Pendahuluan
Pada bagian pendahuluan buku tulisan Paul F. Knitter yang diterbitkan oleh
Kanisius ini dengan judul “Pengantar Teologi Agama-agama, menggambarkan beberapa
hal khususnya mengenai bagaimana hubungan agama Kristen dan Agama-agama Lain
yang berkaitan dengan Masalah dan Harapan. Buku ini sendiri menyangkut beragam
teologi. Beragam Agama: suatu pengalaman baru, yang mana pengalaman ini untuk
mempelajari agama lain. Dalam judul “Pluralitas : Suatu Fakta Penting dalam Kehidupan
Keagamaan dan Kehidupan Alam Semesta menyoroti bagaimana pluralitas menjadi
alasan bahwa agama menimbulkan masalah. Ketika suatu agama berada di antara
berbagai komunitas, tidak bisa dipungkiri bahwa setiap agama khususnya di Indonesia
menghadapi beragam agama. Sehingga menyebabkan agama itu sendiri mengembangkan
identitas agamanya. Namun ketika ia berada di antara berbagai komunitas agama, maka
agama itu harus juga dapat mempelajari dan mengembangkan identitas dirinya dalam
komunitas yang lebih luas. Berdasarkan beberapa masalah yang timbul di atas, pada
akhirnya dalam pendahuluan buku ini mengatakan bahwa dalam bab-bab buku ini akan
membahas model-model dan bagaiman kita umat Kristiani menyikapi pluralisme, yaitu
dapat disebutkan sebagai berikut :
Bagian I
Pada model ini menyatakan bahwa agama Kristiani merupakan agama yang lebih
baik daripada agama lain, yang juga memandang ini sebagai kehendak Allah tentang satu
agama, agama Allah: agama Kristiani. Model ini sangat kuat dianut oleh komunitas
Kristiani beraliran Fundamentalisme atau Evangekalisme. Model ini memandang apabila
pada agama-agama lain terdapat suatu ketimpangan, maka agama Kristiani patut
menggantinya. Model ini juga dipengaruhi oleh Barth yang menganut aliran
1
Evangekalisme. Pandangan mengenai Allah atau Kristus sebagai satu-satunya jalan
kebenaran yang dianut oleh aliran ini dapat dilihat dalam Perjanjian Baru yaitu Kis.4:12,
1 Kor. 3:11, 1 Tim.2:5, 1 Yoh.5:12. Selain itu juga ayat yang dapat menopang bahwa
melalui percaya Injil tentang Yesus bisa diselamatkan juga terdapat dalam Yoh.3:36,
Roma 10:14,17. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa apa yang dilakukan
oleh aliran Evangekalisme ini merupakan suatu kompetisi suci, meyakinkan bahwa Yesus
akan keluar sebagai pemenang.
Pada bagian ini umat Kristiani menuliskan bahwa umat Kristiani mengakui
adanya agama-agama lain dan mereka percaya bahwa di dalam agama-agama lain itu
terdapat Wahyu Allah. Namun meskipun demikian, keselamatan hanya ada dalam Yesus
Kristus. Adapun hubungan antara agama-agama Kristen dengan agama-agama lain dapat
diwujudkan melalui dialog yang mana dari sana akan menjadi sarana berbagi informasi,
menyelesaikan masalah sosial dan juga bicara tentang apa yang menganggu pikiran
mereka: Kebenaran Allah. Sebagaiamana juga yang dikatakan Carl Braten bahwa
hubungan agama Kristen dengan agama-agama lain yaitu bahwa agama-agama
dipandang sebagai sarana penebusan Tuhan melalui sejarah-Nya tersalib di kayu salib,
karena agama bukanlahh sarana sistem keselamatan dalam diri mereka. Hal ini juga
berkaitan dengan yang dilakukan DGD untuk terus melibatkan umat lain berdialog
bersama dengan umat Kristiani dan bekerjasama secara serius namun posisi teologisnya
tetap berakar dalam model penggantian. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa model
ini mengakui keberadaan dari agama-agama lain, namun tidak setuju bahwa keselamatan
ada di dalam agama-agama lain. Karena keselamatan itu hanya ada di dalam agama
Kristen.
