PENDAHULUAN
Pembangunan Jemaat merupakan disiplin pastoral yang paling muda. Katekese,
Liturgi dan Penggembalaan atau Poimenik sudah lebih lama mendapatkan status yang jelas
dalam dunia Pastoral. Akhir-akhir ini dalam waktu yang relatif singkat Pembangunan
Jemaat sedang mengejar ketinggalannya. Paroki dan Jemaat-jemaat sebagai persekutuan
Allah yang berhimpun sangat pegang peranan dalam pengembangan hidup beriman. Oleh
karena itu, pengelolaan dan pengembangan Paroki dan Jemaat-jemaat perlu mendapat
perhatian yang lebih serius. Memang, untuk mengelola, apalagi mengembangkan paroki
dan jemaat-jemaat tidaklah mudah, banyak kendala yang dihadapi. Salah satunya adalah
kurangnya buku pegangan ataupun pengajaran mengenai Pembangunan Jemaat.
Di dalam Pembangunan Jemaat dibutuhkan tenaga penggembalaan selain para Imam
dan Biarawan/Biarawati yaitu sosok penggembala yang sekaligus berada dalam lingkungan
awam yaitu katekis. Katekis adalah orang dipanggil atau terpanggil untuk mewartakan ajaran
Yesus. Kata katekis berasal dari kata dasar katechein yang mempunyai beberapa arti:
mengkomunikasikan, membagikan informasi, mengajarkan hal-hal yang berkaitan dengan
iman.
Jiwa dan raga, rohani dan jasmani, harus seimbang, seperti halnya antara
pembangunan gedung gereja dan pengembangan Gereja sebagai jemaat. Namun, mana
lebih penting dalam membangun Gereja? Meskipun membangun gedung gereja penting,
namun lebih penting dan utama adalah membangun jemaat atau umat. Gereja adalah umat
beriman yang berkumpul sebagai komunitas. Gereja bukanlah sekumpulan orang tapi suatu
komunitas yang disatukan oleh Kristus, maka Gereja atau umat Allah harus memiliki
tujuan, visi dan gerakan yang sama.
Gereja adalah orang-orang yang dipilih Yesus untuk melanjutkan karya dan misi-
Nya. Mereka perlu dirangkul, didampingi dan dibangun, karena umatlah yang perlu
diutamakan untuk menjadi paroki. Membangun gereja tidak terlalu susah, yang paling
susah adalah membangun umatnya. Di Eropa, banyak gereja kosong bahkan dijual untuk
menjadi mall atau masjid, karena jemaatnya tidak dibangun. Maka yang paling utama
dalam Pembangunan Gereja adalah Pembangunan Jemaat.
BAB II PEMBANGUNAN JEMAAT DAN TEOLOGI PRAKTIS
Pembangunan Jemaat dewasa ini sangat aktual bagi situasi yang beraneka ragam,
terutama pada penurunan dan penambahan anggota ini dipengaruhi oleh konteks
kemasyarakatan yang aktual. Akan tetapi, sebab perubahan itu tidak selalu jelas dan juga
sulit untuk membuat prognosis mengenai nasib paroki di kemudian hari. Pemikiran
semacam ini melatarbelakangi ketiga bagian dalam pembahasan ini; Pembangunan Jemaat
adalah masalah iman, Pembangunan Jemaat merupakan paham inti dalam Teologi Praktis
dan Pembangunan Jemaat merupakan jawaban atas perubahan masa kini.
2.1. Pembangunan Jemaat adalah masalah Iman
Pembangunan Jemaat adalah pengertian iman dan teologis. Dalam karangan itu,
mengutip dari Haarsma dalam buku Batu-batu yang Hidup karya Dr. P.G. Van Hooijdonk,
bicara mengenai “Gereja sebagai karya pembangunan Roh Kudus”.1 Tema ini diolahnya
melalui pembangunan istilah oikodome dan oikodomein dalam Perjanjian lama maupun
Perjanjian Baru. Makna harafiah kata oikodomein kita jumpai dalam kata Yesus yang
bersifat nabiah dan apokaliptis (menyingkap) seperti ditulis oleh Markus: Saya sudah
mendengar orang ini berkata: Aku akan merubuhkan Bait Suci buatan tangan manusia ini
dan dalam tiga hari akan Ku-dirikan (oikodomein) yang lain, yang bukan buatan tangan
manusia (Mrk. 14:58).
