Anda di halaman 1dari 14

Memperkenalkan Arus Umum Teologi Feminis dan Implikasinya

bagi Pengembangan Teologi Feminis di NTT

1. Sejarah Lahirnya Teologi Feminis


Pada awal 1960-an beberapa teolog wanita dan mahasiswi teologi di Amerika Serikat
mengembangkan satu jurusan teologi baru yang mereka sebut dengan Teologi Feminis. Teologi
ini dipengaruhi oleh gerakan pembebasan wanita yang mewabah ke seluruh dunia, khususnya
bagi masyarakat Amerika Utara.1 Akar dari aliran Feminisme ini sudah ada sejak awal abad 20,
yaitu pada masa sesudah penghapusan perbudakan dan hak pilih kaum wanita diakui dan
dilegitimasi di Amerika dalam undang-undang.2 Lalu mulai ada beberapa penulis wanita
mengembangkan dan memperluas pengaruh gerakan feminisme ini ke dalam suatu karya
tulisan/buku. Mereka menyoroti pengaruh 'kecendrungan patriarkat yang menurut mereka begitu
dominan' ada di dalam Alkitab dan juga dalam penafsiran tradisi gereja secara socio-kultural,
terutama dalam konsep prihal Allah Tritunggal.
Tokoh-tokoh utama dalam gerakan teologi Feminis antara lain, Elizabeth Schssler
Fiorenza dengan karyanya In Memory of Her: A Feminist Reconstruction of Christian Origins
1983, Mary Daly dengan karyanya The Church and the Second Sex (1968) dan Beyond God the
Father (1973), Letty M. Russell dengan karyanya Human Liberation in a Feminist Perspective
A Theology dan Feminist Interpretation of the Bible (1985), Rosemary Radford Ruether dengan
karyanya Sexism and God-Talk: Toward a Feminist Theology, Women-Church: Theology and
Practice (1985), Virginia Ramey Mollenkott dengan karyanya The Divine Feminine: The
Biblical Imagery of God as Female, Michael Amaladoss dalam Life in Freedom: Liberation
Theologies From Asia (1997), Choan-Seng Song dalam The Tearts of Laddy Meng: A Parable of
Peoples Political Theology (1981), dan lain-lain.

2. Latar Belakang lahirnya Teologi Feminis

1P. Mutiara Andalas, Lahir Dari Rahim (Yogyakarta: Kanisius, 2009), pp. 61-62.
2 Stanley J. Grenz and Roger E, Olson, 20th Century Theology: God and World in a Transitional Age
(Illinois: IVP, 1992), p 225.
Kalau North American Black Theology dan Latin American Liberation Theology dimulai
dengan berlandaskan pada suatu pengalaman penindasan yang sangat mendalam sehingga
'penindasan' ini menuntut mereka untuk mendapatkan pembebasan, maka dalam gerakan Teologi
Feminis landasan mereka adalah situasi penganiayaan dan penindasan terhadap kaum wanita.
Oleh karena itu, tema seputar penindasan terhadap kaum wanita menjadi arah dasar teologi
mereka. Mereka ingin wanita dibebaskan dari penganiayaan dan penindasan (oleh kaum laki-
laki) yang sudah terjadi selama ratusan tahun lalu. 3 Pengalaman penderitaan wanita Amerika
Latin dan Amerika Utara mendorong kaum Feminis untuk mencari sebab kesalahan ini dan
meminta keadilan dalam hidup mereka.

Akhir abad kedua puluh teologi feminis berbagi/memiliki kesamaan tertentu dengan Teologi
Hitam Amerika Utara dan teologi pembebasan Amerika Latin. Seperti mereka, teologi
feminis dimulai dengan situasi penindasan, serta munculnya refleksi penting berdasarkan
praksis pengalaman orang tertindas untuk membebaskan diri dari denominasi.4

