MAKALAH
PERENCANAAN PANGAN DAN GIZI DI SULAWESI SELATAN
OLEH
KELOMPOK 6
MEVI WAIRATA 201457041
JAINABUN SOUWAKIL 2014570
MIRANDA TOPURMERA 201457039
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas segala
limpahan berkat dan karunia-Nya, maka kami dapat menyelesaikan penulisan makalah Kimia
Hasil Pertanian yang berjudul Vitamin A.
Selaku manusia, kami menyadari bahwa makalah yang kami tulis ini masih jauh dari
kesempurnaan.Untuk itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun baik dari pihak dosen matakuliah maupun dari kalangan teman-teman
mahasiswa sekalian.
Akhir kata kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu demi
terselesaikannya penulisan makalah ini, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Pangan merupakan salah satu hak dasar rakyat (basic people right) yang menentukan
kualitas hidup suatu bangsa. Ketahanan pangan merupakan unsur yang sangat penting dan
erat kaitannya dengan ketahanan sosial, stabilitas ekonomi, stabilitas politik dan ketahanan
nasional secara keseluruhan. Pembangunan sistem ketahanan pangan merupakan salah satu
fokus dari pembangunan nasional untuk membentuk manusia yang berkualitas, menjadi
syarat mutlak bagi pembangunan nasional untuk membentuk manusia Indonesi yang
berkualitas, mandiri, dan sejahtera yaitu manusia yang sehat, cerdas dan produktif.
Ketahanan pangan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 adalah kondisi terpenuhinya
pangan bagi rumahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah
maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.
PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN PANGAN
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama, karena itu
pemenuhan kebutuhan pangan merupakan bagian dari hak azasi manusia. Dimana negara
memiliki kewajiban (state obligation) untuk menghormati (to respect), melindungi (to
protect), dan memenuhi (to fulfill) hak atas pangan masyarakat. Pemenuhan kebutuhan
pangan juga sangat penting sebagai komponen dasar untuk membentuk sumberdaya manusia
yang berkualitas. Pengertian pangan sendiri memiliki dimensi yang luas, yaitu bahan-bahan
yang dimakan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan bagi pemeliharaan, pertumbuhan, kerja
dan pengganti jaringan yang rusak, agar manusia dapat hidup sehat dan produktif dengan
memperhatikan keseimbangan karbohidrat, protein, lemak, vitamin, serat dan zat esensial
lainnya (Suhardjo 2006)
Pada tahun 2005, secara nasional kasus busung lapar yang menyerang anak Indonesia
rata-rata mencapai angka 8%. Sesuai dengan proyeksi penduduk Indonesia yang disusun
BPS, jumlah anak usia 0-4 tahun di Indonesia mencapai 20,87 juta di tahun 2005 ini. Itu
berarti ada sekitar 1,67 juta anak balita yang menderita busung lapar. Diperkirakan jumlah
anak balita yang terancam kurang gizi terus meningkat. Mengingat ada 5-6 juta bayi lahir di
Indonesia dan dari jumlah itu 75%-85% berasal dari keluarga miskin 1
Sulawesi Selatan (Sul-Sel) yang dikenal luas sebagai lumbung pangan nasional
ternyata memiliki angka kejadian gizi kurang yang tinggi. Survei Konsumsi Gizi
menunjukkan bahwa sejak tahun 1995 sampai tahun 1998 terjadi peningkatan persentase
keluarga di Sulsel yang mengalami defisit konsumsi energi dari 39% menjadi 57%). Padahal,
pada saat yang sama produksi beras, sumber utama kalori di daerah ini, mengalami surplus
1,4 juta sampai 1,5 juta. 2
KONSUMSI PANGAN
Konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang dimakan oleh setiap orang /
individu dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Aspek konsumsi berfungsi mengarahkan
rumahtangga agar pola pemanfaatan pangan secara nasional memenuhi kaidah mutu,
keragaman, kandungan gizi, keamanan dan kehalalan, Oleh karena itu pemanfaatan pangan
dalam tubuh (food utility) dapat optimal, dengan peningkatan kesadaran atas pentingnya pola
konsumsi pangan beragam dengan gizi seimbang mencakup energi, protein, vitamin dan
mineral, pemeliharaan sanitasi dan higienis serta pencegahan penyakit infeksi dalam
lingkungan rumahtangga.
Menurut Suhardjo (1992), terdapat hubungan antara konsumsi pangan (energi dan
protein) dengan status ekonomi, pengetahuan, sosial dan budaya rumah tangga yang
tercermin dalam pola konsumsi masyarakat ditingkat rumahtangga dengan output status gizi
masyarakat.
