Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH TEOLOGI PENCIPTAAN

Gereja Menjawabi Persoalan Jiwa dan Badan dalam Kematian

(Usaha Menjawabi Persoalan Jiwa dan Badan dalam Peristiwa Kematian Manusia
Menurut Pandangan Gereja Katolik)

KRISTOANUS PRATAMA PUTRA HALLEY

19.75.6611
SEKOLAH TINGGI FILSAFAT KATOLIK LEDALERO
Gereja Menjawabi Persoalan Jiwa dan Badan dalam Kematian

(Usaha Menjawabi Persoalan Jiwa dan Badan dalam Peristiwa Kematian Manusia
Menurut Pandangan Gereja Katolik)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Peristiwa kematian yang dialami oleh manusia hendak menunjukan eksistensi dirinya
sebagai makhluk yang fana. Keberadaan hidup manusia yang terarah kepada kematian, di mana
kematian itu sendiri sudah dan telah ada sejak kehidupan manusia, akan dialami secara terus
menerus oleh setiap manusia (Sein Zum Tode).1 Di samping itu peristiwa kematian manusia
hendak menampilkan suatu wujud perbedaan derajat antara Allah sebagai Pencipta dan manusia
sebagai ciptaan-Nya. Keberadaan “ada”nya ciptaan tidak sama dengan “ada”nya Pencipta
sehigga melahirkan bentuk ketidaksempurnaan manusia sebagai ciptaan yang tidak kekal.

Umumnya pristiwa kematian dipandang sebagai saat pemisahan antara unsur jiwa dan
badan. Kematian dilihat sebagai saat di mana jiwa manusia yang bersifat roh meninggalkan
materi (badaniah) yang bersifat rapuh dan bergerak menuju keilahian. Di sinilah letak problema
mengenai pristiwa kematian manusia yang sering kali dipertanyakan. Seolah-olah jiwa dan badan
merupakan dua unsur yang berbeda dalam diri manusia, yang masing-masing berjuang
mempertahankan keberadaanya dengan fungsi yang dijalankan. Jika jiwa dipandang sebagai
unsur dalam diri manusia yang tetap eksis dari pada materi (badani), bagaimanakah jiwa akan
terus melaksanakan kegiatannya tanpa adanya organ-organ badaniah untuk dapat melakukanya ?

Beragam pandangan muncul berkaitan dengan pristiwa kematian manusia. Ada yang
mengakuai keberadaan jiwa yang tetap eksis setelah kematian sebagai unsur spiritual yang
sudah ada sebelum unsur materi dalam diri manusia. Di lain pihak, adapula pandangan yang
menentang kekalan jiwa, sebab jiwa bagi mereka adalah sepercik api Ilahi yang sesudah
1
Sefrianus Juhani, Diktat Kuliah Teologi Penciptaan, hlm. 76.
kematian membaur kembali ke dalam api Ilahi itu (kaum Materialisame). Gereja Ketolik sendiri
dalam pandanganya mengenai kematian mengangkat pandangan tentang kebangkitan orang mati
dan berakhirnya hidup manusia setelah peziaraan. Bila sesudah kematian, manusia meneruskan
hidupnya sebagai jiwa, kematian tidak memiliki nilai karena bagi orang Kristien kematian
memiliki nilai sejauh manusia turut serta dalam wafat Kristus.2

Dalam makalah ini penulis hendak melihat sejauh mana Gereja Katolik memberi jawaban
terhadap pristiwa kematian. Sorotan utama penulis ialah melihat berbagai pandangan dalam
Gereja yang berbicara tentang kematian manusia dalam kaitanya dengan konsep jiwa dan badan.
Apakah Gereja mengamini keberadaan jiwa sebagai aspek spiritual yang bersifat kekal dan tubuh
sebagai unsur materi yang bersifat rapuh? Ataukah Gereja mempunyai pandangan tersendiri
terhadap pristiwa kematian yang dialami manusia?

