Anda di halaman 1dari 13

TEOLOGI MINJUNG

Dominggus Pangkali, Chaterin Tanser, Ance Yomilena, Adrianus Sarwuna


Jurusan Teologi, Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan Negeri (STAKPN) Sentani
Email : adrianjrjuventus7@gmail.com

Abstrak

Tulisan ini bertujuan untuk mengeksplorasi teologi dari minjung. Ini adalah akumulasi dan
artikulasi refleksi teologis atas pengalaman politik mahasiswa Kristen, buruh, pers, profesor,
petani, penulis, dan intelektual serta teolog di Korea pada 1970-an. Teologi Minjung Korea telah
dikenal sebagai cabang teologi pembebasan. Namun, teologi minjung lahir dalam situasi khusus
di Korea dan memiliki ciri khas dari teologi pembebasan. Melalui tulisan ini, kami mengkaji
definisi, latar belakang, dan ciri-ciri teologi minjung, serta upaya untuk mengkontekstualisasikan
teologi ini. Minjung secara, ekonomi miskin, lemah secara politik, terpinggirkan secara sosial,
tetapi kaya dan berkuasa secara budaya dan sejarah. Juga, minjung, orang miskin, bisa berpikir.
Mereka bisa melakukan teologi. Tidak perlu bagi mereka untuk bergantung pada penindas
mereka untuk memberi tahu mereka apa Injil itu.
Kata Kunci : Teologi; Minjung; Pembebasan; Korea; Asia; Injil
Pendahuluan
Teologi Minjung Korea telah dikenal sebagai cabang teologi pembebasan. Namun, teologi minjung
lahir dalam situasi khusus di Korea dan memiliki ciri khas dari teologi pembebasan. Tulisan ini
mengkaji definisi, latar belakang, dan ciri-ciri teologi minjung, serta upaya untuk meneliti
rekonsiliasi, sebuah topik penting dalam teologi modern, dari perspektif teologi minjung.
Teologi minjung atau teologi minjung merupakan akumulasi dan artikulasi refleksi teologis atas
pengalaman politik mahasiswa Kristen, buruh, pers, profesor, petani, penulis, dan intelektual
serta teolog di Korea pada tahun 1970-an. Ini adalah teologi kaum tertindas dalam situasi politik
Korea, respons teologis terhadap penindas, dan ini adalah respons kaum tertindas terhadap
gereja Korea dan misinya1
Di satu sisi, teologi minjung adalah contoh dari apa yang dilakukan oleh orang Kristen Korea pada
khususnya dan orang Asia pada umumnya untuk membebaskan diri mereka dari pengaruh
teologi Eropa yang menyesakkan. Namun di sisi lain, teologi minjung lebih dari sekadar
penolakan terhadap teologi Eropa. Teologi Minjung tidak identik dengan teologi hitam, Latin,
Afrika, atau bahkan Asia lainnya. Melainkan sebuah teologi yang didefinisikan oleh realitas
minjung. Ini adalah kisah Korea tentang penderitaan dan harapan. 2 Menurut Byung-mu Ahn,
salah satu teolog minjung terkemuka, “minjung, seperti Yesus, tidak dapat dijelaskan”. Baginya,
ini adalah realitas holistik, dinamis, dan berubah, yang luput dari kategorisasi. Sekali tunduk pada
definisi, ia menjadi korban ideologi dan objek spekulasi. Kata minjung adalah pengucapan Korea
dari dua karakter Cina, “min dan “jung” "Min" secara harfiah berarti "rakyat" dan "jung" "massa."
Menggabungkan dua kata ini, kita mendapatkan gagasan tentang "rakyat massa" atau hanya
rakyat3
Minjung adalah rakyat jelata yang telah ditindas oleh sekelompok kecil elit atau kelas yangban,
kelas penguasa pada masa Dinasti Yi (1392-1910), juga dikenal sebagai bangsawan. Dalam
pengertian modern, “minjung adalah mereka yang tertindas secara politik, dieksploitasi secara
ekonomi, terasing secara sosial, dan tetap tidak terdidik dalam masalah budaya dan intelektual,”
tegas seorang teolog biblika Moon Hee-suk4
Jika Minjung hanyalah produk sampingan dari klasifikasi sosial ekonomi, mereka akan
diidentifikasikan dengan proletariat dalam terminologi Marxis. Namun, Minjung jauh lebih
inklusif, karena menunjukkan semua orang biasa yang telah dianggap sebagai subjek sejarah dan
budaya Korea5 James H. Cone menekankan bahwa sebaliknya teologi Amerika Latin telah
berbicara banyak tentang pembebasan orang miskin, bentuk dan isi teologi mereka tidak banyak
mencerminkan sejarah dan budaya orang miskin, terutama di antara orang India dan kulit hitam
di benua itu6 Selain itu, minjung bukanlah definisi Marxis tentang proletariat atau sejarah, bukan
pula gagasan Maois tentang “Inmin” yang menjunjung tinggi supremasi dan kediktatoran
proletariat dan totalitarianisme.

