Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

INFORMASI DAN MEDIA LITERASI

OLEH

ENJELA ESTEFANI MANURUNG

190201002

TEOLOGI

FAKULTAS ILMU TEOLOGI

INSTITUT AGAMA KRISTEN NEGERI (IAKN) TARUTUNG


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
berkat-Nya saya dapat menyelesaikan makalah produksi Informasi dan Media
Literasi dengan tepat waktu. Adapun makalah ini berisikan informasi mengenai
informasi dan media literasi yang berkembang.

Saya mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah mendukung


hingga selesainya laporan ini, terutama untuk dosen mata kuliah Perpustakaan
Digital, Ibu Himma Dewiyana yang telah memberikan banyak ilmu mengenai
teknologi media kepada Saya.

Saya berharap makalah Saya ini memberikan fungsi dan manfaat kepada
semua yang membacanya, dan menambah wawasan di bidang Literasi. Akhir kata
Saya mengucapkan terimakasih.

Tarutung, 02 Desember 2020

Enjela Manurung
DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Daftar Isi

Bab I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

1.2 Tujuan Penulisan Makalah

1.3 Manfaat Penulisan Makalah

Bab II Pembahasan

2.1 Pengertian Informasi, Media dan Literasi

2.2 Informasi Literasi

2.3 Model Literasi Informasi

2.4 Media Literasi

Bab II Kesimpulan

Daftar Pustaka
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Beberapa definisi menggambarkan bahwa informasi dapat ditampilkan dalam


beberapa format dan dapat dimasukkan ke dalam sumber yang terdokumentasi
(buku, jurnal, laporan, tesis, grafik, lukisan, multimedia, rekaman suara). Di masa
depan, mungkin ada format lain dalam menampilkan informasi di luar imaginasi
kita pada saat ini. Dalam perkembangan teknologi informasi dan internet (ICT)
dewasa ini, maka timbul beberapa perkembangan yang mendorong perubahan
konsep literasi awal, menjadi konsep baru literasi yang memiliki pengertian yang
berkaitan dengan beberapa keahlian baru yang harus dimiliki oleh siswa.
International Literacy Institute, menjelaskan bahwa pengertian literasi sendiri
sekarang sudah berkembang dan diartikan menjadi sebuah “range” keahlian yang
relatif (tidak absolut) untuk membaca, menulis, berkomunikasi dan berfikir secara
kritis. Karena itu maka Tapio Varis, Ketua umum UNESCO untuk Global E-
Learning mengatakan bahwa dengan berkembangnya teknologi komputer dan
informasi, maka literasi bisa dipetakan menjadi beberapa jenis, yaitu : a. Literasi
teknologi, yaitu keahlian untuk menggunakan internet dan mengkomunikasikan
informasi. b. Literasi Informasi, yaitu keahlian untuk melakukan riset dan
menganalisa informasi sebagai dasar pengambilan keputusan c. Literasi media,
yaitu keahlian untuk menghasilkan, mendistribusikan, serta mengevaluasi isi
koleksi pandang dengar (Audio Visual) d. Literasi Global, yaitu pemahaman akan
saling ketergantungan manusia didunia global, sehingga mampu berpartisipasi di
dunia global dan berkolaborasi. e. Literasi kompentensi sosial dan tanggungjawab
lebih kepada pemahaman etika dan pemahaman terhadap keamanan dan privasi
dalam berinternet (McPerson, 2007). Di tengah keberagaman bentuk dan jenis
informasi, maka kita dituntut tidak hanya dapat menbaca dan menulis bahan
tertulis (dalam bentuk buku atau tercetak) saja, tetapi bentuk-bentuk lain seiring
dengan perkembangan teknologi informasi. Menurut Eisenberg (2004) selain
memiliki

kemampuan literasi informasi, seseorang juga harus membekali dirinya dengan


literasi yang lain seperti : a. Literasi visual adalah kemampuan seseorang untuk
memahami, menggunakan dan mengekspresikan gambar. b. Literasi media
merupakan kemampuan untuk mengakses, menganalisis dan menciptakan
informasi untuk hasil yang spesifik. Media tersebut adalah Televisi, radio, surat
kabar, film, musik. c. Literasi komputer adalah kemampuan untuk membuat dan
memanipulasi dokumen dan data melalui perangkat lunak pangkalan data dan
pengolah data dan sebagainya. Literasi komputer juga dikenal dengan istilah
literasi elektronik atau literasi teknologi informasi. d. Literasi Digital merupakan
keahlian yang berkaitan dengan penguasaan sumber dan perangkat digital.
Beberapa institusi pendidikan menyadari dan melihat hal ini merupakan cara
praktis untuk mengajarkan literasi informasi, salah satunya melaui tutorial. e.
Literasi Jaringan adalah kemampuan untuk menggunakan, memahami, menemukan
dan memanipulasi informasi dalam jaringan misalnya internet. Istilah lainnya dari
literasi jaringan adalah literasi internet atau hiperliterasi. Secara garis besar
Bawden (2001) mengemukakan tiga jenis literasi berbasis keterampilan yaitu
literasi media, literasi komputer dan literasi perpustakaan. Literasi perpustakaan
memiliki dua pengertian, pengertian pertama adalah mengacu pada kemampuan
dalam menggunakan perpustakaan dan menandai awal lahirnya literasi informasi
yang menekankan pada kemampuan menetapkan sumber informasi yang tepat.
Pengertian yang kedua berhubungan dengan keterlibatan perpustakaan dalam
program literasi tradisioanal seperti pengajaran kemampuan membaca. Literasi
perpustakaan biasanya disinonimkan dengan keterampilan perpustakaan dan
instruksi bibliografis. Menurut Snavely dan Cooper (1997) literasi perpustakaan
merupakan istilah alternatif untuk literasi informasi yang merupakan bentuk
terbaru dari instruksi perpustakaan dan sumber informasi lainya. Saat ini
kemamuan literasi informasi merupakan sasaran atau tujuan yang ingin dicapai
dalam program pendidikan pemustaka di perpustakaan. Pendidikan pemustaka saat
ini mulai berkembang dan mencakup segala aspek mengenai pencarian informasi,
untuk mempersiapkan pemustaka mencapai pembelajaran sepanjang hayat
(Versosa, 2008: 12).
1.2 Tujuan Penulisan Makalah