3. Pendekatan Teologi Feminis


Kaum Feminis mengembangkan tiga langkah dalam berteologi (feminis). Pertama,
dimulai dengan kritik terhadap peristiwa masa lampau, terutama terhadap tradisi gereja dan
budaya yang cendrung bernuansa patriarkat. Kritik tersebut dimaksudkan sebagai semacam
penyembuhan atas ingatan akan adanya bahaya penindasan yang dialami kaum wanita pada masa
lampau yang dilakukan oleh kaum laki-laki5.
Kedua, mencari alasan, istilah dan alternatif lain untuk mendukung gerakan yang
disesuaikan dengan keinginan mereka, terutama dari Kitab Suci, dan juga dari luar Alkitab.
Ketiga, mereka mengembangkan metode teologi untuk merevisi doktrin yang tidak sesuai
dengan lingkup dunia wanita.6
Seperti juga American Liberation Theology, Feminisme melihat teologi sebagai refleksi
dari suatu tindakan atau pengalaman yang diterima kaum wanita yang tertindas oleh kaum laki-
laki. Menurut mereka, semua pendekatan teologi Feminis harus didasarkan pada pengalaman
praksis wanita, bukan bersumber utama kepada Alkitab atau tradisi gereja. Tentang hal ini J.
Grenz mengatakan; Bukan kebetulan bahwa langkah mendasar ini datang terakhir, teologi
3 Sandra M. Schneiders, "Does the Bible Has a Post Modern Message?", dalam Post Modern Theology:
Christian Faith in a Pluralist World, Frederic B. Burnham (Ed.), (San Fransisco: Harper and Row, 1989), p. 65.
4 Op.Cit., pp. 225-226.
5 Sandra M. Schneiders, Loc.Cit.
6 Stanley J. Grenz and Roger Olson, Loc.Cit
feminis, melihat teologi sebagai refleksi atas proses rekonstruksi kepercayaan Kristen dan
kehidupan berdasarkan pengalaman perempuan.7
Untuk membenarkan pandangannya, para teolog feminis memberikan kritik terhadap

tradisi Gereja terutama kritik terhadap pandangan para Bapa Gereja. Sebagai contoh, Rosemary

Radford Ruether, mengkritik para Bapa gereja dan ahli filsafat seperti Origenes, Agustinus,

Socrates, Plato, dan lain-lain, yang menurutnya hanya menghargai keberadaan kaum laki-laki

sebagai the Image of God sedangkan wanita bukan the Image of God. Sementara Thomas

Aquinas dinilai hanya menghargai wanita sebagai seorang laki-laki yang dilupakan. Sementara

itu, mereka menilai para Bapa reformasi tidak berusaha mengubah status wanita di dalam gereja,

bahkan Karl Barth pun mengatakan wanita di dalam perjanjian dengan Allah menduduki tempat

nomor dua.8 Chrysostom sependapat dengan Agustinus bahwa hanya manusia khususnya laki-

laki yang sesuai dengan image of God karena itu laki-laki mempunyai otoritas dan wanita

tidak. Dia mengatakan; "Lalu kenapa 'manusia/pria' dikatakan dalam 'gambar Allah' dan wanita

tidak? ... 'Image/gambaran' memiliki lebih hubungannya dengan otoritas, dan ini hanya milik

pria, sedangkan wanita tidak memilikinya. Sementara itu, Tertulianus menyebut perempuan

sebagai gerbang iblis. Terakhir Agustinus berpendapat bahwa hanya laki-laki sendirilah

merupakan citra Allah, seorang perempuan adalah citra Allah hanya bersama dengan suaminya.9

Pendapat di atas menurut Marie Claire Barth-Frommel cukup hidup dalam masyarakat,

seperti terjadi di Asia. Dia adalah seorang teolog perempuan yang menganalisis dan

mengembangkan wawasannya tentang teologi feminis di Asia. Dia menulis pendapatnya

demikian; Dominasi kaum laki-laki atas kaum perempuan pada umumnya dibenarkan oleh

paham kodrat. Menurut paham ini, kodrat laki-laki adalah kuat, pemberani, rasional, produktif,
7 Ibid., p. 227.
8 Rosemary Radford Ruether, Sexism and God-Talk: Toward A Feminist Theology, (Boston: Beacon, 1983),
pp. 193-194.
9 Anne M. Clifford, Memperkenalkan Teologi Feminis, Terj. Yosef M. Florisan, (Maumere: Ledalero, 2002,
pp. 19-52.
menghasilkan kekayaan, menciptakan budaya, sanggup membuat perencanaan. Sedangkan

kodrat perempuan adalah lemah lembut, penakut, perasa, reproduktif, suka memelihara apa yang

ada dan meneruskan ketrampilan lama, biasa melayani dan suka dipimpin. 10 Jika kita mengamati

dengan seksama dan teliti, ada banyak implikasi yang cukup serius mensubordinasi wanita.

Pertama, Laki-laki dipandang sebagai superior atas perempuan. Laki-laki memiliki peran

penting yang tidak dapat digantikan oleh perempuan karena sifat-sifat perempuan lebih dilihat

sebagai pelengkap. Kedua,perempuan hanya bertugas melanjutkan apa yang telah dirintis oleh

laki-laki karena pada umumnya laki-laki itu kuat dan pemberani. Ketiga, laki-laki bertugas untuk

memimpin suatu masyarakat yang luas, sedangkan perempuan ditugaskan untuk memelihara

rumah tangga dan sekitarnya. Di dalam kalangan atas, seorang perempuan yang menjadi istri

pejabat, harus mampu mengimbangi peran suaminya. Ia harus mendampingi suaminya dan

menampilkan keanggunan sebagai istri yang baik serta pendidik sopan santun untuk anak-anak.

