Kejadian 1:1-31 menceritakan tentang proses penciptaan dunia oleh Allah. Terdapat
pada bagian pertama dalam Alkitab membuat teks ini tidak asing lagi untuk dibicarakan.
Semenjak masa kanak-kanak sebagian besar keluarga kristen menceritakan kisah ini untuk
menambah pengetahuan alkitab bagi anak, termasuk saya. Pendekatan tafsir yang digunakan
untuk memahami teks ini juga beda-beda. Ada yang menggunakan pendekatan kritik historis,
naratif, ideologi, feminis, postkolonial, dll. Dalam hubungannya dengan memahami teologi
pembebasan dalam PL, maka teks ini juga dapat dipakai untuk menjelaskan hal tersebut.
Menurut Alkitab Terjemahan baru dikatakan dalam ayat 1 dan 2 bahwa “pada mulanya Allah
menciptakan langit dan bumi. Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi
samudera raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air.” Sedangkan dalam
alkitab terjemahan BIS dikatakan bahwa “Pada mulanya, waktu Allah mulai menciptakan
alam semesta, bumi belum berbentuk, dan masih kacau-balau. Samudra yang bergelora,
yang menutupi segala sesuatu, diliputi oleh gelap gulita, tetapi kuasa Allah bergerak di atas
permukaan air”. Sejak awal ketika Allah hendak menciptakan bumi ini, bumi ada dalam
keadaan kacau balau. Penciptaan yang dilakukan Allah kemudian mengambil alih keadaan
kacau balau tadi menjadi lebih teratur dan tertata sehingga jadilah bumi seperti yang ada.
Keadaan bumi yang belum berbentuk dan kosong menunggu sentuhan kreatif Allah.
Kekosongan yang berbentuk itu juga dilukiskan sebagai gelap-gulita menutupi samudera raya
(1:2) karena tindakan Allah untuk menyempurnakan ciptaan-Nya belum dikerjakan, namun
akan dikerjakan. Pekerjaan Pertama Allah bagi bumi adalah mengatasi kekacaubalauan
dengan sistem yang lebih tertata untuk kemashlahatan bumi nantinya dengan segenap
penghuni bumi.
Setelah Allah menciptakan bumi selama 6 hari secara sistematis maka manusia
dimandatkan-Nya untuk menjaga dan mengusahakan bumi. Manusia dilihat sebagai
mandataris Allah untuk mengelolah semua kepemilikan Allah. Kehadiran manusia haruslah
menjadi “penyelamat” dan “pemelihara” bagi sesamanya dan seluruh semesta. Jika pada
akhirnya manusia bertindak semena-mena terhadap alam dan sesama sehingga menyebabkan
ketidakadilan dan penindasan maka tindakan itu adalah penyimpangan terhadap perintah
Allah. Pada titik inilah manusia mengingkari Tugasnya sebagai mandataris Allah. Jika dilihat
dalam perspektif teologi pembebasan maka kita akan menyadari bahwa sejak awal Allah
menciptakan dunia beserta segala isinya tidak lain supaya setiap warga semesta bertindak
untuk saling memelihara dan menghidupi. Ia mengendaki terjadi tatanan yang indah dan rapi
dalam bumi, seperti yang telah diusahakan-Nya sejak awal untuk mengatasi kekacaubalauan
yang terjadi. Oleh karena itu, manusia yang adalah gambar dan rupa Allah juga seharusnya
bertindak sebagai inisyator mengatasi situasi kacau balau seperti kemiskinan, ketidakadilan,
pelecehan hak-hak hidup manusia, perdagangan manusia, eksploitasi alam, dll. Bukan
sebaliknya justru menjadi penyebab situasi kacau balau dalam dunia. Hanya dengan
mengahayati secara sungguh tugasnya sebagai mandataris Allah yang saling menghidupkan
maka dapat terpelihara tatanan hidup yang jauh dari tohu wavohu.
Peristiwa eksodus atau keluarnya Bangsa Israel dari tanah Mesir sering dilihat sebagai
mahakarya Allah yang membebaskan umat dari belenggu penindasan. Betapa tidak, umat
yang selama ratusan tahun terkungkung dalam kerja paksa, pemerkosaan hak-hak asasi dan
perbudakan kini terbebas sudah. Namun, hal itu bukanlah atas usaha Israel melainkan karena
inisyatif Allah untuk menolong dengan cara mengeluarkan bangsa besar itu dari tempat
penindasan menuju tempat yang berlimpah-limpah susu dan madu. Pembebasan ini bersifat
holistik bagi umat Israel, sebab berhubungan dengan seluruh tatanan hidup bangsa yakni
terbebas dari ketidakadilan struktural, ketidakadilan sosial, politik, ekonomi, hukum dll.
