1P. Mutiara Andalas, Lahir Dari Rahim (Yogyakarta: Kanisius, 2009), pp. 61-62.
2 Stanley J. Grenz and Roger E, Olson, 20th Century Theology: God and World in a Transitional Age
(Illinois: IVP, 1992), p 225.
Kalau North American Black Theology dan Latin American Liberation Theology dimulai
dengan berlandaskan pada suatu pengalaman penindasan yang sangat mendalam sehingga
'penindasan' ini menuntut mereka untuk mendapatkan pembebasan, maka dalam gerakan Teologi
Feminis landasan mereka adalah situasi penganiayaan dan penindasan terhadap kaum wanita.
Oleh karena itu, tema seputar penindasan terhadap kaum wanita menjadi arah dasar teologi
mereka. Mereka ingin wanita dibebaskan dari penganiayaan dan penindasan (oleh kaum laki-
laki) yang sudah terjadi selama ratusan tahun lalu. 3 Pengalaman penderitaan wanita Amerika
Latin dan Amerika Utara mendorong kaum Feminis untuk mencari sebab kesalahan ini dan
meminta keadilan dalam hidup mereka.
Akhir abad kedua puluh teologi feminis berbagi/memiliki kesamaan tertentu dengan Teologi
Hitam Amerika Utara dan teologi pembebasan Amerika Latin. Seperti mereka, teologi
feminis dimulai dengan situasi penindasan, serta munculnya refleksi penting berdasarkan
praksis pengalaman orang tertindas untuk membebaskan diri dari denominasi.4
tradisi Gereja terutama kritik terhadap pandangan para Bapa Gereja. Sebagai contoh, Rosemary
Radford Ruether, mengkritik para Bapa gereja dan ahli filsafat seperti Origenes, Agustinus,
Socrates, Plato, dan lain-lain, yang menurutnya hanya menghargai keberadaan kaum laki-laki
sebagai the Image of God sedangkan wanita bukan the Image of God. Sementara Thomas
Aquinas dinilai hanya menghargai wanita sebagai seorang laki-laki yang dilupakan. Sementara
itu, mereka menilai para Bapa reformasi tidak berusaha mengubah status wanita di dalam gereja,
bahkan Karl Barth pun mengatakan wanita di dalam perjanjian dengan Allah menduduki tempat
nomor dua.8 Chrysostom sependapat dengan Agustinus bahwa hanya manusia khususnya laki-
laki yang sesuai dengan image of God karena itu laki-laki mempunyai otoritas dan wanita
tidak. Dia mengatakan; "Lalu kenapa 'manusia/pria' dikatakan dalam 'gambar Allah' dan wanita
tidak? ... 'Image/gambaran' memiliki lebih hubungannya dengan otoritas, dan ini hanya milik
pria, sedangkan wanita tidak memilikinya. Sementara itu, Tertulianus menyebut perempuan
sebagai gerbang iblis. Terakhir Agustinus berpendapat bahwa hanya laki-laki sendirilah
merupakan citra Allah, seorang perempuan adalah citra Allah hanya bersama dengan suaminya.9
Pendapat di atas menurut Marie Claire Barth-Frommel cukup hidup dalam masyarakat,
seperti terjadi di Asia. Dia adalah seorang teolog perempuan yang menganalisis dan
demikian; Dominasi kaum laki-laki atas kaum perempuan pada umumnya dibenarkan oleh
paham kodrat. Menurut paham ini, kodrat laki-laki adalah kuat, pemberani, rasional, produktif,
7 Ibid., p. 227.
8 Rosemary Radford Ruether, Sexism and God-Talk: Toward A Feminist Theology, (Boston: Beacon, 1983),
pp. 193-194.
9 Anne M. Clifford, Memperkenalkan Teologi Feminis, Terj. Yosef M. Florisan, (Maumere: Ledalero, 2002,
pp. 19-52.
menghasilkan kekayaan, menciptakan budaya, sanggup membuat perencanaan. Sedangkan
kodrat perempuan adalah lemah lembut, penakut, perasa, reproduktif, suka memelihara apa yang
ada dan meneruskan ketrampilan lama, biasa melayani dan suka dipimpin. 10 Jika kita mengamati
dengan seksama dan teliti, ada banyak implikasi yang cukup serius mensubordinasi wanita.