1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dari makalah ini adalah
bagaimana Gereja menjawabi persoalan jiwa dan badan dalam kematian?

1.3. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penulisan makalah ini ialah
menjelaskan berbagai konsep dalam Gereja yang berbicara mengenai jiwa dan badan sebagai
bentuk jawaban Gereja mengenai persoalan akan keberadaan jiwa yang kekal dan badan yang
bersifat materi dalam pristiwa kematian manusia.

1.4. Metode Penulisan

Adapun metode yang digunakan oleh penulis dalam menulis makalah ini adalah metode
kepustaakaan. Di mana penulis menggunakan berbagai buku sebagai sumber referensi untuk
mengkaji lebih jauh mengenai tema yang diangkat penulisan dalam makalah ini.

2
Dr. Nico Syukur Dister, Teologi Sisitimatika II (Yogyakarta: Penerbit Kanisiuas, 2008), hlm. 573.
BAB II

ISI

2.1. Konsep Kematian Manusia

Kematian menjadi suatu hal yang eksistensial dari keberadaan hidup manusia sebagai
ciptaan yang tidak kekal. Berbagai pandangan meyoroti pristiwa kematian manusia dalam
berbagai aspek. Adapun berbagai pandangan mengenai kematian manusia dapat diuraikan dalam
pandangan-pandangan berikut:

2.1.1. Pandangan Non-Kristen tentang Kematian Manusia

Pandangan non-kristen menampilakan beberapa konsep tentang kematian dalam sudut


pandang teoritis yang dapat dikaji melalui terang akal budi atau pengetahuan manusia.
Pemahaman akan kematian non-kristen berada di luar pemahaman iman kristen. Berbagai
pandangan ini nampak dalam pandangan masyarakat modern dan pemikran-pemikiran para
filsuf.

Pemikiran modern memandang pristiwa kematian manusia sebagai suatu kewajaran yang
menampilkan aspek kerapuahan manusia sebagai ciptaan yang tidak kekal. Realitasnya bahwa
kematian adalah kejadian ilmiah tanpa adanya suatu problem metafisis. Pandangan seperti ini
dapat ditemukan dalam pandangan Epikurus dan Haideger. Epikurus mengungkapkan bahwa
manusia harus dibebaskan dari kematian 3 sementara Haideger sendiri membahasakan pristiwa
kematian sebagai sesuatu yang ada dan menjadi bagian dari hidup manusia. Pandangan ini dalam
kaitanya dengan relitas modern membawa manusia pada pemahaman yang lebih mengenai nilai
dari sebuah kehidupan.

Plato mengemukakan beberapa pemikiranya tentang kematian dalam Phaedo mengenai


kekelan jiwa. Pertama, kematian berasal dari kehidupan dan sebaliknya kehidupan berasal dari
kematian. Kedua, mengenai ingatan yang menunjukan bahwa jiwa manusia telah hidup sebelum
kematian sehingga ia akan hidup sesudah kehidupan berakhir. Ketiga, kodrat jiwa adalah
sederhana menyerupai “ide-ide” yang tidak dapat dihancurkan, maka jiwa pun tidak dapat lenyap

3
Sefrianus Juhani, op. cit., hlm. 78.
dan hancur.4 Disamping itu Plato sendiri malihat kematian dalam konsep dualistis yakni
pembebasan jiwa yang kekal dari penjara tubuh yang fana.

Semua penganut filsafat Skolastik mengangakat konsep kekelan jiwa berkaitan dengan
kematian manusia. Mereka mengakui adanya kekelan jiwa yang dapat dibuktikan dengan
argumen rasional disamping atas dasar iman. Hal ini nampak dalam pandangan Thomas Aquinas
mengenai kekelan jiwa dalam arti kekelan pribadi. Pandangan ini lebih lanjut merupakan suatu
pandangan yang bertolak dari pemikiran Aristoteles mengenai kebahagian dalam hidup.