Pembebasan ini secara langsung maupun tidak langsung telah mentransformasikan kehidupan
Israel menjadi bangsa yang lebih baik dibandingkan sewaktu berada di Mesir. Secara umum
dan singkat, peristiwa eksodus adalah peristiwa pembebasan suatu bangsa dari keterpurukan.
Namun, ketika kita melihatnya dari sudut pandang lain, patutlah kita pertanyakan bahwa
apakah benar peristiwa eksodus adalah peristiwa pembebasan secara holistik dalam hubungan
dengan sesama manusia yang bukan Israel? Menurut saya TIDAK. Peristiwa ini bermakna
paradoksial. Di satu sisi melalui peristiwa eksodus Bangsa Israel dibebaskan dari penindasan
tetapi di sisi lain mereka juga bertindak sebagai penindas bagi bangsa lain. Bagaimana tidak,
mereka menuju tanah yang telah berpenduduk yang dengan kata lain bukanlah lahan kosong
yang bebas untuk ditempati. Akhirnya dengan mengatasnamakan umat pilihan Allah yang
menerima janji pemberian tanah, Israel justru menindas bangsa lain. Tindakan ini oleh
penulis Alkitab (ban. Kisah-kisah perang dalam kitab Yosua) dilihat sebagai kehendak Allah.
Dan Allah pun terkesan diam melihat perampasan itu terjadi. Apa yang pernah mereka alami
di tanah Mesir kini mereka lakukan lagi bagi bangsa lain yakni merampas hak-hak hidup dan
harta bangsa Kanaan. Sampai pada titik ini maka saya rasa kita harus mempertanyakan lagi,
benarkah eksodus adalah peristiwa pembebasan?.
Dalam hubungannnya dengan Alam semesta, tahun yobel mengatur tentang perlakuan
manusia terhadap tanah. Setelah Bangsa Israel sudah sampai ke tanah kanaan, mereka harus
menghitung 7 tahun sabat (sama dengan 49 tahun), dan sampai tahun ke 50, mereka harus
memperdengarkan sangkakala pada waktu tanah juga harus dibebaskan agar dapat
meregenerasikan dirinya sendiri demi menjamin kemakmuran manusia. Tahun yobel bukan
hanya tahun kemanusiaan tetapi juga tahun kebebasan bagi alam. Melalui aturan ini, Allah
hendak mengajar manusia agar lebih menghargai tanah sebagai sumber hidup dengan tidak
secara terus menerus memaksakan tanah itu untuk “bekerja”. Bagi umat yang bermasalah
dengan tanah-tanah yang digadaikan maka di tahun yobel penggadaian tanah itu dapat
dibebaskan. Saya melihat ada upaya Allah untuk mengajar manusia agar tidak menjadikan
tanah sebagai sarana menjajah dan memperbudak orang lain karena tanah ada untuk
menghidupi bukan menindas sesama. Di era modern seperti ini, apakah aturan tahun yobel
masih dapat diterapkan? Dengan cara bagaimanakan ahun yobel itu akan kita terapkan?
Apakah tahun yobel dapat direformulasikan sesuai konteks saat ini? ini adalah beberapa
pertanyaan yang terbesit dipikiran saya saat menulis makalah ini. Semoga dalam pembahasan
kali ini, saya juga menemukan jawabannya.
Dari segi pemaknaan dan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab, kita pun harus
banyak belajar dari Ester. Sebagai perempuan yang hidup dalam budaya patriakhi Ester tidak
mengurung diri untuk tetap dalam kelompok yang termarginal melainkan ia menyadari
bahwa ada peran penting yang harus dimainkan oleh siapa saja ketika menghadapi masalah
ketidakadilan. Dengan kesadaran terhadap peran sebagai pembela kebenaran dan pejuang hak
hidup banyak orang Ester mampu merobohkan dinding patriaki yang selama ini mengurung
dirinya bersama seluruh perempuan sebagai korban-korban perang dan kebijakan.
Sebagaimana yang telah dilakukan Ester dalam pemaknaan terhadap peran-peran kekuasaan
di atas maka hal ini harusnya menjadi batu loncatan untuk semua perempuan agar bangkit
dan merevitalisasi peran dan fungsi dalam segala segi kehidupan. Perempuan tidaklah harus
kembali menjadi korban-korban budaya, kekuasaan, peperangan atau bahkan kebijakan para
penguasa melainkan menjadi mitra yang sepadan dalam menjalankan berbagai tugas dan
tanggung jawab di segala segi kehidupan.