Dalam Perjanjian Lama terdengar suara kritis itu tentang kenisah sebagai rumah
Allah: Beginilah firman TUHAN: Langit adalah takhta-Ku dan bumi adalah tumpuan kaki-
Ku; rumah apakah yang akan kamu dirikan (oikodomein) bagiKu, dan tempat apakah yang
akan menjadi perhentian-Ku? (Yes 66:1). Kata kritis Nabi Yesaya ini dipakai oleh Stefanus
sebelum kematiannya sebagai martir, untuk memperkuat kesaksiannya di hadapan
Mahkamah Tinggi dan Imam-imam Kepala: Tetapi yang Mahatinggi tidak diam di dalam
apa yang dinuat (oikodomein) oleh tangan manusia (Kis 7:48)
Dalam tradisi religius Kisah Para Rasul, istilah oikodomein dihubungkan dengan
Gereja dan menjadi istilah inti. Jemaat itu dibangun (oikodomein) dan hidup dalam takut
akan Tuhan. Paulus mengatakan kepada para tua-tua Gereja di efesus: “Dan sekarang aku
menyerahkan kamu kepada Tuhan dan kepada firman kasih karunia-Nya, yang berkuasa
membangun (oikodomein) kamu dan menganugerahkan kepada kamu bagian yang
ditentukan bagi semua orang yang telah dikuduskan-Nya” (Kis 20:32).
1
Hooijdonk, 1996, hal. 4.
mendirikan, meletakkan dasar dan membangun. Namun, oikodomein juga dikaitkan dengan
kegiatan warga Gereja yang satu dengan yang lain; dengan kegiatan yang bersifat
meneguhkan, membangun, menegur hal atau orang yang kurang baik, menguatkan mereka
yang kecil hatinya, mendukung mereka yang lemah dan bersabar dengan semua orang
(1Tes 5:11-14).
`Dengan tajam Paulus mengatakan: “siapa yang berkata-kata dengan bahasa roh, ia
membangun (oikodomein) dirinya sendiri, tetapi siapa yang bernubuat, ia membangun
(oikodomein) Jemaat” (1Kor 14:4). Cinta satu sama lain menjadi perioritas Paulus karena
“kasih itu membangun (oikodomein)” (1Kor 8:1). Secara eksplisit, Paulus memakai istilah
“membangun jemaat” karena bagi Paulus oikodomein bukan untuk kepentingan perorangan
melainkan kepentingan jemaat seluruhnya. Untuk memperkuat bahwa Gereja adalah karya
pembangunan Roh Kudus maka menurut Haarsma menunjuk pada karakteristik gramatikal
(sebuah karakter yang berubah-ubah sesuai konteks) yang ada pada kata oikodomein.
Oikodomein (membangun) adalah passivum (hal pasif). Jemaat itu aktif satu dengan yang
lain, namun pembangunan itu adalah karya Roh Kudus.2
Teologi Praktis membawa hal baru yaitu kaitannya dengan ilmu sosial. Maka dalam
Teologi Praktis perwujudan diri Gereja mendapat makna empiris yang lebih luas. Lagi ada
hal yang baru: dibandingkan dengan paham keuskupanlah sebagai Gereja lokal, Teologi
Praktis memandang paroki, jemaat dan warganya sebagai Gereja lokal. “Gereja, Sarana dan
Tanda Keselamatan” dengan jelas memperlihatkan hubungan antara beberapa pokok.
Pokok yang paling penting ialah Keselamatan, yaitu keselamatan Allah bagi manusia.
Serentak dengan mengakui berkaryanya Allah dalam Pembangunan Jemaat kita pun
harus mengakui berkaryanya manusia di dalamnya. Dalam Pembangunan Jemaat manusia
adalah sesama subjek dengan Allah. Masih ada pemikiran lain yang mengarahkan
pandangan kita, yakni: emansipasi (persamaan hak) orang beriman dalam Gereja Katolik.
Konsili Vatikan II memutuskan hubungan dengan struktur grejawi yang feodal vatikan II
memilih struktur dimana persamaan dan kesetaraan warga Gereja dijadikan pusatnya.