1. Memenuhi tugas mata kuliah Perpustakaan Digital

2. Menambah pengetahuan mengenai perkembangan informasi dan media literasi

1.3 Manfaat Penulisan Makalah

1. Menambah wawasan mengenai informasi dan media literasi

2. Menambah pengetahuan mengenai perkembangan literasi dalam perpustakaan


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Informasi, Media dan Literasi

Informasi adalah data yang diolah menjadi bentuk yang berguna untuk membuat
keputusan. Informasi berguna untuk pembuat keputusan karena informasi
menurunkan ketidakpastian (atau meningkatkan pengetahuan) Informasi menjadi
penting, karena berdasarkan informasi itu para pengelola dapat mengetahui kondisi
obyektif perusahaannya. Informasi tersebut merupakan hasil pengolahan data atau
fakta yang dikumpulkan dengan metode ataupun cara – cara tertentu.

“Pengertian Informasi Menurut Gordon B. Davis (1991: 28), “Informasi adalah


data yang telah diolah menjadi sebuah bentuk yang berarti bagi penerimanya dan
bermanfaat bagi pengambilan keputusan saat ini atau mendatang”

Media merupakan bentuk jamak dari kata medium. Dalam ilmu komunikasi, media
bisa diartikan sebagai saluran, sarana penghubung, dan ala-alat komunikasi.

Kalimat media sebenarnya berasal dari bahasa latin yang secara harafiah
mempunyai arti perantara atau pengantar.

“Gerlach dan Ely (1971), menjelaskan bahwa Media apabila dipahami secara garis
besar adalah manusia, materi, atau kejadian yang membangun kondisi yang
membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan, atau sikap.”

Secara sederhana, literasi berarti kemampuan membaca dan menulis atau melek
aksara. Dalam konteks sekarang, literasi memiliki arti yang sangat luas. Literasi
bisa berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis, dan peka terhadap
lingkungan sekitar. Kirsch dan Jungeblut dalam buku Literacy: Profile of
America‟s Young Adult mendefinisikan literasi kontemporer sebagai kemampuan
seseorang dalam menggunakan informasi tertulis atau cetak untuk
mengembangkan pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat.
Lebih jauh, seorang baru bisa dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami
sesuatu karena membaca dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman
bacaannya.
2.2 Informasi Literasi

Information literacy dapat diterjemahkan sebagai keberaksaraan informasi atau


kemelekan informasi. Di dalam bidang perpustakaan dan informasi, keberaksaraan
informasi ini segera dikaitkan dengan kemampuan mengakses dan memanfaatkan
secara benar sejumlah besar informasi yang tersedia di Internet. Salah satu
pengertian tentang information literacy yang paling sering dikutip adalah yang
datang dari American Library Association (ALA) Presidential Committee on
Information Literacy. Institusi ini menyatakan bahwa „.. to be information literate,
a person must be able to recognize when information is needed and have the ability
to locate, evaluate, and use effectively the needed information.‟ Secara singkat,
pengertian ini menyatakan bahwa setiap orang diharapkan memiliki kemampuan
menemukan informasi secara tepat-guna. Ini dimulai dari kemampuan mengenali

apa kebutuhan informasi pribadinya, sebelum mencari dan menemukan informasi


tersebut.

Dari sisi pandang perpustakaan di negara-negara dengan tingkat ketersebaran


fasilitas Internet yang merata dan tingkat keberaksaraan (literacy) yang tinggi,
fenomena information literacy ini merupakan semacam perkembangan mutakhir
dari pola serupa yang sudah ada sejak jaman pra-Internet, yaitu pelatihan-pelatihan
pemakaian sarana bibliografi (bibliographic instruction) sebagaimana dikenal di
negara-negara Amerika Utara, atau „user education‟ alias pendidikan pemakai,
yang terutama berkembang di Eropa Barat. Di masa lampau, prinsip kegiatan-
kegiatan ini pada dasarnya serupa dengan apa yang hendak dikembangkan melalui
program-program information literacy, yaitu mengembangkan kemampuan
masyarakat pengguna dalam:

o Menetapkan hakikat dan rentang informasi yang dibutuhkan

o Mengakses informasi yang dibutuhkan secara efektif dan efisien

o Mengevaluasi informasi dan sumbernya secara kritis

o Menggunakan informasi untuk keperluan tertentu.

Bolehlah dikatakan bahwa program information literacy sebenarnya adalah


program pemberdayaan masyarakat. Selama perkembangannya di 20 tahun
belakangan ini, para pustakawan -terutama pustakawan sekolah dan perguruan
tinggi- pada umumnya memandang keterampilan yang hendak dikembangkan
melalui program-program pemberdayaan ini adalah keterampilan yang non-
problematik. Artinya, kemampuan seseorang dalam mencari dan menemukan
informasi itu adalah serangkaian keterampilan yang „dipindahkan‟ dari
pustakawan ke pengguna perpustakaan. Setelah seorang murid atau mahasiswa
mendapatkan keterampilan itu, ia diharapkan dapat mengembangkan kemampuan
berpikir kritis dan menyelesaikan masalah, serta pada gilirannya menambah
motivasinya untuk belajar.