Pertama, Laki-laki dipandang sebagai superior atas perempuan. Laki-laki memiliki peran
penting yang tidak dapat digantikan oleh perempuan karena sifat-sifat perempuan lebih dilihat
sebagai pelengkap. Kedua,perempuan hanya bertugas melanjutkan apa yang telah dirintis oleh
laki-laki karena pada umumnya laki-laki itu kuat dan pemberani. Ketiga, laki-laki bertugas untuk
memimpin suatu masyarakat yang luas, sedangkan perempuan ditugaskan untuk memelihara
rumah tangga dan sekitarnya. Di dalam kalangan atas, seorang perempuan yang menjadi istri
pejabat, harus mampu mengimbangi peran suaminya. Ia harus mendampingi suaminya dan
menampilkan keanggunan sebagai istri yang baik serta pendidik sopan santun untuk anak-anak.
13 Donald G. Bloesch, Is the Bible Sexist?, (Illinois: Crossway Books, 1982), pp. 17, 21, 103.
14 Betty Talbert-Wettler, Secular Feminist Religious Metaphor and Christianity, (San Diego: EVSJ, 1995),
pp. 78-79.
6. Pendasaran Biblis Teologi Feminis
6.1. Dalam Perjanjian Lama
Pengaturan peranan wanita dalam Perjanjian Lama banyak didasarkan pada kitab
Kejadian pasal satu dan dua. Pada mulanya pandangan umum bangsa Israel terhadap peranan
wanita dan pria adalah sama sederajat. Pengertian manusia (wanita/pria) adalah gambar dan
teladan Allah, merupakan suatu pengertian yang dijalankan dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Perubahan itu mulai terjadi saat Allah melalui perjanjian kekalNya menyebut "Abraham sebagai
Bapa segala bangsa". Istilah inilah yang kemudian menjadi suatu alasan dari munculnya
pandangan bahwa yang memegang peranan otoritas tertinggi keluarga ada di tangan "kaum
patriakh/laki-laki". Hal ini terjadi sampai pada jaman Israel dipilih Allah sebagai bangsa yang
kudus, umat perjanjian Allah.
Dalam pandangan lama tersebut, peranan kaum patriakh dalam keluarga sangat menyolok,
seperti Abraham, mencarikan jodoh anaknya, Ishak. Kej 24. Peranan ayah Ribkah, mengambil
keputusan menerima lamaran atau tidak, menunjukkan bahwa adat saat itu tetap melalui jalur
otoritas seorang ayah. Walaupun akhirnya keputusan untuk ikut Eliezer atau tidak, diserahkan
kembali kepada anaknya, Ribkah. Demikian juga kepemimpinan Bapa Abraham boleh dikatakan
tidak dominan lagi, sejak peranan Sarah lebih dominan dalam mengatur seluk beluk keluarga.
Dalam hal perceraian Perjanjian Lama sebenarnya tidak banyak memberikan informasi
tetapi berdasarkan Ul 22:13-29 ada dua hal yang cukup kelihatan. Pertama, suami tidak
diperbolehkan menceraikan istrinya terutma jika ia salah dalam menuduh istrinya perihal
ketidaksucian istrinya tersebut. Kedua, jika ia memaksa istrinya (memperkosa) padahal istrinya
tidak mau melayaninya. Di dalam Perjanjian lama, banyak teks Alkitab yang membahas
bagaimana keluarga harus melindungi kesucian wanita, janda dan anak perempuan (Bdk.Ul 22-
25).
Selanjutnya kita juga bisa melihat dalam kitab Bilangan. Menurut Bil. 30:3-16,
kedudukan ayah sangat dominan dalam menentukan kehidupan anaknya (wanita) pada masa
gadisnya. Bahkan setelah menikah pun sang ayah dapat menolong anaknya dengan menerima dia
kembali saat diceraikan. Seandainya ayahnya sudah meninggal maka kewajiban saudara laki-
lakinya yang melindungi janda ini. Dari sini kita melihat dengan jelas bahwa dalam teks konteks
teks Bilangan tersebut, wanita harus tunduk pada pria, tujuannya bukan untuk menekan wanita
tetapi untuk melindungi hak-hak wanita.