2.1.2. Pandangan Kristen tentang Kematian Manusia

Bagi orang Kristen kematian merupakan bagian dari keterbatasan diri manusia sebagai
ciptaan yang tidak kekal. Kematian orang Kristen mempunyai arti yang lebih tinggi oleh karena
kematian Kristus. Hal ini lebih lanjut ditegaskan dalam pandangan kaum Yudisme Pastoris
mengenai makna ilahi dari sebuah kehidupan setelah kematian bersama Kristus. Dalam kematian
Kristus, kematian manusia memperoleh nilai yang baru. Aspek “baru” bagi manusia dalam
pandangan kristiani terkandung dalam pembabtisan, di mana oleh pembabtisan umat Kristen
secara sakramental telah mati bersama Kristus, agar dapat menghidupi suatu kehidupan baru.

Ajaran Konsili Vatikan II mengengemukakan gagasan mengenai kematian dalam terang iman
dan harapan. Konstitusi Pastoral tentang Gereja menyatakan bahwa di hadapan maut teka-teki
kenyataan manusia mencapai puncaknya.5 Di mana Allah sendiri telah mengajak kita untuk
ambil bagian dalam hidup ilahi yang tanpa akhir dan tidak kenal binasa.

2.2. Konsep Gereja Katolik tentang Jiwa dan Badan dalam Kematian Manusia

New Catholic Encyclopedia tahun 1967 memberi gagasan mengenai kekelan jiwa yang
bertolak dari jawaban atas kekelan dalam kematian.6 Gagasan ini memberi arti jiwa dalam
Perjanjian Lama sebagai keseluruhan diri manusia secara lengkap yakni manusia sebagai wujud
yang hidup. Selaras dengan Perjanjian Lama, Perjanjian Baru memiliki arti yang serupa
mengenai jiwa. Dalam Perjanjian Baru jiwa diartikan sebagai gambaran keseluruhan hidup
manusia dalam satu individu. Hal ini memberi arti bahwa konsep jiwa mencakup keseluruhan

4
Louis Leahy, Siapakah Manusia? (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 245.
5
Konsili Vatikan II, Dokumen Konsili Vatiakan II, penerj. R. Hardawirayana SJ (Jakarta: Obor, 2013), hlm. 540.
6
https://www.wol.apayangdisebutjiwaitu?.jw.org.html, diakses 22 April 2020.
diri manusia mulai dari aspek pikiran, kehendak dan perasaan. Berhadapan dengan kematian
manusia, Kitab Suci berbicara mengenai jiwa dan badan dalam banyak konsep. Rasul Paulus
dalam suratnya kepada jemaat di Roma berbicara mengenai tubuh dalam kematian. Saat
Kebangkitan tubuh manusia yang fana akan dibangkitkan bersama Kristus oleh Roh-Nya (Rom.
8:11). Kebangkitan dalam langit yang baru dan dunia yang baru (Why. 21: 1) adalah dunia
material seluruhnya, yang diangkat ke dalam roh. Tubuh yang bangkit adalah tubuh badaniah
yang baru, baka dan tidak dapat binasa (1Kor.15).

Paus Benediktus XII (1334-1342) menetapkan bahwa kebangkitan badan tidak terjadi
segera sesudah kematian. Pandanganya mengungkapakan jiwa setelah kematian sudah masuk
Surga . Hal ini berkaitan dengan bahwa jiwa setelah kematian masih hidup terus sesudah lepas
dari badan (Anima separata). Gereja dalam Konsili Ekumenis XV di Vienne memberi sebuah
pandangan tentang jiwa yang secara intrisik berhubungan dengan tubuh, yakni jiwa bertugas
membentuk tubuh (Forma corporis). Jiwa di sini memliki peran yakni mempersatukan,
menggerkan dan menghidupkan tubuh.7