Di dunia pendidikan tinggi, information literacy juga dianggap sebagai serangkaian


keterampilan yang bersifat generik dan dapat diterapkan di segala bidang ilmu.
Pustakawan dan penyelenggara pendidikan memberikan program-

program dasar bagi para mahasiswa baru, dengan harapan mereka akan dapat
mengembangkan diri lebih lanjut di sepanjang masa belajar mereka. Sama dengan
di sekolah menengah, program-program information literacy di perguruan tinggi
pada umumnya berdasarkan pandangan bahwa keterampilan mencari, menemukan,
dan menggunakan informasi ini adalah suatu keterampilan teknis. Dari sisi
pandang pendidikan, pada umumnya program information literacy memakai
prinsip-prinsip yang menekankan pada perubahan keadaan mental dan pikiran[1].
Standar-standar tentang information literacy sebagaimana yang dipakai oleh
Association of College and Research Libraries (ACRL) atau Australian and New
Zealand Institute for Information Literacy (ANZIIL) tampaknya mendukung
prinsip-prinsip ini. Beberapa negara meniru begitu saja standar ini, seolah-olah
proses menjadi melek-informasi dapat dilepaskan dari konteks sosial-budaya dan
dipindah-pindahkan dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya. Dari sisi pandang
sosio-kultural, maka program-program information literacy perlu dilengkapi
dengan pemahaman tentang betapa penting peran informasi dalam kerja bersama-
sama dengan orang lain. Itu artinya, upaya menjadi seorang yang melek-informasi
di tempat kerja bukanlah hanya persoalan meningkatkan kemampuan mencari dan
menemukan informasi di sumber tercetak atau digital, melainkan juga kemampuan
membina hubungan sosial-budaya dengan rekan kerja dan sejawat, bagaimana
menggunakan jaringan hubungan antar-manusia untuk bertukar dan saling berbagi
informasi (tentang ini, lihat misalnya Billett, 2003 dan Lloyd, 2004a. Seringkali,
untuk menjadi benar-benar melek-informasi, seseorang harus melalui dua tahap. Di
tahap pertama, ia mengembangkan kemampuan diri dalam mengenali dan
menggunakan berbagai sumber-sumber informasi yang tersedia di tempat kerja.
Pada tahap ini mungkin ia memerlukan program-program formal seperti yang
diterimanya di sekolah atau perguruan tinggi. Di tahap kedua, ia mengembangkan
kemampuan diri ini sebagai bagian dari kerja-sama di kantor atau di luar kantor,
mengintegrasikan keterampilan teknisnya dengan keterampilan berhubungan sosial
dengan berbagai pihak yang terkait dengan tugas-tugas profesionalnya. Pada tahap
ini, ia memerlukan program-program yang lebih informal dalam bentuk
keikutsertaan di berbagai pergaulan sosial atau dengan menjadi anggota komunitas
tertentu.

Dari sisi pandang sosio-kultural, maka program-program information literacy perlu


dilengkapi dengan pemahaman tentang betapa penting peran informasi dalam kerja
bersama-sama dengan orang lain. Itu artinya, upaya menjadi seorang yang melek-
informasi di tempat kerja bukanlah hanya persoalan meningkatkan kemampuan
mencari dan menemukan informasi di sumber tercetak atau digital, melainkan juga
kemampuan membina hubungan sosial-budaya dengan rekan kerja dan sejawat,
bagaimana menggunakan jaringan hubungan antar-manusia untuk bertukar dan
saling berbagi informasi (tentang ini, lihat misalnya Billett, 2003 dan Lloyd,
2004a. Seringkali, untuk menjadi benar-benar melek-informasi, seseorang harus
melalui dua tahap. Di tahap pertama, ia mengembangkan kemampuan diri dalam
mengenali dan menggunakan berbagai sumber-sumber informasi yang tersedia di
tempat kerja. Pada tahap ini mungkin ia memerlukan program-program formal
seperti yang diterimanya di sekolah atau perguruan tinggi. Di tahap kedua, ia
mengembangkan kemampuan diri ini sebagai bagian dari kerja-sama di kantor atau
di luar kantor, mengintegrasikan keterampilan teknisnya dengan keterampilan
berhubungan sosial dengan berbagai pihak yang terkait dengan tugas-tugas
profesionalnya. Pada tahap ini, ia memerlukan program-program yang lebih
informal dalam bentuk keikutsertaan di berbagai pergaulan sosial atau dengan
menjadi anggota komunitas tertentu.

2.3 Model Literasi Informasi Keberadaan model memungkinkan untuk


mengidentifikasi berbagai komponen serta menunjukkan hubungan
antarkomponen. Juga model dapat digunakan untuk menjelaskan apa yang di
maksud dengan literasi informasi. Dari situ kita dapat memusatkan pada bagian
tertentu ataupun keseluruhan model. Model literasi informasi ada 4 yang terkenal
yaitu The Big 6, Seven Pillars, dan Empowering 8 serta satu lagi The Seven Faces
of Information Literacy sebagaimana diusulkan oleh Bruce. A. The Big 6

The Big 6 dikembangkan di AS oleh dua pustakawan, Mike Eisdenberg dengan


Bob Berkowitz. The Big 6 menggunakan pendekatan pemecahan masalah untuk
mengajar informasi dan ketrampilan informasi serta teknologi. Model The Big 6
terdiri dari 6 tahap pemecahan masalah, pada masing-masing tahap dikelompokkan
dua sublangkah atau komponen. 1. Definisi tugas  Definisikan masalah
informasdi yang dihadapi  Identifikasi informasi yang diperlukan 2. Strategi
mencari informasi  Menentukan semua sumber yang mungkin  Memilih
sumber terbaik 3. Lokasi dan akses  Tentukan lokasi sumber secara intelektual
mauopun nfisik  Menemukan informasi dalam sumber 4. Menggunakan
informasi  Hadapi, misalnya membaca, mendengar, menyentuh, mengalamati 
Ekstrak informasi yang relevan 5. Sintesis  Mengorganisasikan dari banyak
sumber  Sajikan informasi 6. Evaluasi  Nilai produk yang dihasilkan dari segi
efektivitas  Nilai prosese, apakah efisien

Model The Big 6 memiliki kekurangan yaitu mayoritas sumber dan contoh
berdasarkan sekolah dan kegiatan kelas di AS. Kedua The Big 6 merupakan
produk komersial yang mensyaratkan hak cipta dan perlindungan merek dagang
sehingga tidak dapat digunakan begitu saja. Sungguhpun demikian, pembuat The
Big 6 masih mengizinkan penggunaannya untyuk kepertluan pendidikan asal
memberitahu mereka. B. The Seven Pillars of Information Literacy SCONUL
(Standing Conference of National and University Libraries) di Inggris
mengembangkan model konsdeptual yang disebut Seven Pillars of Information
Literacy. Bila di gambar nampak sebagai berikut :

Model Tujuh Pilar hendaknya dilihat dari segi peningkatan mulai dari ketrampilan
kemelekan informasi dasar melalui cara lebih canggih memahami serta
menggunakan informasi, katakanlah dari novis menuju pakar.