Lebih jauh, dalam Perjanjian Lama kita melihat banyak sekali teks yang menceritakan
peranan wanita. Kalau mau dilihat secara mendalam, peranan wanita dalam PL, khususnya ibu
sangat penting, baik pengaruh negatif maupun positif. Misalnya, kasus Yefta, Samuel, Eli, di
mana kasih seorang ibu tidak pernah mereka dapatkan. Dengan itu, dampaknya sangat luar biasa
parahnya. Sebaliknya peranan ibu yang negatif pun ada, seperti kasus Salomo, anak kesayangan
Betsyeba, Dina anak Yakub, Ribkah, dan lain-lain. Wanita pun mendapatkan hak sebagai
pemimpin bangsa. Baik peranan mereka menjadi hakim, nabi, ratu, dan lain-lain, misalnya,
Deborah, Naomi, Ester, Rahab, Hana, Elizabeth, dan lain-lain.
Menurut kami, apabila feminisme bertujuan agar wanita mempunyai hak yang sama
dengan pria dan mereka diperlakukan sederajat dalam segala hal, maka kita harus menerimanya
dengan catatan bahwa gerakan feminisme tidak ditujukan untuk menginjak-injak kaum laki-laki
15 Anne Hommes, Perubahan Peran Pria dan Wanita dalam Gereja dan Masyarakat, (Jakarta-Bandung:
Gunung Mulia dan Kanisius, 1992) 110-114.
16 Ibid.
17 Ibid.
18 Ibid.
sebagai alasan curiga-dendam atas hak-hak mereka yang telah ditindas. Fisher Humphreys
mengatakan, If feminism means that women should have equal rights with men and should be
treated with equal respect, the answer is yes.19
Terhadap Gereja, kita perlu mengakui bahwa dengan adanya kritik historis yang
dilakukan oleh para tokoh feminisme ini, gereja menemukan kembali pentingnya arti nilai
pelayanan wanita yang memang sering dilupakan dalam sejarah gereja. Memang kalau diamati
secara sepintas dalam perjalanan sejarah gereja, wanita biasanya hanya dianggap sebagai pelayan
"kelas dua" tanpa adanya sumbangsih yang berarti. Oleh karena itu, kritik kaum feminis ini
sangat dibutuhkan oleh gereja untuk mengingat kembali betapa pentingnya nilai sumber daya
wanita dalam pelayanan gereja dan aktivitasnya, walaupun metode dan kesimpulan yang dibuat
teolog feminis ini sangat spekulatif. Stanley J. Grenz mengakui kenyataan buruk ini dengan
mengatakan;
Yang positif dari pendekatan feminis terhadap tradisi Kristen adalah pemulihan dari memori
yang hilang dari wanita. Tidak ada orang yang telah melakukan lebih banyak untuk
menemukan kembali peran dan kontribusi perempuan dalam tradisi Kristen selain Elizabeth
Schussler Fiorenza. Meskipun metode dan kesimpulan mungkin dianggap spekulatif.20
Teologi feminis telah melakukan pelayanan besar bagi komunitas Kristen dengan menunjukkan
kejahatan androsentris patriarki dan misogoni. Para Teolog feminis seringkali membantu gereja untuk
menjadi lebih inklusif dan oleh karena itu memberikan pandangan yang lebih benar berkaitan dengan
gambar Allah sebagai laki-laki dan perempuan serta universalitas Injil.21
19 Fisher Humphreys, Feminism and the Christian Faith, (New Orleans: The Theological Educator, 1995),
p.15.
20 Stanley J. Grenz and Roger Olson, Op. Cit., p. 229.
21 Ibid., p. 235.
Sampai di sini kita melihat bahwa teologi feminis telah sanggup membukakan satu
dimensi dan suatu wawasan baru dalam mengerjakan penafsiran secara horizontal seluruh
penafsiran Alkitab.