4. Tema-Tema Pertama (Sekular) dalam Teologi Feminis


Pada tahun delapan puluhan, spiritualitas feminis mulai menampakkan diri dengan tema-
tema sebagai berikut:
1) Monisme/New Age Movement: All is one, semua adalah satu. Tema inilah yang pertama kali
muncul dalam kehidupan spiritualitas teologi Feminis yang percaya bahwa segala sesuatu satu
adanya, seperti bagian-bagian kecil menyusun bagian kesatuan yang besar. Menurut mereka,
segala sesuatu saling berhubungan, saling bergantung, dan saling meresapi. 11 Adanya indikasi
monism masuk dalam spiritualitas teologi feminis bisa dibaca dari pandangan Douglas
Groothuis. Dia meneliti bahwa gerakan New Age sudah meresapi gerakan feminism dengan
mengatakan; "Pada akhirnya, monisme menegaskan tidak ada perbedaan antara Tuhan,
seseorang, apel, atau batu. Mereka adalah bagian dari sebuah realitas terus menerus yang tidak
memiliki batas dan tidak ada keterpisahan."12
10 Marie Claire Barth-Frommel, Hati Allah bagaikan Hati seorang Ibu. Pengantar Teologi Feminis,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), pp. 3-4.
11 Douglas Groothuis, Unmaking the New Age, (Illinois: IVP, 1986), p. 18.
12 Ibid.
2) Pantheisme, gerakan ini pun sangat dekat dengan lingkup pandangan teolog Feminis.
Pandangan ini melihat; All is God, semua adalah Allah, artinya semua materi atau benda apa pun,
baik binatang, manusia, tanah, tumbuhan, laut, dan lain-lain adalah merupakan bagian dari Allah.
3) Selfisme. Menurut pandangan ini, Self is God Diri manusia adalah Allah. Tentang hal ini Mary
Daly berkata jika Allah itu 'male' maka 'male' itu Allah.
4) Humanitas Baru. Menurut teologi feminis segala sesuatu menuju kepada suatu perjuangan
yang mengarah kepada humanitas baru yang sempurna.
5) Unisex. Di sini teologi feminis mendesak agar menggunakan istilah Allah ke dalam istilah
yang menyatukan seksisme; laki-laki dan perempuan menjadi suatu bentuk yang "netral" atau
"no sex". 13
Tema-tema di atas memperlihatkan kepada kita bahwa spiritualitas feminis tidak dimulai
dengan mendasarkan diri pada doktrin, tetapi lebih pada spiritualitas (gerakan sekular). Namun
sebenarnya ada beberap tesis yang hendak diangkat oleh teologi feminis yang kami paparkan
secara singkat di bagian selanjutnya.

5. Tesis-Tesis Pokok Teologi Feminis


Betty Talbert-Wettler menerangkan bahwa untuk mengerti apakah Feminisme itu sekuler
atau tidak, gereja wajib mengerti dan memahami presposisi mereka. Inilah beberapa preposisi
yang ditulis oleh Betty Talbert-Wettler:
1. Feminis melihat bahwa sistem ajaran inti kekristenan bersifat patriarkhat yang
menindas wanita.
2. Simbol maskulin untuk Allah menguatkan sistem hirarki secara seksual,
menempatkan kedudukan laki-laki melebihi kedudukan wanita.
3. Simbol, metafor dan gambaran Kristus sebagai laki-laki tidak cocok dengan
kepentingan religi wanita.
4. Wanita harus dilepas-bebaskan dari penindasan kaum laki-laki baik secara teologis
maupun secara sosial. Wanita harus membangun komunitas baru yang berdasarkan
pada nilai-nilai yang berbeda dengan tradisi dan filsafat patriarchi.14