Model 7 Pilar terdiri dari 2 himpunan ketrampilan yaitu : (a) Mengetahui


bagaimana menentukan lokasi informasi serrta mengaksesnya (b) Mengetahui
bagaimana memahami serta menggunakan informasi. Ad a. Mengetahui bagaimana
menentukan lokasi informasi serrta mengaksesnya Empat pilar pertama terdiri atas
ketrampilan dasar yang disyaratkan untuk menentukan lokasi serta akses informasi
terdiri : (Pilar 1) Merekognisi kebutuhan informasi, mengetahui apa yang telah
diketahui, mengetahui apa yang tidak diketahui dan mengidentifikasi kesenjangan
antara yang diketahui dengan yang tidak diketahui (Pilar 2) Membedakan cara
mengatasi kesenjangan, mengetahui sumber informasi mansa yang paling besar
peluangnya memuaskan kebutuhan (Pilar 3) Membangun strategi untuk
menentukan lokasi informasi. Contoh bagaimana mengembangkan dan
memperbaiki strategi penelusuran yang efektif (Pilar 4) Menentukan lokasi dan
akses informasi, mengetahui bagaimana mengakses sumbert infotmasi dan
memeriksa alat untuk akses dan temu balik informasi.

Ad b . Mengetahui bagaimana memahami serta menggunakan informasi.

Pilar ke lima sampai ke tujuh merupakan ketrampilan tingkat lanjut yang


diperlukan untuk memahami serta menggunakan informasi secara efektif. Adapun
ke tiga pilar tersebut ialah (Pilar 5) Membandingkan dan mengevaluasi,
mengetahui bagaimana mengases relevansi dan kualitas informasi yang ditemukan
(Pilar 6) Mengoraganisasi, menerapkan dan mengkomunikasikan, mengetahui
bagaimana merangkaikan informasi baru dengan informasin lama, mengambil
tindakan atau membuat keputusan dan akhirnya bagaimana berbagi hasil temuan
informasi tersebut dengan otarang lain (Pilar 7) Sintesis dan menciptakan,
mengetahui bagaimana mengasimilasikan informasi dari berbagai jenis sumber
untuk keperluan menciptakan pengetahuan baru. Bila di gambar hasilnya sebagai
berikut

Ketrampilan dasar literasi informasi (pilar 1 sampai 4) merupakan dasar bagi


semua isu dan topik, dapat diajarkan pada semua tingkat pendidikan. Ketrampilan
tersebut juga diperkuat dan diperkaya melalui penggunaan berkala serta
pembelajaran sepanjang hayat, umumnya melalui program dan sumber yang
disediakan oleh perpustakaan. Untuk mencapai pilar 5 sampai 7, tantangan yang
dihadapi lebih besar karena keanekaragaman orang. C. Empowering Eight (E8)

International Workshop on Information Skill for learning International Workshop


on Information Skills fort Learning di Colombo, Srilangka tahun 2004 ini dihadiri
oleh 10 negara, yaitu Bangladesh, India, Indonesia, Maldiva, Malaysia, Nepal,
Pakistan, Singapore, Sri Lanka, Muangthai, dan Vietnam, sedangkan workshop
kedua diselenggarakan di Patiala India) november 2005. Tujuannya oalah
mengembangkan model literasi informasi yang akan digunakan untuk negara-
negara Asia Tenggara dan Selatan. Model yang dikembangkan disebut
Empowering Eight atau E8 karena mencakup 8 komponen menemukan dan
menggunakan informasi. Empowering 8 Empowering 8 menggunakan pendekatan
pemecahan masalah untuk resource-based learning. Menurut model ini, literasi
informasi terdiri dari kemampuan untuk : 1. Identifikasi topik/subyek, sasaran
audiens, format yang relevan, jenis-jenis sumber 2. Eksplorasi sumber dan
informasi yang sesuai dengan topik 3. Seleksi dan merekam informasi yang
relevan, dan mengumpulkan kutipan-kutipan yang sesuai 4. Organisasi, evaluasi
and menyusun informasi menurut susunan yang logis, membedakan antara fakta
dan pendapat, dan menggunakan alat bantu visual untuk membandingkan dan
mengkontraskan informasi 5. Penciptaan informasi dengan menggunakan kata-kata
sendiri, edit, dan pembuatan daftar pustaka 6. Presentasi, penyebaran atau display
informasi yang dihasilkan 7. Penilaian output, berdasarkan masukan dari orang lain
8. Penerapan masukan, penilaian, pengalaman yang diperoleh untuk kegiatan yang
akan datang; dan penggunaan pengetahuan baru yang diperoleh untuk pelbagai
situasi.

