Anda di halaman 1dari 12

TUGAS

MAKALAH
PERENCANAAN PANGAN DAN GIZI DI SULAWESI SELATAN

OLEH
KELOMPOK 6
MEVI WAIRATA 201457041
JAINABUN SOUWAKIL 2014570
MIRANDA TOPURMERA 201457039

JURUSAN TEKNOLOGY HASIL PERTANIAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2016
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas segala
limpahan berkat dan karunia-Nya, maka kami dapat menyelesaikan penulisan makalah Kimia
Hasil Pertanian yang berjudul Vitamin A.

Selaku manusia, kami menyadari bahwa makalah yang kami tulis ini masih jauh dari
kesempurnaan.Untuk itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun baik dari pihak dosen matakuliah maupun dari kalangan teman-teman
mahasiswa sekalian.

Akhir kata kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu demi
terselesaikannya penulisan makalah ini, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.

Ambon, Oktober 2016

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Pangan merupakan salah satu hak dasar rakyat (basic people right) yang menentukan
kualitas hidup suatu bangsa. Ketahanan pangan merupakan unsur yang sangat penting dan
erat kaitannya dengan ketahanan sosial, stabilitas ekonomi, stabilitas politik dan ketahanan
nasional secara keseluruhan. Pembangunan sistem ketahanan pangan merupakan salah satu
fokus dari pembangunan nasional untuk membentuk manusia yang berkualitas, menjadi
syarat mutlak bagi pembangunan nasional untuk membentuk manusia Indonesi yang
berkualitas, mandiri, dan sejahtera yaitu manusia yang sehat, cerdas dan produktif.
Ketahanan pangan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 adalah kondisi terpenuhinya
pangan bagi rumahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah
maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.

Menurut UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur


kewenangan daerah otonomi dalam penyelenggaraan urusan wajib pemerintah pasal 14 ayat
2 menyatakan bahwa urusan wajib pemerintahan kabupaten/kota yang terkait dengan
pelayanan dasar bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan secara nyata ada dan
berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan potensi unggulan
daerah. Kemudian diperjelas pada pasal 7 ayat (2) PP No 38 Tahun 2007 bahwa urusan
pemerintahan yang wajib diselenggarakan meliputi ketahanan pangan yang ditunjukkan oleh
tingkat produksi pangan untuk pemenuhan ketersediaan dan penganekaragaman pangan yang
berkualitas baik kuantitas maupun kualitas gizi (Nutrient) dan distribusi pangan untuk
meningkatkan aksesibilitas pangan untuk menjamin kecukupan pangan beragam, bergizi
baik dan aman, sebagai ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar minimal yang
merupakan urusan wajib pemerintah daerah Pembangunan pangan dan gizi merupakan
bagian tidak terpisahkan dari keseluruhan pembangunan baik di tingkat nasional, provinsi,
kabupaten/kota sekaligus merupakan salah satu isu utama dalam ketahanan pangan guna
peningkatan status gizi masyarakat, yang erat kaitannya dengan situasi produksi
BAB II

PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN PANGAN

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama, karena itu
pemenuhan kebutuhan pangan merupakan bagian dari hak azasi manusia. Dimana negara
memiliki kewajiban (state obligation) untuk menghormati (to respect), melindungi (to
protect), dan memenuhi (to fulfill) hak atas pangan masyarakat. Pemenuhan kebutuhan
pangan juga sangat penting sebagai komponen dasar untuk membentuk sumberdaya manusia
yang berkualitas. Pengertian pangan sendiri memiliki dimensi yang luas, yaitu bahan-bahan
yang dimakan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan bagi pemeliharaan, pertumbuhan, kerja
dan pengganti jaringan yang rusak, agar manusia dapat hidup sehat dan produktif dengan
memperhatikan keseimbangan karbohidrat, protein, lemak, vitamin, serat dan zat esensial
lainnya (Suhardjo 2006)