Kemudian Syarief dan Martianto (1991), mengemukakan bahwa jumlah dan jenis
pangan yang dikonsumsi oleh masyarakat tidak saja dipengaruhi produksi atau ketersediaan
pangan, tetapi dipegaruhi juga oleh daya jangkau ekonomi (daya beli), kesukaan/selera,
pendidikan dan nilai sosial budaya pangan yang berlaku dalam masyarakat. Alan Berg dan
Sayogo (1986), mengemukakan bahwa biaya hidup daerah urban lebih tinggi, menyebabkan
tingkat pengeluaran/perkapita/hari konsumsi rata-rata total daerah urban dua kali lebih besar
dibandingkan daerah pedesaan. Penduduk urban lebih suka membelanjakan pendapatan
mereka untuk pangan
sedangkan dalam penelitian Mellor J.W dan Lele U.J dalam Alan Berg (1986) pola
pembelanjaan makanan diantara kelompok orang miskin dan kaya tercermin dalam kebiasaan
pengeluaran pendapatan untuk makanan, dengan demikian pendapatan merupakan faktor
yang paling menentukan kualitas dan kuantitas makanan.
Terdapat kecendrungan bahwa tingkat konsumsi protein di wilayah desa lebih rendah
dibandingkan dengan wilayah kota. Hal ini mengisyaratkan bahwa keanekaragaman
konsumsi makanan di wilayah khususnya, masih belum ditunjang oleh tercukupinya kualitas
konsumsi energi dan protein. Kinerja subsistem konsumsi pangan secara kuantitatif adalah
Angka Kecukupan Gizi (AKG) rekomendasi Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG)
ke VIII tahun 2004, dalam satuan rata-rata per kapita perhari secara kuantitatif konsumsi
energi sebesar 2.000 kkal/kapita/hari dan protein 52 gr/kapita/hari dan secara kualitatif
dengan acuan tingkat keragaman konsumsi pangan adalah Pola Pangan Harapan (PPH)
dengan skor 100 sebagai pola ideal yang akan dicapai pada tahun 2020.
Angka kekurangan gizi pada balita di Sulsel juga tinggi. Survei Pemantauan Status
Gizi tahun 1999 menemukan 44% balita di daerah ini kekurangan gizi dan 14% mengalami
gizi buruk. Kondisi ini sangat ironis karena status daerah lumbung pangan ternyata tidak
banyak berperan menanggulangi masalah kekurangan gizi. Kondisi Sulsel bahkan lebih buruk
dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain yang hidup dari surplus beras Sulsel, seperti
Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, dan Maluku (Departemen Kesehatan, 2001). 2
Atas dasar itulah maka tujuan utama pembangunan pangan dan gizi adalah
meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), yang tercermin dalam Indeks
Pembangunan Manusia (IPM). Dengan demikian terpenuhinya pangan yang cukup, baik
dalam jumlah maupun mutunya, merata, terjangkau oleh seluruh rumahtangga dan atau
individu menjadi sasaran utama pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat pada setiap
level pemerintahan baik pusat, provinsi, kabupaten dan kota. Hal ini dapat diwujudkan
melalui pembangunan ketahanan pangan
Menurut Erlich dan Holderen (1971; 1974 dalam Anonymous, 1994) disebutkan
bahwa dampak yang timbul adanya manusia pada suatu wilayah adalah sejumlah populasi,
adanya kebutuhan konsumsi dan teknologi untuk memenuhi kebutuhan. Perkembangan saat
ini perlu memperhitungkan jumlah sumberdaya lahan produktif secara berkelanjutan yang
dapat mensuppor penduduk wilayah pada tingkat pemenuhan konsumsi ideal dalam jangka
waktu tak terbatas. Untuk mencapai neraca ketersediaan pangan pokok seperti beras yang
berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan kemammpuan
generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Konsep pembangunan
berkelanjutan adalah bahwa tujuan ekonomi dan ekologi harus saling mendukung dan terkait
sehingga tidak terjadi trade off antar tujuan (Brundtland Report, 1987 dalam Nurmalina,
2007).
Besarnya regional carrying capacity yaitu sumberdaya yang dapat diperbaharui dan
tidak dapat diperbaharui. Produksi pangan dapat digunakan untuk memperkirakan regional
carrying capacity, yaitu dengan mengukur total pangan pangan yang dapat diproduksi
kemudian dibagi dengan tingkat kebutuhan konsumsi pangan standar per orang atau
mempertimbangkan perubahan pada produksi pangan dengan meningkatnya teknologi,
distribusi pangan, variasi pola konsumsi pangan penduduk dan ketersediaan sumberdaya lain
seperti bahan bakar minyak (Richard, 2002 dalam Absari, 2007).