13 Donald G. Bloesch, Is the Bible Sexist?, (Illinois: Crossway Books, 1982), pp. 17, 21, 103.
14 Betty Talbert-Wettler, Secular Feminist Religious Metaphor and Christianity, (San Diego: EVSJ, 1995),
pp. 78-79.
6. Pendasaran Biblis Teologi Feminis
6.1. Dalam Perjanjian Lama
Pengaturan peranan wanita dalam Perjanjian Lama banyak didasarkan pada kitab
Kejadian pasal satu dan dua. Pada mulanya pandangan umum bangsa Israel terhadap peranan
wanita dan pria adalah sama sederajat. Pengertian manusia (wanita/pria) adalah gambar dan
teladan Allah, merupakan suatu pengertian yang dijalankan dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Perubahan itu mulai terjadi saat Allah melalui perjanjian kekalNya menyebut "Abraham sebagai
Bapa segala bangsa". Istilah inilah yang kemudian menjadi suatu alasan dari munculnya
pandangan bahwa yang memegang peranan otoritas tertinggi keluarga ada di tangan "kaum
patriakh/laki-laki". Hal ini terjadi sampai pada jaman Israel dipilih Allah sebagai bangsa yang
kudus, umat perjanjian Allah.
Dalam pandangan lama tersebut, peranan kaum patriakh dalam keluarga sangat menyolok,
seperti Abraham, mencarikan jodoh anaknya, Ishak. Kej 24. Peranan ayah Ribkah, mengambil
keputusan menerima lamaran atau tidak, menunjukkan bahwa adat saat itu tetap melalui jalur
otoritas seorang ayah. Walaupun akhirnya keputusan untuk ikut Eliezer atau tidak, diserahkan
kembali kepada anaknya, Ribkah. Demikian juga kepemimpinan Bapa Abraham boleh dikatakan
tidak dominan lagi, sejak peranan Sarah lebih dominan dalam mengatur seluk beluk keluarga.
Dalam hal perceraian Perjanjian Lama sebenarnya tidak banyak memberikan informasi
tetapi berdasarkan Ul 22:13-29 ada dua hal yang cukup kelihatan. Pertama, suami tidak
diperbolehkan menceraikan istrinya terutma jika ia salah dalam menuduh istrinya perihal
ketidaksucian istrinya tersebut. Kedua, jika ia memaksa istrinya (memperkosa) padahal istrinya
tidak mau melayaninya. Di dalam Perjanjian lama, banyak teks Alkitab yang membahas
bagaimana keluarga harus melindungi kesucian wanita, janda dan anak perempuan (Bdk.Ul 22-
25).
Selanjutnya kita juga bisa melihat dalam kitab Bilangan. Menurut Bil. 30:3-16,
kedudukan ayah sangat dominan dalam menentukan kehidupan anaknya (wanita) pada masa
gadisnya. Bahkan setelah menikah pun sang ayah dapat menolong anaknya dengan menerima dia
kembali saat diceraikan. Seandainya ayahnya sudah meninggal maka kewajiban saudara laki-
lakinya yang melindungi janda ini. Dari sini kita melihat dengan jelas bahwa dalam teks konteks
teks Bilangan tersebut, wanita harus tunduk pada pria, tujuannya bukan untuk menekan wanita
tetapi untuk melindungi hak-hak wanita.
Lebih jauh, dalam Perjanjian Lama kita melihat banyak sekali teks yang menceritakan
peranan wanita. Kalau mau dilihat secara mendalam, peranan wanita dalam PL, khususnya ibu
sangat penting, baik pengaruh negatif maupun positif. Misalnya, kasus Yefta, Samuel, Eli, di
mana kasih seorang ibu tidak pernah mereka dapatkan. Dengan itu, dampaknya sangat luar biasa
parahnya. Sebaliknya peranan ibu yang negatif pun ada, seperti kasus Salomo, anak kesayangan
Betsyeba, Dina anak Yakub, Ribkah, dan lain-lain. Wanita pun mendapatkan hak sebagai
pemimpin bangsa. Baik peranan mereka menjadi hakim, nabi, ratu, dan lain-lain, misalnya,
Deborah, Naomi, Ester, Rahab, Hana, Elizabeth, dan lain-lain.

