Anda di halaman 1dari 9

Buku Yang Dibaca : Teologi Perjanjian Lama

Jumlah Halaman : 199


Penulis : Gerhard F. Hasel
Penerbit : Gandum Mas
Halaman Yang Dibaca: 15-185

BAB I: PERMULAAN DAN PERKEMBANGAN TEOLOGI PERJANJIAN


LAMA

Zaman Reforamasi sampai pada zaman Pencarahan, istilah teologi


Alkitabiah dipakai dalam dua arti. Yang pertama, istilah ini dapat berarti sebauh
teologi yang ajaran-ajarannya bersumber pada Alkitab dan dasarnya adalah
Alkitab. Yang kedua, yang dikandung oleh Alkitab itu sendiri. Dalam arti keuda
istilah teologi Alkitabiah merupakan suatu disiplin teologis. Hermeneutik “sola
srciptura” dari Martin Luther dan prinsipnya “was Chirstum treibet” dan juga
dualisme antara “isi dan jiwanya” mengahalangi Luther mengembangkan suatu
teologi Alkitabiah. Di antara beberapa contoh dari gerakan Reformasi Radikal
suatu pendekatan teologis yang mirip dengan pendekatan yang kemudian dikenal
dengan teologi Alkitabiah dikembangkan pada awal tahun 1530-an oleh O. Glait
dan Andreas Fischer. Baru seratus tahun setelah gerakan  reformasi istilah teologi
Alkitabiah benar-benar muncul untuk pertama kali di dalam karya Wolfgang Jacob
Christmann berjudul Teutsche Biblische Theologie. Karya Chirstmann ini sekarang
tidak dapat ditemukan lagi. Namun karya Hendricus A. Diest berjudul Theologia
biblica masih ada dan memungkinkan adanya wawasan terdini tentang sifat suatu
disiplin yang sedang muncul. Sejak sekitar 1745 teologi Alkitabiah jelas sudah
terpisah dari teologi dogmatik (sistematika) dan teologi Alkitabiah dipahami
sebagai dasar dari teologi sistematika. Hal ini berarti bahwa teologi Alkitab telah
dibebaskan dari peranan yang hanya sebagai tambahan pada dogmatik. Termasuk
dalam baru ini kemungkinan bahwa teologi Alkitabiah dapat menjadi saingan dari
dogmatik dan berubah menjadi sautu disiplin yang sama sekali terpisah dan berdiri
sendiri. Kemungkinan-kemungkinan ini terwujud di bawah pengaruh rasionalisme
pada zaman perncerahan. 
Zaman Pencerahan, berkembang suatu cara pendekatan penelaah Alkitab
yang baru samasekali karena beberapa pengaruh. Yang pertama dan utama ialah
reaksi rasionalisme terhadap supernaturalisme. Yang dimana akal manusia
ditegakkan sebagai patokan final serta sumber pengatahuan, yang berarti bahwa
wibawa Alkitab sebagai catatan pernyataan ilahi yang sempurna ditolak.
