasi baru Teologi Pastoral :


Usaha ini dimulai dari Tokoh Franz Xavier Arnold (Tubingen) yg berusaha membangun
dasar teologis utk menjelaskan hakikat pastoral dan refleksi teologis mengenai pastoral itu
sendiri. tubingen mengatakan Hakikat “perantara” karya pastoral adalah untuk kehidupan Gereja
dibutuhkan suatu pastoral (praksis & teori) yg perpangkal pd Wahyu. Dalam hal ini, praksis dan
refleksinya selalu berorientasi pada pokok keselamatan: proses keselamatan dan sarana
keselamatan. Oleh karena itu dalam karya penyelamatan prinsip utama adalah intervensi Allah
(rahmat), sedangkan Gereja dan karyanya bersifat instrumental. Maka pada akhirnya Teologi
Pastoral adalah teologi tentang aktivitas pastoral.
Dalam pelaksanaannya Prinsip inkarnasi (Allah menjadi manusia) adalah prinsip utama baik
sarana maupun proses keselamatan dalam pastoral. Hal itu menjadi dasar penjelasan Arnold
tentang struktur dan model pastoral Gereja. Model tersebut merupakan representasi dua realitas
yg menjadi subyek (Allah sbg yg menyelamatkan dan manusia sbg tujuan keselamatan) yang
kemudian menjadi karya pastoral yg mrpk pengantara. Oleh karena itu, pastoral bertugas
menjaga ketataan dan kesetiaan kpd Allah dan kpd manusia. Pada akhirnya tujuan pastoral
tercapai apabila membawa manusia kepada terjadinya relasi itu, yaitu proses keselamatan.
Konsep Teologi Pastoral bagi Arnold merupakan refleksi ilmiah tentang pertemuan Allah
dan manusia lewat kehidupan dan karya Gereja (cura animarum, liturgi, predicatio,…). Oleh
karena itu, Gereja adalah kumpulan orang-orang yg dibaptis. Mereka bersama-sama
melaksanakan mediasi keselamatan bagi dunia melalui doa, iman, harapan, kasih… Mereka
adalah subyek pastoral dan bertanggung jawab atas tindakan Gereja. Dalam hal ini refleksi
teologis harus bertolak dari karya atau intervensi Allah yang berpusat pada Kristus, dan
memperhatikan kondisi manusia yang historis yg hidup dlm waktu dan tempat. Adapun
Tujuannya adalah untuk mengintegrasikan kekuatan-kekuatan karya kerasulan yg ada dg
memperluas pandangan pastoral serta mengkonfrontasikan paroki sbg zona ilahi (societas
perfecta) dengan kenyataan hidup manusia (zona humana) serta mengkoordinasi tenaga-tenaga
pastoral. Bentuknya berupa karya pastoral bersama dengan pembagian aneka tugas di dalamnya.
Problemnya adalah Gejala disintegrasi antara hidup kristiani sehari-hari dengan hidup kultis
tidak menimbulkan banyak persoalan pada level formal, namun dari segi sosio-kultural
menimbulkan kesulitan-kesulitan, khususnya berhubungan dengan proses sosialisasi individu
dalam hidup kristiani. Kunci persoalan pastoralnya tedapat dalam hubungan antara Gereja
dengan lingkungan hidup sosial (milieu): dengan menegaskan pengaruh thd pribadi dan
penghayatan kristianitas, ada akibat lebih jauh, yaitu timbulnya pengelompokan umat yg
cenderung membentuk strata sosial baru dan saling menjauhi satu dg yag lain. Solusinya adalah
mengartika tuntutan untuk meninggalkan model pastoral parokial (teritorial) dengan
menciptakan image paroki sebagai suatu komunitas misioner, yang bertugas memberi warna
kristiani dan misi keselamatan kepada dunia sekitarnya. Oleh karena itu ditumbuhkan kepekaan
terhadap lingkungan sekitarnya.
Hal selanjutnya adalah diperlukan perbedaan terhadap lingkungan. Dalam hal ini lingkup
manusia adalah suatu kesatuan sosial yang terdiri atas individu-individu yg berintegrasi untuk
mencapai suatu tujuan bersama. Sementara itu, lingkup pastoral merupakan struktur dan fungsi
dari keseluruhan karya pastoral yang terarah pada keselamatan manusia. oleh karena itu
diperlukan restrukturisasi karya pastoral sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kenyataan
hidup real manusia (zona humana). Pada akhirnya pastoral juga menjawabi problem-problem
aktual yang dihadapi manusia.
Dalam hal ini subyek pastoral dalam pastoral bersama terletak pada pada umat yang
merupakan tempat pertama sebagai mereka yang dilayani oleh pastor. Akan tetapi peran umat
awam tak boleh diabaikan. Sementara itu subyek utama pastoral adalah suatu bentuk
kebersamaan sebagai kelompok yg aktif (team, aktivis). Adapun cara pelaksanaan pastoral
disesuaikan dengan lingkungan/medan dimana umat atau petugas berada. Selain itu fungsi dan
struktur pastoral mendapat ciri khusus atau kebaruan dengan menggunakan tahap pengalaman
dengan mencoba (intermedium) sebagai tahap ‘katekumenat’.
Wawasan pastoral bersama ini terus berkembang sebagai “pastoral lingkungan”. Adapun di
Jerman, misalnya dengan tokoh Victor Schurr. Dimana tekanan pastoralnya terarah kepada
pelayanan lingkungan setempat. Selain itu terkait dg gagasan misioner Gereja, pandangan
pastoral ini berusaha menghidupkan semangat kristiani lewat para pelaksana pastoral dg tujuan
efektifitas pewartaan kristiani.