1
Kwang-sun David Suh, “A Biographical Sketch of an Asian Theological Consultation,” dalam Minjung
Theology: People as the Subjects of History, ed. Commission on Theological Concerns of the Christian
Conferences of Asia (New York: Orbis Books, 1983), 16.
2
James H. Cone, “Kata Pengantar,” dalam Minjung Theology: People as the Subjects of History, ed. Komisi
Kepedulian Teologis Konferensi Kristen Asia (New York: Orbis Books, 1983), 16.
3
Suh, “Sebuah Sketsa Biografi dari Konsultasi Teologi Asia,” 15-16.
4
Hee-suk Moon, A Korean Minjun Theology: An Old Testament Perspective (Maryknoll, New York and
Hong Kong: Orbis Books and Plough Publications, 1985), 1.
5
Lee, “Minjung Theology: A Critical Introduction,” 3-4.
6 Kerucut, “Kata Pengantar,” xv.
Minjung secara ekonomi miskin, lemah secara politik, terpinggirkan secara sosial, tetapi kaya dan
berkuasa secara budaya dan sejarah. Juga, minjung, orang miskin, bisa berpikir. Mereka bisa
melakukan teologi. Tidak perlu bagi mereka untuk bergantung pada penindas mereka untuk
memberi tahu mereka apa Injil itu. Ketika orang miskin mulai berpikir, mereka menjadi sadar
akan identitas yang melampaui dunia yang diciptakan dan dikendalikan oleh para penindas 7 Oleh
karena itu, minjung diakui sebagai subjek sejarah, yang bertanggung jawab atas kerja produksi,
menciptakan budaya, dan menggerakkan gerakan sejarah ke dalam praktik.
Yong-bok Kim, seorang teolog minjung, menjelaskan konsep “biografi sosial minjung” saat
mendefinisikan minjung. Minjung memahami diri mereka sendiri dan mendefinisikan diri
mereka sendiri dengan biografi sosial minjung yang mengungkapkan kesulitan dan harapan
mereka melalui cerita. Injil Markus adalah contoh representatif dari biografi sosial, dan dalam
tradisi Korea, cerita rakyat, tari topeng, dan pansori. Ini tidak didefinisikan secara objektif dan
numerik oleh orang lain, tetapi itu adalah proses di mana minjung menjadi sadar diri dalam
sebuah 'narasi'. Oleh karena itu, konsep minjung adalah pribadi, bahkan religius. Teolog Minjung
Ahn berkata, “Yesus adalah minjung, dan minjung adalah Yesus.” kami sangat menyangkal konsep
bahwa Yesus adalah pemimpin, pembebas, dan pendidik 'untuk' minjung. Yesus tidak
memberikan dirinya untuk menyelamatkan minjung. Yesus bukanlah subjek yang membuat
minjung sadar dan menyebabkan mereka memulai gerakan pembebasan. Yesus adalah salah satu
minjung dan minjung seperti Yesus. Juga, ketika dikatakan Yesus sebagai wakil minjung, itu tidak
berarti bahwa Yesus adalah contoh bahwa minjung harus mengikuti-Nya sebagai panutan
minjung. Kata “minjung adalah Yesus” secara logis berarti bahwa kisah Yesus dan pengalaman
diri minjung terjadi secara bersamaan. Dengan kata lain, dikatakan bahwa orang-orang pada
masa itu yang menyampaikan kisah tentang Yesus melihat penderitaan mereka di tengah
eksekusi Yesus dan menjadi “subyek mewariskan kisah” yang menyampaikan kisah tentang
Yesus. Kisah Yesus membuat minjung sadar, dan minjung sadar diri dalam kesulitan meneruskan
kisah Yesus8.

7Ibid., xv-xvi
8
Dong-min Jang, “Dari Minjung ke Kehidupan: kontribusi Chi-ha Kim dalam pengembangan Teologi
Korea”
Latar Belakang Munculnya Teologi Minjung dalam Sejarah Korea
Kisah panjang penindasan, kemiskinan, dan dehumanisasi yang ditimpakan kepada
rakyat Korea oleh negara-negara besar seperti Cina dan Jepang. Selama lebih dari empat
ribu tahun sejarah nasional, orang Korea hanya menikmati periode damai dan otonomi
yang relatif singkat, dan telah menderita dan ditindas oleh kekuatan, terutama oleh
berbagai kerajaan Cina. Setelah Perang Dunia II, Korea dibagi menjadi Korea Utara dan
Korea Selatan alih-alih pembagian wilayah Jepang yang menjadi penjahat perang. Dan
perang saudara pada tahun 1950 tidak mencapai persatuan dan otonomi yang telah
dicari oleh orang Korea dan, menghancurkan seluruh negeri, dan menjerumuskan orang-
orang ke dalam jurang kemiskinan yang dalam, menyebabkan penderitaan yang tak
terkatakan9
Meskipun menderita karena penindasan asing, selalu ada segelintir orang yang
mementingkan diri sendiri yang telah bekerja sama dengan penjajah asing untuk
memajukan kepentingan mereka sendiri. Mereka menjadi elit atau kelompok penguasa
dan menindas mayoritas minjung Korea. Oleh karena itu, rakyat jelata telah ditindas
ganda oleh orang asing dan oleh elit (pengkhianat) dari masyarakat mereka sendiri10
Korea, tidak seperti banyak bagian Asia, tidak dijajah oleh kekuatan kekaisaran Eropa,
melainkan oleh Cina dan kemudian Jepang. Oleh karena itu, Konfusianisme dan
Buddhisme tidak dianggap sebagai pembebasan, tetapi lebih sebagai memungkinkan
penindasan dan marginalisasi, karena kedua tradisi agama ini dikooptasi oleh kelas
penguasa Korea dan oleh karena itu terjalin erat ke dalam lanskap politik dalam sejarah
Korea. Sebaliknya, ketika Kekristenan tiba di Korea, itu bukanlah iman dari kekuatan
penjajah, seperti yang terjadi di banyak negara Asia, melainkan pesan pembebasan yang
kuat bagi massa subaltern Korea dari dominasi Cina dan Jepang. 11 Untuk alasan ini,
Kekristenan awal di Korea dapat bergaul dengan orang-orang dengan mudah dan
mendapatkan pengakuan dari rakyat Kekristenan memainkan peran penting dalam
gerakan kemerdekaan dan memberikan kontribusi besar bagi pembentukan Republik
Korea saat ini.
Di era modern Korea, kematian Jeon Tae-il (26 Agustus 1948 – 13 November 1970)
adalah salah satu penyebab utama teologi minjung. Jeon adalah aktivis hak asasi pekerja
menjahit Korea dan pekerja yang melakukan bunuh diri dengan membakar diri sampai
mati pada usia 22 sebagai protes atas kondisi kerja yang buruk dari pabrik Korea pada
13th November 1970. Pada saat itu, gerakan buruh yang belum berakar di bawah
kediktatoran militer Park Jeong-hee mulai tumbuh sedikit demi sedikit, dan
perkembangan gerakan buruh, yang dimulai dengan kematian Jeon, menjadi akar dari
perkembangan gerakan buruh demokratis di tahun 1970-an. Selain itu, menjadi
katalisator bagi kaum intelektual untuk tertarik pada gerakan buruh, dan kehidupan dan
perjuangan rakyat mulai muncul di garis depan sejarah, dan menjadi peristiwa sejarah