D. Bruce’s Seven faces of information literacy Bruce menggunakan pendekatan


informasi terhadap literasi informasi. Ada tiga strategi yang diusulkannya yaitu :
(a) Ancangan perilaku (behaviourist approach), menyatakan untuk dapat
digambarkan sebagai melek informasi, seseorang harus menunjukkan karakteristik
tertentu serta mendemonstrasikan ketrampilan tertentu yang dapat diukur.
Pendekatan semacam itu dianut oleh ACRL dalam standarnya. (b) Ancangan
konstrukvis (constructivist approach), tekanan pada pembelajar dalam
mengkonstruksi gambaran domainnya, misalnya melalui pembebelajaran berbasis
persoalan, (c) Ancangan relasional, dimulai dengan menggambarkan fenomena
dalam bahasa dari yang telah dialami seseorang. Adapun 7 wajah literasi informasi
digambarkkan dalam tabel sebagai berikut : Seven faces of information literacy

Kategori satu:

Konsepsi teknologi informasi

Literasi informasi dilihat sebagai penggunaan teknologi informasi untuk keperluan


temubalik informasi serta komunikasi
Kategori dua:

Konsepsi sumber ke informasi

Literasi informasi dilihat sebagai menemukan informasi yang berada di sumber


informasi

Kategori tiga:

Konsepsi proses informasi

Literasi informasi dilihat sebagai melaksanakan sebuah proses

Kategori empat:

Konsepsi pengendalian

informasi

Literasi informasi dilihat sebagai pengendalian informasi

Kategori lima:

Konsepsi konstruksi

pengetahuan

Literasi informasi dilihat sebagai pembuatan basis pengetahuan pribadi pada


bidang baru yang diminatinya

Kategori enam:

Konsepsi perluasan pengetahuan

Literasi informasi dilihat sebagai berkarya dengan pengetahuan dan perspektif


pribadi yang dipakai sedemikian rupa sehingga mencapai wawasan baru

Kategori tujuh:

Konsepsi kearifan

Literasi informasi dilihat sebagai menggunakan informasi secara bijak bagi


kemudaratan orang lain E. McKinsey Model Mahasiswa pascasarjana bisnis
(graduate business students) memerlukan 10 ketrampilan untuk melakukan
penelitian pada abad informasi ini (Donaldson, 2004). Adapun kesepuluh
ketrampilan itu ialah : (a) Fokus pada topik (persempit topik/perluas ruang
lingkup) (b) Bekerja dalam urutan kronologis terbalik, pertama kali menelusur
informasi terbaru (c) Memahami signifikansi terminologi dan tentukan tajuk subjek
yang benar (d) Menganekaragamkan sumber (gunakan buku, majalah, situs
internet, dll) (e) Gunakan strategi Boole (AND,OR,NOT) pada penelusuran
komputer (f) Gandakan sumber sampai tiga kali (identifikasi sebanyak tiga kali
rujukan dari yang diperlukan) (g) Evaluasi secara kritis materi yang ditemubalik;
harus memiliki keurigaan pada sumber yang berasal dari Web; (h) Asimilasikan
informasi; jangan plagiat, masukkan gagasan sendiri kedalam topik penelitian

(i) Sitir semua sumber Sebenarnya model McKinsey merupakan pengembangan


lebih lanjut dari model literasi informasi yang telah ada sebelumnya. Dimulai dari
kebutruhan bisnis, namun karenas diadaptasikan untuk literasi informasi, maka
dimulai dengan kebutuhan informasi. Kebutuhan ini muncul dari masalah bisis
atau masalah penelitian, studi kasus ataupun tugas kuliah. Setelah masalah
diidentifikasi, langkah selanjutnya ialah analisis masalah Oleh McKinsey disebut
perangkaan masalah atau mendefinisikan batas masalah kemudian memecahnya
menjadi unsur komponen untuk sampai ke hipotesis awal sebagai pemecahan.
Langkah berikutnya disann analisys, kemudian dilanjutkan dengan pengumpulan
data, terutama dengan fact finding serta wawancara, Berikutnya menafsirkan hasil,
analisis serta evaluasi untuk menguji hipotesis. Langkah paling akhir dalam model
McKinesy ialah penyajian akhir.

2.4 Media Literasi Istilah literasi media diciptakan di mid-2004 untuk


menggabungkan literasi lainnya dengan visual (Ofcom, 2004). Ofcom mengatakan
literasi adalah keterampilan untuk mengakses, menganalisa, mengevaluasi dan
sekaligus

mengkomunikasikannya dalam berbagai macam format. Lebih daripada itu adalah


mampu mengenali dan mengerti informasi secara komprehensif untuk
mewujudkan cara berpikir kritis, seperti tanya jawab, menganalisa dan
mengevaluasi informasi itu. Wikipedia, the free encyclopedia, menyebutkan bahwa
media literacy adalah keterampilan untuk memahami sifat komunikasi, khususnya
dalam hubungannya dengan telekomunikasi dan media massa. Konsep ini
diterapkan pada beragam gagasan yang berupaya untuk menjelaskan bagaimana
media menyampaikan pesan-pesan mereka, dan mengapa demikian. General
Director UNESCO, Koiichiro Matsuura juga menjelaskan bahwa literasi lebih dari
sekadar membaca dan menulis. Melainkan juga mencakup bagaimana kita
berkomunikasi dalam masyarakat. Karena literasi berarti juga praktik dan
hubungan sosial yang terkait dengan pengetahuan, bahasa dan budaya. Media
Literacy di Indonesia lebih dikenal dengan istilah Melek Media. James Potter
dalam bukunya yang berjudul “Media Literacy” (Potter, dalam Kidia) mengatakan
bahwa media Literacy adalah sebuah perspekif yang digunakan secara aktif ketika,
individu mengakses media dengan tujuan untuk memaknai pesan yang
disampaikan oleh media. Jane Tallim menyatakan bahwa media literacy adalah
kemampuan untuk menganalisis pesan media yang menerpanya, baik yang bersifat
informatif maupun yang menghibur. Allan Rubin menawarkan tiga definisi
mengenai media literacy. Yang pertama dari National Leadership Conference on
Media Literacy (Baran and Davis, 2003) yaitu kemampuan untuk mengakses,
menganalisis, mengevaluasi dan mengkomunikasikan pesan. Yang kedua dari ahli
media, Paul Messaris, yaitu pengetahuan tentang bagaimana fungsi media dalam
masyarakat. Yang ketiga dari peneliti komunikasi massa, Justin Lewis dan Shut
Jally, yaitu pemahaman akan batasan-batasan budaya, ekonomi, politik dan
teknologi terhadap kreasi, produksi dan transmisi pesan. Rubin juga menambahkan
bahwa definisi-definisi tersebut menekankan pada pengetahuan spesifik, kesadaran
dan rasionalitas, yaitu proses kognitif terhadap informasi.