Pada tahun 2005, secara nasional kasus busung lapar yang menyerang anak Indonesia
rata-rata mencapai angka 8%. Sesuai dengan proyeksi penduduk Indonesia yang disusun
BPS, jumlah anak usia 0-4 tahun di Indonesia mencapai 20,87 juta di tahun 2005 ini. Itu
berarti ada sekitar 1,67 juta anak balita yang menderita busung lapar. Diperkirakan jumlah
anak balita yang terancam kurang gizi terus meningkat. Mengingat ada 5-6 juta bayi lahir di
Indonesia dan dari jumlah itu 75%-85% berasal dari keluarga miskin 1

Sulawesi Selatan (Sul-Sel) yang dikenal luas sebagai lumbung pangan nasional
ternyata memiliki angka kejadian gizi kurang yang tinggi. Survei Konsumsi Gizi
menunjukkan bahwa sejak tahun 1995 sampai tahun 1998 terjadi peningkatan persentase
keluarga di Sulsel yang mengalami defisit konsumsi energi dari 39% menjadi 57%). Padahal,
pada saat yang sama produksi beras, sumber utama kalori di daerah ini, mengalami surplus
1,4 juta sampai 1,5 juta. 2

Ketersediaan Pangan dan Produksi


Subsistem ketersediaan mencakup pengaturan kestabilan dan kesinambungan
penyediaan pangan baik yang berasal dari produksi dalam negeri,cadangan pangan, impor
dan ekspor. Jumlah penduduk yang cukup besar,membutuhkan ketersediaan pangan yang
cukup besar yang tentunya memerlukan upaya dan sumberdaya yang besar untuk
memenuhinya. Sesuai dengan defenisiketersediaan pangan adalah sejumlah bahan makanan
dan minuman yang tersedia untuk dikonsumsi setiap individu/penduduk suatu daerah dalam
kurun waktu tertentu, baik dalam bentuk natura maupun dalam bentuk unsur gizinya. Unsur
gizi utama yang terkandung dalam bahan pangan adalah energi, protein, lemak,vitamin dan
mineral (BPS, 1999). Kemudian menurut FAO (1984) ketersediaan pangan adalah tingkat
dimana persediaan pangan dapat dimiliki oleh masyarakat yang tinggal disuatu negara, baik
di daerah pedesaan maupun di kota.Ketersediaan pangan di suatu wilayah merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi penduduk.
Ketersediaan pangan harus dipertahankan sama atau lebih besar dari kebutuhan untuk
konsumsi pangan penduduk. Jika keadaan ini tercapai maka ketahanan pangan (food
availability) di suatu daerah atau wilayah ditentukan oleh berbagai faktor seperti keragaan
produksi pangan, tingkat kerusakan dan kehilangan pangan karena penanganan yang kurang
tepat dan tingkat ekspor/impor pangan.
Terjaminnya ketersediaan pangan merupakan salah satu dimensi dari pengertian
ketahanan pangan. Hadinsyah dan Martianto (2001), mengatakan bahwa ketahanan pangan
yang tangguh tidak mungkin terwujud tanpa garibisnis yang tangguh. Kegiatan agribisnis
yang menyediakan/menghasilkan produk pangan juga non pangan akan mampu menekan
impor bahan pangan. Bahkan hampir semua jenis pangan yang dipasarkan dan dikonsumsi
berasal

KONSUMSI PANGAN

Konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang dimakan oleh setiap orang /
individu dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Aspek konsumsi berfungsi mengarahkan
rumahtangga agar pola pemanfaatan pangan secara nasional memenuhi kaidah mutu,
keragaman, kandungan gizi, keamanan dan kehalalan, Oleh karena itu pemanfaatan pangan
dalam tubuh (food utility) dapat optimal, dengan peningkatan kesadaran atas pentingnya pola
konsumsi pangan beragam dengan gizi seimbang mencakup energi, protein, vitamin dan
mineral, pemeliharaan sanitasi dan higienis serta pencegahan penyakit infeksi dalam
lingkungan rumahtangga.