9
Jung Young Lee, “Minjung Theology: A Critical Introduction,” dalam An Emerging Theology in World
Perspective Commentary on Korean Minjung Theology, ed. Jung Young Lee (Connecticut: Twenty-Third
Publications, 1988, 5.
10
Ibid, hal. 5
11
Jonathan Y. Tan, “Ecumenical and Inter-religious Contributions to Asian Liberation Theologies,” The
Ecumenical Review 69, no. 4 (Desember 2017): 486
yang mempercepat demokrasi.12 Oleh karena itu, pada tahun 1970-an, lebih dari 2.500
serikat pekerja dibentuk, dan peristiwa-peristiwa yang mengumumkan kelahiran serikat
pekerja demokratis yang besar terjadi satu demi satu 13 Setelah menghadapi kematian
Jeon Tae-il, di sisi lain, para teolog di Korea datang untuk memiliki refleksi keagamaan
dan refleksi teologis, yang mempengaruhi lahirnya teologi minjung.
Munculnya Teologi Minjung
Meskipun teologi pembebasan di Amerika Latin dan negara-negara Dunia Ketiga lainnya
pada 1960-an dan 1970-an, para teolog Korea tidak dapat terpengaruh olehnya. Karena
pemerintah Korea (di bawah kediktatoran militer pada 1960-an, 1970-an, dan 1980-an)
menyensor semua materi yang berhubungan dengan gerakan pembebasan, hanya sedikit
teolog Korea yang diberi tahu tentang teologi pembebasan. Selain itu, sebagian besar
pemimpin Kristen di Korea cukup konservatif dan fundamentalis dalam orientasi teologis
mereka. Keterasingan relatif dari perkembangan teologi pembebasan di bagian lain dunia
ini membuat orang Korea mampu mengembangkan teologi pribumi mereka sendiri14
Kebangkitan teologi minjung disebabkan oleh penderitaan massa selama dorongan
industrialisasi negara dari awal 1960-an. Selama periode industrialisasi yang cepat ini,
para pekerja Korea menjadi sasaran upah yang rendah secara artifisial dan jam kerja yang
panjang dengan banyak pekerja yang bekerja lebih dari 70 jam seminggu, di bawah
kondisi kerja yang buruk. Setiap upaya untuk melawan eksploitasi pekerja mendapat
hukuman yang berat, termasuk penjara15 Sementara kegiatan Misi Industri Perkotaan
dan orang-orang Kristen yang serius secara sukarela bekerja setidaknya enam bulan
seperti yang dilakukan penginjil dan pekerja di kompleks industri perkotaan pada awal
1960-an, mereka dihadapkan pada ketidakadilan yang luar biasa dan kondisi kerja yang
tidak berbudi dan merasakan perjuangan untuk keadilan sosial. sebagai bagian dari
kerasulan mereka. Pada awal 1970-an, beberapa kelompok Misi Industri Perkotaan
dibentuk untuk memerangi penyalahgunaan tempat kerja dan terlibat dalam
pembentukan serikat pekerja dan memajukan isu-isu hak-hak pekerja. Dalam ini periode
kebangkitan hak asasi manusia dan keadilan sosial, perhatian teologis yang muncul
adalah pada minjung, massa yang miskin dan tertindas. Dengan kata lain, kejahatan
dehumanisasi dan ketidakadilan sosial bagi kaum miskin menjadi objek perhatian
teologis. Dalam solidaritas dengan mayoritas yang miskin dan tertindas, para teolog ini
mulai menafsirkan kembali iman Kristen dalam terang pengalaman minjung. Mereka
percaya bahwa Yesus tidak hanya memihak orang miskin, lemah, dan tertindas
(ditekankan oleh Dietrich Bonhoeffer) tetapi juga datang untuk membebaskan mereka
dari elit penguasa. Mereka ingin berpihak pada minjung dalam perjuangan untuk
keadilan dan pembebasan 16