Dalam tata Gereja yang baik, jabatan berfungsi sebagai pelayanan. Akan tetapi,
sebagaimana yang dialami sesudah Konsili Vatikan II, Umat Allah masih harus menempuh
jalan panjang sebelum cita-cita emansipasi itu terwujud pada segala jemaat beriman
Gereja. Emansipasi orang beriman paling mungkin terjangkau pada jemaat beriman lokal
yaitu jemaat dan paroki. Pada jemaat beriman itulah Pembanguunan Jemaat sering
mendorong kesadaran, rasa tanggung jawab, dan inisiatif orang beriman.
Pengakuan akan adanya karunia-karunia Roh dalam Gereja tidak boleh menghambat
pengakuan akan kepemimpinan dan tindakan pejabat Gereja. Masih sering
diidentifikasikan dengan uskup dan para imam. Akan tetapi, hal itu mendapat kritik banyak
juga. Struktur hierarkis yang sehat tidak usah menghalangi Pembangunan Jemaat. Paulus
menyadari juga bahwa tidak seorangpun dapat meletakkan dasar pembangunan selain dasar
yang sudah ada yakni Yesus Kristus.
Kesadaran akan panggilan Allah diperluas: bukan hanya seorang melainkan banyak
3
Hooijdonk, 1996, hal. 9
orang telah terpanggil; bukan hanya mereka yang meninggalkan ayah ibunya termasuk
Yesus akan tetapi, juga mereka yang tinggal di rumah, seperti kawan-kawan Yesus di
Betani. Spiritualitas adalah dasar Pembangunan Jemaat. Banyak aktivis duduk di dewan
paroki, di kelompok kerja dan lain badan paroki. Partisipasi yang aktif itu merupakan
ungkapan keterlibatan mereka dalam Gereja. Pastisipasi itu juga mengaktifkan hidup
beriman dan orientasi iman mereka.
Ungkapan iman kiranya merupakan titik tolak bagi perkembangan spiritualitas sebagai
sumber kekuatan bagi Pembangunan Jemaat. Spiritualitas bersama mrenjadi kekuatan bagi
Gereja Perdana juga.
Jemaat sebagai objek sudah kita jumpai dalam Perjanjian Lama: “aku akan
memulihkan keadaan Yehuda dan Israel dan akan membangun mereka seperti dahulu” (Kis
9:31). Membangun jemaat berarti membangun umat Allah. Dalam Perjanjian Baru Umat
Allah ini mendapat wujud sebagai Gereja setempat dan diberi nama provinsi:
Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga
dari orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah, yang dibangun di atas para rasul
dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru. Di dalam Dia tumbuh seluruh
bangunan, rapi tersusun, menjadi bait Allah yang kudus, di dalam Tuhan. Di dalam Tuhan
kamu juga ikut dibangunkan menjadi tempat kediaman Allah, di dalam Roh (Ef 2:19-22).
Objek ini adalah Jemaat orang beriman lokal. Tetapi orang perorangan secara pribadi
disapa juga seperti kita baca dalam surat Petrus (1Ptr 2:4-5a).
4
Hooijdonk, 1996, hal. 13.
Bagi jemaat Perjanjian Baru, peristiwa eskatologis (hal-hal mengenai kedatangan
Kerajaan Allah) ini mendapat wujud definitif dalam kebangkitan Yesus. Para pengikut
Yesus yang dipersatukan dalam jemaat lokal, telah belajar melihat diri sebagai awal
peristiwa eskatologis tadi yang dimaklumkan oleh Yesus. Teologi Vatikan II menggaris
bawahi rencana keselamatan Allah untuk semua orang. Vatikan II menghasilkan Konstitusi
Lumen Gentium, mengenai Gereja sebagai „Sacramentum Mundi‟, tanda keselamatan bagi
dunia dan juga “Gaudium et Spes” yang menekankan bahwa keprihatinan terhadap dunia
adalah keprihatinan Gereja. Dapat dirumuskan tujuan umum Pembangunan Jemaat, yaitu:
mengantarai terjadinya keadilan Allah sebagai peristiwa eskatologis dalam dan lewat
jemaat lokal dan dalam serta lewat sejarah manusia yang aktual. Pembangunan Jemaat
menjangkau tujuan akhirnya bukan dalam Gereja melainkan di dunia.5
Gereja Katolik mengatur Jemaat setempat lewat sistem paroki. Maka dapat
dikatakan juga bahwa tujuan Pembangunan Jemaat adalah pertumbuhan paroki. Tujuan
umum Pembangunan Jemaat ialah menjadi perantara bagi keadilan dan kasih Allah. Maka
tolok ukur bagi pertumbuhan jemaat ialah kalau jemaat diperkuat sebagai tanda dan sarana
keadilan serta kasih bagi dunia. Kalau Pembangunan Jemaat mengejar tujuan umum itu,
maka terulanglah polaritas antara berkarya manusia dan berkarya Allah.