Sumbangan besar kedua dari Zaman Pencerahan ialah dikembangkannya suatu
hermenutik baru, yaitu metode peneliti sejarah yang bertahan hingga kini di dalam
liberalisme dan di luarnya. Ketiga, terdapat penggunaan kritik sastera radikal
terhadap Alkitab oleh J. B.Witter, J. Astruc, dan lain-lain. Akhirnya, pada
hakekatnya, rasionalisme diarahkan untuk meninggalkan pandangan ortodoks
tentang pengilhaman  Alkitab supaya Alkitab itu menjadi hanya salah sebuah
dokumen kuno yang harus dipelajari seperti dokumen-dokumen lainnya. 
Dari Zaman Pencerahan hingga Zaman Teologi Dialektik, perkembangan
selanjutnya menunjukkan bahwa disiplin baru yang berkaitan dengan sejarah ini
kalah dan dikuasi oleh berbagai sistem filsafat, lalu mengalami tantangan dari ilmu
pengetahuan Alkitab yang konservatif, dan akhirnya mati oleh pendekatan dari
sudut sejarah agama-agama. Pada pertanghan abad kesembilan belas sebuah reaksi
konservatif yang sangat kuat menentang pendekatan-pendekatan yang rasional dan
filosofis terhadap Perjanjian Lama dan Alkitabiah muncul dari golongan yang
menolak kesahihan pendekatan yang berdasarkan penelitian yang berusaha
memadukan suatu pendekatan historis moderat dengan penerimaan penyataan ilahi.
Selama lebih dari empat dasawarsa teologi Perjanjian Lama dikaburkan oleh
sejarah agama-agama. Pendekatan dari sudut sejarah agama-agama yang penuh
diliputi kejadian sejarah yang telah membawa kehancura final atas kesatuan
Perjanjian Lama yang beberapa periode yang berdiri sendiri-sendiri dan hanya
terdiri atas berbagai refleksi umat Israel tentang jumlah agama-agama kafir yang
berbeda-beda. Kebangunan kembali Teologi Perjanjian Lama,pada tahun 1922
muncul tanda jelas pertama tentang kebangunan teologi Perjanjian Lama dengan
terbitnya E. Koing berjudul Thologie des Alten Testamnets. Koing memiliki  suatu
pandangan sangat tinggi terhadap kebenaran amanat Perjanjian Lama, ia menolak
pandangan evolusi agama Perjanjian Lama dari aliran Wellhausen, dan
mencanangkan suatu pemakaian yang tepat akan metode penafsiran berdasarkan
sejarah tata bahasa. Sekalipun demikian, teologi Perjanjian Lama karya Koing
merupakan suatu cangkokan karena Koing mengombinasikan sejarah
perkembangan agama Israel dengan sejarah fakto-faktor teologi tertentu dari iman
Perjanjian Lama.