12
A Martyr Jeon Tae-il,” Yayasan Jeon Tae-il, diakses 01 November 2021, http://www.chuntaeil.
org/?r=home&c=1/2/8
13
Ibid., http://www.chuntaeil.org/?r=home&c=1/2/8
14 Lee, “Minjung Theology: A Critical Introduction,” 6- 7.
15
Andrew Eungi Kim, “Minjung Theology in Contemporary Korea: Liberation Theology and a
Reconsideration of Secularization Theory,” Religions 9, no. 12(Desember 2018): 416.
16 Lee, “Teologi Minjung: Pengantar Kritis,” 7-8
Tuhan Yesus dan Minjung
Peristiwa Yesus adalah fondasi yang prinsipil bagi refleksi teologi Minjung. Ini adalah
peristiwa kesengsaraan, kematian dan kebangkitan Yesus. Ini adalah hari Yesus
membebaskan orang yang tertindas. Kehidupan Kristus merupakan tanda pembebasan.
Injil secara esensial berkisah tentang bagaimana Allah menyatakan diri-Nya dalam dan
melalui Yesus. Maka kontempelasi teologi mereka didasarkan atas kisah tentang Yesus
yang diceritakan oleh orang-orang biasa, yang adalah Minjung, yang ada juga di sekitar
Yesus (Mat 4:25). Yesus menunjukkan sikap penuh belas kasihan kepada mereka:
“melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka,
karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala” (Mat 9:36).
Bahkan Yesus sendiri dapat dikatakan Minjung 17 Dia dipinggirkan oleh manusia serta
mengalami penderitaan yang berpuncak dengan seruannya di kayu salib, "Eli, Eli, lama
sabakhtani?" Artinya: Allah- Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? (Mat
27:46). Yesus, Sang Mesias, hidup dan tinggal di antara orang-orang yang tertindas,
tertimpa kemiskinan dan yang menderita sakit-penyakit di Yehuda. Dengan tegar Dia
berdiri tegak dalam konfrontasi dengan Pontius Pilatus, dan Dia disalibkan demi
kesaksianNya akan kebenaran. Dunia Dua pertiga ahli teololog tertawan. Yesus menolak
kekuasaan, kekayaan dan kedudukan. Ia menawarkan ajaran kasih dan berbuat kasih
kepada orang-orang yang miskin, menderita dan berkekurangan. Ia mengajarkan supaya
cinta kasih diberikan kepada siapa saja, bahkan kepada musuh. Yesus mengecam agama
yang membuat mereka mandul dengan praktek formal seperti puasa, doa yang dipamer-
pamerkan, serta penetapan aturan sabat yang amat ketat. Praktek formal keagamaan bagi
Yesus hanya mengakibatkan masyarakat terpecah-pecah antara orang kaya dan orang
miskin, orang yang berkuasa dan yang tidak berkuasa di bidang ekonomi, sosial, politik
dan agama. Yesus yang menjadi miskin mengajak manusia untuk mengenal
kehadiranNya dalam diri orang miskin. Yesus mengalami penderitaan sebagaimana
kaum miskin yang menderita dan yang dikejar-menunjukkan solidaritas dengan kaum
miskin saja, tetapi merupakan perlawananNya terhadap Mamon yang dinyatakan sebagai
saingan Allah. Yesus menyadari diriNya yang didorong oleh Roh Kudus memperjuangkan
pembebasan kepada orang yang miskin. Ia mempertegas pembelaanNya kepada kaum
miskin dalam kotbah di Bukit. Ia pun menuntut kesempurnaan kepada para muridNya
dalam perbuatan kasih, sebagaimana Bapa yang penuh belas kasih. Jelaslah bahwa
panggilan orang Kristen ialah menjalankan kasih persaudaraan dan berbelas kasih. Sikap
Yesus dipertegas dengan pernyataanNya bahwa dalam dan melalui kaum miskinlah Ia
akan melaksanakan hukuman terakhirNya demi seluruh umat manusia. Sampai akhirnya,
Yesus menyempurnakan karyaNya di kayu salib. Injil Markus sejak awalnya (1:22)
mengacu kepada orang banyak yang berhimpun disekitar Yesus dan melaporkan bahwa
orang banyak bersama- Nya. Dengan menuturkan ini, penulis kitab Injil ini menarik
perhatian kita kepada orang banyak tanpa nama itu, dan akhirnya Ia menyatakan bahwa
orang banyak ini sebetulnya adalah okhlos (2:4) sendiri. Dan setelah itu injil itu terus
menuturkan bahwa Yesus dikelilingi oleh okhlos dan Ia tinggal bersama mereka
disepanjang hidup-Nya.

B.F. dan Julianus Mojau, 2003. Apa itu Teologi?: Pengantar ke dalam Ilmu Teologi, Jakarta: BPK Gunung
17