2.3. Gereja Katolik Menjawabi Persoalan Jiwa dan Badan dalam Pristiwa Kematian Manusia

Tradisi Gereja menerima pandangan terhadap jiwa sebagai bentuk yang berdiri sendiri
(Forma subsistens).8 Namun hal ini tidak berarti Gereja Katolik mengakuai keberadaan jiwa
yang dapat lepas dari tubuh dan hidup terus dalam keadaan terlepas atau konsep kematian
menjadi saat pemisahan antara jiwa dan tubuh. Gereja melihat adanya nilai yang lebih tinggi
yakni jiwa manusia yang bersifat rohani dan unsur kerohanian inilah yang dimaksudkan dengan
forma subsistens. Geraja Katolik melihat bahwa kematian menjadi saat yang paling agung bagi
manusia untuk mencapai kesatuan dengan Kristus. Ajaran Gereja tentang kebangkitan menjadi
jawaban lebih lanjut terhadap persoalan jiwa dan badan tentang kematian. Pertama, kebangkitan
menunjukan kehidupan manusia setelah kematian sebagai “manusia baru” bersama Kristus.
Sebagaimana St. Paulus mengartikan kebangkitan sebagai wujud partisipasi dalam kebangkitan
Kristus (Rom. 8:11). Arti manusia baru ini hendak menegaskan aspek keseluruhan diri manusia
yang bersifat ilahi atau rohani. Kedua, kebangkiatan menjadi wujud keselamatan manusia.
Manusia yang diselamatkan ialah manusia baru yang hidup dalam tubuh yang baru.

7
Dr. Nico Syukur Dister, OFM, op. cit., hlm. 579.
8
Ibid., hlm. 580.
Berdasarkan iman, harapan umat Kristen akan hidup abadi bersifat menyeluruh yakni
menyangkut manusia seutuhnya. Seluruh diri manusia sebagai kesatuan jiwa dan badan
dibangkitkan dan diselamatkan.9 Gereja Katolik meyakini Allah akan memberikan kehidupan
baru kepada badan yang baru yang telah diubah dengan unsur jiwa yang lebih tinggi yang
bersifat spiritual. Saat ini tentu kita dibawah kepada pemikiran tentang tubuh baru yang oleh
Paulus disebut tubuh rohaniah. Gambaran Paulus mungkin dapat membantu umat Kristen dalam
melihat tubuh baru saat setelah kematian manusia. Paulus memang tidak menggambarkan secara
langsung tentang keadaan tubuh baru, namun memberi pandangan tentang adanya perbedaan
dengan badan manusia saat hidup di bumi (1Kor. 15:40-44).

BAB III

PENUTUP

Gereja Katolik memiliki pandangan tersendiri mengenai pristiwa kematian manusia,


dalam hal ini berkaitan dengan esensi jiwa yang kekal dan tubuh sebagai materi dalam dalam diri
manusia yang bersifat rapuh atau tidak kekal. Gereja Katolik melihat adanya unsur yang lebih
tinggi dari keberadaan jiwa dan badan saat kematian yakni manusia yang hidup kembali dengan
tubuh yang baru dalam persekutuan dengan Kristus.

Lewat pandangannya mengenai pristiwa kematian manusia, Gereja katolik hendak


menegaskan secara langsung arti dari keberadaan jiwa yang bersifat spiritual (rohaniah) dalam
kesatuaanya dengan tubuh baru yang akan hidup dalam keabadian. Ada aspek yang lebih tinggi
dari jiwa manusia yang bergerak menuju keilahian, sebagaimana kodrat ilahi dalam rupa roh
spiritual yang dimiliki manusia dalam tubuh yang baru. Dengan dan melalui kematian manusia
dibawah kepada sebuah pesekutuan dengan Kristus yang bangkit. Manusia dengan “tubuh baru”
ambil bagian dalam kebangkitan Kristus. Di sinilah arti kematian manusia yang lebih mendalam
menurut pandangan Gereja Katolik.

9
Georg Kirchberger, Allah Menggugat: Sebuah Dogmatik Kristiani (Maumere: Penerbit Ledalero, 2012), hlm. 292.

Anda mungkin juga menyukai