BAB 2: SEKITAR MASALAH METODOLOGI

Metode Didaktik-Dogmatik, pembelaan terkuat terhadap metode didaktik-


dogmatik ini belakangan datang dari R.C. Dentan yang menulis risalah (dalil) yang
berisi pembelaan yang mengesankan terhadap metode yang sudah dibuang
sebagian besar orang yang dianggap usang.  Di dalam pokok pembahasan Dentan
menegaskan bahwa “penegasan paling pokok tentang agama Perjanjian Lama ialah
bahwa Yahweh adalah Allah Israel dan bahwa Israel adalah umat Yahweh.
Menurut Teologi Perjanjian lama Karya D.F. Hinson dia mempunyai tujuan
didaktik, iam memahami sifat teologi Perjanjian Lama sebagai penyataan Allah
“tentang Diri-Nya sendiri, tentang umat manusia dan tentang dunia yang termuat
dalam kitab- kitab Perjanjian Lama.  Perjanjian lama tidak dapat berbicara sendiri
karena masalah- masalah dari luar nampaknya mendominasi. Pola- pola pemikiran
dalam Perjanjian Lama tidak tersusun menurut skema Teologi-Antropologi-
Soteriologi. Sehingga dapat dipahami bahwa inti Perjanjian Lama tidak menjadi
masalah atau tidak terlalu penting dalam pendekatan dogmatik karena inti itu telah
ditetapkan sebelumnya oleh skema pendekatan ini : yaitu Teologi-Antropologi-
Soteriologi. 
Metode Progresif-Genetis, menurut Chester K. Lehman mendefinisikan
metode progresif genetis sebagai metode teologi Alkitabiah, yang dipahami
sebagai metode yang ditetapkan pada umumnya oleh prinsip perkembangan
historis atau juga dipahami sebagai  “pembeberan penyataan Allah sebagaimana
disajikan oleh Alkitab”. Perkembangan historis dari penyataan Allah yang
berkembang dibuktikan dalam periode atau era penyataan ilahi yang ditetapkan
secara benar- benar sesuai dengan garis- garis pemisah yang dibuat oleh penyataan
itu sendiri.
Metode Topikal, metode topikal yang diteliti disini dipakai dalam kombinasi
dengan satu atau dua pusat Perjanjian Lama atau tanpa suatu pusat tematik yang
eksplisit.  Mckenzie dihargai sebagai perintis metode yang baru- metode topikal.
Teologi- teologi Perjanjian Lama gagasan McKenzie, Fohrer, dan Zimmerli sedikit
banyaknya sama- sama memakai pendekatan topikal namun secara metodologis
karya mereka bertiga begitu berbeda sehingga hampir tidak mungkin
diperbandingkan. 
Metode Diakronis, metode diakronis untuk teologi Perjanjian Lama
tergantung pda riset sejarah tradisi yang dikembangkan sekitar tahun 1930-an.
Pada waktu itu, salah seorang penciptanya, G. Von Rad, sudah memakai metode
ini untuk mencapai apa yang bagianya penting secara teologis. Pendekatan
diakronis menembus sampai ke beberapa lapisan berturut- turut dari ayat Perjanjian
Lama tertentu dengan tujuan mengungkapkan kegiatan teologi Israel yang
membuat tindakan penyelamatan ilahi relevan bagi setiap masa dan waktu
pencapaian dan pengakuan tentang tindakan Allah.
Metode Pembentukan Tradisi, menurut Gese hanya sejarah tradisi dapat
menghasilkan teologi Alkitabiah yang dapat menjadi metode teologi Alkitabiah
karena sejarah tradisi manjangkau melampaui fakta- fakta sejarah dan gejala-
gejala keagamaan dan menggambarkan proses pembentukan tradisi yang hidup,
bentuk teologi perjanjian lama yang bersifat “pembentukan tradisi” sebagaimana
disusun oleh Gese berusaha mengatasi masalah “pusat” kedua perjanjian melalui
sebuah proses tradisi yang lazim dalam kedua perjanjian.
Metode Dialektis-Tematik, dalam metode ini, gagasan Terrien telah
didukung dengan kuat oleh Walter Brueggemann yang mengemukakan dialektika
tentang pemeliharaan yang juga memperlihatkan suatu perbedaan pendapat yang
penting, pertama menunjukkan bahwa dialetika Terrien dan tema kehadiran Allah
yang penuh teka-teki adalah terlalu sempit. Kedua, tidak ada satu dialektika pun
yang mampu mencakup keseluruhan isi tulisan- tulisan alkitabiah.
Metode Teologi Alkitabiah Baru, teologi Alkitabiah Baru, sebagaimana
yang dikemukakan oleh Childs menganggap serius kanon Alkitab sebagai
konteksnya, bahwa kanon Gereja Kristen merupakan konteks yang paling tepat
untuk mulai membuat teologi Alkitabiah.