Kenyataan paroki sebagai tanda dan keefektifan paroki sebagai alat akhirnya
disebabkan oleh kedatangan Allah di dunia ini. Tujuan akhir Pembangunan Jemaat tidak
hanya dihasilkan oleh karya pembangunan manusia. Tujuan itu eskatologis. Maka tujuan
akhir Pembangunan Jemaat tidak saja merupakan hasil serangkaian tindakan, melainkan
juga merupakan kepenuhan yang dihadiahkan Allah kepada kita seperti diungkapkan oleh
Kitab Suci Wahyu 21:2.
5
Hooijdonk, 1996, hal. 13.
2.2.4.3. Tujuan Pembangunan Jemaat: memberi ruang bagi pertumbuhan,
terarah kepada penyempurnaan
Maka itu Pembangunan Jemaat senyatanya harus dimulai dari kultur atau budaya
Indonesia sendiri yang menyatu di dalam Gereja (inkulturisasi). Sebab umat kristiani yang
saat ini khususnya yang ada di Indonesia memiliki keunikan- keunikan tersendiri yang
tidak bisa disamakan dengan umat Kristiani di luar Indonesia meskipun ajaran Kristianinya
sama, namun di Indonesia sudah mengalami sedikit perombakan dimana budaya menyatu
di dalam ajaran dan liturgi Kristiani. Hal ini merupakan sebuah keunikan dan pembaharuan
umat katolik Indonesia supaya semakin mendekatkan diri pada Allah lewat berbagai
macam budaya dan tradisi yang berbeda-beda ditiap suku atau ras.
2.3.2. Pembangunan Jemaat itu bersifat kontekstual
Kontekstual: Jemaat lokal merupakan situasi dimana teologi lokal dibentuk.
Menurut Schreiter tidak hanya mengamati kontekstual kultural, melainkan juga
persekutuan beriman dalam mana teologi lokal diciptakan. Oleh karena itu, Pembangunan
Jemaat memperlihatkan bermacam warna-warni yang tidak sama, misalnya di Jerman,
Belanda dan Amerika. Hal itu disebabkan tidak hanya karena Amerika berbeda dengan
Jerman dan Jerman berbeda dengan Belanda, melainkan juga karena masing-masing
persekutuan Gereja atau jemaat berbeda.6
Orang beriman Eropa Barat mengira bahwa mereka membawa iman universal ke
“daerah misi” dan tidak menyadari bahwa mereka membawa iman Kristiani yang telah
mendapat bentuk yang spesifik di Eropa Barat. Misalnya dalam liturgi, katekese dan
pelayanan pastoral yang seharusnya disesuaikan dengan situasi setempat. Hal yang sama
terjadi dengan organisasi jemaat setempat menurut sistem paroki dari Eropa Barat.
Sebetulnya desa dan daerah merupakan kesatuan alami yang lebih cocok bagi
Pembangunan Jemaat; pemimpin lokal sering mempunyai pengaruh lebih besar terhadap
hidup Gereja dari pada seorang imam yang dikirim dan diangkat oleh uskup. Namun nilai
kebudayaan tradisional sedang mengilang dengan cepat, kata para pakar di Indonesia;
sedangkan nilai sosial yang baru belum mendarah daging.
Dalam kanon 518 paroki teritorial dianggap sebagai aturan umum, namun secara
eksplisit dibuka kemungkinan – di mana dianggap bermanfaat – untuk mendirikan paroki
personal, atau dengan istilah kita paroki kategorial. Rumusan Hukum Gereja sangat luas.
Maka paham paroki bisa dikenakan pada bermacam-macam entitas (wujud) atau
kenyataan sosial. Paham paroki merupakan paham dasar: jemaat, umat atau sebagian dari
umat. Tambahan teritorial atau kategorial atau personal menyatakan konteks tertentu.
Banyaklah prakarsa yang dikerjakan orang diberbagai situasi masyarakat dan kebudayaan
contohnya di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Yang dicari ialah penyesuaian hidup orang
kristiani dibasis dengan kebutuhan jaman ini. Dalam dunia ketiga, prakarsa itu mempunyai
kesamaan karakteristik.