Mulia, hal. 67
Istilah okhlos muncul sebanyak 38 kali didalam injil Markus, dipakai sebanyak 49 kali
oleh Matius dan 41 kali oleh Lukas. Septuaginta memakai istilah laos yang Artinya umat
Allah, menggantikan istilah okhlos kalau menuturkan prihal yang banyak. Markus juga
mengetahui istilah laos, tetapi ia memakai hanya dua kali 18 Menurut Injil banyak okhlos
yang dikaitkan dengan dan ikut serta didalam kiprah-kiprah Yesus. Markus
menggambarkan okhlos yakni orang orang sakit, para pemungut cukai yang berdosa dan
mereka yang misikin19 Minjung berada di sekitar Yesus, mengikuti Yesus dalam
pelayananNya dan dia tidak membiarkan mereka. Ketika Dia bersama Minujung dia
berkata “Inilah ibu- Kurikulum dan saudara-saudara-Ku" (Mrk 3:31). Bahkan Yesus
berada dengan para pelacur yang dihina oleh rakyat dan dibenci oleh para imam. Kabar
baik tentang pembebasan yang diberitakan oleh Yesus mengatakan bahwa mereka
bukanlah orang- orang berdosa, ketika Yesus berkata: “Dosamu telah diampuni”. Inilah
kata-kata pembebasan Yesus. Sejarah Yesus, kematianNya di kayu salib dan kebangkitan-
Nya adalah sejarah Minjung20 Yesus bertindak pada orang Minjung, seperti orang-orang
berdosa, walau Dia tidak berdosa, dan mengambil jalan orang berdosa dengan mati di
kayu salib, dimana salib adalah hukuman bagi seorang penjahat21 Berkhof sebagaimana
dikutip oleh Abineno menjabarkan bahwa Injil memberitakan kepada manusia seorang
Allah yang revolusioner, yang keadilan- Nya ialah mengangkat mereka yang diinjak-injak
dan merendahkan para penindas22
Yewangoe menjabarkan kaitan antara Allah dan Minjung, bahwa sebagai Allah sejarah,
Dia telah mengukuhkan kedudukan Minjung sebagai subyek dalam sejarah 23 Tetapi
biarpun demikian, tidaklah harus dipahami, Allah harus selalu berada di tengah-tengah
kaum Minjung, sama seperti kehadiran Yesus di Yerusalem, yakni di dalam sejarah,
bahkan dengan Allah yang transenden sekalipun, Allah tetap berada bersama Minjung.

18 Byung Mu Ahn, “Yesus dan rakyat (Minjung)” dalam R.S. Sugirtharajah (ed), Wajah Yesus di Asia,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), hlm 261-262.
19 Ibid, hlm 262-263.
20
David Kwang-sun Suh, Teologi Minjung, dalam Samuel Amirtham dan John S. Pobee (ed), op.cit, hlm 43
21 Leo D. Lefebure, Pernyataan Allah, Agama dan Kekerasan, (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2003), hlm 114.
22
Jl. Ch. Abineno, Manusia dan Sesamanya di dalam Dunia, (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 1987), hlm 23
23
A.A. Yewangoe Theologia Crucis Asia: Pandangan-pandangan Orang Kristen Asia Mengenai Penderitaan
dalam Kemiskinan dan Keberagaman di Asia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004) , op.cit, hlm 178.
Minjung sebagai “Subyek Sejarah” dan Mesianisme Hamba
Salah satu tema penting dalam refleksi teologis Minjung adalah menjadikan Minjung
menjadi subjek sejarah, karena pada umumnya sejarah ditulis dari prefektif kelas yang
berkuasa. Bagi para teolog Minjung untuk mencapai tujuan tersebut yakni Minjung
sebagai subjek sejarah maka digunakanlah metode bercerita dan taritarian topeng.
Sesuai dengan pandangan Kim Yong Bock, Yewangoe menuliskan ada empat gerakan
Mesianis yang muncul dari perjumpaan historis antara rakyat dari kekuasaan yang
memerintah yakni: Buddisme Maitreya; kisah Hong Kil-Dong yang manusia,
mengumpulkan sebuah gang (kelompok Hwal Bindang) untuk membebaskan kaum
miskin dan menyerang golongan kaya; gerakan mesianis Donghak yang shamanistis,
yang memainkan peranan penting dalam pemborontakan Donghak (1895), dan juga
dalam Gerakan Kemerdekaan Satu Maret (1919) serta gerakan mesianis Kristen.
Keempat gerakan ini merupakan jalan bagi kerajaan Mesianis dan mesias itu, yang adalah
Yesus, yang berasal dari rakyat dan dimiliki oleh rakyat.
Kim Yong Bock mengadakan pembedaan antara apa yang disebutnya “mesianisme
kekuasaan” dan “mesianisme Yesus”, yang disebutnya sebagai penguasa dan mesianisme
Minjung, atau mesianisme politik atau mesianisme hamba, sehingga menurutnya
kekuasaan harus ditempatka dibawah kekuasaan Yesus. Berdasarkan hal tesebut ada
jaminan bahwa Minjung akan menerima kembali kedudukannya sebagai subjek dalam
sejarah24 Atas dasar itu teologi Minjung menolak mesianisme yang semu. Mesianisme
semu ialah mesianisme yang ditawarkan para penjajah dan rezim Marxis Korea yang
seolah-olah hendak menyingkirkan diktator proletariat serta pemerintah. Teologi
Minjung justru menawarkan pandangan bahwa kaum miskin sebagai subyek
keselamatan sebagaimana diinspirasikan oleh Yesus. Yesus adalah bagian dari Minjung
dan bukan semata-mata demi Minjung. Yesus muncul dari Minjung,rakyat yang
menderita dan menjadi bagian dari rakyat yang menderita itu juga. Pengalaman Yesus
dipahami sebagai identifikasi dengan sosok Minjung. Yesus juga dipahami sebagai orang
yang menyambut mereka yang berdosa tanpa syarat. Ia memaklumkan kepada mereka
tentang kedatangan Kerajaan Allah yang memerdekakan.