 
BAB 3: MASALAH SEJARAH, SEJARAH TRADISI, DAN SEJARAH
KESELAMATAN
Von Rad menampilkan pokok persoalan ini dalam bantuknya dan yang
paling tajam lewat perbedaan paling berlawanan yang ia tunjukkan di antara kedua
versi sejarah Israel, yaitu sejarah berdasarkan penlitian modern dan bahwa sejarah
dibangun oleh iman Israel. Von Rad merasa bahwa pemisahan sejarah Israel atau
dua gambaran tersebut diatas merupakan persoalan historis yang sukar. Namun
Von Rad dengan tegas menyatakan bahwa subjek teologi Perjanjian Lama harus
menhadapi dunia yng terdiri atas kesaksian-kesaksian sebagaimana dibangun oleh
iman Israel, karena di dalam Perjanjian Lama tidak ada fakta-fakta nyata
samasekali, kita hanya mempunyai sejarah dalam bentuk tafsir, hanya dalam
bayangan.  Mutlak penting bagi argumentasi Von Rad dalam gambaran sejarah
Israel yang didasarkan pada penelitian sejarah tidak ada alasam-alasan iman atau
penyataan yang diperhitungkan karena metode berdasarkan penelitian sejarah
bekerja tanpa hipotesa mengenai Allah. Bagi Von Rad penekanan sejarah dari
metode tradisi menjadi dominan kembali. Sekalipun gambaran sejarah Israel yang
terbagi dua itu bukanlah suatu masalah yang baru, pendapat Von Rad telah
menghasilkan sautu perdebatan yang hidup dan bahkan cukup panas. Von Rad
beranggapan bahwa kedua gambaran sejarah Israel yang berbeda itu untuk saat ini
dapat berdiri sejajar dengan teologi Perjanjian Lama denga menguraikan secara
rinci gambaran yang kerigmatik dan pada umumnya mengabaikan gambaran yang
berdasarkan penelitian sejarah.
Franz Hasse, sesudah menerima tesis von Rad bahwa Perjanjian Lama
merupakan sebuah kitab sejarah (Geschichtsbuch), dengan cepat berbalik melawan
tesis ini dengan menunjukkan bahwa relevansi teologis yang unik harus diberikan
kepada sejarah Israel sebagaimana direkontruksi oleh metode penelitian sejarah. 
Hasse berbalik melawan apa yang dinamakannya jalur ganda dan von Rad, yaitu
bahwa sejarh sekular membahas sejarah Israel versi kerigmatiknya bermakna
secara teologis.  Hasse berusaha mengatasi soal terbaginya kedua versi sejarah
Israel dengan secara teliti menyatukan gambaran sejarah Israel yang berdasarkan
penelitian sejarah dengan sejarah Israel. Hasse manyatakan, dalam apa yang
dialami, dilakukan dan diderita oleh Israel selama berabad-abad kebaradaannya itu,
sejarah keselamatan ada. Sejarah kesalamatan ini tidak berjalan seiring dengan
sejarah Israel, sejarah keselamatan tidak berada pada sautu taraf yang lain yang
lebih tinggi, tetapi sekalipun sejarah keselamatan ini tidak identik dengan sejarah
Israel, sejarah keselamatan itu ada dalam sejarah Israel dengan demikian kita dapat
berkarta bahwa di dalam, dengan, dan di balik sejarah Israel Allah menuntun
keselamatan-Nya menunju kepada sang telos, yaitu Yesus Kristus, artinya di
dalam, dengan, dan di balik apa yang terjadi, apa yang betul-betul berlangsung.
Oleh keran itu, Hasse berpendapat bahwa suatu pemisahan anatara sejarh Israel
dengan sejarah keselamatan dalam Perjanjian Lama adalah tidak mungkin, karena
sejarah keselamatan itu ada dalam bentuk tersembunyi di dalam dengan, di balik
sejarah Israel. Hasse mendasarkan sejarah penyelamatan semata-mata pada versi
sejarah Israel yang berhungan dengan penelitian sejarah, dengan menekankan
kefaktualan dari pada apa yang laporkan, supay kesaksian Israel tentang sejarahnya
sendiri tidak akan menyangkut kita sejauh kesaksian tersebut ingin menjadi saksi
sejerah, kebenaran sejarah dari apa yang disaksikan olehnya.   karena dengan
skema mana pun ilmu pengetahuan tidak dapat mencapai pengertian yang dapat
diterima sepenuhnya tentang realitas sejarah karena adanya berbagai keterbatasan
dan kekurangan yang serisus dalam bidang metodologis, historis, dan teologis.

