NIM : 190201002
MATA KULIAH : TAFSIR PL
Pada hakekatnya, kritik teks bertujuan untuk: (a) menentukan proses penerusan
teks dan timbulnya bentuk-bentuk varian teks yang beragam, (b) menentukan
susunan kata yang asli, jika dinilai mungkin, dan (c) menentukan bentuk dan
susunan kata yang terbaik dari teks.
Sebuah teks itu bersifat historis, minimal dalam dua pengertian: teks itu berkaitan
dengan ‘sejarah dari teks’ dan ‘sejarah di dalam teks.’ Yang pertama merujuk pada
tokoh-tokoh, peristiwa-peristiwa, keadaan-keadaan sosial, ataupun gagasan-
gagasan yang digambarkan di dalam teks. Sedangkan, yang kedua menunjuk pada
riwayat atau sejarah teks itu sendiri (tidak ada sangkut pautnya dengan apa yang
dikisahkan/digambarkan dalam teks!), yakni tentang: bagaimana teks itu muncul,
mengapa, kapan, dimana, dan dalam keadaan bagaimana teks itu ditulis, siapa
penulisnya, untuk siapa ditulis, atau juga hal-hal apa saja yang memengaruhi
kemunculan, perkembangan, pemeliharan, dan penyebarluasannya?
Kritik tata bahasa berurusan dengan penganalisaan sebuah teks melalui bahasanya.
Kritik bahasa menaruh perhatian bukan hanya perihal bagaimana kata-kata
berfungsi sebagai pembawa atau pengemban arti, tetapi tentang bagaimana kata-
kata itu disusun dalam frasa-frasa dan kalimat-kalimat untuk membentuk unit-unit
kalimat yang bermakna. Maksud pendekatan ini adalah untuk menciptakan
kembali alam pemikiran asli dari penulis/teks dan memasukinya melalui bahasa
teks.
Kritik ini memusatkan perhatiannya secara agak terbatas terutama pada analisa
sumber atau dokumen. Misalnya, Pentateukh merupakan gabungan dari pelbagai
macam dokumen. Kitab-kitab itu diperoleh dari penggabungan kemudian atas
naskah-naskah yang lebih pendek yang telah ada sebelumnya. Kritik sastra
menaruh perhatian pada topik-topik yang luas: struktur karangan dan karakter teks,
teknik-teknik gaya bahasa, pemakaian gambar-gambar dan simbol-simbol, efek-
efek dramatis dan estetis yang ditimbulkannya.
Kritik bentuk /analisis jenis lebih memusatkan diri pada bagian/perikop yang lebih
singkat. Disini kritik bentuk menidentifikasikan pelbagai jenis sastra untuk
kemudian menggolongkan teks atau bagian tertentu sebuah karangan ke dalam
salah satu dari jenis sastra itu. Selain itu, kritik bentuk juga menaruh perhatian
pada usaha untuk menentukan dan menetapkan ‘kedudukan dalam kehidupan, yang
di dalamnya dulu jenis-jenis sastra tertentu dihasilkan, dibentuk, dan dipakai.
Dimensi kritik bentuk yang demikian ini menekankan hubungan yang mata penting
antara jenis sastra, lingkungan sosial, serta latarbelakang budaya dari suatu teks.
Tradisi yang dimakud disini bisa berupa lisan maupun yang tertulis. Misalnya ada
dua varian yang berbeda soal perintah memelihara hari sabat pada keluaran 20:8-
11 dengan Ulangan 5:12-15. Disini, versi kitab keluaran lebih pendek beberapa
baris. Alasan keduanya untuk memlihara hari sabat berbeda. Dalam Ulangan,
alasannya didasarkan pada pembebasan dari mesir, sementara pada kejadian
dikaitkan dengan penciptaan dunia. Dari sini, ada beberapa pertanyaan bisa
dimunculkan: bagaimana dua versi dari perintah yang sama itu berkaitan satu sama
lain? Apakah versi yang lebih pendek lebih tua daripada versi ayng lebih panjang?
Ataukah apa versi yang lebih pendek itu penyingkatan dari versi kemudian?
Bagaimana harus dijelaskan adanya dua unsur teologis yang berbeda tersebut?
Apakah semula memang ada dua versi , masing2 dipelihara dalam bentuknya yang
terpisah?atau, apakah semula memang ada 2 situasi kehidupan berbeda yang
melahirkan 2 versi itu? Kritik tradisi mengakui bahwa dua versi dari perintah yang
sama itu merupakan bentuk akhir sastra yang muncul dari suatu proses
pembentukan dan perkembangan yang panjang. Dengan didasarkan pada
pengamatan isi, struktur, dan konteksnya, yang menjadi perhatian kritik bentuk,
maka kritik tradisi berusaha untuk merekonstruksi bagaimana tradisi perintah
memelihara hari sabat itu berkembang.
Pembacaan kanonik atas sebuah teks akan berbeda-beda bergantung pada umat
beriman mana yang sedang membaca dan kanon mana yang tengah dibaca.
Misalnya, membaca alkitab kanon Yahudi jelas berbeda dengan membaca alkitab
kanon Kristen. Misalnya, alkitab Yahudi disusun dalam tiga bagian –taurat, Kitab
Nabi-nabi, dan Tulisan-Tulisan. Dalam pembagian ini, Torah berada di pusat, dan
dua bagian yang lain sebagai tafsiran penjelas yang disusun dengan urutan
kewibawaan yang menurun.
Kanonisasi membuat arti teks tidak bergantung lagi pada pemakaian kata itu
semula atau pemakainnya dalam sejarahnya. Nubuat seorang Nabi, misalnya,
dipahami sebagai sesuatu yang universal, dengan demikian tujuan semula yang
didasarkan pada konteks keadaan/historis tertentu diabaikan.
Pendekatan kanonik menolak untuk menafsirkan teks secara sendiri-sendiri.
Sebuah teks harus dibaca sebagai bagian dari Alkitab secara keseluruhan. Deangan
demikian, sebuah teks Perjanjian Lama yang dibaca di dalam Gereja pun akan
didengar dalam hubungannya dengan Perjanjian Baru.
Pendekatan ini jelas bersifat teologis. Teks-teks Kitab Suci harus ditafsir sebagai
tulisan-tulisan suci. Dengan demikian, kritik kanonik memusatkan perhatiannya
pada maksud teks bagi komunitas yang mengkanonsasikannya dan pada artinya
untuk masa kini. Misalnya, Nabi Yesaya tidak lagi muncul sebagai seorang bagi
yang tengah berbicara di tengah orang-orang sezamannya, tetapi sebagi seorang
yang tengah berkata-kata mengenai seseorang yang dinantikan datang.