Menurut Suhardjo (1992), terdapat hubungan antara konsumsi pangan (energi dan
protein) dengan status ekonomi, pengetahuan, sosial dan budaya rumah tangga yang
tercermin dalam pola konsumsi masyarakat ditingkat rumahtangga dengan output status gizi
masyarakat.
Kemudian Syarief dan Martianto (1991), mengemukakan bahwa jumlah dan jenis
pangan yang dikonsumsi oleh masyarakat tidak saja dipengaruhi produksi atau ketersediaan
pangan, tetapi dipegaruhi juga oleh daya jangkau ekonomi (daya beli), kesukaan/selera,
pendidikan dan nilai sosial budaya pangan yang berlaku dalam masyarakat. Alan Berg dan
Sayogo (1986), mengemukakan bahwa biaya hidup daerah urban lebih tinggi, menyebabkan
tingkat pengeluaran/perkapita/hari konsumsi rata-rata total daerah urban dua kali lebih besar
dibandingkan daerah pedesaan. Penduduk urban lebih suka membelanjakan pendapatan
mereka untuk pangan

sedangkan dalam penelitian Mellor J.W dan Lele U.J dalam Alan Berg (1986) pola
pembelanjaan makanan diantara kelompok orang miskin dan kaya tercermin dalam kebiasaan
pengeluaran pendapatan untuk makanan, dengan demikian pendapatan merupakan faktor
yang paling menentukan kualitas dan kuantitas makanan.

Kemudian ditambahkan Suhardjo dan Martianto (1992), bahwa pada masyarakat


berpendapatan rendah tingkat konsumsi energi maupun protein belum sesuai dengan norma

Terdapat kecendrungan bahwa tingkat konsumsi protein di wilayah desa lebih rendah
dibandingkan dengan wilayah kota. Hal ini mengisyaratkan bahwa keanekaragaman
konsumsi makanan di wilayah khususnya, masih belum ditunjang oleh tercukupinya kualitas
konsumsi energi dan protein. Kinerja subsistem konsumsi pangan secara kuantitatif adalah
Angka Kecukupan Gizi (AKG) rekomendasi Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG)
ke VIII tahun 2004, dalam satuan rata-rata per kapita perhari secara kuantitatif konsumsi
energi sebesar 2.000 kkal/kapita/hari dan protein 52 gr/kapita/hari dan secara kualitatif
dengan acuan tingkat keragaman konsumsi pangan adalah Pola Pangan Harapan (PPH)
dengan skor 100 sebagai pola ideal yang akan dicapai pada tahun 2020.

Angka kekurangan gizi pada balita di Sulsel juga tinggi. Survei Pemantauan Status
Gizi tahun 1999 menemukan 44% balita di daerah ini kekurangan gizi dan 14% mengalami
gizi buruk. Kondisi ini sangat ironis karena status daerah lumbung pangan ternyata tidak
banyak berperan menanggulangi masalah kekurangan gizi. Kondisi Sulsel bahkan lebih buruk
dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain yang hidup dari surplus beras Sulsel, seperti
Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, dan Maluku (Departemen Kesehatan, 2001). 2

Masalah gizi dalam konsep sistem input-outcome.


Gizi dan masalah gizi selama ini dipahami sebagai hubungan sebab-akibat antara makanan
(input) dengan kesehatan (outcome). Pada satu pihak masalah gizi dapat dilihat sebagai
masalah input, tetapi juga sebagai outcome. Dalam menyusun kebijakan harus jelas mana
yang dipakai sebagai titik tolak apakah input atau outcome. Apabila masalah gizi dianggap
sebagai masalah input maka titik tolak identifikasi masalah adalah pangan, makanan (pangan
diolah) dan konsumsi. Apabila masalah gizi dilihat sebagai outcome, maka identifikasi
masalah dimulai pada pola pertumbuhan dan status gizi anak.3

Atas dasar itulah maka tujuan utama pembangunan pangan dan gizi adalah
meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), yang tercermin dalam Indeks
Pembangunan Manusia (IPM). Dengan demikian terpenuhinya pangan yang cukup, baik
dalam jumlah maupun mutunya, merata, terjangkau oleh seluruh rumahtangga dan atau
individu menjadi sasaran utama pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat pada setiap
level pemerintahan baik pusat, provinsi, kabupaten dan kota. Hal ini dapat diwujudkan
melalui pembangunan ketahanan pangan

SITUASI KETERSEDIAAN PANGAN

Produksi Pangan Kabupaten Sinjai Produksi Tanaman Pangan dan Hortikultura.