1) Di masa lalu, kolonialisasi dan evangelisasi membawa masuk sistem paroki yang
berasal dari Eropa Barat.
2) Di masa sekarang sistem paroki itu, sebagai sistem organisasi grejawi, kurang
memenuhi kebutuhan jemaat setempat, yang jumlahnya besar dan imamnya kurang.
3) Di masa sesudah kolonialisasi dan Vatikan II, penyadaran awam berkembang dengan
pesat; yang dicari ialah bentuk baru bagi hidup menggereja dalam unit sosial yang kecil.
4) Bersamaan dengan penyadaran awam, kebudayaan religius lokal mempengaruhi
wujud gerejawi hidup kristiani. Gereja-Gereja di Afrika dan Asia mendapat tempat
tersendiri di dalam Gereja sedunia.
Mengutip dari Jacobs, hal yang sama dapat dibaca: “Konsili Vatikan II tidak mau
berbicara dari atas, melainkan ingin menyuarakan iman yang hidup di kalangan umat”.
Istilah paroki dipakai pertama-tama untuk paroki teritorial, namun selanjutnya untuk setiap
bentuk reksa pastoral personal bagi kelompok sosial atau institusi kemasyarakatan.
Rumusan yuridis tentang paroki merupakan titik tolak paroki teritorial meliputi semua
orang beriman dalam teritorium (cakupan wilayah) tertentu; paroki personal meliputi
kategori sosial seperti mahasiswa, pemuda, buruh, orang miskin. Atas dasar ini paham
hanya aspek kelembagaan dan yuridis saja yang menjadi penting. Menurut Kodeks lama,
7
Hooijdonk, 1996, Hal.24
8
Hooijdonk, 1996,Hal 26.
paroki adalah daerah pemeliharaan jiwa yang diserahkan kepada pastor. Menurut Kodeks
baru paroki adalah jemaat orang beriman tertentu. Pergeseran makna dari daerah ke jemaat
sangat penting artinya. Paroki sekarang diakui sebagai jemaat, sebagai umat Allah lokal.
Paroki itu mempunyai kekhasan sendiri yaitu merupakan badan hukum. Dalam
keuskupan, paroki diakui sebagai semacam kesatuan umat yang khas juga (sui iuris) dan
tidak merupakan cabang keuskupan. Akan tetapi, sekalipun paroki disebut jemaat, namun
menurut ketentuan hukum Gereja, paroki tidaklah merupakan jemaat yang demokratis.
Kepemimpinan dan staf pastoralnya yang dibawah wewenang seorang uskup dipercayakan
kepada seorang pastor. Kitab Hukum baru membuka kemungkinan untuk membentuk
dewan paroki. Akan tetapi, pembentukannya tergantung pada penilaian uskup. Selain itu
dewan paroki hanya mempunyai hak konsultatif dan ketuanya adalah pastor. paroki
mencakup aturan yuridis mengenai personel, keuangan serta sarana untuk memelihara
paroki. Kebiasaan setempat dapat menjamin pengaruh warga paroki terhadap susunan
b. Pembangunan
pembangunan dalam bahasa sehari-hari dan dalam tulisan teologis serta ilmu sosial
mempunyai skala arti yang luas yang pada intinya berarti membuat sebuah atau segala
sesuatu dari awal hingga tahap akhir yaitu finishing.
c. Pembangunan Jemaat
Semua orang beriman – tanpa kecuali – ikut menjadi subjek dalam Pembangunan
Jemaat dan tidak mengkhususkan orang beriman tertentu sebagai sesama subjek itu. Orang
beriman hanya dibedakan menurut kharisma yang dibagi-bagi oleh Roh dan menurut
kepemimpinan dalam arti tadi, yaitu kualitas kepemimpinan yang mencakup bakat refleksi
dan bakat pelaksanaan. Perlu dilihat dan mengakui bahwa dalam kenyataan dewasa ini
tidak hanya pejabat Gereja melainkan juga orang awam mempunyai kualifikasi sebagai
Orang awam yang diketahui cakap, dapat diangkat oleh Gemabala rohani untuk
mengemban tugas dan jabatan grejawi, yang menurut ketentuan hukum dapat mereka
pegang (228, 1). Orang yang unggul dalam pengetahuan, kearifan dan peri hidupnya, dapat
berperan sebagai ahli atau penasiha, juga dalam dewan-dewan menurut norma hukum,
untuk membantu para Gembala Gereja (228, 2)
Menurut norma teologis makin banyak orang beriman diharapkan berpartisipasi dalam
Pembangunan Jemaat.