Pada bagian ini membahas tentang wawasan dan pertanyaan atas apa yang
sebelumnya berkaitan dengan wawasan bahwa umat kristiani khususnya aliran
Evangekalisme mengatakan bahwa Injil sebagai pusat kehidupan Kristiani. Maka dari itu
Alkitab merupakan dasar berteologi bagi agama-agama khususnya agama Kisten.
Kemudian, ketika manusia jatuh dan membutuhkan pertolongan, maka manusia perlu
2
memiliki iman. Dan umat Kristiani khsusnya mereka penganut evangekalisme sangat
komitmen pada pegangan mereka bahwa Yesus adalah satu-satunya jalan. Dengan begitu
dapat dilihat sebuah tantangan bahwa agama membawa perdamaian justru sekarang
agama lebih banyak memuntahkan kebencian bukan kasih.
Dari situ maka muncullah dua pertanyaan : 1) berbagai sumber teologi agama?
Maka ditemukan jawaban bahwa sumber berteologi umat Kristiani bukan hanya Alkitab,
mereka juga perlu memandang umat-umat agama lain sebagai sumber berteologi
berdasarkan teleskop agama-agama lain, khususnya juga dalam berdialog diperlukan
keterbukaan. 2) Yesus satu-satunya dan segala-galanya? Di sini mengingatkan bahwa
tentang Yesus itu sendiri perlu dikenal lebih dalam. Dengan begitu dalam dialog seperti
yang telah dibahas sebelumnya, bahwa dialog bukanlah ajang kompetisi, melainkan
dalam dialog perlu bagi agama-agama untuk sailng konfrotasi dan mengoreksi diri serta
membuka kesempatan untuk berkerja sama dan bukan berkompetisi.
Bagian II
Pada bagian ini menjelaskan tentang model berteologi peralihan dari model
penggantian ke model penyempurnaan. Model ini mayoritas dianut oleh Protestan aliran
utama seperti Lutheran, Reformasi, Methodis, Anglikan, Ortodoks Yunani dan Roma
Katolik. Pada aliran ini percaya bahwa agama-agama lain punya nilai, punya Tuhan dan
umat Kristiani perlu berdialog dengan mereka. Pada abad ke-15 sampai ke-16 dinyatakan
bahwa diluar Tuhan tidak ada keselamatan. Keselamatan hanya ada dalam gereja dan ada
pandangan-pandangan negatif terhadap agama-agama lain. Namun ketika abad ke-16
sampai ke-17 maka muncullah sikap positif terhadap agama lain yang berada di luar
gereja.
3
Vatikan II dilatarbelakangi oleh konsili Trente: Kasih dan kehadiran Tuhan yang
menyelamatkan tidak dapat dikunci dalam tembok-tembok gereja. Di samping itu juga
konsili Vatikan II tidak menerima pandangan Rahner tentang umat beragama lain sebagai
“kristiani anomim” karena sebutan itu terlalu kontroversial bagi umat kristiani dan tidak
mengenakan bagi umat non-kristiani.
Dengan begitu dalam hubungan dengan agama-agama lain Tujuan Konsili adalah
mengembangkan berbagai sikap saling memahami, menghormati, berdialog dan bekerja
sama secara baru antara mereka dan umat Kristiani. Konsili Vatikan II menjadi tongkak
sejarah tentang sikap Kristiani terhadap agama-agama lain.
4
bahwa umat Kristiani harus tetap mengarahkan pandangannya pada Yesus Kristus. Ada
beberapa pandangan umat Katolik bahwa alasan utama mereka mengakui bahwa
Yesuslah satu-satunya keselamatan adalah karena mereka tidak mau disaingi. Selain itu
juga, dari Asia berdasarkan pertemuan FABC tahun 1970 uskup Asia berpendapat bahwa
gereja-gereja Asia harus menjadi gereja yang dialogis.