Peristiwa Eksodus dan Minjung


Teologi Minjung adalah kontekstual, dengan suatu tekanan pada refleksi atas perjuangan
kebebasan. Hermeneutik sosial politik merupakan sentral yang penting. Para teolog
Minjung melihat perbudakan orang Ibrani pada masa Firaun sebagai sebuah paradigma
dan pengulangan peristiwa ini terjadi di Donghak melawan penindasan orang Jepang,
yang dilihat sebagai satu tindakan dari Allah dalam pembebasan Minjung. Tindakan
pembebasan ini merupakan awal yang penting bagi teologi Minjung, karena dianggap
sebagai natur dan karakter dari Allah. Sosok Minjung serupa dengan rakyat Israel yang
tertindas oleh Mesir namun dibebaskan Allah sebagaimana terungkap dalam kisah
Keluaran.

24 A.A Yewangoe, op.cit. hlm 162-163


Yewangoe meringkaskan beberapa pandangan dari teolog Minjung berkaitan dengan
peristiwa keluaran dan hubungannya dengan pembebasan Minjung, yakni: 25
a. Eksodus merupakan inti sejarah Perjanjian Lama dan awal mula rakyat (Minjung)
Israel. Biografi sosial Minjung yang adalah sejarah suatu bangsa yang menderita
sebagai bagian dari seluruh pengalaman sejarah, ditangkap kedalam kedaulatan
Allah dengan jalan mengakui Allah sebagai protagonist dalam biografi sosial ini
(Kim Yong-Bock).
b. Ada kesamaan besar antara penderitaan dan penindasan yang dialami oleh
Minjung dengan apa yang dialami oleh rakyat jelata yang tertindas di Israel.
Kesamaan ini terletak dalam hubungan Minjung dengan kelas yang berkuasa.
Minjung dalam sejara eksodus adalah kaum tertindas, mereka yang hak- haknya
diperkosa. Karena itu Minjung harus dipahami dalam struktur-struktur
kekuasaan (Cyris Hee-Suk Moon).
c. Eksodus adalah salah satu paradigma bagi teologi Minjung. Dengan mengaitkan
peristiwa eksodus dengan penyaliban dan kebangkitan Yesus. Peristiwa eksodus
adalah suatu peristiwa politik yang terjadi dalam bidang sosial ekonomi.
Pemberontakan yang terjadi melawan penindasan sosial ekonomi harus dipahami
sebagai suatu tindakan pemberontakan melawan system Mesir yang berkuasa dan
menindas (Suh Nam Dong).
d. Kitab Keluaran pada masa pendudukan Jepang, secara luas dikutip dan
dikhotbahkan di seluruh negeri dan kejadian penyeberangan Laut Teberau akan
segera terwujud (Kyoung Bae Min).
Keempat pandangan teolog Minjung diatas menunjukkan hermneutik terhadap peristiwa
keluaran dikaitkan dengan konteks Korea. Peristiwa keluaran dipakai sebagai topologis
terhadap sejarang kaun Minjung di Korea, sehingga pembebasan yang telah dialam
bangsa Israel dengan pertolongan Allah diyakini akan terjadi juga di Korea dimana
penderitaan kaum Minjung akan dipedulikan oleh Allah sehingga Allah adalah Allah yang
membebaskan.

25 Bnd Yewangoe, op.cit, hlm 166-168


Relevansi Teologi Minjung dalam Konteks Indonesia
Secara umum dapat dilihat bahwa Teologi Minjung muncul akibat dari ketidakadilan
sosial, penindasan yang dilakukan oleh pihak penguasa atau penjajah, kemiskinan dan
ketidak-bebasan berinspirasi. Pergerakan ini bertujuan untuk membela hak-hak orang
tertindas baik dari segi sosial, ekonomi dan politik. Teologi Minjung dapat membuka
mata dunia khususnya gereja masa kini untuk tidak meninggalkan fungsinya sebagai
pembawa misi kebenaran Firman Tuhan, memberitakan damai sejahtera dan keadilan
berdasarkan karakter Tuhan Yesus, bagi semua orang tanpa terkecuali.
Secara umum keadaan dunia memiliki realitas yang harus dihadapi, yakni sebuah tema
klasik, yakni dimensi sosio-politik, kaya dan miskin, sehingga dokumen Global Etic
menuliskan:26
“Meski demikian, diseluruh dunia kita masih menemukan kelaparan, kekurangan dan
kebutuhan yang takpernah berhenti. Tidak hanya para individu, tetapi khususnya
intitusi- intitusi dan struktur-struktur yang tidak adil bertanggung jawab atas tragedi ini.
Bermiliar-miliar orang tak punya pekerjaan dan dieksploitasi dengan upah rendah
menjadi gelandangan, kemungkinan masa depen mereka hancur. Dibanyak negara
kesejangan antara yang berkuasa dan yang tidak berkuasa sangat luas. Kita hidup
diantara dunia dimana negara sosialisme, totaliter dan kapitalisme yang tidak tekendali
telah menodai dan menghancurkan bahaya nilai-nilai etik dan spritural. Mentalitas
materialistik mendorong sikap rakus untuk mencari keuntungan yang tak habis-
habisnya. Kehausan ini menguras dan menguras sumber penghasilan masyarakat tanpa
mengaruskan individu untuk lebih memberi kotribusi. Kanker sosial berupa korupsi
menjalar cepat di berbagai negara berkembangan dan negara maju.”
Gambaran keadaan di atas juga terjadi di negera Indonesia masa kini, masih banyak kasus
gizi buruk, kelaparan dan kurang mampu memenuhi kebutuhan hidup, walaupun
pemerintah memberikan Raskin. Di negeri ini masih banyak pengangguran,putus sekolah
dan mahalnya biaya kesehatan, walaupun pemerintah memberikan program BOS
(Bantuan Operasional Sekolah) dan bantuan lainnya yang telah disalurkan oleh
pemetintah. Ada benang merah antara teologi Minjung di Korea Selatan dengan konteks
di Indonesia. Indonesia bukanlah negara madani. Masih banyak kaum Minjung yang
teraniaya, terisolasi dan termarjinalkan. Sehingga teologi Minjung yang secara praksis
bergumul tentang penderitaan Minjung, menjadi cerminan bagaimana teolog Indonesia
untuk menghadirkan refleksi teologis yang bisa menjawab persoalan kehidupan orang
Kristen di negeri ini, yang bisa menyapa kehidupan dan terealisasi secara konkret.
Lumbantobing mengusulkan bahwa diperlukan upaya berteologi secara praksis dalam
konteks Indonesia untuk merealisasikan keberpihakan Allah terhadap orang-orang yang
menderita pada masa kini. Gereja hendaknya tidak hanya sekedar berdoa, berkhotbah
dari mimbar dan menyampaikan kabar baik melalui kata-kata, tetapi sebaliknya harus
melalui program nyata, sehingga keselamatan benar dirasakan oleh mereka yang