Fokus utamanya adalah evaluasi kritis terhadap pesan. Media literasi merupakan
sebuah pemahaman akan sumber-sumber dan teknologi komunikasi, kode-kode
yang digunakan, pesan-pesan yang dihasilkan serta seleksi, interpretasi dan
dampak dari pesan-pesan tersebut. Terdapat dua pandangan mengenai media
literacy yaitu dari Art Silverblatt dan James Potter (Potter dalam Kidia). Silverblatt
menyatakan bahwa seseorang dikatakan memiliki keterampilan literasi media
apabila dirinya memuat faktor-faktor sebagai berikut : 1) Sebuah kesadaran akan
dampak media terhadap individu dan masyarakat 2) Sebuah pemahaman akan
proses komunikasi massa 3) Pengembangan strategi-strategi yang digunakan untuk
menganalisis dan membahas pesan-pesan media 4) Sebuah kesadaran akan isi
media sebagai „teks‟ yang memberikan wawasan dan pengetahuan ke dalam
budaya kontemporer manusia dan diri manusia sendiri 5) Peningkatan kesenangan,
pemahaman dan apresiasi terhadap isi media. Di sisi lain, Potter (Baran and Davis,
2003 dalam Kidia) memberikan pendekatan yang agak berbeda dalam menjelaskan
ide-ide mendasar dari media literacy, yaitu: 1) Sebuah rangkaian kesatuan, yang
bukan merupakan kondisi kategorikal (Media Literacy is a continuum not a
category 2) Media literacy perlu dikembangkan dengan melihat tingkat
kedewasaan seseorang 3) Media literacy bersifat multidimensi, yaitu domain
kognitif yang mengacu pada proses mental dan proses berpikir, domain emosi
yaitu dimensi perasaan, domain estetis yang mengacu pada kemampuan untuk
menikmati, memahami dan mengapresiasi isi media dari sudut pandang artistik,
dan domain moral yang mengacu pada kemampuan untuk menangkap nilai-nilai
yang mendasari sebuah pesan

4) Tujuan dari media literacy adalah untuk memberi kita kontrol yang lebih untuk
menginterpretasi pesan. Tujuan dari melek media adalah untuk memberdayakan
individu-individu dalam mengontrol media pemrograman. Istilah pemrograman
dalam pengertian ini, tidak bermaksud program televisi atau media pesan. Seorang
individu oleh dirinya sendiri tidak akan punya banyak pengaruh mengubah
bagaimana massa kerajinan media pesan mereka. Seorang individu akan pernah
bisa menjalankan banyak kendali atas apa yang akan ditawarkan kepada publik.
Namun, seseorang bisa belajar untuk mengerahkan banyak kontrol atas cara
pikiran seseorang mendapat diprogram. Dengan demikian, tujuan media
keaksaraan adalah untuk menunjukkan orang-orang bagaimana untuk mengalihkan
kontrol dari media sendiri. Inilah yang saya maksud ketika saya mengatakan
bahwa tujuan melek media untuk membantu orang mengendalikan program media.
Media Literasi juga bertujuan untuk: • Membatasi PILIHAN Media telah
memprogram kita untuk percaya bahwa kita sedang menawarkan banyak pilihan,
tetapi pilihan kisaran sangat terbatas. The media have programmed you to think
that you have choices when in fact the degree of choice is greatly limited, berarti
Media telah memprogram Anda berpikir bahwa Anda memiliki pilihan ketika pada
kenyataannya tingkat pilihan sangat terbatas. • Memperkuat PENGALAMAN Kita
tetap akan kembali ke jenis pesan yang sama, percaya bahwa Kita akan memiliki
pengalaman yang memuaskan sekali lagi seperti yang ada di masa lalu. Seiring
berjalannya waktu, kebiasaan menjadi kuat, dan itu menjadi jauh lebih sulit untuk
mencoba sesuatu yang baru. The Cognitive Model of Media Literacy - Pribadi
lokus adalah istilah yang merujuk pada yang mengatur pengolahan informasi tugas.
Ini juga bentuk dan makna makna pencocokan konstruksi.

Lokus pribadi terdiri dari tujuan dan pengendali. Tujuan membentuk tugas
pemrosesan informasi dengan menentukan apa yang akan disaring dalam dan apa
yang akan diabaikan. Semakin Anda menyadari tujuan Anda, semakin Anda dapat
langsung proses pencarian informasi. Dan semakin kuat pengendalian informasi
Anda, semakin banyak Anda akan memperluas usaha untuk mencapai tujuan Anda.
Namun, lokus lemah (Anda tidak menyadari tujuan tertentu dan energi
pengendalian Anda rendah), Anda akan gagal untuk kontrol media: yaitu, Anda
memperbolehkan media untuk menjelajahi diri anda dan kontrol atas informasi
pengolahan.  Setelah lokus pribadi memberikan dorongan panci dan energi, alat-
alat yang diperlukan untuk melaksanakan rencana. Alat-alat tersebut adalah
kompetensi dan keterampilan. Kompetensi adalah orang-orang yang telah
memperoleh alat-alat untuk membantu mereka berinteraksi dengan media dan
untuk mengakses informasi dalam pesan. Kompetensi yang dipelajari pada awal
kehidupan, yang diterapkan secara otomatis. Kompetensi relatif dikotomis: yaitu,
baik orang mampu melakukan sesuatu atau mereka tidak mampu. Sebagai contoh,
baik orang tahu bagaimana mengenali kata dan maknanya sesuai dengan makna
hafal atau mereka tidak. Memiliki kompetensi tidak membuat satu media yang
melek huruf, tetapi tidak memiliki kompetensi ini mencegah salah satu dari media
menjadi melek karena kekurangan media ini mencegah seseorang mengakses jenis
informasi tertentu. Sebagai contoh, orang-orang yang tidak memiliki kompetensi
dasar membaca tidak dapat mengakses bahan cetakan. Ini akan sangat membatasi
apa yang mereka dapat dibangun ke structutes pengetahuan mereka.  Information
Processing Menyaring pesan Tugas: untuk membuat keputusan mengenai pesan
mana yang menyaring (mengabaikan) dan yang untuk menyaring dalam
(memperhatikan)

