1. Pengantar:
Perjalanan Teologi pastoral memiliki sejarah yang panjang dan berliku. Sejak dari awal
mula Gereja, praksis Gereja telah ada dalam bentuk Teologi Pastoral yang sederhana atau bisa
dikatakan sebagai berpastoral yakni pastor sebagai gembala yang menggembalakan dan
membimbing umatnya. Selanjutnya. Dalam konteks eklesiologi, teologi pastoral ini berfokus
pada usaha meumuskan ajaran sistematis mengenai jabatan pastoral.
Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk mencoba meringkas sejarah perjalan pastoral
dari Gereja Perdana hingga pasca Konsili Vatikan II serta refleksi terhadap perjalan sejarah
teologi pastoral tersebut.
1
Gerben Heitink, Fred. Heselaars Hartono –ed-, Teologi Praktis: Pastoral dalam Era modernitas-Postmodernitas,
1999
hal ini, struktur diperlukan untuk menjamin kesinambungan dalam jemaat. Struktur inilah yang
nantinya membentuk suatu hierarki dalam Gereja.
Catatan penting dalam refleksi yang ditulis oleh para Bapa Gereja adalah sejak semula
jabatan itu dihubungkan dengan askese, pengingkaran terhadap dunia, dan selibat. Jemaat
adalah mereka yang merupakan manusia yang penuh Roh Kudus. Para pemangku jabatan itu
dipisahkan dari kaum awam. Oleh karena itu, para Bapa Gereja mempunyai fokus pelaksanaan
terhadap jabatan yang mereka miliki adalah kegembalaan akan umat yang dipercayakan kepada
mereka. Dalam perkembangannya Gereja mengalami situasi baru dengan bertobatnya Kaisar
Konstantinus (284-337). Selanjutnya, pada tahun 380 Gereja menjadi Gereja-negara, dan
dengan demikian tugas dan tanggung jawab pejabat bertambah banyak.
Oleh karena Gereja telah menjadi Gereja negara pada saat itu, maka terjadilah perkembangan
jemaat yang begitu pesat yang mengakibatkan munculnya kebutuhan akan organisasi lebih ketat
serta organisasi yang dapat dipantau di seluruh wilayah kerajaan. Selain itu, dampak dari Gereja
negara ini, Gereja mendapat keuskupannya (dioses). Dalam hal ini, diosesnya
(dioikein=mengatur rumah tangga), yaitu pembagian dalam distrik. Dioses menggantikan nama
paroikia (jemaat orang asing) dalam arti eskatologis.
Perkembangan selanjutnya terjadi pada abad 9. Dalam hal ini Karel Agung memberi
pengaruh atas terjadinya model dasar pastoral yang menyebar (desentralisasi) - menjadi jaringan
jemaat-jemaat yg meliputi Eropa Barat. Hal ini bertujuan agar umat yang menyebar dan berada
di seantero negeri dapat mencapai gereja, bersatu, bersekutu, dilayani serta digembalakan oleh
imam. Model ini disebut: “satu orang, satu gedung, satu wilayah”. Rumusan dn model ini
ternyata memiliki dampak dan pengaruh yang kuat sekali, sehingga sampai hari ini pelayanan
yang sentral dikhususkan bagi para pemangku jabatan. Akan tetapi, dampak negatif dari model
dan rumusan ini adalah jarak klerus dan awam makin lebar.