6.2. Kedudukan Wanita dalam Perjanjian Baru


Untuk pendasaran dari Perjanjian Baru ini, kami ingin memfokuskan diri untuk melihat
kedudukan wanita dalam kehidupan Tuhan Yesus dan kedudukan wanita dalam zaman para
rasul.
6.2.1. Wanita dalam Kehidupan Tuhan Yesus
Secara umum, dapat dikatakan bahwa ada banyak wanita yang menjadi pengikut Yesus.
Prihal pertanyaan, siapakah saudara dan orang tua Yesus?, kita bisa melihat jawaban dalam Mat
12:49-50, "siapapun yang melakukan kehendak BapaKu di Sorga dialah saudaraku laki-laki,
saudaraku wanita dan ibuku,". Selanjutnya, dalam Injil Yohanes kita melihat wanita pertama
dalam kitab Injil Yohanes yang ditemui Yesus adalah Perempuan Samaria (Bdk. Yoh 4:5-30).
Kemudian wanita dari Kanaan yang menjerit meminta tolong Yesus (Bdk. Yoh 15:22-28). Wanita
jugalah yang mengurapi Tuhan Yesus di rumah Simon, orang Farisi (Bdk. Luk 7:44-50). Yesus
juga bertemu seorang wanita yang menderita bungkuk delapan belas tahun (Bdk. Luk 13:10-17).
Ada masih banyak cerita lain yang melibatkan wanita dalam kehidupan Yesus. Kita bisa
menyebut wanita dalam ceritera parabel Tuhan Yesus; seorang wanita mengaduk tepung dengan
ragi (Bdk. Mat 13:3), gadis yang mencari koin yang hilang (Bdk Luk 15:8-10), sepuluh gadis
pintar dan sepuluh gadis bodoh (Bdk. Mat 25:1-13), perumpamaan tentang janda yang ulet dalam
memohon kepada seorang hakim (Bdk. Luk 18:1-8) dan Janda miskin yang memberikan seluruh
hartanya kepada Tuhan (Bdk. Mat 12:38-44).
Kita juga bisa menyebut beberapa wanita yang menjadi murid Yesus dalam
pengajaranNya, seperti Maria dan Marta (Bdk Luk 10:38-42). Lalu ada Maria Magdalena,
seorang wanita yang disembuhkan Yesus karena kuasa roh jahat. Kemudian dia menerima Yesus
di rumahnya dan mendukung pelayanan Yesus dengan menjual dan memberikan harta miliknya
(Bdk. Luk 8:1-3). Ada juga Salome dan ibu dari Yakobus anak Zebedius (Bdk. Mat 27:55-56)
serta dan tentu saja kita harus menyebut wanita sentral; Maria ibu Yesus.
Penting sekali juga, kita melihat bagaimana pengajaran Yesus tentang perkawinan,
perceraian, dan selibat (Bdk. Mat 19:3-12 dan Mrk 10:11-12). Ajaran Yesus ini jauh melampaui
tradisi atau hukum Yahudi. Pertama, pada prinsipnya menurut Tuhan Yesus, Allah tidak
menghendaki perceraian. Kedua, Yesus mengatakan apabila ada suami yang menceraikan
istrinya kemudian menikah lagi, maka suami itu harus dianggap terlibat praktik perzinahan.
Tentu saja, prinsip kedua ini tidak sama dengan tradisi dan hukum Yahudi yang menekankan
kebebasan suami untuk menikah lagi. Di sini kita dapat menyimpulkan bahwa isu moral yang
Tuhan Yesus ajarkan jauh melampaui pengajaran rabbi-rabbi Yahudi (Bdk Mat 5-7).

6.2.2. Posisi Wanita pada Zaman Para Rasul


Pada zaman para Rasul kedudukan wanita adalah sebagai teman sekerja dalam
penginjilan. Kita bisa menyebut Priskila dan suaminya Akwila (Kis 18:2). Mereka adalah kawan
sekerja Rasul Paulus. Dalam Rom 16:3-5, kita membaca bagaimana salam dari Paulus
memperlihatkan kedekatan hubungan Paulus dengan mereka. Kita juga patut menyebut beberapa
wanita lain yang sangat mendukung pelayanan penginjilan, seperti Eudia, Sintekhe dan Febe.
Sebagai kesimpulan, kita dapat mengatakan bahwa kalau dilihat dalam banyak hal maka
Alkitab tidak pernah membuang apalagi merendahkan peranan wanita. Oleh karena itu, teologi
feminis perlu melihat peranan wanita secara menyeluruh dan dari semua sisi kehidupan mereka,
bukan hanya sisi ketidakadilannya, tetapi juga terutama bagaimana hebatnya pelayanan mereka
dalam mengembangkan penginjilan yang dilakukan mulai dari zaman Tuhan Yesus sampai
jamannya para Rasul. Peranan wanita ini terus berlangsung dan sangat positif disambut dalam
kehidupan gereja mula-mula.

7. Jenis-Jenis Teologi Feminis


Untuk dapat memberikan penilaian proporsional terhadap teologi feminis, terlebih dahulu
kita perlu mengenal beberapa jenis teologi feminis. Teologi Feminis dibagi menjadi beberapa
golongan menurut jenis teologianya, yaitu kaum feminis pembaharuan, kaum feminis
emansipasi, kaum feminis radikal.15
Pertama, kaum feminis pembaharuan. Mereka berusaha memberi kesempatan baik bagi
kaum pria maupun kaum wanita untuk menggunakan potensinya. Menurut mereka, dalam
masyarakat tradisional pembagian tugas menurut jenis kelamin membatasi kebebasan keduanya,
baik pria maupun wanita. Mereka mendapat kesempatan memainkan peranannya dan hanya
beberapa bagian peranan yang cocok dengan kedudukannya, misalnya sebagai ayah atau ibu.
Mereka berfungsi seperti separuh manusia. Oleh karena itu, menurut kaum feminis pembaruan,
harus ada pembaharuan berkaitan dengan kedudukan pria dan wanita. Pembaharuan ini dapat
dicapai dengan dua cara yaitu pembaharuan secara struktural dan secara individu.16
Kedua, feminis emansipasi. Istilah emansipasi berasal dari bahasa Latin "emancipare"
yang berarti melepaskan. Jadi dalam gerakan feminis emansipasi, peranan wanita itu harus
dilepaskan dan dibebaskan dari 'kuk' tradisi yang ada. Kaum wanita harus lepas dari pengaruh
peranan tradisional ke-bapak-an. Hal ini senada dengan suara dari piagam PBB. Dalam piagam
PBB tersebut, disebutkan setiap penduduk dunia mempunyai hak yang sama tanpa perbedaan ras,
jenis kelamin atau bahasa dan agama. Secara politis semua berhak memilih dalam pemilu. Secara
ekonomis, sosial, profesionalitas dan aneka pekerjaan harus ada keterbukaan bagi mereka.17
Ketiga, feminis radikal. Mereka kelihatannya tidak puas untuk memperbaharui
masyarakat yang ada saja, tetapi ingin menghancurkan sistem patriakhat yang ada. Kaum radikal
ini menganggap bahwa kaum pria sebagai musuh dan mereka mau berjuang melawan
diskriminasi. Mereka memakai dua strategi yaitu pertentangan dan pemisahan.18