Tujuan: untuk menghadiri hanya pesan-pesan yang memiliki utilitas tertinggi dan
menghindari semua orang lain Fokus: pesan dalam lingkungan Arti pencocokan
Tugas: untuk menggunakan kompetensi dasar untuk mengenali simbol-simbol dan
menemukan definisi untuk masing-masing. Tujuan: untuk efisien mengakses
makna belajar sebelumnya. Fokus: simbol dalam pesan Arti konstruksi Tugas:
untuk menggunakan keterampilan untuk bergerak melampaui makna yang serasi
dan membangun makna bagi diri sendiri untuk mendapatkan lebih banyak dari
pesan. Tujuan: untuk menafsirkan pesan dari lebih dari satu perspektif sebagai
sarana untuk mengidentifikasi berbagai pilihan makna, kemudian memilih satu
atau sintesis di beberapa. Fokus: satu struktur pengetahuan sendiri The Seven
Skills of Media Literacy (1) Analyze/Menganalisa. Kompetensi berikutnya adalah
kemampuan menganalisa struktur pesan, yang dikemas dalam media,
mendayagunakan konsep-konsep dasar ilmu pengetahuan untuk memahami
konteks dalam pesan pada media tertentu. Misalnya, mampu mendayagunakan
informasi di media massa untuk membandingkan pernyataan-pernyataan pejabat
publik, dengan dasar teori sesuai ranah keilmuannya. Kompetensi lainnya bisa
diperiksa dengan kata kerja seperti, membedakan, mengenali kesalahan,
menginterpretasi, dsb. (2) Evaluate/Menilai. Setelah mampu menganalisa, maka
kompetensi berikutnya yang diperlukan adalah membuat penilaian (evaluasi).
Seseorang yang mampu

menilai, artinya ia mampu menghubungkan informasi yang ada di media massa itu
dengan kondisi dirinya, dan membuat penilaian mengenai keakuratan, dan kualitas
relevansi informasi itu dengan dirinya; apakah informasi itu sangat penting, biasa,
atau basi. Tentu saja kemampuan dalam menilai sebuah informasi itu dikemas
dengan baik atau tidak, juga adalah bagian dari kompetensinya. Di sini, terjadi
membandingkan norma dan nilai sosial terhadap isi yang dihadapi dari media. (3)
Grouping/pengelompokan – menentukan setiap unsur yang sama dalam beberapa
cara: menentukan setiap unsur yang berbeda dalam beberapa cara. (4)
Induction/Induksi – menyimpulkan suatu pola di set kecil elemen, maka pola
generalisasi untuk semua elemen dalam himpunan tersebut . (5) Deduction/deduksi
– menggunakan prinsip-prinsip umum untuk menjelaskan khusus (6)
Synthesis/sintesis – merakit unsur-unsur ke dalam struktur baru (7) Abstracting/
abstrak – menciptakan singkat, jelas, dan gambaran tepat menangkap esensi dari
pesan dalam sejumlah kecil kata-kata dari pada pesan itu sendiri. Di Indonesia,
kegiatan literasi media lebih didorong oleh kekhawatiran bahwa media dapat
menimbulkan pengaruh negatif. Mereka yang prihatin dengan pola interaksi anak
dengan media dan prihatin dengan isi media yang tidak aman dan tidak sehat
biasanya berasal dari kalangan orangtua, guru, tokoh agama, LSM yang peduli
dengan perlindungan anak, perguruan tinggi, kelompok mahasiswa, dan
sebagainya. Mereka berusaha keras menemukan cara-cara yang bisa diterapkan
dalam mengurangi jam anak menonton TV, memilih tayangan, melakukan
pendampingan yang benar, dan melakukan sosialisasi melalui berbagai forum.
Periode 1990 – 2000: Periode Mencari Bentuk

Untuk menyederhanakan, perkembangan literasi media di Indonesia dapat dibagi


dalam dua periode, yakni periode 1990-2000 dan periode 2000-2010. Tahun 1991,
Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) menyelenggarakan sebuah
workshop tingkat Asia-Pasific, tentang anak dan televisi di Cipanas. Dalam salah
satu pasal deklarasinya, dinyatakan bahwa “Untuk maksud baik ataupun buruk,
televisi ada di sekeliling jutaan anak. Mereka menonton apa saja yang ada di
televisi, dan televisi akan terus menerus menimbulkan pengaruh dalam kehidupan
anak di Asia baik fisik, mental, emosi, dan perkembangan spiritualnya.” Deklarasi
itu juga mengakui peran penting yang seharusnya dimainkan oleh televisi dalam
membantu tumbuh kembang anak yang baik, dan perlunya dikembangkan media
literacy di kalangan anak-anak. Berbagai forum seminar lainnya, lebih
menekankan pada dampak televisi pada anak dan bagaimana orangtua harus
bersikap. Seminar-seminar ini banyak diselenggarakan oleh berbagai institusi,
sekolah, perguruan tinggi, dan lain-lain. Forum seminar tersebut biasanya
diselenggarakan selama satu sesi atau setengah hari dengan tema-tema populer
yang dibutuhkan oleh orangtua dan guru. Pembahasan dalam forum tersebut dapat
dikatakan merupakan sepenggal dari kegiatan literasi media yang utuh.