9
Hooijdonk, 1996 Hal. 32.
Bab IV. Refleksi Teologis
Iman, berasal dari kata pistis10 (Yunani), fides (Latin) secara umum artinya adalah
persetujuan pikiran kepada kebenaran akan sesuatu hal berdasarkan perkataan orang lain,
entah dari Tuhan atau dari manusia. Persetujuan ini berbeda dengan persetujuan dalam hal
ilmu pengetahuan, sebab dalam hal pengetahuan, maka persetujuan diberikan atas dasar
bukti nyata, bahkan dapat diukur dan diraba, namun perihal iman, maka persetujuan
diberikan atas dasar perkataan orang lain. Maka iman yang ilahi (Divine Faith), adalah
berpegang pada suatu kebenaran sebagai sesuatu yang pasti, sebab Allah, yang tidak
mungkin berbohong dan tidak bisa dibohongi, telah mengatakannya. Dan jika seseorang
telah menerima/setuju akan kebenaran yang dinyatakan Allah ini, maka selayaknya ia
menaatinya. Maka tepat jika Magisterium Gereja Katolik menghubungkan iman dengan
ketaatan dan mendefinisikannya sebagai berikut:
Kepada Allah yang menyampaikan wahyu manusia wajib menyatakan “ketaatan
iman” (Rm 16:26; lih. Rm 1:5 ; 2Kor 10:5-6). Demikianlah manusia dengan bebas
menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, dengan mempersembahkan “kepatuhan akal
budi serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah yang mewahyukan”, dan dengan
secara sukarela menerima sebagai kebenaran wahyu yang dikurniakan oleh-Nya. Supaya
orang dapat beriman seperti itu, diperlukan rahmat Allah yang mendahului serta menolong,
pun juga bantuan batin Roh Kudus, yang menggerakkan hati dan membalikkannya kepada
Allah, membuka mata budi, dan menimbulkan “pada semua orang rasa manis dalam
menyetujui dan mempercayai kebenaran”. Supaya semakin mendalamlah pengertian akan
wahyu, Roh Kudus itu juga senantiasa menyempurnakan iman melalui kurnia-kurnia-Nya.
(Konsili Vatikan II tentang Wahyu Ilahi, Dei Verbum 5)
Maka dalam hal ini iman tidak berupa perasaan atau pendapat, tetapi merupakan
sesuatu yang tegas, perlekatan akal budi dan pikiran yang tak tergoyahkan kepada
kebenaran yang dinyatakan oleh Tuhan. Maka motif sebuah iman yang ilahi adalah otoritas
Tuhan, yaitu berdasarkan atas Pengetahuan-Nya dan Kebenaran-Nya. Jadi, manusia
percaya akan kebenaran-kebenaran itu bukan karena pikiran mampu sepenuhnya
memahaminya atau dapat melihatnya, namun karena Allah yang Maha Bijaksana dan Maha
Benar menyatakan-Nya. Kebenaran yang dinyatakan oleh Allah ini diberikan melalui
Sabda-Nya, yaitu yang disampaikan kepada kita umat beriman melalui Kitab Suci dan
Tradisi Suci, sesuai dengan yang diajarkan oleh Magisterium Gereja Katolik, yang
kepadanya Kristus telah memberikan kuasa untuk mengajar dalam nama-Nya. Untuk
menerima kebenaran yang dinyatakan Allah ini, diperlukan kasih karunia dari Allah
sendiri, dan untuk menanggapinya dengan ketaatan, diperlukan kerjasama dari pihak kita
manusia.
Iman mempunyai dimensi obyektif dan subyektif. Obyektif,11 karena dasar
10
Antonius Atosokhi Gea, dkk, Relasi dengan Tuhan:Character Building lll, Jakarta: Gramedia, 20064, Hal. 63.
11
John L. Allen, Opus Dei:Sepak Terjang Kelompok Misterius Khatolik, Tangerang: Pustaka Alvabet, 2007,
Hal.21
kepatuhan akal budi dan kehendak kita adalah kebenaran dari Tuhan (dari Kitab Suci dan
Tradisi Suci), yang tidak mungkin salah; namun juga subyektif karena berhubungan dengan
kebajikan yang dimiliki oleh tiap-tiap orang, yang melaluinya ia dapat menjadi taat
beriman.