26
Joas Adiprasetya, Mencari Dasar Bersama, (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2002), hlm 154.
bergumul dan menderita27 Teologi praksis bekembang dalam satu lingkaran
hermeneutik yang bermula dengan pemetaan situasi aktual, beranjak kepada refleksi
Biblis dan teologis yang dilanjutkan dengan pengambilan sikap dan tindakan nyata 28
Konteks Indonesia masa kini, memang tidak lagi melawan rezim otoriter, tetapi keadaan
bangsa ini juga tidak lepas dari hadirnya kaum Minjung dimana-mana, bahkan gereja
menjadi kaum Minjung, dimana gereja dibakar dan sangat susah mendapatkan izin
berdiri. Sehingga tidak diragukan lagi, perlu usaha membaca dan memahami Alkitab
dengan perspektif Minjung yang membawa arah yang baru dalam menafsirkan Alkitab.
Dengan kacamata Minjung para pembaca diarahkan memahami serta mengimani firman
dalam perspektif kesamaan dan kesederajatan. Dengan pandangan baru yang ditawarkan
teologi Minjung orang dapat memahami Alkitab semakin baik dan juga menjadi pelaku
firman yang diyakini itu. Gerakan Minjung di Korea Selatan yang dimulai pada periode
1970-an sebenarnya bisa menjadi inspirasi bagi teolog di Indonesia pada umumnya,
karena pengalaman bersama pernah dijajah pada masa kolonialisme. Dalam pada itu
faktor sosio- ekonomis juga tempat yang penting dalam usaha memahami gerakan
Minjung.
Fokus gerakan Minjung tampak dalam dua bagian utama : menjamin hak- hak orang
miskin, lemah dan tertindas dan kepada perubahan suatu sistem kemasyarakatan yang
lebih baik untuk menjamin mereka. Kemudian dalam konteks globalisasi dan krisis
ekologi, mereka menitik-beratkan tentang ketenagakerjaan dan sistem perburuhan yang
dieksploitasi oleh perusahaan dan pemberi kerja dari luar negeri. Namun demikian
sebagaimana disebutkan diatas, teologi Minjung telah membuat sumbangan yang cukup
berarti tentang identitas kaum Minjung dan menantang mereka untuk berdiri dan
berbicara. Teologi Minjung melihat bahwa Minjung adalah subyek dari pembebasan itu
sebagaimana mereka adalah subyek sejarah dan kebudayaan dimana mereka berada. Hal
ini digambarkan sebagaimana dalam hubungan Yesus dan kaum Minjung.
Berkaitan dengan subtema Sidang Raya PGI “Bersama-sama menanggulangi kemiskinan
dalam rangka pembangunan nasional,” Alyona mengusulkan beberapa hal, yang juga
menjadi pertimbangan dalam mengaitkan teologi dengan minjung di Indonesia, yakni:29
a. Diperlukan penanganan yang pas oleh orang-orang yang jujur yang memiliki kasih
dan rasa kemanusiaan yang luhur.
b. Melakukan tindakan perlindungan (advokasi) terhadap orang miskin
berdasarkan kasih.
c. Meningkatkan ekonomi keluarga jemaat. 30