Kami melihat bahwa setelah mendapatkan kesempatan dan dukungan dari masyarakat
dan Gereja, kaum feminis yang bersifat radikal/ekstrim sering melangkah terlalu jauh bahkan
dengan menggunakan metode spekulatif berani untuk menghakimi Alkitab. Mereka bahkan
menilai Alkitab tidak benar karena disusun dengan menjunjung nilai maskulin dan merendahkan
nilai feminim. Akhirnya mereka menyimpulkan kedudukan antara Allah dan manusia tak ada
bedanya. Donald G. Bloesch, mengutip ucapan Carol Ochs demikian, "We, all together, are part
of the whole, the all in all, God is not father, nor mother, nor even parents, because God is not
other than, distinct from, or opposed to creation.22
Dari data sejarah, kita melihat pada mulanya teolog feminis memang hanya menuntut
haknya tetapi lama-kelamaan beberapa dari mereka menjadi 'radikal'. Tuntutan mereka
melampaui dari yang ditetapkan Alkitab bahkan berani menentang ajaran fundamental ortodoks
tentang Allah Tritunggal dan Kristus. Ada empat hal atau ciri-ciri mengetahui teolog Feminis itu
radikal atau tidak, seperti kesimpulan Fisher Humphreys berikut ini;
Pertama, feminis radikal ketika menyerukan kepada perempuan untuk membenci pria dan ketika itu
menyerukan agar pria membenci diri mereka sendiri, kedua, feminis radikal menghina pernikahan,
orang tua, dan rumah tangga ... tetap tunggal, tanpa anak, ketiga, feminis radikal menegaskan
homoseksualitas, biseksualitas, atau masyarakat bergender, keempat, feminis radikal berusaha
menafsirkan semua realitas sosial melalui sisi gender.23
Kita juga bisa menyebut banyak kritik lain terhadap teologi feminis, seperti penolakan
mereka terhadap Allah sebagai 'Bapa' dan 'Tuhan' dapat membuka jalan pada kepercayaan
politeisme dewa-dewi. Padahal penyebutan Bapa atau Tuhan itu tidak didasarkan kemauan atau
konsensus dari teolog pria, melainkan dari Wahyu Ilahi yang dibawa oleh Yesus sendiri. Bahwa
dalam kenyataan sebutan-sebutan seperti Tuhan dan Bapa mungkin disalahtafsirkan oleh
Kelompok kami mengangkat dua hal pokok yang terjadi di NTT yang menurut kami
membuat wanita terbelenggu dan perlu dilawan oleh teologi feminis. Dua kenyataan itu adalah
kuatnya budaya patriarkat dan menguatnya adanya fenomena perdagangan perempuan.
Pertama, kuatnya budaya patriarkhat. Masyarakat NTT, jika ditinjau dari sudut sosio
budaya terdiri dari beragam suku, bahasa dan adat istiadat. Setiap suku merupakan ikatan
genealogis beradasarkan garis keturunan ayah (patrilineal). Dengan demikian pada masyarakat
NTT, umumyana kedudukan dan peran kaum pria lebih tinggi jika dibandingkan dengan kaum
wanita. Pada pundak kaum pria diembankan tugas dan tanggung jawab suku,sedangkan kaum
wanita dilihat sebagai pribadi yang disiapkan untuk suku lain dalam perkawinan eksogami.
Kenyataan ini memperlihatkan suatu keprihatinan akan peran dan fungsi kaum wanita yang
terbelenggu dalam stereotipe lama sebagai the second class.
Dalam urusan perkawinan adat misalnya,wanita diukur dalam bentuk belis seperti gading
di budaya Lamaholot, moko di Alor ataupun barang antik lainnya dengaan ukuran sekian sesuai
dengan tradisi dari masyarakat yang bersangkutan.26 Pertanyaan yang muncul adalah nilai apakah
24 A. Heuken SJ, Ensiklopedi Gereja IV, (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1994), pp. 365-366.
25 Donald G. Bloesch, Op. Cit., p. 20.
26 Noeldy Koten. Arus Balik Menuju Kemerdekaan Kaum Perempuan. Sebuah Tinjauan Sosial Buudaya,
dalam Biduk, Teologi Feminis: perempuan Citra Allah Yang Terbuang. Edisi II th. XXXX 2002, Ritapiret: Sylvia,
2002. P. 42.
yang ada di balis belis itu? Mengapa belisnya dalam bentuk barang-barang antik bersejarah?