8. Pertimbangan Kritis Terhadap Teologi Feminis


8.1. Pengaruh Positif

Menurut kami, apabila feminisme bertujuan agar wanita mempunyai hak yang sama
dengan pria dan mereka diperlakukan sederajat dalam segala hal, maka kita harus menerimanya
dengan catatan bahwa gerakan feminisme tidak ditujukan untuk menginjak-injak kaum laki-laki

15 Anne Hommes, Perubahan Peran Pria dan Wanita dalam Gereja dan Masyarakat, (Jakarta-Bandung:
Gunung Mulia dan Kanisius, 1992) 110-114.
16 Ibid.
17 Ibid.
18 Ibid.
sebagai alasan curiga-dendam atas hak-hak mereka yang telah ditindas. Fisher Humphreys
mengatakan, If feminism means that women should have equal rights with men and should be
treated with equal respect, the answer is yes.19
Terhadap Gereja, kita perlu mengakui bahwa dengan adanya kritik historis yang
dilakukan oleh para tokoh feminisme ini, gereja menemukan kembali pentingnya arti nilai
pelayanan wanita yang memang sering dilupakan dalam sejarah gereja. Memang kalau diamati
secara sepintas dalam perjalanan sejarah gereja, wanita biasanya hanya dianggap sebagai pelayan
"kelas dua" tanpa adanya sumbangsih yang berarti. Oleh karena itu, kritik kaum feminis ini
sangat dibutuhkan oleh gereja untuk mengingat kembali betapa pentingnya nilai sumber daya
wanita dalam pelayanan gereja dan aktivitasnya, walaupun metode dan kesimpulan yang dibuat
teolog feminis ini sangat spekulatif. Stanley J. Grenz mengakui kenyataan buruk ini dengan
mengatakan;

Yang positif dari pendekatan feminis terhadap tradisi Kristen adalah pemulihan dari memori
yang hilang dari wanita. Tidak ada orang yang telah melakukan lebih banyak untuk
menemukan kembali peran dan kontribusi perempuan dalam tradisi Kristen selain Elizabeth
Schussler Fiorenza. Meskipun metode dan kesimpulan mungkin dianggap spekulatif.20

Sifat mementingkan dan memusatkan laki-laki sebagai pemimpin yang otoriter


menjadikan mereka sebagai penindas perempuan baik di dalam maupun di luar kehidupan gereja.
Kesalahan fatal gereja harus diperbaiki. Untuk itu, Gereja mesti berterima kasih kepada kaum
feminis yang telah bersungguh-sungguh mengungkapkan "dosa besar" ini. Keangkuhan laki-laki,
otoritas kebapakan dan sifat kebenciannya terhadap perempuan yang telah terpendam beratus-
ratus tahun lalu harus segera diakhiri. Kaum feminis juga menolong Gereja agar lebih terbuka
terhadap kaum perempuan dan tidak eksklusif untuk kaum laki-laki saja.

Teologi feminis telah melakukan pelayanan besar bagi komunitas Kristen dengan menunjukkan
kejahatan androsentris patriarki dan misogoni. Para Teolog feminis seringkali membantu gereja untuk
menjadi lebih inklusif dan oleh karena itu memberikan pandangan yang lebih benar berkaitan dengan
gambar Allah sebagai laki-laki dan perempuan serta universalitas Injil.21

19 Fisher Humphreys, Feminism and the Christian Faith, (New Orleans: The Theological Educator, 1995),
p.15.
20 Stanley J. Grenz and Roger Olson, Op. Cit., p. 229.
21 Ibid., p. 235.
Sampai di sini kita melihat bahwa teologi feminis telah sanggup membukakan satu
dimensi dan suatu wawasan baru dalam mengerjakan penafsiran secara horizontal seluruh
penafsiran Alkitab.