9. Refleksi Atas Perjalanan Sejarah Pastoral.


Hal pertama dan utama yang dapat saya refleksikan terhadap perjalanan sejarah pastoral
adalah bagaimana pastoral dan strategi pastoral beserta teologinya berdasarkan pada situasi dan
keadaan pada zamannya. Oleh karena itu tidak boleh dipaksakan strategi pastoral di tempat dan
di satu zaman terhadap zaman berikutnya, maupun tidak boleh bernostalgia akan keberhasilan
pastoral di zaman lalu, kemudian memaksakannya strategi tersebut pada saat dan situasi saat ini.
Hal kedua, adalah setiap zaman merupakan sebuah tantangan bagi para Imam dan pemimpin
Gereja untuk berkordinasi dan membangun komunikasi dengan umat yang digembalakan. Oleh
karena itu relasi antar kedua harus tetap terjaga, harmonis apapun situasi dan keadaannya.
Bahkan dalam sesulit apapun, iman sebagai seorang gembala harus mengusahakan relasi dan
berkomunikasi dengan umat yang dilayani. Hal ini dikarenakan imam sebagai pemimpin harus
membangkitkan motivasi dan harapan dari umat. Imam harus meyakini karya kreatif Roh Kudus
dan meyakiti ada berkat dan rahmat di saat-saat sulir sekalipun (blessing in disguise).
Hal ketiga, Teologi Pastoral merupakan refleksi atas kejadian dan pengalaman baik dari
kaum Klerus atau imam maupun kaum awam. Oleh karena itu diperlukan sikap dan ketekunan
untuk merefleksikan setiap kejadian dan peristiwa yang terjadi. Hal ini juga merupakan sikap
tanggap baik dari kaum klerus dalam menanggapi tanda-tanda zaman demi kebaikan dan
perkembangan Gereja di zaman ini. Refleksi itu juga merupakan sikap tanggap dan kepekaan
kita akan daya kreatif Roh Kudus yang selalu mendampingi, menginspirasi serta menopang
kehidupan dan kegiatan Gereja.

Anda mungkin juga menyukai