Semua pertanyaan di atas menghantar kita untuk mengungkapkan bahwa betapa tinggi dan
luhurnya martabat kaum wanita. Tetapi di pihak lain, pada saat yang sama, karena belis itu
diambil dari barang-barang antik yang sulit untuk didapat maka di sana akan terjadi proses
tawar-menawar antara keluarga pria dengan kelurga wanita. Hal ini berarti eksistensi dan
martabat kaum wanita direduksi ke dalam benda-benda material, seakan-akan kaum wanita
identik dengan seduah barang yang diperdagangkan. Konsekuensi dari kenyataan ini adalah
muncul pemahaman baru bagi profil wanita sebagai pelayan keluarga kaum pria yang telah
membelinya dengan belis. 27
Kedua, menguatnya fenomena perdagangan perempuan. Hal ini disebabkan oleh beragam
alasan, dan salah satu alasan utamanya adalah keadaan ekonomi dan tingkat pendidikan yang
rendah. NTT merupakan salah satu provinsi pengekspor TKW terbesar di Indonesia. Malangnya,
kebanyakan dari mereka mengalami perlakuan yang tidak pantas di luar negeri, bahkan ada yang
Terhadap dua fenomena besar di atas kelompok kami menganjurkan agar Gereja NTT
perlu secara khusus dan sungguh-sungguh memihak kaum wanita. Oleh karena itu, gerakan
teologi feminis, terutama yang bersifat emansipatoris sungguh-sungguh perlu mengakar di NTT.
Secara lebih konkrit, Gereja NTT perlu membuat pastoral kategorial khusus untuk
membela/melakukan advokasi terhadap wanita NTT dari pasungan budaya patriarkat dan juga
fenomena perdagangan perempuan, serta berbagai fenomena sosial, religius, dan budaya lainnya
Gereja juga perlu mendukung dan memberikan catatan kritis terhadap usaha pemerintah
dan LSM-LSM di bidang kewanitaan. Gereja NTT misalnya perlu menjadi mitra strategis dari
Kementrian pemberdayaan perempuan, di tingkat provinsi dan kabupaten perlu bermitra dengan
27 Ibid.
Dinas Pemberdayaan Perempuan untuk mendukung dikeluarkannya wanita dari belenggu
Gereja NTT perlu secara konsekuen mendukung dan melaksanakan imbauan Hasil
Sidang Pastoral VI Regio Gerejawi Nusa Tenggara tahun 2013 lalu, yakni: Pertama, institusi-
institusi religious dan gerejawi seyogyanya menjadi teladan dalam menangani ketidakadilan
gender. Kedua, Konferensi Waligereja Regio Nusa Tenggara membentuk atau meningkatkan
Jaringan Mitra Perempuan (JMP) di setiap keuskupan di Nusa Tenggara dan menjalin kerja sama
dengan rekannya dan dengan lembaga-lembaga yang memiliki visi dan misi yang sama. Ketiga,
Konferensi Waligereja Regio Nusa Tenggara mendorong Puspas/Sekpas untuk membuat atau
Tenggara mengimbau para pengelola pendidikan calon imam dan calon hidup bakti untuk lebih
Tenggara mendorong partisipasi penuh kaum perempuan dalam semua perangkat pastoral yang
28Anita Nudu, Menyebar Kekuatan profetik Allah Dalam Gerakan Kenabian Perempuan dalam Emanuel
J. Embu dan Amatus Woi (eds., Berpastoral di Tapal Batas . Pertemuan pastoral VI Konferensi Waligereja Nusa
Tenggara, (Maumere: Ledalero dan Candraditya, 2004), pp. 301-302.