BAB 4: PUSAT PERJANJIAN LAMA DAN TEOLOGI PERJANJIAN


LAMA 
Mitte atau pusat masalah ini memainkan peranan penting dan bahkan
kadang-kadang menentukan bagi penyajian dalam teologi Perjanjian Lama.
Dengan terbitnya karya teologi Eichrodt masalah ini telah menjadi pusat perhatian
baru. Bagi Eichordt konsepsi pusat dan lambang yang cocok untuk memperoleh
kesatuan iman Alkitabiah ialah perjanjian. Konsepsi perjanjian, kata Eichrodt
menjelaskan, diberi kedudukan pusat ini di dalam pemikiran religius Perjanjian
Lama sehingga, dengan bergerak dari kosepsi ini, kesatuan struktural dari amanat
Perjanjian Lama dapat dijadikan lebih mudah untuk melihatnya. Eichordt tidak
menganggap konsepsi pusat ini sebagai konsepsi doktrinal, yang dengan bantuanya
dapat dihasilkan sekumpulan dogma, tetapi sebagai gambaran khas dari sautu
proses yang hidup, yang telah dimulai pada satu saat tertentu dan di tempat
tertentu, untuk menunjukkan suatu kenyataan ilahi yang unik dalam keseluruhan
sejarah agama. Dengan demikian teologi Eichordt manyajikan salah satu usaha
paling mengesankan bukan saja dari suatu pusat tetapi dari perajanjian yang
merupakan konsepsi pemersatu. 

Berabagai sarjana telah merasa bahwa Perjanjian Lama memiliki pusat-pusat


yang lain. E. Sallin memilih kekudusan Allah sebagai ide pokok untuk
menuntunnya dalam paparan teologi Perjanjian Lamanya. Sellin menunjukkan
bahwa teologi Perjanjian Lamanya tertarik hanya pada tema besar tunggal yang
tersempurnakan dalam Injil, yaitu firman Allah yang kekal yang tertulis dalam
Perjanjian Lama. Seperti halnya Eichordt dan Sellin, Ludwig Kohler juga
mempunyai konsepsi pusat kesenangannya sendiri, yaitu Allah sebagai Tuhan.
Bagi Kohler penegasan yang pokok dan menentukan dari teologi Perjanjian Lama
haruslah Allah itu Tuhan. Pernyataan ini merupakan tulang punggung dari teologi
Perjanjian Lama. Kekuasaan Allah sebagai pemimpin dan raja hanya merupakan
akibat wajar dari ketuhanan Allah. Hans Wilsberger juga mempunyai konsepsi lain
bahwa pusat dari Perjanjian Lama ialah pemilihan Israel sebagai umat Allah. 
Sebuah teologi Perjanjian Lama yang mengakui Allah sebagi pusat
pemersatu yang dinamis tidak paksa untuk menjadikan pusat ini suatu prinsip
pengatur yang statis. Dengan Allah sebagai pusat pemersatu yang dinamis,
Perjanjian Lama membiarkan kitab-kitab atau kelompok-kelompok kitab dalam
Alkitab itu berbicara sendiri dalam arti membiarkan teologi-teologi setiap kitab
atau kelompok kitab itu muncul sendiri. Teologi, teologi penciptaan, dan teologi-
teologi lainnya tidak paksa untuk cocok dengan sebuah pusat, konsepsi, tema, atau
motif yang terbatas dan unlinear dengan menurunkan kedudukan bagian-bagian
yang cukup besar ke kedudukan yang tidak penting atau samasekali mengabaikan
bagian-bagian itu. Sebuah teologi Perjanjian Lama yang mengakui Allah sebagai
pusat pemersatu yang dinamis memberikan kemungkinan untuk menggambarkan
teologi-teologi yang kaya dan beraneka ragam sarta menyanjikan berbagai tema,
motif, dan gagasan longitudinal. Dengan mengakui Allah sebagai pusat pemersatu
yang dinamis dari Perjanjian Lama, kita juga mengakui bahwa pusat ini tidak dapat
dipaksa menjadi suatu prinsip pengatur yang statis untuk dapat dijadikan landasan
penyusunan sebuah teologi Perjanjian Lama. Masalah pusat Perjanjian
Lamaterutam sekali menyinggung sifat kesatuan dan kesinambunagan Perjanjian
Lama. Dengan mengakui Allah sebagai pusat pemersatu yang dinamis dari
Perajanjian Lama orang dapat berbicara tentang kesatuan dan kesinambungan
Perjanjian Lama dalam pengertiannya yang paling mendasar. Kesatuan dan
kesinambuangan bersumber pada Allah, dalam keanekaragaman penyataan diri-
Nya dan berbuatan dan firman. Perjanjian Lama pada saat yang sama merupakan
sebuah kitab terbuka yang menunjuk kepada sumber dibelakangkanya. Perjanjian
Baru juga memberikan kesaksian mengenai Allah sebagai pusat serta karya
penyelamatan dan penghakiman-Nya terhadap Israel dan dunia. 