Bagian ini menjadi bagian akhir dari model pemenuhan yang memberi wawasan
dan pertanyaan. Wawasannya yaitu kembali ditekankan bahwa dialog sangat penting bagi
umat Kristiani dan juga terdapat suatu keterbukaan bagi umat Kristiani untuk mengetahui
tentang Tuhan dan kemanusiaan bagi agama-agama lain yang belum mereka temukan
dalam Yesus. Selain wawasan adapula pertanyaan yang terjawab yaitu bahwa model
pemenuhan benar-benar memberi peluang berdialog, karena umat kristiani merasakan
transformasi setelah berdialog. Pertanyaan lain “apakah komitmen membutuhkan
kepastian?” maka jawabannya bahwa apa yang mengarahkan kita pada komitmen adalah
keyakinan bahwa ada sesuatu yang memang benar, bukan karena kebenaran yang satu-
satunya atau yang final. Pertanyaan akhir “bagaimana cara Yesus menyelamatkan?”
jawabanya yaitu cara Yesus menyelamatkan ini merupakan pertanyaan yang begitu
menarik. Karena Yesus sendiri tidak membangun jembatan hubungan Allah dengan
manusia. Melainkan jembatan itu sudah ada. Jadi keselamatan ini sudah dimiliki setiap
orang.
Bagian III
5
yaitu bersedia mendengarkan, menghormati dan belajar dari mereka. Untuk dapat
menciptakan medan main di antara agama-agama yaitu dengan melihat dan harus
memiliki sesuatu yang sama, yang bisa memampukan mereka melampaui jurang
perbedaan mereka yang dalam. Di sini terdapat tiga jembatan untuk menyebrang ke
model mutualisme yaitu jembatan filosofis-historis, jembatan religius-mistik, dan
jembatan etis-praksis. Dengan demikian di sini kita akan membahas jembatan filosofis
dan pemandu kita di sini ialah John Hick. Di tuliskan bahwa dalam agama-agama
terdapat banyak kerusakan yang mana menyebabkan tramatis secara psikologis,
peperangan, dan juga beberapa kelompok telah dieksploitasi. Semua ini
mengatasnamakan agama. Selain itu juga misalnya seperti peristiwa Perang Salib,
diskriminasi ras, penyiksaan, pembakaran janda, dan penyunatan klitoris. Maka dari itu
cara menghindari masalah untuk menilai agama yaitu etika, bukan doktrin atau
pengalaman. Namun pada bagian akhir dari jembatan filosofis ini yaitu jika yang
dikembangkan Hick ini masih terlalu sempit, maka ada beberapa jembatan lain yang akan
dibahas selanjutnya.
Jika pada jembatan historis-filosofi yang mulai dengan manusia dan tidak ada
satupun agama yang menganggap kebenaran penuh, final dan tak tersaingi tentang Yang
Ilahi karena pengetahuan manusia secara historis terkondisi atau secara sosial terbentuk
dan karena itu terbatas. Penganut pendekatan mistik-religius mulai dengan Yang Ilahi dan
mengungkapkan apa yang mereka anggap juga dijumpai dalam semua umat beragama –
bahwa apa yang terdapat di pusat tiap agama adalah sesuatu yang jauh melampaui semua
yang diraskan atau dinyatakan manusia perorang atau satu komunitas.
6
perlu suatu etika global. Yesus pun yang perlu ditekankan di sini yaitu Yesus pembebas
yang mistik-profetis.
Sesuai dengan cara Model Mutualitas memahami Yesus, kita bisa menemukan
empat masalah atau tantangan utama : (1) kebutuhan akan berbagai jawaban baru. Pada
bagian ini model Mutualitas dalam mendorong semua gereja menerima semacam
reinterpretasi dari bahasa tradisional Kristiani tentang Yesus sebagai satu-satunya Juru
Selamat dan pembawa wahyu merupakan sebuah kebutuhan. (2) Yesus sebagai sakramen
daripada kepuasan. (3) Kristologi Roh. Tantangan berikutnya yang melekat dalam
pemahman Model Mutualitas terhadap Yesus muncul dari pandangan terhadapnya
sebagai sakramen keselamatan: alasan mengapa Yesus begitu sungguh-sungguh, tanpa
henti, menyatakan kekuatan universal dari kasih Allah adalah karena ia memang
dipenuhi-Roh. (4) apa yang disebut kristologi mutualitas.