Perkembangan produksi serealia, umbi-umbian dan kacang-kacangan di Kabupaten Sinjai
dari tahun 2005 2009 mengalami peningkatannya fluktuatif dengan rata-rata pertumbuhan
untuk kelompok pangan serealia seperti komoditi padi sebesar (-1,8%) tahun 2005 produksi
padi sebesar 93.198 ton, kemudian tahun 2006 turun menjadi 88.200 ton, kemudian tahun
2007 sekitar 112.467 ton, tahun 2008 turun menjadi 82,232 ton. Komoditi jagung
peningkatan produksi dengan rata-rata pertumbuhan mencapai (5.2%), produksi tahun
2005 sebesar 45.461 ton, tahun 2006 sebesar 46.719 ton, tahun 2007 sebesar 53.008 ton, dan
107.603 ton tahun 2008. Komoditi ubi kayu tahun 2005 sebesar 12,501 ton, turun menjadi
9,735 ton tahun 2006, tahun 2007 naik 13.4% (10,111 ton) dan 2,547 ton tahun 2008, pada
Tabel 6. Ketersediaan Lahan Pertanian dan Perikanan

Human carrying capacity sebagai tingkat maksimal penggunaan sumberdaya alam


akibat yang ditimbulkan dimana sumberdaya tersebut masih bisa digunakan secara
berkelanjutan dimasa akan datang tanpa mempengaruhi kemampuan produksinya.

Menurut Erlich dan Holderen (1971; 1974 dalam Anonymous, 1994) disebutkan
bahwa dampak yang timbul adanya manusia pada suatu wilayah adalah sejumlah populasi,
adanya kebutuhan konsumsi dan teknologi untuk memenuhi kebutuhan. Perkembangan saat
ini perlu memperhitungkan jumlah sumberdaya lahan produktif secara berkelanjutan yang
dapat mensuppor penduduk wilayah pada tingkat pemenuhan konsumsi ideal dalam jangka
waktu tak terbatas. Untuk mencapai neraca ketersediaan pangan pokok seperti beras yang
berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan kemammpuan
generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Konsep pembangunan
berkelanjutan adalah bahwa tujuan ekonomi dan ekologi harus saling mendukung dan terkait
sehingga tidak terjadi trade off antar tujuan (Brundtland Report, 1987 dalam Nurmalina,
2007).

Besarnya regional carrying capacity yaitu sumberdaya yang dapat diperbaharui dan
tidak dapat diperbaharui. Produksi pangan dapat digunakan untuk memperkirakan regional
carrying capacity, yaitu dengan mengukur total pangan pangan yang dapat diproduksi
kemudian dibagi dengan tingkat kebutuhan konsumsi pangan standar per orang atau
mempertimbangkan perubahan pada produksi pangan dengan meningkatnya teknologi,
distribusi pangan, variasi pola konsumsi pangan penduduk dan ketersediaan sumberdaya lain
seperti bahan bakar minyak (Richard, 2002 dalam Absari, 2007).

PERENCANAAN PENYEDIAAN PANGAN DENGAN PENDEKATAN PPH

Pangan dan gizi merupakan salah satu sasaran rencana pembangunan jangka panjang
nasional (RPJPN) 2005-2025 sebagai unsur yang sangat penting dan strategis dalam
meningkatkan SDM yang berkualitas adalah pembangunan per- baikan gizi secara lintas
sektor meliputi produksi, pengolahan, distribusi, harga pangan dengan kandungan gizi yang
cukup, seimbang dan aman.