BAB 5: HUBUNGAN ANTARA KEDUA PERJANJIAN


Pembahasan yang terpisah atas teologi Perjanjian Lamavdan teologi
Perjanjian Baru telah dihasilkan sejak tahun 1797 yaitu saat terbitnya Thologie des
Alten Testaments karangan Georg Lorens Bauer. Kita diingatkan kembali oleh G.
Ebeling bahwa seorang teolog Alkitabiah harus mempelajari hubungan timbal
balik antara kedua Perjanjian dan harus memberitahukan pemahamannya tentang
Alkitab sebagai keseluruhan, yaitu terutama masalah-masalah teologi terjadi
karena menyelidiki kesatuan inti dari bermacam-macam kesaksian Alkitab. Dasar
dari seluruh masalah ini bukan hanya suatu pernyataan tentang masalah teologis
mengenai hubungan timbal balik antara kedua perjanjian, tetapi juga suatu
penyelidikan terhadap sifat dari kesatuan dan perpecahan ini, apa bahasanya, apa
bentuk-bentuk, pikirannya, atau isinya adalah satu. 
Beberapa sarjana telah membenarkan adanya masalah hubungan antara dua
Perjanjian itu dengan mununjuk Perjanjian Lama sebagai sebuah kita non-Kristen.
Rudolf Bultmannlah yabg berjasa mencari kaitan antar kedua Perjanjian itu dalam
kurun sejarah yang faktual Israel. Namun Bultamannlah menetapkan hubungan ini
sedemikian rupa sehingga sejarah Perjanjian Lama merupakan sejarah kegagalan. 
Penerapan hukum/ajaran pemisahan kaum Lutheran dan suatu tipe Kristonomisme
modern membuat Bultamannlah memandang Perjanjian Lama sebagai suatu
kegagalan sejarah dan hanya karena kegagalan inilah Perjanjian Lama berubah
menjadi sebuah Injil. Jadi dengan melihat hal itu Perjanjian Lama merupakan
pemikiran tentang Perjanjian Baru. Bultamannlah menyokong pendapat tentang
tidak adanya hubungan teologi samasekali antara Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru. Dalam dialektik yang ketat Perjanjian Baru menafsirkan Perjanjian Lama
dan juga Perjanjian Lama menafsirkan Perjanjian Baru. Pusat perhatian seluruh
Alkitab bukanlah pendamaian dan penebusan melainkan Kerajaan Allah. Untuk
maksud ini Perjanjian Lama penting sekali, dalam arti Perjanjian Lama membawa
kepada Kerajaan Allah pengesahan, dasar, penafsiran, ilustrasi, pencatatan sejarah
dan pencacatan akhir zaman. Karena itu van Ruler mengurangi hubungan antara
kedua Perjanjian menjadi sebutan rohani tunggal dari Kerajaan Allah, dengan
membaca Perjanjian Baru secara singkat dan sepihak tanpa melihat perbedaan
antar teokrasi dengan eskatologi. Secara keseluruhan haruslah dikatakan bahwa
pendekatan-pendekatan yang bersifat Kristologis-teokratis terhadap masalah
kesatuan antara kedua Perjanjian menghasilkan kesulitan kesulitan khusus karena
pendekatan-pendekatan itu mempersingkat dan sebenarnya menghapus bermacam-
macam kesaksian Alkitab. Pendekatan-pendekatan ini tidak memadai karena
adanya pengurangan terhadap keanekaragaman pemikiran Perjanjian Lama, yang
hanya menjadi suatu gambaran yang kabur dari Mesias yang akan datang. 