Periode 2000 – 2010: Periode Pematangan

Pada periode ini, masih banyak bentuk kegiatan literasi media seperti dalam
periode sebelumnya. Namun ada variasi berupa kegiatan kampanye literasi media
yang dilakukan oleh LSM maupun organisasi mahasiswa. Kegiatan tersebut
dilakukan melalui seminar pendek dan road show dengan melibatkan anak-anak.
Sayangnya, gerakan tersebut dilakukan secara insidental dan kurang memikirkan
bagaimana agar materi yang dikampanyekan bisa berjalan terus. Selain itu, pada
tahun 2002 untuk pertama kalinya dilakukan penerapan literasi media melalui jalur
sekolah yang menjadi mata pelajaran tersendiri. Ujicoba ini dilaksanakan di SDN
Percontohan Johar Baru 01 Pagi Jakarta Pusat oleh YKAI.

Selanjutnya, Yayasan Pengembangan Media Anak sejak 2006 hingga 2010 secara
serius melakukan ujicoba dan pengembangan literasi media dengan dukungan
UNICEF. Dalam ujicoba tahun 2008, dilakukan evaluasi program melalui pre and
post-test yang dilakukan oleh Tim Jurusan Ilmu Komunikasi FISIPOL Universitas
Diponegoro.

Kenapa kita butuh Literasi Media?

Literasi media sangat dibutuhkan agar masyarakat menjadi cerdas. Masyarakt


harus memiliki kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan
mengomunikasikan pesan, sehingga dapat memilih mana media yang baik dan
mana yang buruk Demokrasi saat ini akan sulit ditegakkan, jika masyarakatnya
tidak melek media. Media massa, sebagai salah satu pilar demokrasi, dapat
berperan optimal jika masyarakatnya melek media. Bagaimana melek media
bermanfaat bagi orang awam? Dalam era teknologi informasi yang berkembang
demikian cepatnya, dimana kita sekarang sedang dikepung dan dibanjiri oleh
informasi, tidak ada cara lain selain “masuk” terlibat di dalamnya, dalam
kehidupan kita sehari-hari. Tidak ada jalan keluar, jalan lain untuk lari dari
“kejaran” informasi. Kita membutuhkan informasi untuk mampu bertahan di era
ini, demikian juga kita harus mampu memproduksi informasi dengan benar.

BAB III
KESIMPULAN

Literasi informasi mencakup pengetahuan dan kebutuhan informasiseseorang dan


kemampuan untuk mengenali, mengetahui lokasi, mengevaluasi, mengorganisasi
dan menciptakan, menciptakan dan mengkomunikasikan informasi secara efektif
untuk mengatasi isu atau masalah yang dihadapi seseorang. Literasi informasi
terbagi atas literasi visual, ~media,~komputer,~jaringan dan IFLA menyertakan
pula literasi digital walau pun hal ini tidak selau disebuit-sebut dalam buku
lainnya. Istilah literasi informasi mulai popular sekitar athun 1980 an, terbadiri dari
berbagai jenis literasi. Informasi digital merupakan himpunan sikap, pemahaman,
dan ketrampilan untuk menangani dan mengkomunikasikan informasi dan
pengetahuan secara efektif dalam berbagai media dan format. Istilah literasi digital
mulai popular sekitar tahun 2005. Literasi digital terbagi atas empat komponen
yaitu tonggak literasi, pengetahuan latar belakang, kompetensi utama dan sikap
serta perspektif, masih ditambah dengan kerangka moral.

Literasi Media/ Media Literacy terdiri dari dua kata, yakni literasi dan media.
Secara sederhana, literasi dapat diartikan sebagai kemampuan membaca dan
menulis atau dengan kata lain melek aksara sedangkan media dapat diartikan
sebagai suatu perantara baik dalam wujud benda, manusia, peristiwa. Dari kedua
macam definisi sederhana tadi, maka dapat diambil kesimpulan bahwa literasi
media adalah kemampuan untuk mencari, mempelajari, dan memanfaatkan
berbagai sumber media dalam berbagai bentuk. Istilah literasi media juga dapat
disamakan dengan istilah ‟melek media‟. Empat Faktor Utama dalam Model
Media Literacy yaitu Struktur Pengetahuan, Personal Locus, Kemampuan dan
Ketrampilan, dan Proses Informasi

Adapun sebagai indikator bahwa secara individu seseorang atau suatu masyarakat
sudah melek media adalah sebagai berikut :

 Mampu memilih (selektif) dan memilah (mengkategori/mengklasifikasi) media,


mana yang manfaat mana yang mudarat.

 Memahami bahwa Radio, terutama televisi merupakan lembaga yang „syarat‟


dengan kepentingan politik, ekonomi, sosial budaya dll
 Memahami bahwa Radio dan Televisi bukan menampilkan realitas dan
kebenaran satu-satunya, namun bisa merupakan „rekayasa‟ dari pelaku-pelakunya.

 Mampu bersikap dan berperilaku kritis pada siaran radio dan televisi.

 Menyadari bahwa sebagai konsumen media, khalayak semua mempunyai Hak


dan Kewajiban atas isi siaran radio dan televisi.

 Menyadari tentang dampak yang ditimbulkan media dan mengidentifikasi hal-


hal yang harus dilakukan ketika menggunakan media.

 Selektif, pandai memilih dan memilah media yang akan digunakan;

 Hanya mempergunakan media untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan


tertentu.

 Mampu membangun filter yang kokoh, baik bagi dirinya maupun terhadap
orang-orang di lingkungannya, sehingga secara personal tidak mudah dipengaruhi
media

DAFTAR PUSTAKA

http://www.sarjanaku.com/2012/11/pengertian-informasi-menurut-para-ahli.html

http://iproudbemuslim.blogspot.com/2011/08/definisi-atau-pengertian-literasi.html

http://library.sman1yogya.sch.id/index.php?
pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=54

http://wawan-junaidi.blogspot.com/2012/01/pengertian-media.html

http://carapedia.com/pengertian_definisi_media_info2046.html

http://allaboutmasscomm.blogspot.com/

http://sadidadalila.wordpress.com/2010/03/20/media-literasi/

http://digilib.undip.ac.id/index.php/component/content/article/53-perpuspedia/188-
information-literacy
http://sulistyobasuki.wordpress.com/2013/03/25/literasi-informasi-dan-literasi-
digital/

Anda mungkin juga menyukai