Bab IV
Model penerimaan ini berkembang selama dua dekade terakhir abad ke-20 baik
sebagai kekurangan model lainnya yang ada dalam teologi agama-agama Kristiani. Di
sini juga menekankan bahwa suatu perbedaan itu dipandang baik. Dengan ungkapan
bahwa kebenaran universal itu berbahaya dan perbedaan adalah anugerah kehidupan. Ini
bisa dijadikan sebagai tiang sentrum dari sikap postmodern. Bagian model ini banyak
mendapat pengaruh dari postmodern. Kesadaran postmodern yang diterima di antara para
teolog Model penerimaan: perbedaan di antara berbagai saringan kultural-religius kita
begitu besar sehingga sebagian besar “tidak tertandingan”. Dengan memakai kesadaran
postmodern, Lindbeck menemukan tiga cara bebeda memahami agama di antara para
teolog dan filsuf. Pertama Lindbeck menemukan pemahaman agama yang kognitif-
proposional. Menurut pa
7
ndangan ini agama secara primer adalah masalah mengetahui kebenaran tentang Tuhan
atau Yang Ilahi melalui berbagai pernyataan yang jelas dan dapat dimengerti. Kedua,
yang dicatat oleh Lindbeck adalah yang menawarkan sikap umat beriman dan pemikiran
para teolog di dalam sebagian besar gereja-gereja Kristiani arus utama atau liberal.
Ketiga ia menyebut perspektif ketiga tentang agama ini sebagai linguistik-kultural. Pada
bagian ini dikatakan bahwa baik Lindbeck maupun umat kristiani tidak mau mengakui
adanya asas bersama bukan karena ingin membangun tembok, melainkan karena mereka
ingin menjaga, menghormati, dan melindungi berbagai perbedaan nyata antarmereka.
Dengan demikian, penganut model ini berpendapat bahwa dialog antar-agama harus
selalu bersifat dialog ad hoc, berdialog sesuai masalah hari itu; kita berbicara tentang apa
yang muncul pada saat tertentu atau yang merupakan sesuatu yang penting atau menarik
bagi kita semua. Model ini merupakan teologi yang berkeyakinan bahwa agama-agama
dunia memang sangat berbeda dan bahwa hubungan antarmereka harus dibangun atas
dasar mengakui, menghargai, dan belajar dari semua perbedaan ini.
Pada bagian ini menuliskan tentang tokoh bernama S. Mark Heim yang mana ia
mengusulkan bahwa keselamatan diterima oleh semua agama. Para pengikut Model
mutualis mendesak, secara halus maupun langsung agar semua agama perlu
menanggalkan berbagai absolut mereka supaya bisa saling mendengarkan. Heim
berpendapat bahwa justru berbagai absolut itu yang merupakan substansi dan energi
untuk berdialog. Dengan demikian bahwa moto Model Penerimaan adalah Vive la
difference! – Hidup perbedaan! Di sini pula terdapat teologi komperatif yang mana
diinginkan teologi itu mengalir dari dialog, bukan mendahuluinya. Teologi komperatif
dimulai dengan perbandingan, tetapi pasti mengarah ke berteologi.
Bagi model penerimaan, perbedaan bukan hanya sesuatu yang bisa diterima
secara kontemporer tetapi juga secara permanen. Model penggantian menghormati
perbedaan yang diterima di agama-agama lain, namun tujuannya menghilangkan dan
menggantikannya. Bagi model pemenuhan dan model mutualitas, berbagai perbedaan
yang diterima umat Kristiani dalam agama-agama lain harus diberi nilai dan dihormati
8
dan dipelajari: namun yang terpenting bagi model-model ini adalah kesamaan yang bisa
dijumpai oleh umat Kristiani, antara mereka dan para penganut agama-agama lain. Para
komparativis menyimpulkan bahwa semua usaha membangun teologi agama-agama
harus dimulai dengan dialog bersama agama-agama lain. Dalam melakukan dialog maka
pentinglah bagi kita memandang agama lain bukan berdasarkan kacamata kita melainkan
memandang mereka apa adanya.