Pangan mem- punyai arti biologis juga mempunyai arti ekonomis dan politis. Ketahanan
pangan salah satu prioritas dalam pembangunan jangka menengah tahun 2011-2015 yang
ditetapkan dalam Peraturan Presiden RI No 5/2010 dan Inpres No 3/2010 tentang Rencana
Aksi Pangan dan Gizi Nasional (RAN-PG) yang terstruktur dan terinteg rasi dalam lima pilar
yaitu

perbaikan gizi masyarakat melalui peningkatan ketersediaan pangan secara


berkelanjutan,
peningkatan aksesibilitas pangan yang difokuskan pada keluarga rawan pangan dan
miskin,
peningkatan pe- ngawasan mutu pangan dan keamanan pangan,
peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat,
penguatan kelembagaan pangan dan gizi (Bappenas, 2011).

Dalam perencanaan penyediaan pangan dan kebutuhan konsumsi pangan berdasarkan hasil
evaluasi skor mutu pangan aktual (skor PPH ketersediaan aktual) kemudian dibandingkan skor PPH
ketersediaan pangan ideal, dan kontribusi energi dalam ketersediaan pangan aktual dan ideal,
kemudian direncanakan ketersediaan pangan sesuai gap yang terjadi, baik yang bersumber dari
produksi, impor dan stok pangan. Selanjutnya penilaian konsumsi pangan aktual penduduk
dibandingkan dengan konsumsi pangan ideal dengan pendekatan PPH, dan kontribusi energi dari
setiap kelompok pangan yang dikonsumsi antara aktual dan ideal kemudian direncanakan
jumlahkebutuhan konsumsi pangan sesuai gap konsumsi untuk memenuhi kebutuhan gizi penduduk
dalam jangka waktu tertentu.

Kelambanan Indonesia menangani masalah gizi makro dalam bentuk gizi kurang dan gizi
buruk menurut pendapat saya ada kaitannya dengan kebijakan program gizi kita yang masih
mengedepankan pangan, makanan dan konsumsi sebagai penyebab utama masalah gizi.
Kebijakan ini cenderung mengabaikan peran faktor lain sebagi penyebab timbulnya masalah
gizi seperti air bersih, kebersihan lingkungan dan pelayanan kesehatan dasar. Akibatnya
program gizi lebih sering menjadi program sektoral yang masing-masing berdiri sendiri
dengan persepsi berbeda mengenai masalah gizi dan indikatornya.

Pertimbangan perencanaan pangan di Kabupaten Sinjai mengacu pada upaya peningkatan


ketersediaan pangan yang bersumber dari produksi, stok pangan, impor dan ekspor.
Paradigma yang digunakan dalam perencanaan penyediaan kebutuhan pangan adalah
memperhatikan keanekaragaman pangan dan keseimbangan gizi sesuai kebutuhan untuk
hidup sehat dan produktif dengan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH).

Berdasarkan hasil dapat direncanakan pengembangan dari sembilan kelompok pangan


dengan memproyeksikan ketersediaan pangan dan kebutuhan konsumsi pangan sesuai
kebutuhan gizi berdasarkan Pola Pangan Harapan dengan mempertimbangkan jumlah
penduduk setiap tahunnya hingga tahun 2020. selanjutnya proyeksi produksi pangan dari
sembilan kelompok pangan berdasarkan proyeksi ketersediaan pangan yang beragam untuk
kebutuhan konsumsi pangan penduduk berdasarkan Pola Pangan Harapan (PPH) hingga
tahun 2020 dengan mempertimbangkan ekspor, impor, stok pangan dan tercecer sesuai
ketersediaan lahan. Secara skematis kerangka pemikiran penelitian analisis perencanaan
penyediaan pangan berdasarkan Pola Pangan Harapan (PPH) di Kabupaten Sinjai Provinsi
Sulawesi Selatan

Pemenuhan kebutuhan pangan juga sangat penting sebagai komponen dasar untuk
membentuk sumberdaya manusia yang berkualitas. Pengertian pangan sendiri memiliki
dimensii yang luas, yaitu bahan-bahan yang dimakan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan
bagi pemeliharaan, pertumbuhan, kerja dan pengganti jaringan yang rusak, agar manusia
dapat hidup sehat dan produktif dengan memperhatikan keseimbangan karbohidrat, protein,
lemak, vitamin, serat dan zat esensial lainnya (Suhardjo 2006).