27
Darwin Lumbantobing, Teologi di Pasar Bebas, (P.Siantar: L-SAPA, 2008), hlm54
28
Jhon Mansford Prior, Daya Hening, Upaya Juang: Menoleh kepada Agama dan Budaya Kaum Tersisih,
(Jakarta:BPK Gunung Mulia, 1999), hlm 33.
29
Cornelis Alyona, Perlindungan terhadap Orang Miskin dalam Imamat 25:35-55 (Perbandingan dengan
Ulangan 15:1-18) dalam Robert P. Borrong (ed), Berakar di dalam Dia dan Dibangun di atas Dia, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2000), hlm 58.
30
Martinus TH Mawene, Teologi Kemerdekaan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hlm 209
Jika dikaitkan dengan tugas pokok gereja yakni memberitakan Injil Kerajaan Allah yang
membebaskan maka dengan sendirinya gereja berperan sebagai suatu institusi
pembebas dengan peran sebagai berikut:
a. Gereja terdiri dari orang-orang yang dibebaskan atau diselamatkan atau dengan
kata lain, gerja adalah koinonia yang dibebaskan sekaligus untuk koinonia
pembebas yang dipakai oleh Allah.
b. Pola kehidupan gereja adalah pola hidup kebebasan yaitu yang didasarkan atas
amanat dan semangat Injil Kristus yang membebaskan itu (1 Ptr. 2:16)
c. Tugas gereja adalah memberitakan Injil kerajaan Allah itu, berarti aktif bekerja
demi pembebasan umat manusia dari kuasa dosa, dan itu berarti dari segala
bentuk kejahatan dan ketidakadilan 31
Dengan demikian gereja harus bertekat mempelajari cara baru dalam berbicara kepada
dunia dan tidak kurang pula dalam mencampur tangan terhadap dunia ini. Cara baru
dalam bebicara, sebab dalam dunia yang sudah disekulerisasikan, dimana kita hidup
telah berkembang begitu banyakkemungkinan-kemungkinan baru manusia sehingga
dunia hanya dapat disapa dengan sah jika dunia ini juga dibenarkan dan penyhapaan itu
terdapat menjadi komunikasih timbal balik yang sungguh sungguh 32 Dengan ini, gereja
ditantang untuk menganalisa zaman dan mendengarkan keadaan sekitarnya, guna
memberikan kontribusi pemikiran untuk pengembangan kemasyarakatan yang lebih
baik. Gereja harus berperan aktif dalam memberi kebebasan kepada kaum miskin dan
tertindas. Miskin dalam hal ini, bukanlah hanya miskin secara materi, tetapi juga orang
yang tertindas secara politik dan sosial 33 Gereja harus bersemangat kerakyatan, dimana
dalam teologi Minjung nyata sekali batas antara gereja dan rakyat menjadi kabur,
identifikasi yang terjadi adalah antara bangsa Israel dengan bangsa Korea. Apabila gereja
dekat dengan pergumulan dan pengharapan rakyat, maka tri tugas gereja- Koinonia,
Marturia dan Diakonia- dapat ditranformasikan, sehingga bersangkut-paut dengan
pergumulan dan pengharapan rakyat34 Sehingga terbentuk eklesiologi yang menjadi
milik semua orang, bukan hanya kaya, tetapi juga yang miskin dan terabaikan. Orang
Kristen yang mengaku percaya kepada Tuhan berarti memahami apa yang Tuhan
kehendaki. Mengikut Tuhan berarti ikut melibatkan diri dalam gerakan Allah yang
membebaskan mereka yang diperlakukan yang sesuai dengan kehendak-Nya. Secara
negatif dapat dikatakan bahwa ketika tugas advokasi tidak direalisasi, disitu ada masalah
relasi dan iman kepada Tuhan35 Jadi keterpanggilan orang beriman untuk menjadi

31
H. Kraemer,Theologia Kaum awan, (Jakarta:BPK Gunung Mulia,2001, hln 140, 39 Jhon Stott, Isu-Isu
Global Menantang Kepemimpinan Kristiani: Penilaian atas Masalah Sosial dan Moral Kontemporer,
(Jakarta: YKBK/OMF, 1996), hlm 308-311.
32
Jhon Stott, Isu-Isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani: Penilaian atas Masalah Sosial dan Moral
Kontemporer, (Jakarta: YKBK/OMF, 1996), hlm 308-311.
33
Emmanuel Gerrit Singgih, Berteologi dalam Konteks, (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2007), hlm 209
34 Ibid, hlm 212.
35
Viktor Tinambunan, Gereja dan Orang percaya oleh rahmat menjadi berkat ditengah Krisis Multi Wajah,
(Pematang Siantar: L- SAPA STT HKBP, 2006), hlm 21
pembela dan pengharapan bagi yang tertindas adalah jadi bukti nyata iman dan kasihnya
kepada sesama.

Kesimpulan
Teologi Minjung dapat dilihat sebagai anak dari beberapa sistem teologi modern, yang
dikontekstualisasikan dengan situasi Korea, dengan memposisikan gereja sebagai yang
berpihak pada kaum Minjung, kaum miskin, yang tertindas dan yang terabaikan. Hal ini
menjadi cerminan bagi kedudukan gereja dan orang Kristen di Indonesia untuk berperan
aktif dalam praksis, untuk menjadi pembebas dan pengharapan bagi yang tertindas dan
tersisihkan atau termarjinalkan.
Berdasarkan pembahasan mengenai teologi Minjung ini, ada beberapa saran sebagai
tindakan nyata:
a. Gereja hendaknya melaksanakan tri tugas panggilannya.
b. Gereja lebih berperan aktif dalam pembelaan dan menjadi pengharapan bagi yang
tertindas dan berkontribusi terhadap perubahan suatu sistem kemasyarakatan
yang lebih baik dan membantu peningkatan perekonomian jemaat..
c. Gereja hendaknya jangan tutup mata, tetapi jeli dan tanggap pada situasi negara
dan masyarakat.
d. Para teolog hendaknya memberikan sumbangsih pemikiran teologis- kontekstual
kepada negeri ini demi keutuhan ciptaan dan advokasi terhadap kaum-kaum
Minjung di Indonesia, yang bisa menjawab persoalan kehidupan orang Kristen di
negeri ini, yang bisa menyapa kehidupan dan terealisasi secara konkret.
e. Lembaga-lembaga pendidikan teologi hendaknya mendidik dan
mengembangkan para calon teolog dan pendeta ataupun calon pendidik, untuk
menanamkan kepedulian terhadap yang miskin secara materi dan non materi,
sehingga berkontribusi terhadap pemberdayaan bagi kaum tersisihkan.

Anda mungkin juga menyukai