Pangan dan gizi merupakan salah satu sasaran rencana pembangunan jangka panjang
nasional (RPJPN) 2005-2025 sebagai unsur yang sangat penting dan strategis dalam
meningkatkan SDM yang berkualitas adalah pembangunan per- baikan gizi secara lintas
sektor meliputi produksi, pengolahan, distribusi, harga pangan dengan kandungan gizi yang
cukup, seimbang dan aman.
Pangan mem- punyai arti biologis juga mempunyai arti ekonomis dan politis. Ketahanan
pangan salah satu prioritas dalam pembangunan jangka menengah tahun 2011-2015 yang
ditetapkan dalam Peraturan Presiden RI No 5/2010 dan Inpres No 3/2010 tentang Rencana
Aksi Pangan dan Gizi Nasional (RAN-PG) yang terstruktur dan terinteg rasi dalam lima pilar
yaitu
Dalam perencanaan penyediaan pangan dan kebutuhan konsumsi pangan berdasarkan hasil
evaluasi skor mutu pangan aktual (skor PPH ketersediaan aktual) kemudian dibandingkan skor PPH
ketersediaan pangan ideal, dan kontribusi energi dalam ketersediaan pangan aktual dan ideal,
kemudian direncanakan ketersediaan pangan sesuai gap yang terjadi, baik yang bersumber dari
produksi, impor dan stok pangan. Selanjutnya penilaian konsumsi pangan aktual penduduk
dibandingkan dengan konsumsi pangan ideal dengan pendekatan PPH, dan kontribusi energi dari
setiap kelompok pangan yang dikonsumsi antara aktual dan ideal kemudian direncanakan
jumlahkebutuhan konsumsi pangan sesuai gap konsumsi untuk memenuhi kebutuhan gizi penduduk
dalam jangka waktu tertentu.
Kelambanan Indonesia menangani masalah gizi makro dalam bentuk gizi kurang dan gizi
buruk menurut pendapat saya ada kaitannya dengan kebijakan program gizi kita yang masih
mengedepankan pangan, makanan dan konsumsi sebagai penyebab utama masalah gizi.
Kebijakan ini cenderung mengabaikan peran faktor lain sebagi penyebab timbulnya masalah
gizi seperti air bersih, kebersihan lingkungan dan pelayanan kesehatan dasar. Akibatnya
program gizi lebih sering menjadi program sektoral yang masing-masing berdiri sendiri
dengan persepsi berbeda mengenai masalah gizi dan indikatornya.
Pemenuhan kebutuhan pangan juga sangat penting sebagai komponen dasar untuk
membentuk sumberdaya manusia yang berkualitas. Pengertian pangan sendiri memiliki
dimensii yang luas, yaitu bahan-bahan yang dimakan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan
bagi pemeliharaan, pertumbuhan, kerja dan pengganti jaringan yang rusak, agar manusia
dapat hidup sehat dan produktif dengan memperhatikan keseimbangan karbohidrat, protein,
lemak, vitamin, serat dan zat esensial lainnya (Suhardjo 2006).
Hal ini membawa konsukuensi bahwa setiap rumah tangga dan anggotanya harus
mempunyai akses untuk memenuhi kebutuhan pangan sehingga mampu menjalani kehidupan
yang sehat dan produktif dari hari kehari. Konsumsi pangan dan gizi yang cukup dan
seimbang menjadi syarat bagi perkembangan organ fisik manusia sejak dalam kandungan
yang selanjutnya berpengaruh terhadap perkembangan intelegensia maupun kemampuan
fisiknya. Generasi yang tangguh secara fisik maupun intelegensia akan menjadi
tulangpunggung bagi tumbuh kembang suatu bangsa dalam pembangunan ekonomi, sosial
maupun politik. Oleh karena itu ketahanan pangan merupakan salah satu pilar bagi
pembangunan sektor-sektor lainnya. Ketidak tahanan pangan sangat berpotensi memicu
kerawanan sosial politik maupun keamanan.
Atas dasar itulah maka tujuan utama pembangunan pangan dan gizi adalah
meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), yang tercermin dalam Indeks
Pembangunan Manusia (IPM). Dengan demikian terpenuhinya pangan yang cukup,
baik dalam jumlah maupun mutunya, merata, terjangkau oleh seluruh rumahtangga
dan atau individu menjadi sasaran utama pembangunan ekonomi dan kesejahteraan
rakyat pada setiap level pemerintahan baik pusat, provinsi, kabupaten dan kota. Hal
ini dapat diwujudkan melalui pembangunan ketahanan pangan