Sebuah pendekatan penting yang terbaru untuk menggambarkan hubungan
antara kedua Perjanjian ialah dengan mengacu kepada tipologi. W. Eichardt dan G.
Von Rad telah merupakan pendukung yang gigih dari pendekatan ini.
Menggunakan tipologi sebagai penunjukan terhadap suatu cara khusus untuk
memandang sejarah. Tipe-tipe itu adalah tokoh tokoh, lembaga-lembaga, dan
peristiwa-peristiwa dalam Perjanjian Lama yang dianggap sebagai contoh-contoh
yang ditetapkan secara ilahi atau gambaran-gambaran sebelumnya dari kenyataan-
kenayataan dalam sejarah keselamatan Perjanjian Baru. Namun disamping itu
beberapa sarjana menolak pendekatan tipologis ini. Sekalipun demikian,
pentingnya pendekatan tipologis  ini tidak dapat dipungkiri, dengan catatan
pendekatan ini tidak dikembangkan menjadi suatu metode hermeneutik yang
diterapkan kepada suatu ayat laksana sebauh tongkat ilahi. 
Sebuah pendekatan penting untuk mengatasi masalah yang sangat rumit dari
hubungan antara kedua Perjanjian, ialah memulai skema penggenapan janji
sebagaimana dikembangkan oleh C. Westermann, W. Zimmerli, G. Von Rad, dan
sarjana-sarjana lainnya. Pendekatan ini berpendapat bahwa Perjanjian Lama berisi
sebuah sejarah tentang janji yang akhirnya digenapi dalam Perjanjian Baru. Ini
tidak berarti bahwa Perjanjian Lama menerangakan apa yang dijanjikan
sedangakan Perjanjian Baru. Menerangkan apa yang sudah digenapi. Dalam skala
yang lebih luas kita harus mengakui bahwa skema penggenapan janji tidak
merangkum segala sesuatu dalam hubungan antara kedua Perjanjian itu. Betapapun
mendasar dan bergunanya pendekatan penggenapan janji ini, pendekatan ini tidak
dengan sendirinya mampu menjelaskan sifar multipleks dari hubungan antara
kedua Perjanjian. Mengingat petimbangan-pertimbangan ini, nampaknya jalan
satu-satunya yang memadai untuk mengatasi sifat multipleks dari hubungan antara
keduaPerjanjian adalah dengan memilih suatu pendekatan multipleks, yaitu
pendekatan yang menggunakan pemakaian tipologi secara singkat dan berhati-hati
den teliti, memakai ide penggenapan janji, dan juga memakai secara hati-hati
pendekatan Seajarah Keselamatan. Pendekatan multipleks semacam ini
memberikan kemungkinan untuk menunjukkan bermacam-macam hubungan
antara kedua Perjanjian pada saat yang sama menghindari godaan untuk
menjelaskan bermacam-macam kesaksian itu secara rinci dengan memakai suatu
sudut pandangan atau satu pendekatan saja sehingga dengan demikian
memaksakan suatu struktur tunggal terhadapa kesaksian-kesaksian yang
sebenarnya menunjuk kepada hal yang lain. Bila kita memahami dengan benar
kedua Perjanjian ini secara banar maka kita akan mengerti meskipun ada hubungan
timbal balik itu dapat dianggap sebagai yang akan menjelaskan kesatuan antara
kedua Perjanjian tanpa memaksakan suatu kesergaman atas bermacam-macam
kesaksian Alkitabiah. Dengan kata lain ada kesatuan dalam perbedaan.