8.2. Pengaruh Negatif

Kami melihat bahwa setelah mendapatkan kesempatan dan dukungan dari masyarakat
dan Gereja, kaum feminis yang bersifat radikal/ekstrim sering melangkah terlalu jauh bahkan
dengan menggunakan metode spekulatif berani untuk menghakimi Alkitab. Mereka bahkan
menilai Alkitab tidak benar karena disusun dengan menjunjung nilai maskulin dan merendahkan
nilai feminim. Akhirnya mereka menyimpulkan kedudukan antara Allah dan manusia tak ada
bedanya. Donald G. Bloesch, mengutip ucapan Carol Ochs demikian, "We, all together, are part
of the whole, the all in all, God is not father, nor mother, nor even parents, because God is not
other than, distinct from, or opposed to creation.22
Dari data sejarah, kita melihat pada mulanya teolog feminis memang hanya menuntut
haknya tetapi lama-kelamaan beberapa dari mereka menjadi 'radikal'. Tuntutan mereka
melampaui dari yang ditetapkan Alkitab bahkan berani menentang ajaran fundamental ortodoks
tentang Allah Tritunggal dan Kristus. Ada empat hal atau ciri-ciri mengetahui teolog Feminis itu
radikal atau tidak, seperti kesimpulan Fisher Humphreys berikut ini;

Pertama, feminis radikal ketika menyerukan kepada perempuan untuk membenci pria dan ketika itu
menyerukan agar pria membenci diri mereka sendiri, kedua, feminis radikal menghina pernikahan,
orang tua, dan rumah tangga ... tetap tunggal, tanpa anak, ketiga, feminis radikal menegaskan
homoseksualitas, biseksualitas, atau masyarakat bergender, keempat, feminis radikal berusaha
menafsirkan semua realitas sosial melalui sisi gender.23

Kita juga bisa menyebut banyak kritik lain terhadap teologi feminis, seperti penolakan
mereka terhadap Allah sebagai 'Bapa' dan 'Tuhan' dapat membuka jalan pada kepercayaan
politeisme dewa-dewi. Padahal penyebutan Bapa atau Tuhan itu tidak didasarkan kemauan atau
konsensus dari teolog pria, melainkan dari Wahyu Ilahi yang dibawa oleh Yesus sendiri. Bahwa
dalam kenyataan sebutan-sebutan seperti Tuhan dan Bapa mungkin disalahtafsirkan oleh

22 Donald G. Bloesch, Is the bible Sexist?, (Illinois: Crossway, 1982), p. 63.


23 Fisher Humphreys, Op. Cit., p. 16.
beberapa teolog pria, tetapi itu bukanlah alasan yang tepat untuk menolak bahasa Wahyu (Allah)
itu sendiri.
Sebagai implikasi lanjut dari kritik di atas, kita perlu menegaskan bahwa naskah Alkitab
memang seharusnya tidak boleh diubah misalnya hanya untuk mengurangi bau 'patriarkatnya'
dan bahwa naskah tersebut tidak boleh disingkirkan karena dianggap bertentangan dengan hak
semua wanita dalam segala hal (mis Ef. 5:21-24).24
Yang lebih berbahaya lagi adalah teolog Feminis seperti Mary Daly akhirnya mendukung
gerakan "gay", "lesbian" dan masyarakat "non-sexist". Donald G. Bloesch mengutarakan sebagai
berikut;
Hal ini tidak mengherankan jika feminis radikal cenderung mendukung gerakan Pembebasan Gay,
karena mereka benar-benar memutus seks dari tujuan reproduksi atau generatifnya. Mereka juga
mengusulkan "penghapusan total peran seks", dan ini mencakup toleransi atas lesbian serta hubungan
homoseksual laki-laki. Untuk Mary Daly, homoseksual pada masyarakat nonsexist akan membebaskan
berhubungan bermakna dan otentik satu sama lain.25

9. Implikasi Untuk Pengembangan Teologi Feminis di NTT

Kelompok kami mengangkat dua hal pokok yang terjadi di NTT yang menurut kami
membuat wanita terbelenggu dan perlu dilawan oleh teologi feminis. Dua kenyataan itu adalah
kuatnya budaya patriarkat dan menguatnya adanya fenomena perdagangan perempuan.
Pertama, kuatnya budaya patriarkhat. Masyarakat NTT, jika ditinjau dari sudut sosio
budaya terdiri dari beragam suku, bahasa dan adat istiadat. Setiap suku merupakan ikatan
genealogis beradasarkan garis keturunan ayah (patrilineal). Dengan demikian pada masyarakat
NTT, umumyana kedudukan dan peran kaum pria lebih tinggi jika dibandingkan dengan kaum
wanita. Pada pundak kaum pria diembankan tugas dan tanggung jawab suku,sedangkan kaum
wanita dilihat sebagai pribadi yang disiapkan untuk suku lain dalam perkawinan eksogami.
Kenyataan ini memperlihatkan suatu keprihatinan akan peran dan fungsi kaum wanita yang
terbelenggu dalam stereotipe lama sebagai the second class.
Dalam urusan perkawinan adat misalnya,wanita diukur dalam bentuk belis seperti gading
di budaya Lamaholot, moko di Alor ataupun barang antik lainnya dengaan ukuran sekian sesuai
dengan tradisi dari masyarakat yang bersangkutan.26 Pertanyaan yang muncul adalah nilai apakah