Hal ini membawa konsukuensi bahwa setiap rumah tangga dan anggotanya harus
mempunyai akses untuk memenuhi kebutuhan pangan sehingga mampu menjalani kehidupan
yang sehat dan produktif dari hari kehari. Konsumsi pangan dan gizi yang cukup dan
seimbang menjadi syarat bagi perkembangan organ fisik manusia sejak dalam kandungan
yang selanjutnya berpengaruh terhadap perkembangan intelegensia maupun kemampuan
fisiknya. Generasi yang tangguh secara fisik maupun intelegensia akan menjadi
tulangpunggung bagi tumbuh kembang suatu bangsa dalam pembangunan ekonomi, sosial
maupun politik. Oleh karena itu ketahanan pangan merupakan salah satu pilar bagi
pembangunan sektor-sektor lainnya. Ketidak tahanan pangan sangat berpotensi memicu
kerawanan sosial politik maupun keamanan.

Atas dasar itulah maka tujuan utama pembangunan pangan dan gizi adalah
meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), yang tercermin dalam Indeks
Pembangunan Manusia (IPM). Dengan demikian terpenuhinya pangan yang cukup,
baik dalam jumlah maupun mutunya, merata, terjangkau oleh seluruh rumahtangga
dan atau individu menjadi sasaran utama pembangunan ekonomi dan kesejahteraan
rakyat pada setiap level pemerintahan baik pusat, provinsi, kabupaten dan kota. Hal
ini dapat diwujudkan melalui pembangunan ketahanan pangan

Rasio Swasembada Pangan


Ukuran kemampuan suatu wilayah untuk menyediakan pangan dan jaminan dalam
penyediaan pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya aman dan terjangkau oleh
seluruh lapisan masyarakat dari potensi produksi dalam daerah, dengan pemanfaatan potensi
sumberdaya, me- rupakan salah satu konsep indikator dalam mengukur kemandirian pangan
suatu wilayah untuk menyediakan pangan yang bersumber dari potensi produksi, dilihat dari
rasio swasembada indikator minimal 90% atau dengan kata lain ketergantungannya terhadap
impor sangat kecil. Kemampuan suatu wilayah untuk menyediakan pangan dari aspek
produksi secara agregat ketersediaan pangan pada tahun 2008 dengan laju pertambahan
penduduk sebesar 0,94 % per tahun, hasil analisis ketersediaan pangan untuk pemenuhan
kebutuhan gizi secara aktual bukan menjadi masalah untuk kelompok pangan penghasil
sumber energi yang bersumber dari kelompok pangan padi-padian dengan rasio swasembada
untuk beras sebesar 166 ton dan jagung 100 ton, untuk komoditi buah-buahan diatas
100 ton, sedangkan untuk komoditi tomat sebesar 96 ton dan kentang 90 ton.
Kelompok pangan hewani berdasarkan rasio swasembada bernilai negatif seperti
daging sapi sebesar (-117) ton, daging kambing sebesar (-18) ton,sedangkan pangan hewani
yang bernilai positif seperti; telur sebesar 79 ton,dikategorikan pemerintah Kabupaen Sinjai
belum mampu menyediakan pangan atau wilayah tersebut belum mandiri khusuanya dalam
penyediaan daging sapi,daging kambing, dan telur unggas. Sedangkan komoditi lainnya
seperti; ayam buras sebesar 235 ton, ayam ras sebesar 96 ton, dalam kondisi lingkungan
strategis sumberdaya alam sebagai basis produksi dapat memenuhi kebutuhan pangan
wilayah melalui peningkatan teknologi kecuali kelompok pangan hewani khususnya ternak
ruminansia peningkatan ketersediaan pangan hewani harus melalui impor,

Anda mungkin juga menyukai