BAB 6: SARAN-SARAN POKOK UNTUK MEMBUAT TEOLOGI


PERJAJIAN LAMA
 Teologi Alkitabiah harus dipahami sebagai sebauh disiplin yang bersifat
historis-teologis. Maksudnya ialah bahwa ahli teologi Alkitabiah yang terlibat
dalam pembuatan baik teologi Perjanjian Lama maupun teologi Perjanjian Baru
harus mengakui bahwa tugasnya adalah untuk menemukan dan menguraikan apa
makna asli dari ayat dan juga apa arti ayat tersebut untuk masa kini. Ahli teologi
Alkitabiah itu berusaha kembali ke situ, maksudnya ia ingin menghilangkan
kesenjangan sementara itu dengan cara menjembatani rentang wanktu antara
masanya dengan masa para penulis Alkitab, dengan cara menyelidiki sejarah
naskah-naskah Alkitab. Kesaksian-kesaksian Alkitab itu sendiri bukanlah sekedar
kesaksian sejarah dalam arti bahwa kesaksian-kesaksian itu berasal dari waktu-
waktu tertentu dan dari tempat-tempat tertentu. Kesaksian-kesaksian itu pada saat
yang sama merupakan kesaksian-kesaksian teologis dalam arti bahwa kesaksian-
kesaksian itu memberi berbagai bukti sebagai firman Allah tentang kenyataan dan
kegiatan ilahi yang terdapat dalam sejarah umat manusia. Jadi tugas ahli teologi
Alkitabiah ialah menafsirkan Alkitab secara berarti dan memakai secara hati-hati
sarana-sarana penelitian sejarah dan ilmu bahasa, sambil berusaha memahami dan
menguraikan waktu kembali ke situ apa makna asli dari kesaksian Alkitab itu, dan
menjelaskan arti kesaksian Alkitab untuk manusia modern dalam situasi
historisnya sendiri. 
Ahli teologi Alkitabiah memperoleh kategori-kategori, tema-tema, motif-
motif, dan konsepsi-konsepsinya dari naskah Alkitab itu sendiri. Seorang ahli
teologi Alkitabiah berada dalam bahaya jika memasukkan secara diam-diam
filsafat kontenporer ke dalam disiplinnya. Akan tetapi ia harus hati-hati menjaga
diri terhadap godaan ini. Karena itu perlu ditekankan bagar ahli teologi Alkitabiah
dan teologi sistematika jangan saling bersaing.  Bila teologi Alkitabiah dipahami
sebagai sebuah disiplin yang bersifat historis-teologis, maka dengan sendirinya
metodenya yang tepat harus bersifat hidtoris dan teologis sejak awal. Sebauh
teologi Perjanjian Lama memerlukan eksegese yang berlandaskan pada prinsip-
prinsip dan prosedur-prosedur yang masuk akal. Eksegese sebaliknya,
membutuhkan teologi Perjanjian Lama, tanpa teologi Perjanjian Lama pelaksanaan
penafsiran eksegetis mudah memasuki bahaya yaitu memisahkan ayat-ayat dari
keseluruhan Perjanjian Lama.  Sebaliknya, sautu eksegese yang teliti, tajam, dan
benar akan senantiasa dapat kritis memeriksa teologi Perjanjian Lama. Suatu
teologi Alkitabiah yang berlandaskan pada pandangan sejarah yang didasarkan
pada suatu kesinambungan yang tak putus-putusnya dari sebab dan akibat, tidak
dapat cocok dengan pandangan alkitabiah tentang sejarah dan pernyataan dan juga
tidak dapat cocok dengan penegasan Alkitab tentang kebenaran. 

Anda mungkin juga menyukai