24 A. Heuken SJ, Ensiklopedi Gereja IV, (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1994), pp. 365-366.
25 Donald G. Bloesch, Op. Cit., p. 20.
26 Noeldy Koten. Arus Balik Menuju Kemerdekaan Kaum Perempuan. Sebuah Tinjauan Sosial Buudaya,
dalam Biduk, Teologi Feminis: perempuan Citra Allah Yang Terbuang. Edisi II th. XXXX 2002, Ritapiret: Sylvia,
2002. P. 42.
yang ada di balis belis itu? Mengapa belisnya dalam bentuk barang-barang antik bersejarah?
Semua pertanyaan di atas menghantar kita untuk mengungkapkan bahwa betapa tinggi dan
luhurnya martabat kaum wanita. Tetapi di pihak lain, pada saat yang sama, karena belis itu
diambil dari barang-barang antik yang sulit untuk didapat maka di sana akan terjadi proses
tawar-menawar antara keluarga pria dengan kelurga wanita. Hal ini berarti eksistensi dan
martabat kaum wanita direduksi ke dalam benda-benda material, seakan-akan kaum wanita
identik dengan seduah barang yang diperdagangkan. Konsekuensi dari kenyataan ini adalah
muncul pemahaman baru bagi profil wanita sebagai pelayan keluarga kaum pria yang telah
membelinya dengan belis. 27
Kedua, menguatnya fenomena perdagangan perempuan. Hal ini disebabkan oleh beragam

alasan, dan salah satu alasan utamanya adalah keadaan ekonomi dan tingkat pendidikan yang

rendah. NTT merupakan salah satu provinsi pengekspor TKW terbesar di Indonesia. Malangnya,

kebanyakan dari mereka mengalami perlakuan yang tidak pantas di luar negeri, bahkan ada yang

terancam mendapat hukuman mati.

Terhadap dua fenomena besar di atas kelompok kami menganjurkan agar Gereja NTT

perlu secara khusus dan sungguh-sungguh memihak kaum wanita. Oleh karena itu, gerakan

teologi feminis, terutama yang bersifat emansipatoris sungguh-sungguh perlu mengakar di NTT.

Secara lebih konkrit, Gereja NTT perlu membuat pastoral kategorial khusus untuk

membela/melakukan advokasi terhadap wanita NTT dari pasungan budaya patriarkat dan juga

fenomena perdagangan perempuan, serta berbagai fenomena sosial, religius, dan budaya lainnya

yang jelas-jelas membelenggu wanita.

Gereja juga perlu mendukung dan memberikan catatan kritis terhadap usaha pemerintah

dan LSM-LSM di bidang kewanitaan. Gereja NTT misalnya perlu menjadi mitra strategis dari

Kementrian pemberdayaan perempuan, di tingkat provinsi dan kabupaten perlu bermitra dengan

27 Ibid.
Dinas Pemberdayaan Perempuan untuk mendukung dikeluarkannya wanita dari belenggu

keterpasungan yang ada.

Gereja NTT perlu secara konsekuen mendukung dan melaksanakan imbauan Hasil

Sidang Pastoral VI Regio Gerejawi Nusa Tenggara tahun 2013 lalu, yakni: Pertama, institusi-

institusi religious dan gerejawi seyogyanya menjadi teladan dalam menangani ketidakadilan

gender. Kedua, Konferensi Waligereja Regio Nusa Tenggara membentuk atau meningkatkan

Jaringan Mitra Perempuan (JMP) di setiap keuskupan di Nusa Tenggara dan menjalin kerja sama

dengan rekannya dan dengan lembaga-lembaga yang memiliki visi dan misi yang sama. Ketiga,

Konferensi Waligereja Regio Nusa Tenggara mendorong Puspas/Sekpas untuk membuat atau

meningkatkan gerakan penyadaran gender. Keempat, Konferensi Waligereja Regio Nusa

Tenggara mengimbau para pengelola pendidikan calon imam dan calon hidup bakti untuk lebih

memperhatikan pendidikan yang berwawasan gender. Kelima, Konferensi Waligereja Nusa

Tenggara mendorong partisipasi penuh kaum perempuan dalam semua perangkat pastoral yang

terbuka untuk awam dalam menentukan dan melaksanakan kebijakan pastoral.28

28Anita Nudu, Menyebar Kekuatan profetik Allah Dalam Gerakan Kenabian Perempuan dalam Emanuel
J. Embu dan Amatus Woi (eds., Berpastoral di Tapal Batas . Pertemuan pastoral VI Konferensi Waligereja Nusa
Tenggara, (Maumere: Ledalero dan Candraditya, 2004), pp. 301-302.

Anda mungkin juga menyukai