Pada bagian ini penulis mengatakan bahwa ada suatu konklusi yang inkonklusif
atas apa yang ia tulis dan berharap pembaca juga nantinya memiliki konklusi entah yang
sama atau berbeda dengannya. Pada bagian ini ia menjelaskan kembali empat model yang
telah dibahasnya sebelumnya yaitu model penggantian, model pemenuhan, model
mutualitas dan model penerimaan. Di sini penulis juga menegaskan bahwa jika hanya
sebuah dialog saja yang diterapkan dalam suatu hubungan umat beragama, maka itu
belum berarti dalam suatu hubungan tersebut. Karena dari dialog juga membutuhkan
suatu aksi.
KESIMPULAN
Apa yang ditulis dalam buku ini beranjak dari sebuah pluralisme yang ada pada
dunia kita sekarang ini. Melalui pluralisme itu menyebabkan agama menjadi alasan atas
setiap konflik dan masalah yang ada. Dengan begitu untuk menyikapi masalah pluralisme
tersebut maka Paul F. Knitter dalam bukunya “Teologi Agama-agama” mencoba
menjelaskan tentang pentingnya hidup berdampingan antara agama yang satu dengan
yang lainnya dengan cara membangun suatu dialog yang disertai dengan suatu aksi. Yang
dituliskan Knitter di sini beranjak dari bagaimana sikap umat Krsitiani terhadap umat
beragama lain. Namun tidak dapat dipungkiri juga ini dapat dibaca dan dipelajari oleh
umat beragama lain sebagai bahan untuk menciptakan suatu toleransi umat beragama.
9
mana menurut pandangan mereka tidak ada agama yang benar. Hanya agama Kristen
yang benar dan keselamatan hanya ada dalam agama Kristen. Kemudian penggantian
parsial yang mana pandangan agama Kristen di sini yaitu mereka mengakui keberadaan
agama-agama lain akan adanya Allah dan wahyu dalam agama mereka. Namun tetap saja
keselamatan hanya ada dalam Yesus Kristus. (2) Model Pemenuhan. Model ini dianut
aliran Protestan seperti Lutheran, Reformasi, Methodis, Anglikan, Ortodoks Yunani, dan
Roma Katolik. Di sini umat Kristiani benar-benar mengakui keberadaan umat lain beserta
dengan keselamatan mereka. Hal ini merupakan hasil dari Konsili Vatikan II. Maka dari
itu perlulah suatu hubungan antar umat Kristiani dan umat agama lain dengan
membangun keterbukaan dan dialog. (3) Model Mutulitas yang mana pada bagian ini
terdapat tiga jembatan apabila seseorang telah berhasil melalui hubungan dengan umat
lainnya yaitu jembatan filosofis-historis, jembatan religius-mistik, dan jembatan etis-
praktis. Model ini menekankan adanya kesamaan dalam diri manusia dan hubungannya
dengan yang lain. (4) Model Penerimaan. Pada model ini mengakui adanya perbedaan
antar umat beragama. Maka dari itu diperlukan suatu sikap hormat, menghargai, mau
mendengar dan berbagi pengetahuan serta belajar dari setiap perbedaan antar umat
beragama melalui dialog dan juga tentunya pada aksi nyata.
Dengan demikian berdasarkan model yang telah dibahas di atas bahwa pentingnya
suatu penerimaan terhadap keberadaan umat beragama lain demi terciptanya suatu
kehidupan yang harmonis antar umat beragama. Melalui buku ini menurut saya dapat
menjawab permasalahan khususnya dalam konteks negara Indonesia berkaitan dengan
masalah pluralisme yang sering terjadi, yang mana setiap masalah selalu agama dijadikan
alasan penyebabnya. Maka dari situ menyadarkan kita semua bahwa benar pentinglah
suatu dialog antar umat beragama untuk mengatasi setiap masalah yang terjadi dengan
mendasarkannya atas sikap mau menerima dan mendengar setiap argument, bekerja sama
dan nantinya bersedia melakukan transformasi.
Literatur :
10