Ayat Alkitab yang menjadi motivasi ataupun pendorong bagi penulis kedepanya untuk
melayani dan berusaha melakukan pembangunan jemaat ialah 1 Korintus15:58
“karena itu saudara-saudaraku yang kekasih berdirilah teguh jagan goyah da giatlah selalu
dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan
jerihpayahmu tidak sia-sia. Ayat ini sungguh membagun motivasi bagi penulis untuk
melanjutkan cita-cita para pelayan gereja yag sellau berusaha untuk membangun jemaat ke
arah yag lebih baik.
Bab V Penutup
5.1. Kesimpulan
Konsep van Hooijdonk mengenai Pembangunan Jemaat sebenarnya merupakan
sintesis dari istilah “pembangunan” dan “jemaat.” Sebelum sampai pada penyimpulan
mengenai definisi Pembangunan Jemaat, ia mula-mula menerangkan arti “jemaat” dan
“pembangunan”. Baginya jemaat adalah persekutuan orang beriman setempat. Orang
beriman setempat itu menunjuk pada persekutuan orang beriman dalam suatu paroki
teritorial. Sementara dengan “pembangunan” dimaksudkan sebagai campur tangan aktif
atau intervensi dalam tindak-tanduk jemaat setempat, yaitu paroki. Hooijdonk kemudian
menyimpulkan konsep Pembangunan Jemaat itu sebagai “Intervensi sistematis (campur
tangan yang teratur menurut sistem) dan metodis (sesuai metode) dalam tindak-tanduk
jemaat setempat”. Baginya Pembangunan Jemaat menolong jemaat beriman lokal untuk
dengan bertanggung jawab penuh berkembang menuju persekutuan (paguyuban) iman,
yang mengantarai keadilan dan kasih Allah dan yang terbuka terhadap masalah manusia di
masa kini.
Konsep di atas mengarah pada satu tujuan, yaitu persekutuan atau paguyuban iman
yang lebih sesuai dengan kepengikutan Yesus, yaitu mengantarai keadilan dan kasih Allah,
serta keterbukaan terhadap pertanyaan- pertanyaan zaman kini menyangkut masalah-
masalah manusia. Upaya untuk sampai ke arah paguyuban iman yang baru tersebut terjadi
dalam proses. Karena itu dalam definisi di atas terdapat istilah “berkembang” yang
menunjuk pada proses. Hal ini dipertegas pula oleh pernyataan awal: “Intervensi sistematis
dan metodis dalam tindak-tanduk jemaat setempat”. Pernyataan ini mengandaikan bahwa
proses perubahan jemaat menuju suatu persekutuan iman yang baru memerlukan pula suatu
campur-tangan teoritis yang sistematis dan metodis.
Konsep Pembangunan Jemaat itu menjelma paling konkrit dalam jemaat lokal yang
oleh Hooijdonk disebut paroki teritorial di mana gereja ada, hidup dan berkembang. Jemaat
lokal dalam hal ini menjadi subyek maupun obyek. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa
Allah tetap menjadi subyek utama Pembangunan Jemaat. Arti pertama Pembangunan
Jemaat bukanlah bahwa jemaat dibangun oleh manusia, melainkan oleh Roh Kudus.
Bersamaan dengan Roh Kudus juga, Kristus disebut sebagai batu penjuru. Di dalam Dia
tumbuh seluruh bangunan, rapi tersusun menjadi bait Allah yang kudus di dalam Tuhan. Di
dalam Dia kamu juga turut dibangun menjadi tempat kediaman Allah, di dalam Roh.
5.2. Saran
Dengan adanya mata kuliah Pembangunan Jemaat ini, penulis berharap umat
diharapkan dapat semakin menemukan, mendalami, dan menghayati Kristus sebagai
pedoman hidup menggereja, sehingga iman semakin berkembang dan terarah pada
perkembangan zaman. Semoga dengan adanya pengetahuan lebih tentang Pembangunan
Jemaat, katekis ataupun pelayan tidak lagi mengira-ngira dan mencari-cari apa saja tugas
dan tanggug jawabnya karena dasarnya sudah terangkum dalam Pembangunan Jemaat itu
sendiri.
Daftar Isi